Anda di halaman 1dari 38

ABKIN sebagai Organisasi Profesi & AD/ART organisasi Profesi

Mata Kuliah : Pengembangan Pribadi Konselor

Disusun Oleh :
Argianus Mendi 1705095080
Sonia 1705095049
Suratun 1705095076

BK – B 2017
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kami sehingga tugas makalah mengenai “Bimbingan
dan Konseling sebagai sebuah profesi” ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Masnurrima Heriansyah, S. Pd, M.
Pd selaku dosen Pengembangan Pribadi Konselor yang telah memberikan kami
kesempatan untuk menyelesaikan tugas ini sehingga kami mendapatkan pengetahuan
yang lebih tentang Bimbingan dan Konseling sebagai sebuah profesi.
Melalui kata pengantar ini kami lebih dulu meminta maaf seandainya di dalam
makalah ini terdapat kekurangan ataupun penulisan yang kurang tepat. Dengan ini kami
mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan semoga Tuhan Yang
Maha Esa memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Samarinda, 10 September 2019


Penulis,

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
A. Latar Belakang .................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 4
C. Tujuan................................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 5
A. Pengembangan Profesi BK................................................................................ 5
B. Perlunya Organisasi Bimbingan dan Konseling. ............................................... 12
C. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga ABKIN. ........................................ 13
BAB III PENUTUP................................................................................................ 37
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 37
B. Saran. ................................................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 38

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manajemen bimbingan dan konseling di sekolah agar dapat berjalan seeprti yang
diharapkan antara lain perlu didukung oleh adanya organisasi yang jelas dan teratur.
Organisasi tersebuut dengan secara tegas mengatur kedudukan, tugas dan tanggung jawab
para personil sekolah yang terlibat. Organisasi tersebut tergambar dalam struktur atau
pola organisasi yang bervariasi yang tergantung pada keadaan dan karakteristik sekolah
masing-masing. Kebutuhan terhadap organisasi bimbingan dan konseling terlihat dari
adanya kepentingan di tingkat sekolah hingga tingkat yang lebih luas lagi. Dengan
demikian, kehadiran suatu organisasi bimbingan dan konseling tampaknya menjadi suatu
tuntutan alami untuk menjawab kebutuhan pelaksanaan, khusunya kepada siswa
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana perkembangan profesi ?
2. Seberapa penting organisasi bimbingan dan konseling?
3. Apa itu AD-ART ABKIN ?
C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui perkembangan profesi
2. Untuk mengetahui peran penting organisasi bimbingan dan konseling
3. Untuk mengetahui AD-ART ABKIN

-4-
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Profesi Konselor di Indonesia


Menurut W.S Wingkel dan M.M. Sri Hastuti (2006), Ide tentang pelayanan
bimbingan di sekolah dicanangkan oleh para ahli pendidikan, yang kemudian memikirkan
cara-cara mengintegrasikan Bimbingan dan Konseling dalam struktur berbagai lembaga
pendidikan, terutama yang terdapat pada jenjang pendidikan menengah. Misalnya, dalam
konferensi FKIP seluruh Indonesia pada tahun 1960 di Malang, dibahas daar-dasar
pelaksanaan usaha bimbingan di lingkungan sekolah sebagai penunjang pendidikan di
Indonesia, dan dipikirkan langkah-langkah yang perlu untuk mengimplementasikan
pelaksanaan itu. Di samping itu, diputuskan bahwa kurikulum FKIP akan diperluas
dengan adanya Bimbingan dan Konseling. Selanjutnya layanan bimbingan dan konseling
di Indonesia mulai dibicarakan secara terbuka dengan dikeluarkannya instruksi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tentang perlunya pelayanan bimbingan di
sekolah menengah pada tahun 1962. Menurut Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan
(2012), hal ini ditandai dengan adanya perubahan sistem pendidikan di SMA, yaitu
terjadinya perubahan nama menjadi SMA Gaya Baru, dan berubahnya waktu penjurusan,
yang awalnya di kelas I menjadi di kelas II. Program penjurusan ini merupakan respon
akan kebutuhan untuk menyalurkan para siswa ke jurusan yang tepat bagi dirinya secara
perorangan. Dalam rencana Pelajaran SMA Gaya Baru, di antaranya ditegaskan sebagai
berikut.
a. Di kelas I setiap pelajar diberi kesempatan untuk lebih mengenal bakat
dan minatnya, dengan jalan menjelajahi segala jenis mata pelajaran yang
ada di SMA, dan dengan bimbingan penyuluhan yang teliti dari para guru
maupun orang tua.
b. Dengan mempergunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan
catatan dalam kartu pribadi setiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas
II kelompok khusus: Budaya, Sosial, Pasti, dan Pengetahuan Alam.
c. Untuk kepentingan tersebut, maka pengisian kartu pribadi murid harus
dilaksanakan seteliti-telitinya (Rohman Natawidjaja, 1971).
Namun, program bimbingan dan konseling ketika itu kurang mengalami
perkembangan karena kurang adanya persiapan prasyarat terutama kurangnya tenaga
pembimbing yang professional. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perumusan

-5-
dan pencantuman resmi di dalam rencana pelajaran SMA ini disusul dengan berbagai
kegiatan pengembangan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti rapat
kerja, penataran, dan lokakarya. Puncak dari usaha ini adalah didirikannya jurusan
bimbingan dan penyuluhan di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP (Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan) Negeri. Salah satu yang membuka jurusan Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan adalah IKIP Bandung, yaitu pada tahun 1963, yang sekarang sudah
berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan nama
Jurusan Psikologi pendidikan dan penyuluhan (PPB)
2. Layanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia pada Tahun 70-an, 80-an
dan 90-an, IPBI, dan Kurikulum BP di SD, SMP, SMA, dan SMK.
Populernya istilah “Bimbingan dan Penyuluhan” sebagai terjemahan “Guidance
and Counseling” pada masa era orde baru tahun 1970, diawali dan diperkenalkan
oleh Tatang Mahmud, MA yaitu seorang pejabat di departemen tenaga kerja
Republik Indonesia pada tahun 1953. Istilah penyuluhan pada bimbingan dan
penyuluhan, juga dipakai dalam berbagai kegiatan atau bidang lain seperti
penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan hukum penyuluhan narkoba penyuluhan
gizi dan sebagainya. Dalam hal ini penyuluhan diartikan sebagai pemberian
penerangan bahkan kadang-kadang hanya dalam bentuk pemberian ceramah atau
pemutaran film saja hal ini dapat disimpulkan istilah penyuluhan, oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa pada saat itu istilah penyuluhan masih bersifat umum
belum berfokus pada masalah-masalah spesifik atau khusus yang bekaitan dengan
siswa/mahasiswa/konselor/konseli. Menyadari hal tersebut, menurut Agus Sukirno
(2011), sebagian ahli yang tergabung dalam Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia
(IPBI) mulai merumuskan ketepatan arti counseling. Ada yang berpendapat agar
istilah penyuluhan dikembalikan ke istilah awal konseling. Ada pula yang
berpendapat kalau guidance diartikan dengan bimbingan, maka counseling harus
dicarikan arti yang tepat dalam bahasa Indonesia. Ada yang mengartikan istilah
counseling dengan wawanwuruk, wawanmuka dan wawancara. Namun dari sekian
arti yang lebih populer adalah konseling.
Selama periode tahun 1970-an mulai dilaksanakan delapan Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan (PPSP). Menurut Prayitno, pada tahun 1971 berdiri Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP
Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP
Malang, dan IKIP Manado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan

-6-
dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan
Bimbingan dan Penyuluhan pada PPSP”.
Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak
diberlakukannya kurikulum 1975, yang menyatakan bahwa bimbingan dan
penyuluhan merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah. Kurikulum 1975
berisi layanan Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu dari wilayah layanan
dalam sistem persekolahan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA, yaitu
pembelajaran yang didampingi layanan Manajemen dan Layanan Bimbingan dan
Konseling.
Meskipun ketentuan perundang-undangan belum memberikan ruang gerak, akan
tetapi karena didorong oleh keinginan kuat untuk memperkokoh profesi konselor,
maka dengan dipelopori oleh para pendidik konselor yang bertugas sebagai tenaga
akademik di beberapa LPTK, pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang
didirikanlah Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), yang menghimpun
konselor lulusan Program Sarjana Muda dan Sarjana yang bertugas di sekolah dan
para pendidik konselor yang bertugas di LPTK, di samping para konselor yang
berlatar belakang bermacam - macam yang secara de facto bertugas sebagai guru
pembimbing di lapangan. Selain itu tersusunya AD/ART IPBI, kode etik jabatan
konselor, dan program kerja IPBI periode 1976-1978 dan dilanjutkan dengan
beberapa kali konvensi dan kongres yang diadakan secara berturut-turut di Salatiga,
Semarang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar dan Bandung.
Pada tahun 1976, ketentuan yang serupa juga diberlakukan untuk SMK. Dalam
kaitan inilah, dengan kerja sama Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu
Pendidikan IKIP Malang, pada tahun 1976 Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan
dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling untuk guru-guru SMK
yang ditunjuk.
Tindak lanjutnya memang tidak diketahui perkembangannya, karena para
kepala SMK kurang memberikan ruang gerak bagi alumni pelatihan Bimbingan dan
Konseling tersebut untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling
sekembalinya mereka ke sekolah masing-masing. Dan dengan penetapan jurusan
yang telah pasti sejak kelas I SMK, memang agak terbatas ruang gerak yang tersisa,
misalnya untuk melaksanakan layanan bimbingan karier (Sudrajat, 2008).

-7-
Pada tahun 1978, dilakukan evaluasi secara komprehensif kepada siswa SD,
SMP, dan SMA oleh Tim Nasional dengan dukungan para ahli dari University of
Chicago Dr. Don Holzinger dan dari Harvard University, dengan Drs. Nuhi Nasution,
M.A sebagai koordinator. Pada tahun 1981 hasil Evaluasi diolah dan dilaporkan Pusat
Kurikulum, Sistem PPSP lebih efisien dan efektif dalam mencapai tujuan pendidikan.
Tetapi pada era Menteri Prof. DR. Nugroho Notosusanto dengan pertimbangan
mahalnya biaya yang diperlukan untuk mendukung penyelenggaraan sistem itu,
Sistem PPSP dengan prinsip maju berkelanjutan belajar tuntas dengan menggunakan
modul tidak dilanjutkan dan tidak diterapkan secara nasional. Bersamaan berakhirnya
masa berlakunya proyek pembaharuan pendidikan dari pemerintah, berakhir pula
riwayat dan eksistensi PPSP beserta seluruh sistem manajemen yang pernah
dikembangkan di sekolah ini. Berkenaan dengan berakhirnya PPSP, terbitlah
peraturan pemerintah yang tidak mengijinkan perguruan tinggi mengelola sekolah.
Salah satunya yang terjadi pada IKIP Malang, maka SD PPSP IKIP Malang dan
pengelolaannya diserahkan kepada Depdikbud lalu diganti namanya menjadi SDN
Percobaan.
Pada tahun1978 juga diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA bimbingan
dan penyuluhan sebagai suatu upaya pengangkatan tamatan yang belum ada jatah
jabatannya. Hal itu dikarenakan, pada saaat ketentuan tentang Akta Mengajar
diberlakukan, tidak ada ketentuan tentang ”Akta Konselor”. Oleh karena itu, dicarilah
jalan ke luar yang bersifat ad hoc agar konselor lulusan program studi Bimbingan dan
Konseling juga bisa diangkat sebagai PNS, yaitu dengan mewajibkan mahasiswa
program S1 Bimbingan dan Konseling untuk mengambil program minor sehingga bisa
mengajarkan 1 bidang studi. Dalam hal itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan
peningkatan profesionalitas anggotanya antara lain dengan menerbitkan Newsletter
sebagai wahana komunikasi profesional meskipun tidak mampu terbit secara teratur,
di samping mengadakan pertemuan periodik berupa konvensi dan kongres.
Program pendidikan di Perguruan Tinggi bukan saja terdiri dari Program
Pendidikan Doktor (S3), melainkan juga Program Pendidikan Magister (S2). Sebagai
realisasi dari konsep baru ini, maka pada tahun 1980 IKIP MALANG mulai membuka
Program Pendidikan Magister Bimbingan dan Konseling.
Menurut Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan (2012), Setelah melalui
penataan, maka dalam dekade 80-an bimbingan diupayakan agar lebih mantap.
Pemantapan terutama diusahakan untuk mewujudkan layanan bimbingan yang

-8-
professional. Upaya-upaya dalam dekade ini lebih mengarah pada profesionalisasi
yang lebih mantap. Beberapa upaya dalam pendidikan yang dilakukan dalam dekade
ini adalah Penyempurnaan Kurikulum, dari Kurikulum1975 ke Kurikulum 1984.
Dalam Kurikulum 1984 telah dimasukkan bimbingan karir di dalamnya.
Pada tahun 1989 dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru
dalam Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Didalamnya ditetapkan
secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
Disamping itu disinggung pula adanya pengaturan kenaikan pangkat jabatan guru
pembimbing, walaupun pernyataannya tidak begitu tegas. Pada masa dikeluarkannya
Keputusan Menteri ini terdapat kekeliruan dalam menafsirkan BK, lalu
mengidentikkan bimbingan karir (BK) dengan Bimbingan Penyuluhan (BP) sehingga
muncul istilah BP/BK, kerancuan dalam mengimplementasikan Keputusan Menteri
ini terhadap penyelenggaraan bimbingan di sekolah yang menyatakan bahwa semua
guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP yang mengakibatkan pelayanan
BP menjadi kabur baik pemahaman maupun mengimplementasikannya.
Selanjutnya lahir Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Prayitno, 2004). Kemudian disusul oleh Peraturan
Pemerintah No. 28 dan 29 yang secara tegas mencantumkan adanya pelayanan
bimbingan dan konseling pada satuan-satuan pendidikan (masing-masing Bab X Pasal
25 dan Pasal 27). Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa usaha perintisan
bimbingan dan konseling di Indonesia dilakukan bertahap. Adanya organisasi IPBI
secara langsung menjadi salah satu langkah agar petugas bimbingan pada waktu itu
mendapatkan pengakuan dan disahkan secara yuridis formal.
Pada tahun 1991 sampai dengan 1993 dibentuklah divisi-divisi dalam IPBI, yaitu
IPKON (Ikatan Pendidikan Konselor di Indonesia), IGPI (Ikatan Guru Pembimbing
Indonesia), dan ISKIN (Ikatan Sarjana Konseling Indonesia). Selain itu, IPBI
memperjuangkan jabatan fungsional tersendiri bagi petugas bimbingan di sekolah.
Diyakini dengan adanya jabatan fungsional, maka upaya profesionalisasi pelayanan
bimbingan dan konseling akan lebih terjamin untuk terlaksana dengan berhasil.
Selanjutnya pada tahun 1993 dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya. Kemudian Dengan SK Menpan ini nama Bimbingan dan
Penyuluhan resmi diganti menjadi Bimbingan dan Konseling (BK). Pelaksana

-9-
bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara
khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak
dilaksanakan oleh semua guru atau sembarang guru. Guru yang diangkat atau ditugasi
untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling adalah mereka yang
berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut, minimum mengikuti penataran
bimbingan dan konseling selama 180 jam. Selain itu kegiatan bimbingan dan
konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas yaitu BK Pola 17.
Pada tahun 1995 dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 25/O/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam Surat Keputusan itu secara eksplisit,
pengawas sekolah bidang BK dibedakan dengan pengawas sekolah lainnya. Selain itu
juga dijelaskan mengenai Pedoman Musyawarah Guru Pembimbing (MGP).
Sejak tahun 1996 sampai sekarang dilaksakan penataran guru-guru pembimbing
SLTP dan SMU seluruh Indonesia di PPPG Kejuruan Jakarta menggunakan BK Pola
17. Pada tahun yang sama Sarjana S1 BK mulai diangkat menjadi pembimbing
sekolah. Sementara lulusan PGSLP atau PGSLA dan Diploma dapat melanjutkan
studi ke jenjang S1. Selain itu peristiwa penting lainnya adalah digalangnya kerjasama
antara IPBI, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, serta IKIP Malang
dalam menyelenggarakan sertififkasi kewenangan testing bagi para profesional
bimbingan dan konseling. Kerjasama ini berlaku selama lima tahun (sejak 1995) dan
dapat diperpanjang atas persetujuan ketiga pihak (diperpanjang tahun 2001). Para
tamatan program ini memiliki kewenangan menyelenggarakan tes intelegensi dan
bakat untuk keperluan pelayanan BK di sekolah. Setelah itu IPBI membentuk divisi
baru yaitu IDPI (Ikatan Dosen Pembimbing Indonesia) dan IIBKIN (Ikatan
Instrumentasi Bimbingan dan Konseling).
Guna mempererat profesi BK maka diterbitkanlah Majalah Suara Pembimbing
sebagai terbitan resmi IPBI (setahun dua kali) pada tahun 1995. Kemudian disusunlah
sejumlah panduan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling oleh guru
pembimbing di sekolah. Panduan ini disusun oleh Pengurus Besar IPBI berdasarkan
hasil seminar dan lokakarya. Panduan itu meliputi:
a. Panduan Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah
b. Panduan Penjurusan Siswa SLTP dan SLTA
c. Panduan Bimbingan Teman Sebaya
d. Panduan Bimbingan Kegiatan Kelompok Belajar

- 10 -
e. Panduan Penilaian Hasil Layanan Bimbingan dan Konseling
f. Panduan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah.

Selain Panduan tersebut, disusun dan diterbitkan juga Seri Pemandu Pelaksana
Bimbingan dan Konseling di Sekolah (SPP-BKS) yaitu Buku I untuk BK di SD, Buku
II untuk BK di SMP, Buku III untuk BK di SMA, Buku IV untuk BK di SMK.

Pada tahun 1999 sepuluh IKIP Negeri mengkonversi diri menjadi Universitas dan
dua STKIP Negeri menjadi IKIP negeri dengan arah wider mandate (perluasan
mandat). Hal ini membawa angin segar bagi BK untuk memantapkan keberadaannya,
misalnya yang awalnya adalah jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan menjadi
jurusan Bimbingan dan Konseling. Selain itu diselenggarakan juga rintisan Pendidikan
Profesi Konselor (PPK) untuk menyiapkan calon penyandang gelar profesi BK, yaitu
konselor. Rintisan PPK ini diselenggarakan sejak tahun 1999 di Universitas Negeri
Padang (UNP). Bukan hanya itu, di perguruan tinggi (khususnya di 30 LPTK Negeri
IKIP dan FKIP Negeri) pelayanan bimbingan dan konseling dikemas dalam bentuk
program Student Support Service (3S) dan Career Planning Development (CPD).
Program ini dapat terlaksana dengan memberdayakan UPT BK (Unit Pelaksana Teknis
Bimbingan dan Konseling) di perguruan tinggi masing-masing.

Kilas Balik Layanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia pada Tahun


2000-an ABKIN hingga Permendikbud No. 111 Tahun 2014
Pada tanggal 15-17 Maret tahun 2001 diselenggarakan kongres IX IPBI di
Lampung. Salah satu keputusan kongres tersebut adalah digantinya nama organisasi
Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN). Pemunculan nama ini didasari terutama oleh
pemikiran bahwa organisasi Bimbingan dan Konseling harus tampil sebagai
organisasi profesi dengan nama jelas, eksplisit, serta mendapatkan pengakuan dan
kepercayaan publik. Implikasi dari perubahan nama ini tidak semata-mata pada aspek
legalitas melainkan pada aspek keilmuan, teknologi, dan seni serta layanan
profesional dari bimbingan dan konseling. Menindaklanjuti langkah profesionalisasi
ABKIN, Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Direktorat ini
membentuk sebuah tim (Bapak Prayitno, Mungin Eddy, Ahman, dan Syamsudin)
untuk menyusun konsep tentang standar profesionalisasi profesi konseling yang

- 11 -
didalamnya tercakup pengertian, tujuan, visi, misis, standar kompetensi dan
pendidikan, kode etik, sertifikasi, dan kreditasi tenaga dan lembaga pendidikan BK.
Selanjutnya disusunlah kompetensi guru pembimbing oleh Direktorat SLTP Dirjen
Dikdasmen pada tahun yang sama. Direktorat ini membentuk tim (Bapak Prayitno,
Sunaryo Kartadinata, Mungin Eddy, Ahman, dan Agus Mulyadi) yang bertugas untuk
menyusun kompetensi guru pembimbing beserta bahan-bahan penunjangnya yang
kemudian dijadikan materi pelatihan guru pembimbing (khususnya di SLTP) di
seluruh Indonesia.
Pada tahun 2001 program rintisan PPK menghasilkan lima orang konselor yang
semuanya menjadi dosen pada jurusan Bimbingan dan Konseling di UNP. Dosen yang
bergelar konselor data menerima mahasiswa secara regular dan diharapkan dapat
membina konselor yang dapat memenuhi kriteria profesi internasional. Lulusan PPK
sedang diperolehkan izin praktek pribadi melalui pengurus besar ABKIN. Sementara
itu perkembangan lainnya yaitu, Majalah Suara Pembimbing berganti nama menjadi
Jurnal Bimbingan dan Konseling sebagai terbitan resmi ABKIN. Berkaitan dengan
berlakunya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), disusunlah panduan penyusunan
panduan BK di sekolah meliputi panduan SD/MI, SMP/MTS, SMA/MAN/SMK.
Pada tahun 2003, berlaku Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa konselor merupakan salah
satu jenis tenaga pendidik seagaimana juga guru, dosen, dan tenaga pendidik lainnya.
Pada tahun yang sama dikeluarkan pula Naskah Dasar Standardisasi Profesi
Konseling (DSPK) oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan
Ketenagaan Perguruan Tinggi. Naskah ini kemudian disosialisasikan ke seluruh
Indonesia yang diselenggarakan di lima tempat yaitu Padang, Samarinda, Makasar,
Semarang, dan Surabaya. Selanjutnya diadakan pula Konvensi Nasional di Bandung

B. Perlunya Organisasi Bimbingan dan Konseling

Organisasi berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat[1].
Organisasi adalah wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang
sebelumnya tidak dapat di capai oleh individu secara sendiri-sendiri. Organisasi
merupakan suatu unit terkoordinasi yang terdiri setidaknya dua orang, berfungsi mencapai
satu sasaran tertentu atau serangkain sasaran. Sebagaimana fungsi organisasi sebagai
media menyatukan persepsi dan tujuan bersama yang hendak dicapai, kehadiran organisasi

- 12 -
profesi, khususnya di bidang bimbingan dan konseling di lingkungan lembaga pendidikan
menjadi sangat penting. Hal itu karena kegiatan program bimbingan dan konseling berarti
suatu bentuk kegiatan yang mengatur kerja, prosedur kerja, dan pola kerja atau mekanisme
kerja kegiatan bimbingan dan konseling. Kegiatan bimbingan ini terfokuskan pada
pelayanan yang diberikan kepada para siswa dan rekan tenaga pendidik serta orangtua
siswa, dan evaluasi program bimbingan

Kebutuhan terhadap organisasi bimbingan dan konseling terlihat dari adanya


kepentingan di tingkat sekolah hingga tingkat yang lebih luas lagi. Dalam wadah
organisasi, tenaga pembimbing bekerja berdasarkan suatu program bimbingan yang
direncanakan dan dikelola dengan baik.

C. ANGGARAN DASAR/ ANGGARAN RUMAH TANGGA ABKIN (ASOSIASI


BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA)

ANGGARAN DASAR
ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA

BAB I
NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN
Pasal 1
(1) Organisasi ini bernama ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA
yang disingkat ABKIN, merupakan perubahan nama dari Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI).
(2) ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA didirikan untuk waktu
tidak ditentukan lamanya.
(3) Organisasi ini berkedudukan di tempat kedudukan (ketua umum) Pengurus Besar

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) berasaskan Pancasila.

- 13 -
Pasal 3
Tujuan ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA ialah :
(1) Aktif dalam upaya menyukseskan pembangunan nasional, khususnya di bidang
pendidikan dengan jalan memberikan sumbangan pemikiran dan menunjang pelaksanaan
program yang menjadi garis kebijakan pemerintah.
(2) Mengembangkan serta memajukan bimbingan dan konseling sebagai ilmu dan profesi
yang bermartabat dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
tinggi.
(3) Mempertinggi kesadaran, sikap dan kemampuan profesional konselor agar
berhasilguna dan berdayaguna dalam menjalankan tugasnya.

BAB III
SIFAT DAN FUNGSI
Pasal 4
ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA bersifat keilmuan,
profesional, dan mandiri.
Pasal 5
Fungsi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia yaitu :
(1) Sebagai wadah persatuan, pembinaan dan pengembangan anggota dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.
(2) Sebagai wadah peran serta profesional bimbingan dan konseling dalam usaha
mensukseskan pembangunan nasional.
(3) Sebagai sarana penyalur aspirasi anggota serta sarana komunikasi sosial timbal balik
antar organisasi kemasyarakatan dan pemerintah.

BAB IV
KODE ETIK BIMBINGAN DAN KONSELING
Pasal 6
(1) Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia memiliki dan menegakkan Kode Etik
Bimbingan dan Konseling Indonesia.
(2) Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia tercantum dalam naskah tersendiri
ditetapkan dalam kongres.

BAB V

- 14 -
ATRIBUT
Pasal 7
(1) Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia memiliki atribut organisasi yang terdiri
dari lambang, logo, panji, bendera, mars, dan hymne.
(2) Bentuk dan isi atribut, serta ketentuan penggunaannya diatur dalam peraturan
tersediri.

BAB VI
KEGIATAN DAN USAHA
Pasal 8
(1) Untuk dapat melaksanakan fungsi, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang meliputi:
a. Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi dalam bidang bimbingan dan
konseling
b. Peningkatan mutu layanan bimbingan dan konseling
c. Penegakan kode etik bimbingan dan konseling Indonesia
d. Pendidikan dan latihan keterampilan profesional
e. Pengembangan dan pembinaan organisasi
f. Pertemuan organisasi dan pertemuan-pertemuan ilmiah
g. Publikasi dan pengabdian masyarakat
h. Advokasi layanan profesi
(2) Kegiatan-kegiatan organisasi dituangkan dalam program kerja pengurus
Pasal 9
Untuk dapat mencapai tujuan organisasi, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
melakukan usaha-usaha, yaitu :
(1) Menyelenggarakan rencana dan program kerja organisasi yang mencakup isi Pasal 8.
(2) Memperkuat kedudukan dan pelayanan bimbingan dan konseling pada bidang
pendidikan dan pengembangan kemanusiaan pada umumnya.
(3) Membina hubungan dengan organisasi profesi dan lembagalembaga lain di dalam
negeri maupun di luar negeri.

BAB VII
SUSUNAN ORGANISASI

- 15 -
Pasal 10
Susunan organisasi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia meliputi seluruh
Wilayah Republik Indonesia yang terdiri atas : Organisasi Tingkat Nasional, Organisasi
Tingkat Propinsi, dan Organisasi Tingkat Kabupaten/Kota
Pasal 11
Di tingkat Nasional dibentuk PENGURUS BESAR yang merupakan badan pelaksana
organisasi tertinggi yang meliputi wilayah seluruh Indonesia.
Pasal 12
Di tingkat Propinsi dibentuk PENGURUS DAERAH yang merupakan badan pelaksana
organisasi tingkat propinsi, yaitu organisasi daerah yang meliputi wilayah propinsi.
Pasal 13
Di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk PENGURUS CABANG yang merupakan pelaksana
organisasi tingkat cabang, yaitu organisasi cabang yang meliputi wilayah kabupaten/kota.
Pasal 14
(1) Di tingkat Nasional dibentuk DEWAN AKREDITASI DAN LISENSI
(2) Di tingkat Nasional dan tingkat Propinsi dibentuk DEWAN PERTIMBANGAN
KODE ETIK BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA.
Pasal 15
(1) Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia dapat membentuk DIVISI-DIVISI
menurut cabang spesialisasi atau bidang tertentu dalam profesi bimbingan dan konseling
(2) Divisi-divisi sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) merupakan bagian integral
dari ASOSIASIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA.

BAB VIII
KEANGGOTAAN
Pasal 16
(1) Anggota Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia terdiri atas:
a. Anggota Biasa
b. Anggota Luar Biasa
c. Anggota Kehormatan
(2) Keanggotaan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia untuk Anggota Biasa
diperoleh melalui keanggotaan aktif yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan
jenis jabatan/pekerjaan.
(3) Hak, kewajiban, dan syarat-syarat anggota diatur di dalam Anggaran Rumah Tangga.

- 16 -
BAB IX
PERTEMUAN ORGANISASI
Pasal 17
(1) Pertemuan organisasi terdiri dari :
a. Kongres
b. Kongres Luar Biasa
c. Konvensi Nasional
d. Rapat Kerja Nasional
e. Konferensi Daerah
f. Rapat Kerja Daerah
g. Konferensi Cabang
h. Rapat Kerja Cabang
(2) Tugas dan wewenang pertemuan organisasi diatur dalam Anggaran Rumah Tangga

BAB X
KEKAYAAN ORGANISASI
Pasal 18
(1) Kekayaan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia terdiri atas:
a. Keuangan
b. Perlengkapan
(2) Keuangan organisasi diperoleh melalui iuran anggota, sumbangan yang tidak
mengikat dan usaha-usaha lain yang sah.
(3) Perlengkapan organisasi diperoleh dari penggunaan dana organisasi dan bantuan
pihak lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB XI
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 19
(1) Perubahan Anggaran Dasar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia adalah
wewenang Kongres.
(2) Kongres sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) adalah sah apabila dihadiri utusan
dari sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah pengurus Daerah yang telah terbentuk.

- 17 -
(3) Perubahan Anggaran Dasar adalah sah apabila disetujui oleh 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah peserta yang hadir dalam Kongres.

BAB XII
PEMBUBARAN ORGANISASI
Pasal 20
(1) Pembubaran organisasi diputuskan dalam Kongres yang khusus diadakan untuk itu
yang dihadiri utusan dari sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah Pengurus Daerah
yang telah terbentuk.
(2) Keputusan pembubaran harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah peserta yang hadir.
(3) Dalam hal organisasi dibubarkan, maka kekayaan organisasi dapat diserahkan kepada
badan/lembaga sosial.

Bab XIII
PENUTUP

Pasal 21
(1) Hal-hal yang belum ditetapkan dalam Anggaran Dasar ini, diatur dalam Anggaran
Rumah Tangga, atau peraturan-peraturan organisasi lainnya.
(2) Anggaran Dasar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia ini berlaku sejak
tanggal ditetapkan oleh Kongres.

ANGGARAN RUMAH TANGGA


ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA
(ABKIN)

BAB I
NAMA, WAKTU, DAN KEDUDUKAN
Pasal 1

- 18 -
(1) Nama organisasi ini yaitu: ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING
INDONESIA disingkat ABKIN, hanya dapat dipakai dalam hubungan dengan usaha atau
kegiatan organisasi oleh Pengurus ABKIN tingkat Nasional, Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
(2) Organisasi ini didirikan pertama kali di Malang dengan nama IPBI yang selanjutnya
berubah menjadi ABKIN berdasarkan hasil Kongres Nasional di Bandar Lampung.
(3) Organisasi ini berkedudukan di tempat kedudukan Ketua Umum Pengurus Besar.

BAB II
KODE ETIK DAN ATRIBUT
Pasal 2
(1) Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan
pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan, dan diamankan oleh
setiap anggota Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
(2) Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia wajib dipatuhi dan diamalkan oleh
pengurus dan anggota organisasi tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 3
(1) Lambang, logo, panji, bendera, mars, dan hymne ABKIN dipergunakan oleh Pengurus
Besar, Pengurus Daerah, Pengurus Cabang dalam acara-acara resmi ABKIN.
(2) Bendera ABKIN memuat lambang ABKIN.

BAB III
KEANGGOTAAN
Pasal 4
ANGGOTA BIASA ialah :
(1) Mereka yang mempunyai ijazah di bidang bimbingan dan konseling dan menjalankan
tugas/jabatan sebagai guru pembimbing di sekolah, dosen pembimbing pada lembaga
pendidikan tinggi, konselor, atau sebagai tenaga yang menyiapkan guru
pembimbing/konselor.
(2) Mereka yang mempunyai ijazah di bidang bimbingan dan konseling dan menjalankan
tugas/jabatan yang masih berhubungan dengan dunia pendidikan dan/serta bimbingan dan
konseling di luar sekolah.

- 19 -
(3) Mereka yang memilki ijazah bidang bimbingan dan konseling tetapi tidak bekerja di
bidang pendidikan dan/atau tidak ada kaitannya dengan bimbingan dan konseling.
Pasal 5
ANGGOTA LUAR BIASA ialah :
(1) Mereka yang masih mengikuti pendidikan sebagai mahasiswa program studi
bimbingan dan konseling
(2) Mereka yang memiliki ijazah bidang profesi lain yang langsung menunjang kegiatan
bimbingan dan konseling, antara lain: psikolog, psikiater, pekerjaan sosial.
(3) Mereka yang mempunyai ijazah di luar bidang bimbingan dan konseling tetapi
menjalankan tugas/jabatan sebagai guru pembimbing di sekolah, dosen pembimbing pada
lembaga pendidikan tinggi paling sedikit 3 tahun.
Pasal 6
ANGGOTA KEHORMATAN ialah :
(1) Mereka yang karena keahliannya, sifat pekerjaannya, atau kedudukannya oleh
organisasi dipandang dapat memberikan partisipasi bagi perkembangan dan kemajuan
ABKIN.
(2) Mereka yang karena minat dan kegiatannya telah berjasa terhadap perkembangan ilmu
dan profesi bimbingan dan konseling di tanah air.
Pasal 7
Prosedur untuk menjadi anggota yaitu :
(1) Keanggotaan Biasa didasarkan pada keanggotaan aktif, artinya setiap anggota
diharuskan mendaftarkan diri dan memperbaharui keanggotaannya, setiap dua tahun pada
Pengurus Cabang setempat.
(2) Keanggotaan Luar Biasa didasarkan pada keanggotaan aktif, artinya setiap anggota
diharuskan mendaftarkan diri dan memperbaharui keanggotaannya, setiap dua tahun pada
Pengurus Cabang setempat dan devisi
(3) Pengangkatan Anggota Kehormatan ditetapkan dengan surat keputusan Pengurus
Besar ABKIN.
Pasal 8
(1) Pengurus Cabang ABKIN berkewajiban mencatat keanggotaan ABKIN ke dalam
Daftar Registrasi Anggota dengan mencatumkan Kode Propinsi dan Tahun.
(2) Apabila dalam suatu kabupaten/kota belum terbentuk Pengurus Cabang ABKIN,
maka registrasi anggota dilakukan pada Pengurus Daerah.

- 20 -
BAB IV
KEWAJIBAN, HAK DAN SANKSI ANGGOTA
Pasal 9
Setiap anggota ABKIN berkewajiban :
a. menjunjung tinggi Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia,
b. menaati Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ABKIN, serta peraturan dan
ketentuan organisasi lainnya,
c. melaksanakan disiplin organisasi,
d. memelihara dan mejaga nama baik dan kehormatan organisasi,
e. melaksanakan program, tugas dan misi organisFasi,
f. membayar iuran anggota.
Pasal 10
Hak Anggota Biasa yaitu :
a. Hak Pilih ialah hak untuk memilih dan dipilih menjadi pengurus organisasi.
b. Hak Suara ialah hak untuk memberikan suara waktu pemungutan suara untuk
mengambil suatu keputusan.
c. Hak Bicara ialah hak untuk mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan.
d. Hak Pembelaan ialah hak untuk membela diri sendiri terhadap organisasi dan/atau hak
pembelaan yang diberikan oleh organisasi atas dirinya yang berkaitan dengan tugasnya.
e. Hak memperolah kesejahteraan dan perlindungan hukum dalam pelaksaan tugasnya.
Pasal 11
Hak Anggota Luar Biasa, yaitu :
a. Hak Suara
b. Hak Bicara
c. Hak Pembelaan
d. Hak memperoleh kesejahteraan dan perlindungan hukum dalam pelaksanaan tugas.
Pasal 12
Anggota Kehormatan mempunyai hak bicara dan hak pembelaan.
Pasal 13
Sanksi terhadap segala bentuk pelanggaran yang terkait dengan kewajiban dan hak
keanggotaan diatur dalam kode etik dan peraturan tersendiri.

BAB V
KEPENGURUSAN

- 21 -
Pasal 14
(1) Pengurus Besar adalah Badan pelaksana hasil kongres dan organisasi tertinggi di
tingkat Nasional.
(2) Susunan Pengurus Besar terdiri atas :
a. Ketua Umum
b. Ketua I
c. Ketua II
d. Ketua III
e. Sekretaris Jenderal
f. Sekretaris I
g. Sekretaris II
h. Sekretaris III
i. Bendahara Umum
j. Bendahara I
k. Bendahara II
(3) Pengurus Besar membentuk Departemen-Departemen sesuai dengan kebutuhan.
(4) Pengurus Besar dipilih dan ditetapkan oleh Kongres untuk masa jabatan 4 (empat)
tahun dan boleh dipilih kembali untuk kepengurusan masa berikutnya. Khusus Jabatan
Ketua Umum maksimal dua periode jabatan.
Pasal 15
(1) Susunan Pengurus Daerah secara lengkap terdiri dari:
a. Ketua
b. Ketua I
c. Ketua II
d. Sekretaris
e. Wakil Sekretaris I
f. Wakil Sekretaris II
g. Bendahara
h. Wakil Bendahara
(2) Pengurus Daerah dapat membentuk bidang-bidang sesuai kebutuhan.
(3) Pengurus Daerah dipilih dan ditetapkan oleh Konferensi Daerah untuk masa jabatan 4
(empat) tahun dan boleh dipilih kembali untuk periode kepengurusan berikutnya. Khusus
Jabatan Ketua Pengurus Daerah maksimal dua periode jabatan.

- 22 -
Pasal 16
(1) PENGURUS CABANG adalah badan pelaksana organisasi di tingkat
kabupaten/kotamadya yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.
(2) Susunan Pengurus Cabang secara lengkap terdiri atas:
a. Ketua
b. Wakil Ketua
c. Sekretaris
d. Wakil Sekretaris
e. Bendahara
f. Wakil Bendahara
(3) Pengurus Cabang dapat membentuk Seksi-Seksi yang masingmasing membawahi
urusan kegiatan tertentu.
(4) Pengurus Cabang dipilih dan ditetapkan oleh Konferensi Cabang untuk masa jabatan
4 (empat) tahun dan boleh dipilih kembali untuk periode kepengurusan berikutnya.
Khusus Jabatan Ketua Pengurus Cabang maksimal dua periode jabatan.

BAB VI
TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PENGURUS
Pasal 17
(1) TUGAS PENGURUS BESAR adalah :
a. Menjabarkan Garis-Garis Besar Program Nasional ABKIN hasil keputusan Kongres ke
dalam Rencana Program Kerja Pengurus Besar untuk satu periode kepengurusan yang
berjalan, dan melaksanakannya.
b. Melaksanakan keputusan-keputusan Kongres, Konvensi Nasional dan Rapat Kerja
Nasional.
c. Menyiapkan penyelenggaraan Kongres, Konvensi Nasional dan Rapat Kerja Nasional.
d. Melakukan pembinaan terhadap Pengurus daerah. Menggali sumber dana yang sah
untuk penyelenggaraan kegiatan organisasi di tingkat nasional.
(2) Pengurus Besar bertanggungjawab kepada Kongres tentang kebijaksanaan umum
organisasi, pelaksanaan Garis-Garis Besar Program Nasional, pelaksa-naan ketetapan
Kongres lainya dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja organisasi tingkat
nasional.
(3) WEWENANG Pengurus Besar adalah :

- 23 -
a. Menentukan kebijaksanaan organisasi tingkat nasional sesuai Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Kongres, hasil Konvensi Nasional, dan
keputusan rapat Kerja Nasional
b. Mengesahkan komposisi dan personalia Pengurus Daerah ABKIN.
c. Membentuk badan-badan khusus yang bertugas melaksanakan akreditasi, sertivikasi,
dan lisensi.
d. Memberikan rekomendasi/ijin praktik pelayan bimbingan dan konseling sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
e. Memberikan teguran kepada Pengurus daerah yang dianggap telah melanggar
ketentuan-ketentuan organisasi.
Pasal 18
(1) TUGAS PENGURUS DAERAH adalah :
a. Menjabarkan Garis-Garis Besar Program Kerja Daerah ABKIN hasil keputusan
Konferensi Daerah ke dalam Rencana Program Kerja Pengurus Daerah untuk satu periode
kepengurusan yang berjalan dan melaksanakannya.
b. Melaksanakan keputusan-keputusan Kongres, Konferensi Daerah, dan Rapat Kerja
Daerah.
c. Menyiapkan penyelenggaraan Konferensi Daerah dan Rapat Kerja Daerah.
d. Melakukan pendaftaran dan pembinaan terhadap seluruh anggota yang ada di
wilayahnya.
e. Menggali sumber dana yang sah untuk penyelenggaraan kegiatan organisasi di tingkat
Daerah
f. Melaporkan segenap usaha dan kegiatan Pengurus Daerah kepada Pengurus Besar.
(2) Pengurus Daerah bertanggungjawab kepeda Konferensi Daerah tentang pelaksanaan
Garis-Garis Besar Program Daerah, pelaksanaan ketetapan Konferensi Daerah lainnya
dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja organisasi tingkat daerah.
(3) WEWENANG PENGURUS DAERAH adalah :
a. Menentukan kebijaksanaan organisasi tingkat propinsi sesuai dengan Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga, keputusan Konferensi Daerah dan keputusan Rapat
Kerja Daerah.
b. Mengesahkan komposisi dan personalia Pengurus Cabang.
c. Memberikan teguran kepada Pengurus cabang yang dianggap telah melanggar
ketentuan-ketentuan organisasi.
Pasal 19

- 24 -
(2) TUGAS PENGURUS CABANG adalah :
a. Menjabarkan Garis-Garis Besar Program Cabang ABKIN hasil keputusan Konferensi
Cabang ke dalam Rencana Program Kerja Pengurus Cabang untuk satu periode
kepengurusan yang berjalan dan melaksanakannya.
b. Melaksanakan keputusan-keputusan Kongres, Konferensi Daerah, Rapat Kerja Daerah,
Konferensi Cabang dan Rapat Kerja cabang.
c. Menyiapkan penyelenggaraan Konferensi Cabang dan Rapat Kerja Cabang
d. Melakukan pendaftaran dan pembinaan terhadap seluruh anggota yang ada di
wilayahnya.
e. Menggali sumber dana yang sah untuk penyelenggaraan kegiatan organisasi di tingkat
Cabang.
f. Melaporkan segenap usaha dan kegiatan Pengurus Cabang kepada Pengurus Daerah.
(3) Pengurus Cabang bertannggungjawan kepada Rapat Anggota Cabang tentang
pelaksanaan Garis-Garis Besar Program Cabang, pelaksanaan ketetapan Konferensi
Daerah dan Rapat Anggota Cabang lainnya, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja organisasi tingkat Cabang.
(4) WEWENANG PENGURUS CABANG adalah :
a. Menentukan kebijaksanaan organisasi tingkat kabupaten/kota sesuai dengan Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Kongres, Keputusan Konferensi Daerah dan
Keputusan Rapat Kerja Daerah, dan Keputusan rapat Anggota Cabang.
b. Memberikan teguran kepada anggota ABKIN yang dengan jelas telah melanggar Kode
Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia dan ketentuan-ketentuan organisasi yang
lainnya.

BAB VII
PEMILIHAN DAN PENGANGKATAN PENGURUS
Pasal 20
(1) Pemilihan dan pengangkatan PENGURUS BESAR dilakukan oleh Kongres setiap 4
(empat) tahun sekali.
(2) Pemimpin sidang adalah Presidium Kongres yang dipilih melalui musyawarah
mufakat.
(3) Anggota Presidium sebanyak 7 orang yang mencermikan keterwakilan wilayah.
(4) Kongres menetapkan kriteria dan syarat bagi calon Ketua Umum Pengurus Besar.

- 25 -
(5) Pemilihan Pengurus Besar secara lengkap sebagaimana dimaksud oleh ayat (1)
dilakukan oleh Tim Formatur dengan mandat penuh yang beranggotakan sebanyak 9
(sembilan) orang terdiri dari : 1 orang ketua, 1 orang sekretaris dan 7 orang anggota.
(6) Ketua Umum dipilih secara langsung oleh peserta kongres, dan sekaligus ditetapkan
sebagai Ketua Tim Formatur.
(7) Tim Formatur sebagaimana dimaksud oleh ayat (3), yang komposisinya
mencerminkan perwakilan daerah dan pusat dipilih oleh Kongres melalui musyawarah
mufakat.
(8) Pengurus Besar yang terpilih ditetapkan dan dilantik oleh Presidium.
(9) Dalam hal terjadinya kekosongan anggota Pengurus Besar, maka pengisisn jabatan
antar waktu dilakukan oleh Rapat Kerja Nasional yang kemudian dilaporkan kepada
Kongres berikutnya.
(10) Mekanisme penggantian personalia PB antar waktu ditetapkan oleh Rapat Kerja
Nasional.
Pasal 21
(1) Pemilihan dan Pengangkatan PENGURUS DAERAH dilakukan oleh KONFERENSI
DAERAH setiap 4 (empat) tahun sekali.
(2) Pada saat Pengurus Daerah demisioner, yang memimpin sidang adalah Presidium
Konferensi Daerah yang dipilih oleh Konferensi Daerah melalui musyawarah mufakat.
(3 Konferensi Daerah menetapkan kriteria bagi calon ketua Pengurus Daerah.
(4) Pemilihan Pengurus daerah secara lengkap sebagaimana dimaksud oleh ayat (1)
dilakukan oleh Tim Formatur dengan mandat penuh yang beranggotakan sebanyak 7
(tujuh) orang terdiri dari : 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, dan 5 orang anggota.
(5) Ketua Pengurus Daerah dipilih secara langsung oleh peserta koferensi daerah, dan
sekaligus ditetapkan sebagai Ketua Tim Formatur
(6) Tim Formatur sebagaimana dimaksud oleh ayat (3), yang komposisinya
mencerminkan perwakilan cabang dan daerah, dipilih oleh Konferensi Daerah melalui
musyawarah mufakat.
(7) Pengurus Daerah yang terpilih disahkan dan dilantik oleh Pengurus Besar.
(8) Dalam hal terjadinya kekosongan anggota Pengurus Daerah, maka pengisisn jabatan
antar waktu dilakukan oleh Rapat Kerja Daerah yang kemudian dilaporkan kepada
Konferensi daerah berikutnya.
Pasal 22

- 26 -
(1) Pemilihan dan pengangkatan PENGURUS CABANG dilakukan oleh Konferensi
Cabang setiap 4 (empat) tahun sekali.
(2) Pada saat Pengurus Cabang demisioner, yang memimpin sidang adalah Presidium
Anggota Cabang yang dipilih oleh Konferensi Cabang melalui musyawarah mufakat.
(3) Konferensi Cabang menetapkan kriteria bagi calon ketua pengurus Cabang.
(4) Pemilihan Pengurus Cabang secara lengkap sebagaimana dimaksud oleh ayat (1)
dilakukan oleh Tim Formatur dengan mandat penuh yang beranggotakan sebanyak 5
(lima) orang terdiri dari : 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, dan 3 orang anggota.
(5) Ketua Pengurus Cabang dipilih secara langsung oleh peserta Konferensi Cabang, dan
sekaligus ditetapkan sebagai Ketua Tim Formatur
(6) Tim Formatur sebagaimana dimaksud oleh ayat (3), yang komposisinya
mencerminkan perwakilan peserta Konferensi Cabang, dipilih oleh Konferensi Cabang
melalui musyawarah mufakat.
(7) Pengurus Cabang yang terpilih disahkan dan dilantik oleh Pengurus Daerah setempat.
(8) Dalam hal terjadinya kekosongan anggota Pengurus Cabang, maka pengisian jabatan
antar waktu dilakukan oleh Rapat Kerja Cabang yang kemudian dilaporkan kepada
Konferensi Cabang Berikutnya.

BAB VIII
DIVISI-DIVISI
Pasal 23
(1) Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia dapat membentuk DIVISI-DIVISI
menurut cabang spesialisasi dan/atau bidang profesi bimbingan dan konseling.
(2) Divisi-divisi sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan bagian integral dari
organisasi ABKIN di tingkat nasional, dan propinsi.
(3) Divisi dibentuk atas dasar kebutuhan pengembangan keilmuan/profesi.
(4) Pembentukan divisi diusulkan dan ditetapkan dalam kongres.
(5) Divisi-divisi yang telah terbentuk adalah :
a. Divisi Ikatan Pendidikan dan Supervisi Konseling (IPSIKON)
b. Divisi Ikatan Konseling Industri dan Organisasi (IKIO)
c. Divisi Ikatan Bimbingan dan Konseling Sekolah (IBKS)
d. Divisi Ikatan Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi (IPKOPTI)
e. Divisi Ikatan Instrumentasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (IIBKIN)
f. Divisi Ikatan Konselor Indonesia (IKI)

- 27 -
(6) Divisi-divisi dapat menetapkan tujuan, fungsi, tugas dan rencana kerja sendiri. yang
tidak bertentangan dengan AD/ART dan hasil Kongres ABKIN serta peraturan/ketentuan
organisasi ABKIN lainnya.
(7) Divisi-divisi berkewajiban melaporkan setiap program dan kegiatan yang dilakukan
masing-masing kepada Pengurus Besar.
Pasal 24
(1) Masing-masing divisi dapat menyusun Aturan Dasar Divisi (ADD) dan Aturan
Rumah Tangga Divisi (ARTD) tersendiri yang tidak bertentangan dengan AD/ART
ABKIN.
(2) Masing–masing divisi menyusun kepengurusan tingkat nasional yang disebut
Pengurus Pusat, dan tingkat Propinsi disebut Pengurus Daerah.
(3) Hubungan antara pengurus ABKIN dan pengurus divisi pada tingkat yang sejajar
bersifat kolegial saling menunjang/melengkapi, dan pengembangan.
(4) Pengurus divisi untuk masing-masing tingkat dipilih dalam pertemuan sesuai dengan
tingkatnya dengan dihadiri oleh Pengurus ABKIN pada tingkat yang bersangkutan. Hasil
pemilihan pengurus disahkan dan dilantik oleh Pengurus ABKIN pada tingkat yang
dimaksud.

BAB IX
DEWAN PEMBINA
Pasal 25
(1) Pengurus ABKIN di semua tingkat organisasi memiliki DEWAN PEMBINA
organisasi yang diangkat, disahkan, dan berhenti bersama-sama dengan masa bakti
pengurus yang bersangkutan.
(2) Dewan Pembina sebagaimana dimaksud oleh ayat (1) terdiri dari unsur pejabat
Depdikbud, tokoh-tokoh pendidik, tokoh masyarakat, dan/atau para ahli bimbingan dan
konseling.
(3) Permintaan untuk duduk dalam Dewan Pembina dilakukan oleh Pengurus ABKIN
pada masing-masing tingkat yang bersangkutan.
Pasal 26
Tugas DEWAN PEMBINA adalah :
(1) Membina dan membimbing secara umum Pengurus ABKIN.
(2) Memberikan pertimbangan/nasehat dan saran-saran kepada Pengurus ABKIN baik
diminta maupun tidak.

- 28 -
(3) Mendorong, membantu, dan memberikan kemudahan bagi pengurus ABKIN dalam
melaksanakan keputusan-keputusan dan program kerja organisasi.

BAB X
DEWAN PERTIMBANGAN KODE ETIK
BIMBINGAN DAN KONSELING
Pasal 27
(1) Pada organisasi tingkat nasional dan tingkat propinsi dibentuk DEWAN
PERTIMBANGAN KODE ETIK BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA.
(2) Dewan Pertimbangan Kode etik Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagaimana
yang dimaksud oleh ayat (1) mempunyai fungsi pokok :
a. Menegakkan penghayatan dan pengalaman Kode Etik Bimbingan dan Konseling
Indonesia.
b. Memberikan pertimbangan kepada Pengurus Besar atau Pengurus daerah ABKIN atau
adanya perbuatan melanggar Kode Etik Bimbingan dan Konseling oleh anggota setelah
mengadakan penyelidikan yang seksama dan bertanggung jawab.
c. Bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara berkaitan dengan profesi
bimbingan dan konseling.
Pasal 28
(1) Susunan Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia baik
ditingkat Pengurus Besar, maupun Pengurus Daerah sebanyak-banyaknya terdiri : 1 orang
ketua, 1 orang Sekretaris, dan 3 orang anggota.
(2) Personalia Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia
dijabat oleh para ahli bimbingan dan konseling, dan khusus untuk Ketua dan Sekretaris
harus dijabat oleh mereka yang mempunyai kualifikasi pendidikan minimal S2
(Master/magister).
(3) Apabila di suatu propinsi tidak ada tenaga yang memenuhi ketentuan ayat (2), maka
Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia dapat dirangkap
oleh Dewan Pertimbangan di daerah lain yang terdekat.
(4) Permintaan untuk duduk dalam Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan
Konseling Indonesia dilakukan oleh Pengurus ABKIN pada masing-masing tingkat
bersangkutan.

BAB XI

- 29 -
DEWAN AKREDITASI DAN LISENSI
Pasal 29
(1) Pada organisasi tingkat nasional dibentuk DEWAN AKREDITASI DAN LISENSI
(2) Dewan AKREDITASI DAN LISENSI sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1)
mempunyai fungsi pokok :
a. Menegakkan penghayatan dan pengalaman Kode Etik Bimbingan dan Konseling
Indonesia.
b. Memberikan pertimbangan kepada Pengurus Besar atau Pengurus daerah ABKIN atau
adanya perbuatan melanggar Kode Etik Bimbingan dan Konseling oleh anggota setelah
mengadakan penyelidikan yang seksama dan bertanggung jawab.
c. Bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara berkaitan dengan profesi
bimbingan dan konseling.
Pasal 30
(1) Susunan Dewan AKREDITASI DAN LISENSI sebanyak-banyaknya terdiri : 1 orang
ketua, 1 orang Sekretaris, dan 3 orang anggota.
(2) Personalia AKREDITASI DAN LISENSI dijabat oleh para ahli bimbingan dan
konseling, dan khusus untuk Ketua dan Sekretaris harus dijabat oleh mereka yang
mempunyai kualifikasi pendidikan minimal S2 (Master/magister).
(3) Permintaan untuk duduk dalam AKREDITASI DAN LISENSI dilakukan oleh
Pengurus ABKIN

BAB XII
PERTEMUAN, RAPAT, DAN KEGIATAN ORGANISASI
Pasal 31
Pertemuan dan Rapat-Rapat Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
terdiri dari :
a. Kongres
b. Kongres Luar Biasa
c. Konvensi Nasional
d. Rapat Kerja Nasional
e. Konferensi Daerah
f. Rapat Kerja Daerah
g. Rapat Anggota Cabang
h. Rapat Kerja Cabang

- 30 -
Pasal 32
(1) KONGRES adalah rapat organisasi pemegang kedaulatan organisasi tertinggi yang
diselenggarakan dan dipimpin oleh Pengurus Besar dalam 4 (empat) tahun sekali.
(2) Kongres Nasional sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) tersebut dihadiri oleh :
a. Pengurus Besar
b. Unsur Pengurus Daerah
c. Unsur Pengurus Cabang
d. Unsur Dewan Pembina
e. Unsur Dewan Pertimbangan Kode etik Bimbingan dan Konseling Indonesia
f. Unsur Divisi-divisi
(3) Kongres mempunyai wewenang untuk :
a. Menetapkan dan/atau mengubah AD/ART ABKIN
b. Menetapkan Garis-Garis Besar Program Nasional
c. Manilai Pertanggungjawaban Pengurus Besar
d. Memilih, menetapkan, dan melantik Pengurus Besar ABKIN yang baru
e. Menetapkan keputusan-keputusan lainnya yang dianggap perlu.
(4) Acara penyelenggaraan Kongres paling tidak memuat tentang :
a. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Besar ABKIN yang meliputi : Pelaksanaan
program organisasi selama satu periode; kebijaksanaan keuangan, inventaris dan
kekayaan organisasi; kegiatan-kegiatan divisi.
b. Pandangan umum masing-masing Pengurus daerah terhadap isi laporan
pertanggungjawaban pengurus besar ABKIN.
c. Penetapan GARIS-GARIS BESAR PROGRAM NASIONAL ABKIN.
d. Pemilihan, penetapan dan pelantikan Pengurus Besar ABKIN yang baru.
(5) Peserta, acara dan tata laksana Kongres Nasional diatur oleh Pengurus Besar.
Pasal 33
(1) KONGRES LUAR BIASA, adalah kongres yang diadakan sewaktuwaktu berhubung
keadaan yang bersifat luar biasa sebelum sampai waktu pelaksanaan Kongres empat
tahunan.
(2) Kongres Luar Biasa sebagaimana dimaksud ayat (1) mempunyai wewenang,
diselenggarakan dihadiri oleh peserta, dan acara yang sama dengan Kongres, dengan
ketentuan :
a. Diadakan oleh Pengurus Besar atau permintaan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah Pengurus Daerah yang ada.

- 31 -
b. Pihak pengundang Kongres Luar Biasa wajib memberikan pertanggungjawaban atas
diadakannya Kongres Luar Biasa itu.
Pasal 34
(1) KONVENSI NASIONAL ialah pertemuan organisasi yang bersifat keilmuan, yang
diselenggarakan dan dipimpin oleh Pengurus Besar paling sedikit 2 (dua) tahun sekali.
(2) Konvensi Nasional sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) membahas tentang
masalah-masalah keilmuan dan teknologi di bidang kependidikan pada umumnya, serta
bidang bimbingan dan konseling serta penyelenggaraannya di lapangan pada khususnya.
(3) Konvensi Nasional dihadiri oleh anggota ABKIN yang telah memenuhi kewajiban
dengan rekomendasi dari Pengurus daerah masing-masing.
Pasal 35
(1) RAPAT KERJA NASIONAL merupakan rapat organisasi yang diadakan oleh
Pengurus Besar paling sedikit sekali dalam dua tahun.
(2) Rapat Kerja Nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) bertugas menjabarkan
Garis-Garis Besar Program Nasional hasil Kongres Nasional ke dalam Rencana Program
Kerja Pengurus Besar dan berwenang mengadakan penilaian terhadapn pelaksanaannya
serta menetapkan pola pelaksanaan selanjutnya.
(3) Rapat Kerja Nasional dihadiri oleh :
a. Pengurus Besar
b. Ketua-Ketua Pengurus Daerah
c. Ketua-Ketua Pengurus Divisi tingkat pusat dan daerah
d.Ketua-Ketua Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia
tingkat pusat dan daerah.
Pasal 36
(1) KONFERENSI DAERAH adalah rapat organisasi pemegang kekuasaan organisasi
tertinggi tingkat propinsi yang diselenggarakan dan dipimpin oleh Pengurus Daerah
setiap 4 (empat) tahun sekali.
(2) Konferensi daerah sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) dihadiri oleh :
a. Unsur Pengurus Besar
b. Pengurus Daerah
c. Unsur Pengurus Cabang
d. Unsur Divisi-divisi tingkat Propinsi
(3) Konferensi Daerah mempunyai wewenang untuk :
a. Menetapkan Garis-Garis Besar Program Kerja

- 32 -
b. Menilai pertanggungjawaban Pengurus Daerah
c. Memilih dan menetapkan Pengurus daerah secara lengkap
d. Menetapkan keputusan-keputusan lainnya yang dianggap perlu
(4) Acara Konferensi Daerah paling tidak memuat tentang :
a. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Daerah yang meliputi pelaksanaan program
organisasi selama satu peroide; kebijaksanaan keuangan, inventaris dan kekayaan
organisasi; kegiatan-kegiatan divisi.
b. Pandangan umum masing-masing Pengurus Cabang terhadap isi laporan
pertanggungjawaban Pengurus Daerah.
c. Penetapan GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGURUS DAERAH ABKIN.
d. Pemilihan, penetapan dan pelantikan Pengurus Daerah yang baru.
(5) Peserta, acara dan tata laksana Koferensi Daerah diatur oleh Pengurus Daerah.
Pasal 37
(1) RAPAT KERJA DAERAH merupakan rapat organisasi yang diadakan oleh Pengurus
Daerah paling sedikit sekali dalam dua tahun.
(2) Rapat Kerja Daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) bertugas menjabarkan
Garis-Garis Besar Program Daerah hasil Konferensi Daerah ke dalam Rencana Program
Kerja Pengurus Daerah, dan berwenang mengadakan penilaian terhadap pelaksanaannya
serta menetapkan pola pelaksanaan selanjutnya.
(3) Rapat Kerja daerah dihadiri oleh :
a. Pengurus Daerah
b. Ketua dan Sekretaris masing-masing Pengurus Cabang
c. Ketua dan Sekretaris Divisi tingkat daerah
d. Ketua dan Sekretaris Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling
Indonesia tingkat daerah
Pasal 38
(1) KONFERENSI CABANG adalah rapat organisasi pemegang kekuasaan organisasi
tertinggi di tingkat kabupaten/kota yang diselenggarakan dan dipimpin oleh Pengurus
Cabang setiap 4 (empat) tahun sekali.
(2) Konferensi Cabang sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) dihadiri oleh :
a. Unsur Pengurus Daerah
b. Pengurus Cabang
c. Anggota ABKIN di tingkat cabang
d. Unsur Dewan Pembina tingkat cabang

- 33 -
(3) Konferensi Cabang mempunyai wewenang untuk :
a. Menetapkan Garis-Garis Besar Program Cabang
b. Menilai pertanggungjawaban Pengurus Cabang
c. Memilih, menetapkan dan pelantikan Pengurus Cabang
(4) Acara Konferensi Cabang paling tidak memuat tentang :
a. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Cabang yang meliputi pelaksanaan program
organisasi selama satu periode; kebijaksanaan keuangan, inventaris dan kekayaan
organisasi; kegiatan-kegiatan divisi di tingkat cabang.
b. Pandangan Umum perwakilan anggota ABKIN Cabang terhadap isi laporan
pertanggungjawaban Pengurus Cabang.
c. Penetapan GARIS-GARIS BESAR PROGRAM CABANG
d. Pemilihan, penetapan dan pelantikan Pengurus Cabang yang baru.
(5) Peserta, acara dan tata laksana Konferensi Cabang diatur oleh Pengurus Cabang
Pasal 39
(1) RAPAT KERJA CABANG merupakan rapat organisasi yang diadakan oleh Pengurus
Cabang paling sedikit sekali dalam dua tahun.
(2) Rapat Kerja Cabang sebagaimana dimaksud ayat (1) bertugas menjabarkan
Garis-Garis Besar Prigram Kerja Pengurus Cabang, dan pelaksanaannya, serta
menetapkan pola pelaksanaan selanjutnya.
(3) Rapat Kerja Cabang dihadiri oleh Pengurus Cabang
Pasal 40
(1) Pertemuan dan rapat-rapat organisasi divisi dalam ABKIN, baik pada tingkat nasional,
daerah, maupun cabang, sedapat-dapatnya diselenggarakan secara bersamaan dan terpadu
dengan pertemuan dan rapat-rapat organisasi ABKIN.
(2) Untuk terselenggaranya pertemuan atau rapat bersama dan terpadu sebagaimana
tersebut pada pasal (1) Pengurus ABKIN bekerja sama sepenuhnya dengan pengurus
divisi yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Selain mengadakan pertemuan dan rapat-rapat ABKIN di semua tingkat organisasi
melakukan kegiatan yang meliputi:
a. Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi dalam bidang bimbingan dan
konseling
b. Peningkatan mutu layanan bimbingan dan konseling
c. Penegakan kode etik bimbingan dan konseling Indonesia

- 34 -
d. Pendidikan dan latihan keterampilan profesional
e. Pengembangan dan pembinaan organisasi
f. Pertemuan organisasi dan pertemuan-pertemuan ilmiah
g. Publikasi dan pengabdian masyarakat
h. Advokasi layanan profesi
(2) Kegiatan tersebut pada ayat (1) dapat berupa seminar, simposium, lokakarya, forum
diskusi, forum dialog, sarasehan, temu karya, pelatihan kerja sama dengan pihak-pihak
yang terkait.
(3) Penerbitan organisasi dapat berupa majalah, buletin, jurnal, brosur, dan sebagainya.

BAB XIII
HAK BICARA DAN HAK SUARA
Pasal 42
(1) Hak bicara peserta pertemuan dan rapat-rapat organisasi pada dasarnya menjadi hak
perorangan yang penggunaannya ditetapkan dalam peraturan organisasi.
(2) Hak suara yang dipergunakan dalam pengambilan keputusan hanya ada pada utusan
yang mendapatkan mandat untuk menghadiri pertemuan dan rapat-rapat organisasi yang
dimaksudkan.

BAB XIV
QUORUM DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 43
(1) Rapat organisasi adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari setengah jumlah suara
yang berhak hadir.
(2) Pengambilan keputusan pada dasarnya dilakukan secara musyawarah untuk mufakat
dan apabila hal ini tidak mungkin dilaksanakan maka keputusan diambil berdasarkan
suara terbanyak.
(3) Khusus untuk perubahan Anggaran Dasar :
a. Sekurang-kurangnya 2/3 (duapertiga) dari jumlah peserta yang berhak hadir dalam
pertemuan yang khusus diadakan untuk itu.
b. Keputusan adalah sah apabila diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
(duapertiga) dari jumlah peserta yang hadir.

BAB XV

- 35 -
KEUANGAN
Pasal 44
(1) Besarnya iuran anggota ditentukan dalam peraturan organisasi yang ditetapkan oleh
Pengurus Besar.
(2) Hal-hal yang menyangkut pemasukan dan pengeluaran keuangan dari dan untuk
organisasi wajib dipertanggungjawabkan dalam rapat organisasi.
(3) Khusus dalam hal penyelenggaraan Kongres, Konvensi Nasional, Konferensi daerah,
Rapat Anggota Cabang, dan/atau pertemuan ilmiah di semua tingkat organisasi, semua
pemasukan dan pengeluaran keuangan harus dipertanggungjawabkan kepada Pengurus
Besar, Pengurus daerah atau Pengurus cabang oleh panitia penyelenggara yang dibentuk
untuk itu.

BAB XVI
PENYEMPURNAAN ANGGARAN
RUMAH TANGGA
Pasal 45
Penyempurnaan Anggaran Rumah Tangga dapat dilakukan oleh Rapat Kerja Nasional
yang khusus membicarakan hal tersebut, dan selanjutnya dipertanggungjawabkan kepada
kongres berikutnya.

BAB XVII
PENUTUP
Pasal 46
(1) Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini ditetapkan dalam
peraturan organisasi oleh Pengurus Besar.
(2) Anggaran Runmah Tangga ini mulai berlaku sejak tanggalditetapkannya.

DITETAPKAN DI : SURABAYA
PADA TANGGAL : 16 APRIL 2005

PENGURUS BESAR ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING


INDONESIA (PB-ABKIN) 2005- 2009

Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,

- 36 -
dtd dtd
Prof. Dr. H. Mungin Edi Wibowo, M.Pd., Kons Drs. Tri Laksono, M.Pd-Kons.,

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa bimbingan dan konseling
meruupakan suatu profesi karena bimbingan dan konseling dapat memenuhi ciri-ciri
dan syarat-syarat sebagai profesi yang antara lain yaitu dilaksanakaan oleh petugas
yang mempuunyai keahlian dan kewenanangan, petugas profesi merupakan luluusan
perguruan tinggi, merupakan pelayanan kemasyarakatan, diakui oleh masyarakat dan
pemerintah. Dalam melaksanakaan kegiatan menggunakan teknik/metode ilmiah,
memiliki organisasi profesi, memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) dan memiliki kode etik profewsi. Selain itu pengembangan profesi
bimbingan dan konseling ini meliputi standardisasi untuk kerja profesi konselor,
standardisasi penyiapan konselor, akreditasi, stratifikasi dan lisensi dan
pengembangan profesi konselor

B. Saran
Sebagai sebuah profesi yang sudah diakui keberadaannya, hendaknya
Bimbingan dan Konseling terus mengembangkan layanan-layanan yang mendukung
eksistensi profesi Bimbingan dan Konseling agar tidak tergerus oleh jaman yang
semakin maju.

- 37 -
DAFTAR PUSTAKA

Djumhar dan Moh.Surya.1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance and


Counseling). Bandung : CV Ilmu

Prayitno dan Erman Amti. 2004.Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Cetakan kedua

Winkel, W,S,.2005. Bimbingan dan konseling di Institusi Pendidikan, Edisi Revisi.


Jakarta: Gramedia.

Hikmawati, Fenti. (2010). Bimbingan Konseling. Jakarta: Rajawali Pers.

Ketut S, Dewa.(2000). Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling.


Jakarta: Rineka Cipta.

- 38 -

Anda mungkin juga menyukai