Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
TAHUN AJARAN
2020
A. KOMPETENSI/TUJUAN
Kompetensi/tujuan dari makalah ini ialah agar mahasiswa mengetahui apa saja isu-isu
yang ada pada konselor.
B. URAIAN
Etika dalam suatau profesi akan selalu memandang keberadaan profesi lain,
seperti halnya profesi lain yang mempertimbangkan profesi konselor. Artinya kode
etik yang dirancang dalam tatanan keprofesian tidak muncul sdengan begitu saja.
Standar etika itu muncul dari pengakuan individu yang mewakili profesi dan
melakukan upaya-upaya sebagai bentuk penghormatan para anggota profesi tersebut
melalui asosiasi yang menaunginya. Fungsi asosiasi sebagai organisasi profesi juga
menyediakan forum pertemuan bagi para praktisi dan peneliti, mereka
juga memainkan peran politik dalam advokasi untuk profesi tersebut.
1) kesejahteraan klien,
2) hak-hak klien,
3) klien dilayani oleh orang lain,
4) kebutuhan pribadi dan nilai-nilai,
5) hubungan ganda,
6) keintiman seksual dengan klien,
7) banyak klien,
8) kerja,
9) kelompok,
10) biaya dan barter,
11) terminasi dan rujukan,
12) dan teknologi komputer.
Bagian B: Kerahasiahan
Kerahasiahan merupakan kunci untuk memberikan kenyamananterhadap klien.
Konselor dituntut untuk mampu memegang teguh informasiyang disampaikan oleh
klien sehingga klien merasa nyaman dalammelakukan konseling dengan konselor.
Jika konseli memberikan kepercayaan penuh terhadap konselor, maka keterbukaan
konseli akan semakin mudah. Halinilah yang akan memberikan dampak yang positif
terhadap proseskonseling. Kepercayaan dari klien terhadap konselor menjadi mutlak
untuk dipertimbangkan sehingga menjadi kode etik yang sangat krusial. Beberapahal
yang perlu diperhatikan dalan menjadi kerahasiahan konseli melipuhi hal-hal sebagai
berikut: (a) hak privasi, (b) kerahasiahan kelompok dan keluarga,(c) kecenderungan
kompetensi klien, (d) catatan-catatan konseling, (e) hasilanalisa dan pelatihan, (f) dan
hasil konsultasi dengan konselor.
Di samping itu semua, ternyata di dalam tubuh kode etik itu sendiri memunculkan
konflik dilematis yang berbenturan antara nilai-nilai etik itu sendiri, maupun nilai etik
dengan perspektif hukum. Seperti dipaparkan oleh Blocher (1996) yang menjelaskan
bahwa kode etik dapat
memberikan pedoman luas untuk keputusan etis, namun jarang cukup rinci menerapka
n secara sempurna untuk situasi etis tertentu. Pengambilan keputusan etik tidak
selamanya mudah, namun inilah yang menjadi tugas seorang konselor(Gladding,
2012). SelanjutnyaWelfel(dalamGladding, 2012)menambahkan perlunya karakter inte
gritas, keberanian moral, serta pengetahuan dalam diri konselor untuk mengatasi hal
tersebut. Kiranya sangat perlu bagi konselor untuk intensif mengecek kesesuaian kode
etik setiap kali menghadapi suatu kasus, karena faktanya kode etik yang diyakini
sangat berguna dalam menuntun kinerja profesi ternyata tidak selamanya
dapat menjawab semua pertanyaan di lapangan. Sikap hati-hati yang perlu konselor
miliki tergambar melalui konselor yang
beroperasi berdasarkan standar etik pribadi tanpa berpegang pada standar etik yang
dirancang asosiasi profesi, biasanya berjalan dengan lancar di awal, hingga
menemukan suatu situasi dilematis yang akhirnya tidak melahirkan solusiyang jelas
dan bukan solusi yang terbaik (Swanson dalam Gladding,2012). Sebuah studi di New
York (Hayman dan Covert dalam Gladding,2012) menemukan fakta yang
mengejutkan bahwa hanya kurang dari sepertiga responden yang mengatakan bahwa
mereka mengandalkan kodeetik profesional yang sudah
dipublikasikandalammenyelesaikan permasalahan. Mereka (konselor) lebih cenderung
menggunakan strategi “akal sehat” yang terkadang secara profesionalitas dipandang
tidak etis dan kurang bijaksana. Situasi ini berpotensi memunculkan perilaku tidak
etis dalam dirikonselor karena tidak didasarkan pada kode etik yang ditetapkan,
melainkan pada peraturan yang mereka ambil untuk membenarkan tindakan
mereka atasdasar perspektif pribadi mereka. Hal ini juga
berpotensi mencederaiintegritas profesi konselor yang memiliki ekspektasi tinggi
untuk dapatditerima dan memperoleh kepercayaan publik yang utuh dalam
operasionalkerjanya. Artinya perlu sikap yang arif dan bijaksana serta mengasah
intuisi konselor dalam melangkah, dan tidak lupa disertai sikap kehati-hatian dalam
mengambil setiap keputusan bantuan, sehingga menciptakan perilaku etis disetiap
pengambilan keputusannya.
1. Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali
dari pendidikan ada dua pendapat ekstrem berhubungan dengan
pelaksanaan bimbingan dan konseling. Pertama, pendapat yang mengatakan bahw
a bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Pendapat ini
menganggap bahwa pelayanan khusus bimbingan dan konseling
tidak perlu di sekolah. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa pelayanan bimbi
ngan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khususoleh tenaga
yang benar-benar ahli dengan perlengkapan (alat, tempat,dan sarana) yang benar-
benar memenuhi syarat. Pelayanan bimbingandan konseling harus secara nyata
dibedakan dari praktik pendidikansehari-hari.Memang bimbingan dan konseling
di sekolah secara umumtermasuk ke dalam ruang lingkup upaya pendidikan di
sekolah, namun tidak berarti dengan penyelenggaraan pengajaran yang baik saja
seluruhmisi sekolah akan dapat dicapai dengan penuh. Maka dalam hal
ini bimbingan dan konseling dapat memainkan peranan yang amat berarti dalam
melayani kepentingan siswa, khususnya yang belum terpenuhisecara baik. Dalam
hal ini peranan bimbingan dan konseling ialahmenunjang seluruh usaha sekolah
demi keberhasilan anak didik.Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah
pelayanan yang mewah,untuk menjadi konselor yang baik, seseorang perlu
menguasai keterampilan-keterampilan dasar, baik keterampialn pribadi dalam
memberikan konseling perseorangan, konseling kelompok,
kemampuan berkomunikasi dan lain sebagainya. Perlengkapan instrumentasi bim
bingan dan konseling (seperti tes baku, dan sebagainya) ruangan,dan sarana-
sarana lain hanyalah merupakan pelengkap saja dan
tidak perlu memudarkan pelayanan bimbingan dan konseling secaramenyeluruh.
2. Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah. Masih banyak anggapan
bahwa peranan konselor di sekolahadalah sebagai polisi sekolah yang harus
menjaga dan mempertahankantata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Petugas
bimbingan dankonseling bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu
mencurigaidan akan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas bimbingan
dankonseling adalah kawan pengiring penunjuk jalan, pembangunkekuatan, dan
pembina tingkah laku-tingkah laku positif yangdikehendaki. Dengan pandangan,
sikap, keterampilan, dan penampilankonselor, siswa atau siapapun yang
berhubungan dengan konselor akanmemperoleh suasana sejuk dan memberi
harapan.
3. Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberi nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian
nasihat. Pemberian nasihat hanya merupakan sebagian kecildari upaya-upaya
bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dankonseling menyangkut
seluruh kepentingan klien dalam rangka
pengembangan pribadi klien secara optimal. Di samping memerlukan pemberian
nasihat, pada umumnya klien dengan masalah yang dialaminya, memerlukan pula
pelayanan lain, seperti pemberianinformasi, penempatan dan penyaluran,
konseling,
bimbinganbelajar, pengalihtangan kepada tugas yang lebih ahli dan berwenang, la
yanankepada orang tua siswa dan masyarakat, dan sebagainya.
4. Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat
insidental. Memang sering kali pelayanan bimbingan dan konseling bertitiktolak
dari masalah yang dirasakan klien sekarang. Namun pada hakikatnya pelayanan
itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu yang lalu, sekarang,
dan yang akan datang, dan konselor juga tidak hanya menunggu saja klien datang
dan mengemukakan masalahnya. Untuk itu, petugas bimbingan dan konseling
harus terusmemasyarakatkan dan membangun suasana bimbingan dan konseling
serta mampu melihat hal-hal tertentu yang perlu di olah, ditanggulangi,diarahkan,
dan secara umum diperhatikan demi perkembangan segenapindividu yang
menjadi tanggung jawabnya secara penuh danmenyeluruh.
5. Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu saja.
Pelayanan bimbingan dan konseling bukan tersedia dan tertujuhanya untuk klien-
klien tertentu saja, tetapi terbuka untuk segenapindividu ataupun kelompok yang
memerlukannya. Jika pun
ada penggolongan, maka penggolongan itu didasarkan atas klasifikasi masalah
(seperti bimbingan dan konseling pendidikan,
jabatan/ pekerjaan, keluarga/perkawinan), bukan atas dasar kondisi klien
(misalnya jenis kelamin, kelas sosial/ekonomi, agama, suku, dan lainsebagainya).
Lebih jauh klasifikasi masalah itu akan mengarah kepadaspesialisasi keahlian
konseling tertentu sesuai dengan permasalahan itu.
6. Bimbingan dan konseling tidak melayani “orang sakit” dan/atau“kurang normal”.
Bimbingan dan konseling hanya melayani orang-orang normal yang mengalami
masalah tetentu. Konselor yang memiliki kemampuan yang tinggi akan mampu
mendeteksi dan mempertimbangkan lebih jauh tentang mantap atau kurang
mantapnyafungsi-fungsi yang ada pada klien sehingga kliennya itu perlu
dikirimkepada dokter atau psikiater atau tidak. Penanganan masalah olehahlinya
secara tepat akan memberikan jasmani yang kuat bagikeberhasilan pelayanan.
7. Bimbingan dan konseling bekerja sendiriPelayanan bimbingan dan konseling
bukanlah proses yangterisolasi, melainkan proses yang bekerja sendiri sarat
dengan unsur-unsur budaya, sosial dan lingkungan. Oleh karenanya
pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri.Konselor perlu
bekerjasama dengan orang-orang yang diharapkan dapatmembantu
penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Misalnya, di sekolah,
masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa
tidak berdiri sendiri. Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tuasiswa,
guru, dan pihak-pihak lain, terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah,
sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab
itu, penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh konselor saja.Dalam
hal ini peranan guru, orang tua dan pihak-pihak lain sering kalisangat
menentukan. Konselor harus pandai menjalin hubungan kerjasama yang saling
mengerti dan saling menunjang demi terbantunyasiswa yang mengalami masalah
itu. Di samping itu, konselor harus pulamemanfaatkan berbagai sumber daya
yang ada dan dapat diadakanuntuk kepentingan pemecahan masalah siswa.
8. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif. Pada dasarnya pelayanan
bimbingan dan konseling adalah usaha bersama, yang beban kegiatannya tidak
semata-mata ditimpakan hanyakepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada
dasarnya bersifat
usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor,
maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat,
atau bahkan tidak berjalan sama sekali. Maka pihak-pihak lain pun harusikut aktif
membantu kelancaran usaha pelayanan itu.
9. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja.
Jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat
dilakukan secara amatiran belaka. “Tidak”, bimbingan dan konseling
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan (yaitumengikuti filosofi,
tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan katalain dilaksanakan secara
profesional. Salah satu ciri
keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah pelayanan itu harus dilakukan ol
ehorang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling.Keahliannya itu
diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukuplama di perguruan tinggi.
10. Pelayanan bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja. Pada
umumnya usaha pemberian bantuan memang diawalidengan melihat gejala-gejala
dan/atau keluhan awal yang disampaikanoleh klien. Namun demikian, jika
pembahasan masalah itu dilanjutkan,didalami, dan dikembangkan, sering kali
ternyata bahwa masalah yangsebenarnya lebih jauh, lebih luas dan lebih pelik dari
apa yang sekadartampak atau disampaikan itu. Konselor tidak boleh terpukau
olehkeluhan atau masalah yang pertama disampaikan oleh klien. Konselorharus
mampu menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yangsebenarnya.
11. Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau
psikiater. Memang dalam hal-hal tertentu terdapat persamaan
antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter, atau psikiater
, yaitu sama-sama menginginkan klien atau pasien terbebasdari penderitaan yang
dialaminya. Sama-sama mempunyai tekhnik-teknik tersendiri yang sudah teruji
untuk membantu permasalahan klienatau pasiennya. Namun, pekerjaan
bimbingan dan
konselingtidaklahpersis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan
psikiater bekerja dengan orang sakit, sedangkan konselor bekerja dengan orang
sehat yang sedang mengalami masalah.
Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater ialah dengan memakai
obat dan resep serta teknik-teknik pengobatan dokter
dan psikiater. Sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan
masalah melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatanmental/psikis,
penguatan tingkah laku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan, serta
teknik-teknik bimbingan dan konseling lainnya.
12. Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat.
Disadari bahwa semua menghendaki agar masalah yang dihadapiklien sesegera
mungkun dapat diatasi, hasilnya pun hendaknya dapatdilihat dengan segera.
Namun harapan itu sering kali tidak terkabul,lebih-lebih kalau yang dimaksud
dengan “cepat” itu adalah dalamhitungan jam atau hari saja. Pengubahan
pandangan atau tingkah lakusering kali harus melalui proses yang mungkin perlu
berlangsung beberapa hari, minggu atau bulan sebelum perubahan yang nyatatam
pak. Petugas bimbingan dan konseling haruslah berusaha dengansepenuh
kemampuan menghadapi masalah klien. Pihak-pihak lain pundiminta
memberikan kerja sama penuh dan tidak hanya sekadarmengharap (atau
menuntut) agar bimbingan dan konseling dapat dengancepat mengubah tingkah
laku dan memecahkan masalah klien.
13. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien. Cara apa pun yang
akan dipakai untuk mengatasi masalahharuslah disesuaikan dengan pribadi klien
dan berbagai hal yang terkait dengannya. Masalah yang tampaknya “sama”
setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakikatnya berbeda, sehingga
diperlukancara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya
pemakaiansesuatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat
masalah,tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dankonseling,
dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha bimbingan dan konseling hanya pada penggunaan
instrumentasi bimbingan dan konseling (misalnya tes, inventori, angket,dan alat
pengungkap lainnya). Perlu diketahui perlengkapan dan sarana utama yang pasti
ada dandapat dikembangkan pada diri konselor ialah keterampilan
pribadi.Dengan kata lain, ada dan digunakan instrumen (tes, Inventori, angket,dan
sebagainya itu) hanyalah sekadar pembantu. Oleh sebab itu,konselor hendaklah
tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itusebagai alasan atau dalih untuk
mengurangi, apalagi tidakmelaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama
sekali.
Petugas pembimbing dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apayang
dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkansarana-sarana
penunjang yang diperlukan.
15. Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang
ringan saja. Menetapkan suatu masalah berat atau ringan, tidaklah mudah.Tanpa
menyebut bahwa masalah yang dihadapi itu berat atau ringan,tugas bimbingan
dan konseling ialah menanganinya dengan cermat dantuntas. Kadar penanganan
(entah itu berat atau ringan) semata-matadisesuaikan dengan pribadi klien, jenis
masalah, tujuan yang ingindicapai, kemampuan konselor, sarana yang tersedia,
dan kerja samadengan pihak-pihak lain. Jika konselor telah mengerahkan
seluruhkemampuan dan sarana yang penuh, tapi masalah klien belum
teratasi juga, maka pengalihtanganan klien memang perlu. Alih tangan ini
tahap pertama sedapat-dapatnya dilakukan kepada sesama konselor sendiriyang
memiliki keahlian yang lebih tinggi. Kalau ternyata memang adagejala-gejala
kelainan kejiwaan misalnya, maka alih tangan kepada psikiater sudahlah perlu.
Daftar Pustaka
Blocher, Donald H. 1996. Developmental Counseling. New York:John Wiley & Sons
Prayitno dan Amti. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:Rineka Cipta