MAKALAH
Kelas : BPI-A3
HALAMAN JUDUL
Disusun Oleh:
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah profesi yang menyeluruh konseling tidak pernah mengenal
perbedaan Konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak
konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif,
maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-
bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang responsive secara kultural. Dengan demikian, maka
konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor
dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).
Peran konselor dalam proses memandirikan individu merupakan peran yang
sangat penting dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu dalam proses layanan
konseling yang diberikannya, konselor tentu perlu untuk memiliki pemahaman yang
mendalam terhadap konselinya. Pemahaman tersebut mencakup hal-hal yang ada dalam
dirinya sendiri dan juga konselinya. Kesadaran akan perbedaan yang dimiliki
antara keduanya menjadi salah satu cara yang penting untuk menjaga hubungan
dan interaksi dalam proses konseling. Ekspektasi kinerja konselor dalam memberikan
layanan konseling akan selalu digerakkan oleh motif altruistic dalam arti selalu
menggunakan penyikapan yangempatik, menghormati keberagaman, serta
mengedepannya kemashalatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu
mencermati kemungkinan dampak jangkapanjang dari tindak pelayanannya itu terhadap
pengguna pelayanan, sehingga pelayanan professional ini dinamakan “the reflective
practitioner”(Depdiknas, 2008).
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kompetensi konselor lintas budaya?
2. Bagaimana menuju kesadaran budaya?
C. Tujuan Penulisan
1. Guna memenuhi tugas Konseling Lintas Budaya tahun akademik 2021/2022
Universita Islam Negri Walisongo Semarang
2. Untuk mengetahui dan memahami apa saja kompetensi konselor lintas budaya
3. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana menuju kesadaran budaya
BAB II
PEMBAHASAN
1
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. UMM Press.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan
untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda.
Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan
mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, konselor
banyak berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belajar bagaimana berperilaku
sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau,
maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku. Tiga kompetensi di
atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan
itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang
berbeda latar belakang budaya. Sue (Dalam Corey, G. 1997) dan kawan-kawan
mengusulkan sejumlah kompetensi minimum yang harus dimiliki konselor yang memiliki
wawasan lintas budaya, yaitu :
Menurut (Supriyatna, 2011) Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas
budaya, pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (Kekhususan-budaya) yang
menyoroti karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling
khusu smereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural. Mereka mengunakan istilah trans
sebagai lawan dari interatau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan
dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal.
Berkaitan dengan hal diatas, penting bagi konselor memiliki kompetensi yang akan
memberikan arah dalam pelaksanan konseling dengan keberagaman budaya konselinya.
Refleksi terhadap praktek konseling tentu akan melibatkan pemahaman dan kesadaran
konselor terhadap budaya yang dimilikinya dan konselinya. Menurut Kertamuda (2011).
Kesadaran budaya (cultural awareness) merupakan salah satu dimensi yang penting
untuk dimiliki oleh konselor, karena dimensi ini perlu dimiliki oleh konselor agar dapat
memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa faktor budaya yang dimilikinya (ras, gender,
nilai-nilai, kelas sosial, dan lain-lain) akan mempengaruhi perkembangan diri dan
pandangan terhadap dirinya. Kartadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagai pendidik
psikologis, konselor harus memiliki kompetensi dalam hal ini:
2
Barriyah, Khairul. dkk. 2016. Kesadaran Multikultural dan Urgensinya dalam Bimbingan dan Konseling. Vol
3 No. 1 Tahun 2016.
5) Memegang kokoh regulasi profesi yang terinternalisasi ke dalam kekuatan etik
profesi yang mempribadi.
6) Memahami dan menguasai kaidah-kaidah dan praktek pendidikan
Berdasarkan penjelasan di atas menjadi hal yang penting pada poin pertama, yaitu
memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam konteks sosial
budaya, oleh karena itu penting bagi seorang calon konselor di era globalisasi ini untuk
memiliki kesadaran budaya terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Interaksi
Konselor dengan klien atau siswa sangat banyak sekali dalam proses bimbingan dan
konseling, salah satuya adalah proses konseling yang dilakukan oleh seorang konselor
kepada kliennya3. Roggers (Patterson, 2004) menyebutkan 5 kualitas dasar konselor
dalam proses konseling yaitu :
1) Respect
Menghargai klien merupakan hal yang penting bagi konselor. Hal ini termasuk
memiliki kepercayaan kepada klien dan memiliki asumsi bahwa klien memiliki
kemampuan untuk mengambil tanggung jawab untuk dirinya sendiri (termasuk
selama proses konseling berlangsung), klien memiliki kemampuan untuk
menentukan pilihan dan memutuskan dan memecahkan masalahnya.
2) Genuinenes
Konseling merupakan hubungan yang nyata. Konselor perlu untuk memiliki
kesungguhan dalam memberikan konseling dan juga adalah sosok yang nyata.
Selain itu konselor harus sesuai dengan diri sesungguhnya (kongruensi) ini berarti
konselor betul-betul menjadi dirinya tanpa kepalsuan
3) Empathic understanding
Pemahaman yang empati lebih dari sekedar pengetahuan tentang klien. Akan
tetapi pemahaman yang melibatkan dunia dan budaya klien secara mendalam.
4) Communication of empathic
respect and genuineness to the client. Kondisi ini penting untuk dipersepsi, diakui,
dan dirasakan oleh klien. Persepsi tersebut akan mengalami kesulitan jika klien
3
Atmoko, Adi &Faridati, Ella. 2015. Bimbingan Konseling Untuk Multikultural di Sekolah. Malang: Elang
Mas.
berbeda dengan konselor baik dari budaya, ras, sosial ekonomi, umur, dan jender.
Oleh karena itu penting bagi konselor untuk memahami perbedaan tersebut.
5) Structuring.
Salah satu elemen penting yang terkadang tidak disadari oleh konselor adalah
struktur atau susunan dalam proses konseling. Pekerjaan konselor dalam proses
konseling sebaiknya memiliki susunan dan mengartikan perannya pada klien.
Konselor sebaiknya menyatakan bahwa apa, bagaimana dan mengapa dia
bermaksud melakukan konseling. Kegagalan untuk memberikan pemahaman
peran konselor di awal proses konseling dapat menghasilkan ketidakpahaman
antara keduanya.
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang
mempunyai spesifikasi tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan bahwa
konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan
keterampilan. Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar-benar mengetahui adanya
perbedaan yang mendasar antara konselor dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu,
konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika konselor memberikan
layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam konteks
sosial budaya, oleh karena itu penting bagi seorang calon konselor di era globalisasi ini
untuk memiliki kesadaran budaya terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Interaksi
Konselor dengan klien atau siswa sangat banyak sekali dalam proses bimbingan dan
konseling, salah satuya adalah proses konseling yang dilakukan oleh seorang konselor
kepada kliennya.
B. Kritik dan Saran
Sampailah kita pada penghujung pembasahan, kami sadari masih banyak kekurangan dari
kelompok kami baik keterbatasan wawasan hingga kesalahan penyuguhan materi, maka
dari itu kami berharap kritik dan saran yang membangun dari dosen pengampu mata
kuliah Konseling Lintas Budaya Ibu Widayat Mintarsih, M.Pd. dan juga teman-teman
sekalian untuk perkembangan kami selanjutnya. Sekian,dari kami mohon maaf dan
terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Atmoko, Adi &Faridati, Ella. 2015. Bimbingan Konseling Untuk Multikultural di Sekolah. Malang: Elang
Mas.
Barriyah, Khairul. dkk. 2016. Kesadaran Multikultural dan Urgensinya dalam Bimbingan dan Konseling.
Vol 3 No. 1 Tahun 2016.
Brown, S., William. Kertamuda, Fatchiah. 2011. Konselor dan Kesadaran Budaya (Cultural Awareness).
Universitas Paramadina. Jakarta.
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. UMM Press.
Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – isu dan relevansinya di Indonesia. Bandung. UPI