Anda di halaman 1dari 16

Tugas Perngembangan Pribadi Konselor

ISU-ISU PENTING TENTANG PRIBADI KONSELOR

Dosen Pengampu :

Drs. M. Husen, M.Pd

Disusun Oleh :

Rizka Ayu Berliana 1806104030013

Rayyana F. P. Lubis 1806104030027

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

TAHUN AJARAN

2020
A. KOMPETENSI/TUJUAN
Kompetensi/tujuan dari makalah ini ialah agar mahasiswa mengetahui apa saja isu-isu
yang ada pada konselor.
B. URAIAN

A. Isu-Isu Etik dalam Bimbingan dan Konseling

Etika dalam suatau profesi akan selalu memandang keberadaan profesi lain,
seperti halnya profesi lain yang mempertimbangkan profesi konselor. Artinya kode
etik yang dirancang dalam tatanan keprofesian tidak muncul sdengan begitu saja.
Standar etika itu muncul dari pengakuan individu yang mewakili profesi dan
melakukan upaya-upaya sebagai bentuk penghormatan para anggota profesi tersebut
melalui asosiasi yang menaunginya. Fungsi asosiasi sebagai organisasi profesi juga
menyediakan forum pertemuan bagi para praktisi dan peneliti, mereka
juga memainkan peran politik dalam advokasi untuk profesi tersebut.

Komunikasi dan kinerja yang ada di dalam tubuh organisasi profesi dikawal


dan dipandu oleh standar (kode ethical) yang bertindak untuk meminimalkan atau
mencegah hal-hal yang merugikan organisasi profesi itusendiri, para praktisi profesi,
akademisi atau ilmuwan, serta individu yang dilayani profesi tersebut. Sebuah profesi
tanpa standar etika justru perlu di pertanyakan kredibilitasnya. Oleh karena itu,
konselor harus peka terhadap isu-isu yang berkembang dari ranah politik dan birokrasi
yang mengatur profesionalisasi dalam konseling. Keefektifan konselor berhubungan
dengan pengetahuan etik dantingkah laku mereka (Welfel dalam Gladding, 2012).

Kinerja konselor tercermin pada seberapa besar konselor tersebut


mengamalkan pemahaman etik yang mereka miliki. Seringkali konselor dihadapkan
dengan dilema etis,kontraversi yang muncul akibat perbedaan pemahaman mengenai
standar moralitas seringkali mewarnai praktik konseling. Konselor perlu menaruh
kepedulian lebih terhadap standar etika profesional. Konselor perlu di didikseperti apa
praktik yang dianggap diterima dan kompeten dalam bidangkonseling secara umum,
maupun praktik konseling secara khusus. Konselorharus tahu kapan dilema etika
timbul sehingga mereka dapat membuatkeputusan dan etis dalam praktek konseling
tersebut, hal ini berarti seorang konselor harus sejak awal mengenali kode etik
dalam bertindak sehingga melahirkan perilaku yang etis pula dalam setiap
pengambilan keputusan.Blocher (1996) menjelaskan bahwa kode etik umumnya
mengakuikenyataan bahwa konselor memiliki sejumlah kewajiban etis. Kewajiban
tersebut adalah:

1. Kewajiban kepada klien.


2. Kewajiban kepada orang tua klien.
3. Kewajiban untuk profesi.
4. Kewajiban kepada institusi yang mempekerjakan.
5. Kewajiban untuk komunitas atau masyarakat pada umumnya.

Asosiasi Konseling Amerika (ACA dalam counselingfa, diakses padatanggal 30


April 2017) menjabarkan lebih lengkap mengenai kode etik yangharus dijalani
seorang konselor:

Bagian A: Hubungan dalam Konseling

Hubungan dalam konseling merupakan satu kesatuan antara konselordan konseli


yang memiliki tujuan untuk memecahkan permasalah yangdihadapi. Konselor
memiliki peran untuk membantu konseli, sedangkankonseli memiliki peran sebagai
individu yang sedang memerlukan bantuan.Proses konseling akan menyangkut
hubungan dari peran konselor itu sendiri.Kontek hubungan dalam proses konseling
menyangkut hal-hal sebagai berikut :

1) kesejahteraan klien,
2) hak-hak klien,
3) klien dilayani oleh orang lain,
4) kebutuhan pribadi dan nilai-nilai,
5) hubungan ganda,
6) keintiman seksual dengan klien,
7) banyak klien,
8) kerja,
9) kelompok,
10) biaya dan barter,
11) terminasi dan rujukan,
12) dan teknologi komputer.

Bagian B: Kerahasiahan
Kerahasiahan merupakan kunci untuk memberikan kenyamananterhadap klien.
Konselor dituntut untuk mampu memegang teguh informasiyang disampaikan oleh
klien sehingga klien merasa nyaman dalammelakukan konseling dengan konselor.
Jika konseli memberikan kepercayaan penuh terhadap konselor, maka keterbukaan
konseli akan semakin mudah. Halinilah yang akan memberikan dampak yang positif
terhadap proseskonseling. Kepercayaan dari klien terhadap konselor menjadi mutlak
untuk dipertimbangkan sehingga menjadi kode etik yang sangat krusial. Beberapahal
yang perlu diperhatikan dalan menjadi kerahasiahan konseli melipuhi hal-hal sebagai
berikut: (a) hak privasi, (b) kerahasiahan kelompok dan keluarga,(c) kecenderungan
kompetensi klien, (d) catatan-catatan konseling, (e) hasilanalisa dan pelatihan, (f) dan
hasil konsultasi dengan konselor.

Bagian C: Tanggung Jawab

Konselor memiliki tanggung jawab yang penuh terhadap klien, orangtua,


organisasi, serta terhadap diri konselor itu sendiri. Tanggung jawab yangdiemban
konselor merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian yangserius, sebab
tanggung jawab ini akan berdampak pada
keberhasilansuatu pola kerja dari konselor. Tanggung jawab profesional menyangkut: 
(a) standar-standar pengetahuan, (b) kompetensi profesional, (c) identitas klien,(d)
tanggung jawab publik, dan (e) tanggung jawab profesional lain.

Bagian D: Hubungan dengan Profesional Lain

Hubungan dengan profesi lain, hal ini menunjukan bahwa permasalahanyang


harus diselesaikan oleh konselor mengenai permasalahan klien tentuakan
berhubungan dengan profesi lain. Profesi lain dalan konteks ini adalahlembaga-
lembaga atau profesi yang ada kaitannya dengan permasalahan yangdihadapi oleh
klien. Profesi lian dalam kaitannya dengan siswa bisa
saja pihak kesehatan (dokter) atau psikolog/psikiater. Konteks hubungan denganteman
sejawat konselor di sekolah bukan individu yang berdiri sendirimelainkan merupakan
team work di antara personel sekolah. Demikianhubungan dengan profesional lain
menjadi komponen penting dalammembina hubungan sosial dalam konteks kerja
profesonal.

Bagian E: Evaluasi, Penilaian, dan Interpretasi


Evaluasi dan interpretasi menyangkut; (a) standar penilaian
yang berkaitan dengan klien. Klien adalah individu yang memiliki berbagai karakter-
istik sehingga akan memberikan berbagai penafsiran
terhadap pemaknaan konselor. Jika penafsiran keliru, maka proses konseling akan berj
alan  terganggu sebab konselor mengalami kesulitan melakukan interpretasi terhadap
kondisi klien. (b) keterampilan konselor, konselor merupakan individu yang berada
pada jabatan profesi yang harus menunjukkan tingkat profesional yang handal.
Berbagai keterampilan merupakan kompetensi yang harus dimiliki. Konseling bukan
merupakan hal yang mudah dilakukan, melainkan melalui beberapa tahapan. (c)
kesesuaian penilaian.Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penilaian
inimenyangkut: penilaian umum masalah-masalah, kompetensi menggunakandan
menafsirkan tes, perijinan untuk penilaian, penggunaan dandistribusi informasi,
diagnosa yang tepat terhadapa gangguan mental, tesseleksi, tes kondisi administrasi,
keragaman dalam pengujian, penilaian daninterpretasi tes, keamanan tes, serta
bagaimana menganalisa keusangan tes,serta melakukan konstruksi alat tes.

Bagian F: Pengajaran, Pelatihan, dan Pengawasan

Mencakup isu yang berkaitan dengan pelatihan konselor dan program pendidikan konselor.


Mencakup kajian tentang: pendidikan dan pelatihankonselor.

Bagian G: Penelitian dan Publikasi

Bagian ini memberikan penjelasan terhadap prosedur penelitian


yang berkaitan dengan isu-isu yang terjadi. Dalam melaksanakan penelitian hal yang
harus diperhatikan adalah (a) Tanggung jawab, tanggung jawabterhadap profesi
adalan bagaimana mengambangkan suatu penelitian
yang berkenaan dengan peningkatakan kualitas layanan, (b) perijinan, perijinan dalam
penelitian menyangkut legalitas dari penelitian yang akan
dilakukan baik secara kelembagaan maupun
secara individual kepada subjek penelitian yang klien yang dijadikan kajian
permasalahan, (c) pelaporan hasil
dan publikasi, pelaporan hasil tentunya akan menyangkut pada konsep bagaimana pen
elitian  tersebut dirancang, dilaksanakan, dianalisa hasilnyaserta publikasi dari hasil
penelitian.
Bagian H : Menyelesaikan Isu-Isuk Etik

Mencakup prosedur yang harus diikuti oleh konselor profesional ketikamereka


mencurigai penasihat lain dari perilaku yang tidak etis. Pada bagianini merupakan
bagian tanggung jawab konselor terhadap organisasi, jika ada anggota organisasi yang
melakukan penyimpangan etika, maka tanggung jawab komponen
semua personel harus bertanggung jawab demi kredibilitas yang tetap baik. Hal yang
harus diperhatikan jika mendapatkan informasi tentang pelanggaran informasi adalah :
(a) sejauhmana pengetahuan tentang standar kode etik yang berlaku pada organisasi
tersebut, (b) sejauhmanadugaan pelanggaran yang dilakukan, (c) bagaimana pola
kerjasama yang harus dilakukan dengan bagian komite etika sehingga proses
penyelesaian pelanggaran kode etik dapat diselesaikan dengan baik.Hoose dan Kottler
(dalam Gladding, 2012) memaparkan alasan pentingnya kode etik dalam
sebuah profesi:

1. Kode Etik melidungi profesi dari pemerintah. Poin ini


menjelaskan bahwa sebuah profesi diperbolehkan secara mandiri dalamindepende
nsinya untuk mengelola profesi tersebut agar berfungsisebagaimana mestinya.
2. Kode etik membantu mengontrol ketidaksepakatan internal dan pertengkaran,
sehingga memelihara kestabilan dalam profesi.
3. Kode etik melindungi praktisi dari publik, terutama untuk
pengaduanmalpraktik. Jika konselor telah bertindak sesuai batas-batas kode
etik,tingkah lakunya akan di nilai telah mematuhi standar umum.Berdasarkan
penjelasan di atas, dengan demikian kode etik dapatmembantu meningkatkan
kepercayaan publik terhadap integritas
sebuah profesi, serta menjamin perlindungan klien dari layanan yang dapatmerugi
kan klien tersebut. Sementara itu ACA; Herlihy dan Corey (dalamGladding,
2012) memberikan contoh perilaku tidak etis yang paling seringterjadi dalam
bimbingan dan konseling:
 Pelanggaran kepercayaan.
 Melampaui tingkat kompetensi profesional seseorang.
 Kelainan dalam praktik.
 Mengklaim keahlian yang tidak dimiliki
 Memaksakan nilai-nilai konselor pada klien
 Membuat klien bergantung.
 Melakukan aktivitas seksual dengan klien.
 Konflik kepentingan, seperti hubungan ganda yaitu peran
konselor bercampur hubungan pribadi atau hubungan profesional yang
menyimpang.
 Persetujuan finansial yang kurang jelas.
 Pengiklanan yang tidak pantas.
 Plagiarisme.
Dipaparkannya perilaku tidak etis di atas diharapkan setidak-tidaknyakonselor
menghindari perilaku-perilaku di atas dan lebih selektif dalammenjalankan profesi
konselor. Namun demikian, kode etik jarang terperincidalam mengurai kasus yang
lebih spesifik karena kode etik itu sendiri lebih bersifat umum dan idealistik.Dalam
banyak kasus, konselor diminta untuk membuat keputusan etisyang kompleks.
Beymer, Corey dan Callanan, dan Talbutt (dalam Gladding,2012) menjelaskan ada
sejumlah batasan spesifik dalam kode etik :
1. Beberapa masalah tidak dapat diputuskan dengan kode etik.
2. Pelaksanaan kode etik merupakan hal yang sulit.
3. Standar-standar yang diuraikan dalam kode etik ada kemungkinansaling
bertentangan.
4. Beberapa isu legal dan etis tidak tercakup dalam kode etik.
5. Kode etik adalah dokumen sejarah, artinya kode etik yang diterapkandalam kurun
waktu tertentu bisa saja tidak lagi relevan di kemudianhari.
6. Terkadang muncul konflik antara peraturan etik dan peraturan legal.
7. Kode etik tidak membahas masalah lintas budaya.
8. Tidak semua kemungkinan situasi dibahas dalam kode etik.
9. Seringkali sulit menampung keinginan semua pihak yang terlibat
dalam perbincangan etik secara sistematis.
10. Kode etik bukan dokumen proaktif untuk membantu konselor dalammemutuskan
apa yang harus dilakukan dalam suatu situasi baru.

Di samping itu semua, ternyata di dalam tubuh kode etik itu sendiri memunculkan
konflik dilematis yang berbenturan antara nilai-nilai etik itu sendiri, maupun nilai etik
dengan perspektif hukum. Seperti dipaparkan oleh Blocher (1996) yang menjelaskan
bahwa kode etik dapat
memberikan pedoman luas untuk keputusan etis, namun jarang cukup rinci menerapka
n secara sempurna untuk situasi etis tertentu. Pengambilan keputusan etik tidak
selamanya mudah, namun inilah yang menjadi tugas seorang konselor(Gladding,
2012). SelanjutnyaWelfel(dalamGladding, 2012)menambahkan perlunya karakter inte
gritas, keberanian moral, serta pengetahuan dalam diri konselor untuk mengatasi hal
tersebut. Kiranya sangat perlu bagi konselor untuk intensif mengecek kesesuaian kode
etik setiap kali menghadapi suatu kasus, karena faktanya kode etik yang diyakini
sangat berguna dalam menuntun kinerja profesi ternyata tidak selamanya
dapat menjawab semua pertanyaan di lapangan. Sikap hati-hati yang perlu konselor
miliki tergambar melalui konselor yang
beroperasi berdasarkan standar etik pribadi tanpa berpegang pada standar etik yang
dirancang asosiasi profesi, biasanya berjalan dengan lancar di awal, hingga
menemukan suatu situasi dilematis yang akhirnya tidak melahirkan solusiyang jelas
dan bukan solusi yang terbaik (Swanson dalam Gladding,2012). Sebuah studi di New
York (Hayman dan Covert dalam Gladding,2012) menemukan fakta yang
mengejutkan bahwa hanya kurang dari sepertiga responden yang mengatakan bahwa
mereka mengandalkan kodeetik profesional yang sudah
dipublikasikandalammenyelesaikan permasalahan. Mereka (konselor) lebih cenderung 
menggunakan strategi “akal sehat” yang terkadang secara profesionalitas dipandang
tidak etis dan kurang bijaksana. Situasi ini berpotensi memunculkan perilaku tidak
etis dalam dirikonselor karena tidak didasarkan pada kode etik yang ditetapkan,
melainkan pada peraturan yang mereka ambil untuk membenarkan tindakan
mereka atasdasar perspektif pribadi mereka. Hal ini juga
berpotensi mencederaiintegritas profesi konselor yang memiliki ekspektasi tinggi
untuk dapatditerima dan memperoleh kepercayaan publik yang utuh dalam
operasionalkerjanya. Artinya perlu sikap yang arif dan bijaksana serta mengasah
intuisi konselor dalam melangkah, dan tidak lupa disertai sikap kehati-hatian dalam
mengambil setiap keputusan bantuan, sehingga menciptakan perilaku etis disetiap
pengambilan keputusannya.

B. Isu-isu Legal dalam Bimbingan dan Konseling


Secara eksplisit maupun implisit dikemukakan bahwasannya seorangkonselor
harus senantiasa berpedoman pada aspek-aspek etis
dalam bertindak. Menjadi hal yang sangat
urgent, seorang konselor perlu dibekali pemahaman mengenai legalitas posisi atau seg
ala bentuk tindakan di bawah naungan profesi, karena tidak menutup kemungkinan
dalam perjalanannya konselor akan berada pada situasi yang tidak hanya
bersinggungan antara hubungan konseli dan konselor, namun juga hal-hal yang
bersinggungan dengan dunia hukum.Aspek etik yang perlu ditempuh konselor saat
menghadapi situasi inidiantaranya komunikasi kerahasiaan (konfidensial), privasi, dan
hak istimewa(Gladding, 2012). Kerahasiaan diartikan sebagai jaminan konselor
terhadapkonseli bahwa segala macam informasi yang terkait konseli dan telah
dikantongi konselor sebagai data, tidak akan dipubilkasikan atau dibagikansecara
tidak sah dan tanpa ijin. Privasi merupakan sebuah konsep legal yangmengakui hak-
hak individu untuk memilih waktu, keadaan, dan banyaknya informasi pribadi yang
ingin atau tidak ingin mereka bagikan (Herlihy danSheeley, dalam Gladding,
2012). Sedangkan komunikasi atau hak istimewa adalah hak legal klien yang dijamin
oleh undang-undang untuk tidak mengungkapkan komunikasi rahasia di pengadilan
tanpa izin dari konseli(Gladding, 2012). Situasi tertentu seperti hak kerahasiaan,
privasi, serta komunikasi istimewa klien menjadi sebuah pengecualian, yaitu ketika:

1. Adanya kasus pertentangan antara konselor dan klien.


2. Ketika klien memunculkan masalah mengenai kondisi mental dalamtuntutan
legal.
3. Ketika kondisi klien menghadirkan bahaya untuk dirinya sendiri atau orang lain.
4. Kasus pelecehan anak.
5. Ketika konselor memperoleh informasi bahwa klien akan melakukantindakan
kejahatan.
6. Selama pengadilan meminta evaluasi psikologis.
7. Untuk tujuan pertolongan spontan.
8. Ketika konselor memiliki informasi bahwa klien telah menjadi korban kejahatan.
9. Kasus kekerasan pada orang yang rentan.

C. Isu-Isu Profesional dalam Bimbingan dan Konseling


Berbagai hal dalam pelayanan bimbingan dan konseling sering ditafsirkan
secara salah, sehingga menimbulkan berbagai kesalah pahaman. Hal tersebut
menyangkut isu-isu profesional dalam bimbingan dan konseling.Kesalahpahaman
pertama-tama perlu dicegah penyebarannya, dan
kedua perlu diluruskan apabila diinginkan agar gerakan pelayanan  bimbingan dan
konseling pada umumnya dapat berjalan dan berkembang dengan baik sesuai dengan
kaidah-kaidah keilmuan dan praktik penyelenggaraannya.Kesalahpahaman yang
sering dijumpai di lapangan menurut Prayitono danAmti (2013: 120) antara lain:

1. Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali
dari pendidikan ada dua pendapat ekstrem berhubungan dengan
pelaksanaan bimbingan dan konseling. Pertama, pendapat yang mengatakan bahw
a bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Pendapat ini
menganggap bahwa pelayanan khusus bimbingan dan konseling
tidak perlu di sekolah. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa pelayanan bimbi
ngan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khususoleh tenaga
yang benar-benar ahli dengan perlengkapan (alat, tempat,dan sarana) yang benar-
benar memenuhi syarat. Pelayanan bimbingandan konseling harus secara nyata
dibedakan dari praktik pendidikansehari-hari.Memang bimbingan dan konseling
di sekolah secara umumtermasuk ke dalam ruang lingkup upaya pendidikan di
sekolah, namun tidak berarti dengan penyelenggaraan pengajaran yang baik saja
seluruhmisi sekolah akan dapat dicapai dengan penuh. Maka dalam hal
ini bimbingan dan konseling dapat memainkan peranan yang amat berarti dalam
melayani kepentingan siswa, khususnya yang belum terpenuhisecara baik. Dalam
hal ini peranan bimbingan dan konseling ialahmenunjang seluruh usaha sekolah
demi keberhasilan anak didik.Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah
pelayanan yang mewah,untuk menjadi konselor yang baik, seseorang perlu
menguasai keterampilan-keterampilan dasar, baik keterampialn pribadi dalam
memberikan konseling perseorangan, konseling kelompok,
kemampuan berkomunikasi dan lain sebagainya. Perlengkapan instrumentasi bim
bingan dan konseling (seperti tes baku, dan sebagainya) ruangan,dan sarana-
sarana lain hanyalah merupakan pelengkap saja dan
tidak perlu memudarkan pelayanan bimbingan dan konseling secaramenyeluruh.
2. Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah. Masih banyak anggapan
bahwa peranan konselor di sekolahadalah sebagai polisi sekolah yang harus
menjaga dan mempertahankantata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Petugas
bimbingan dankonseling bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu
mencurigaidan akan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas bimbingan
dankonseling adalah kawan pengiring penunjuk jalan, pembangunkekuatan, dan
pembina tingkah laku-tingkah laku positif yangdikehendaki. Dengan pandangan,
sikap, keterampilan, dan penampilankonselor, siswa atau siapapun yang
berhubungan dengan konselor akanmemperoleh suasana sejuk dan memberi
harapan.
3. Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberi nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian
nasihat. Pemberian nasihat hanya merupakan sebagian kecildari upaya-upaya
bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dankonseling menyangkut
seluruh kepentingan klien dalam rangka
pengembangan pribadi klien secara optimal. Di samping memerlukan pemberian 
nasihat, pada umumnya klien dengan masalah yang dialaminya, memerlukan pula
pelayanan lain, seperti pemberianinformasi, penempatan dan penyaluran,
konseling,
bimbinganbelajar, pengalihtangan kepada tugas yang lebih ahli dan berwenang, la
yanankepada orang tua siswa dan masyarakat, dan sebagainya.
4. Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat
insidental. Memang sering kali pelayanan bimbingan dan konseling bertitiktolak
dari masalah yang dirasakan klien sekarang. Namun pada hakikatnya pelayanan
itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu yang lalu, sekarang,
dan yang akan datang, dan konselor juga tidak hanya menunggu saja klien datang
dan mengemukakan masalahnya. Untuk itu, petugas bimbingan dan konseling
harus terusmemasyarakatkan dan membangun suasana bimbingan dan konseling
serta mampu melihat hal-hal tertentu yang perlu di olah, ditanggulangi,diarahkan,
dan secara umum diperhatikan demi perkembangan segenapindividu yang
menjadi tanggung jawabnya secara penuh danmenyeluruh.
5. Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu saja.
Pelayanan bimbingan dan konseling bukan tersedia dan tertujuhanya untuk klien-
klien tertentu saja, tetapi terbuka untuk segenapindividu ataupun kelompok yang
memerlukannya. Jika pun
ada penggolongan, maka penggolongan itu didasarkan atas klasifikasi masalah
(seperti bimbingan dan konseling pendidikan,
jabatan/ pekerjaan, keluarga/perkawinan), bukan atas dasar kondisi klien
(misalnya jenis kelamin, kelas sosial/ekonomi, agama, suku, dan lainsebagainya).
Lebih jauh klasifikasi masalah itu akan mengarah kepadaspesialisasi keahlian
konseling tertentu sesuai dengan permasalahan itu.
6. Bimbingan dan konseling tidak melayani “orang sakit” dan/atau“kurang normal”.
Bimbingan dan konseling hanya melayani orang-orang normal yang mengalami
masalah tetentu. Konselor yang memiliki kemampuan yang tinggi akan mampu
mendeteksi dan mempertimbangkan lebih jauh tentang mantap atau kurang
mantapnyafungsi-fungsi yang ada pada klien sehingga kliennya itu perlu
dikirimkepada dokter atau psikiater atau tidak. Penanganan masalah olehahlinya
secara tepat akan memberikan jasmani yang kuat bagikeberhasilan pelayanan.
7. Bimbingan dan konseling bekerja sendiriPelayanan bimbingan dan konseling
bukanlah proses yangterisolasi, melainkan proses yang bekerja sendiri sarat
dengan unsur-unsur budaya, sosial dan lingkungan. Oleh karenanya
pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri.Konselor perlu
bekerjasama dengan orang-orang yang diharapkan dapatmembantu
penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Misalnya, di sekolah,
masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa
tidak berdiri sendiri. Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tuasiswa,
guru, dan pihak-pihak lain, terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah,
sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab
itu, penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh konselor saja.Dalam
hal ini peranan guru, orang tua dan pihak-pihak lain sering kalisangat
menentukan. Konselor harus pandai menjalin hubungan kerjasama yang saling
mengerti dan saling menunjang demi terbantunyasiswa yang mengalami masalah
itu. Di samping itu, konselor harus pulamemanfaatkan berbagai sumber daya
yang ada dan dapat diadakanuntuk kepentingan pemecahan masalah siswa.
8. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif. Pada dasarnya pelayanan
bimbingan dan konseling adalah usaha bersama, yang beban kegiatannya tidak
semata-mata ditimpakan hanyakepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada
dasarnya bersifat
usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor,
maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat,
atau bahkan tidak berjalan sama sekali. Maka pihak-pihak lain pun harusikut aktif
membantu kelancaran usaha pelayanan itu.
9. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja.
Jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat
dilakukan secara amatiran belaka. “Tidak”, bimbingan dan konseling
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan (yaitumengikuti filosofi,
tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan katalain dilaksanakan secara
profesional. Salah satu ciri
keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah pelayanan itu harus dilakukan ol
ehorang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling.Keahliannya itu
diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukuplama di perguruan tinggi.
10. Pelayanan bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja. Pada
umumnya usaha pemberian bantuan memang diawalidengan melihat gejala-gejala
dan/atau keluhan awal yang disampaikanoleh klien. Namun demikian, jika
pembahasan masalah itu dilanjutkan,didalami, dan dikembangkan, sering kali
ternyata bahwa masalah yangsebenarnya lebih jauh, lebih luas dan lebih pelik dari
apa yang sekadartampak atau disampaikan itu. Konselor tidak boleh terpukau
olehkeluhan atau masalah yang pertama disampaikan oleh klien. Konselorharus
mampu menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yangsebenarnya.
11. Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau
psikiater. Memang dalam hal-hal tertentu terdapat persamaan
antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter, atau psikiater
, yaitu sama-sama menginginkan klien atau pasien terbebasdari penderitaan yang
dialaminya. Sama-sama mempunyai tekhnik-teknik tersendiri yang sudah teruji
untuk membantu permasalahan klienatau pasiennya. Namun, pekerjaan
bimbingan dan
konselingtidaklahpersis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan 
psikiater bekerja dengan orang sakit, sedangkan konselor bekerja dengan orang
sehat yang sedang mengalami masalah.
Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater ialah dengan memakai
obat dan resep serta teknik-teknik pengobatan dokter
dan psikiater. Sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan 
masalah melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatanmental/psikis,
penguatan tingkah laku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan, serta
teknik-teknik bimbingan dan konseling lainnya.
12. Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat.
Disadari bahwa semua menghendaki agar masalah yang dihadapiklien sesegera
mungkun dapat diatasi, hasilnya pun hendaknya dapatdilihat dengan segera.
Namun harapan itu sering kali tidak terkabul,lebih-lebih kalau yang dimaksud
dengan “cepat” itu adalah dalamhitungan jam atau hari saja. Pengubahan
pandangan atau tingkah lakusering kali harus melalui proses yang mungkin perlu
berlangsung beberapa hari, minggu atau bulan sebelum perubahan yang nyatatam
pak. Petugas bimbingan dan konseling haruslah berusaha dengansepenuh
kemampuan menghadapi masalah klien. Pihak-pihak lain pundiminta
memberikan kerja sama penuh dan tidak hanya sekadarmengharap (atau
menuntut) agar bimbingan dan konseling dapat dengancepat mengubah tingkah
laku dan memecahkan masalah klien.
13. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien. Cara apa pun yang
akan dipakai untuk mengatasi masalahharuslah disesuaikan dengan pribadi klien
dan berbagai hal yang terkait dengannya. Masalah yang tampaknya “sama”
setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakikatnya berbeda, sehingga
diperlukancara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya
pemakaiansesuatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat
masalah,tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dankonseling,
dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha bimbingan dan konseling hanya pada penggunaan
instrumentasi bimbingan dan konseling (misalnya tes, inventori, angket,dan alat
pengungkap lainnya). Perlu diketahui perlengkapan dan sarana utama yang pasti
ada dandapat dikembangkan pada diri konselor ialah keterampilan
pribadi.Dengan kata lain, ada dan digunakan instrumen (tes, Inventori, angket,dan
sebagainya itu) hanyalah sekadar pembantu. Oleh sebab itu,konselor hendaklah
tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itusebagai alasan atau dalih untuk
mengurangi, apalagi tidakmelaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama
sekali.
Petugas pembimbing dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apayang
dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkansarana-sarana
penunjang yang diperlukan.
15. Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang
ringan saja. Menetapkan suatu masalah berat atau ringan, tidaklah mudah.Tanpa
menyebut bahwa masalah yang dihadapi itu berat atau ringan,tugas bimbingan
dan konseling ialah menanganinya dengan cermat dantuntas. Kadar penanganan
(entah itu berat atau ringan) semata-matadisesuaikan dengan pribadi klien, jenis
masalah, tujuan yang ingindicapai, kemampuan konselor, sarana yang tersedia,
dan kerja samadengan pihak-pihak lain. Jika konselor telah mengerahkan
seluruhkemampuan dan sarana yang penuh, tapi masalah klien belum
teratasi juga, maka pengalihtanganan klien memang perlu. Alih tangan ini
tahap pertama sedapat-dapatnya dilakukan kepada sesama konselor sendiriyang
memiliki keahlian yang lebih tinggi. Kalau ternyata memang adagejala-gejala
kelainan kejiwaan misalnya, maka alih tangan kepada psikiater sudahlah perlu.
Daftar Pustaka
Blocher, Donald H. 1996. Developmental Counseling. New York:John Wiley & Sons

Counselingfa. 2016. Etik dan Legal Konseling.


http://counselingfa.blogspot.co.id/2016/01/etik-dan-legal-konseling.html# diakses pada
tanggal 30 Maret 2017

Gladding, T.Samuel. 2012. Konseling Profesi Yang Menyeluruh. Jakarta: PT Indeks.

Prayitno dan Amti. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai