Konseling multicultural
TEMA – TEMA SENTRAL DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
1. Bahasa
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi berartikulasi yg bersifat sewenang-wenang dan konvensional yg
dipakai sbg alat komunikasi untuk mela-hirkan perasaan dan pikiran.(Kamus Bahasa Indonesia Departemen
Pendidikan Nasional ).
Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam menyusun kosa kata dan tata
bahasa umum yang dipakai banyak orang, sehingga terkadang orang lain kurang mengerti
akan apa yang diucapkannya dan menimbulkan persepsi yang berbeda. Contoh: konseli yang
menyusun kata-kata kurang tepat, misalnya “makan dia sudah”, maka akan menimbulkan
kebingungan bagi konselor untuk mengartikan ucapan konseli tersebut.
Contoh: Seorang konseli yang tidak bisa merangkai kosa kata dalam mengungkapkan
apa yang akan dia katakana akan membuat konselor atau pun orang lain bingung dalam
menerima atau pun mengartikan kata-katanya tersebut.
Contoh: orang malang yang menggunakan kata dibalik- balik misalnya: berapa(orip)
dan mengginakan dialeg tegas(terkesan kasar).Orang Yogyakarta menggunakan
karma alus dalam kebanyakan pembicaraannya.
e. Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap orang lain selalu mengerti apa
yang ia maksudkan.
Contoh: konselor yang berbicara dengan bahasa jawa padahal konselinya berasal dari
Madura, Konselor menganggap Konseli mengerti semua apa yang oleh
konselor. Namun pada kenyataannya konseli tidak semua mengerti apa yang
diucapkan konselor.
Pada kelas Sosial yang tinggi cenderungan orang berbicara dengan bahasa yang kelasnya
tinggi(eksklusif) dan sulit dimengerti oleh orang dengan status social rendah. Contoh: mahasiswa
yang KKN menjelaskan pada warga desa terpencil dengan menerangkan tentang penyebaran
penyakit dengan menggunakan istilah- istilah tinggi misalnya: inkubasi, injeksi. Tanpa
menjelaskan arti yang lebih mudah. Tentunya warga desa tersebut tidak mengerti apa ia
katakana. Seharusnya kata tersebut dijelaskan inkubasi= penularan penyakit dalam tubuh dan
injeksi= menyuntik.
g. Usia
Contoh: Guru yang menganggap murid kurang ajar karena membahas masalah onani/
masturbasi. Pada golongan muda membahas soal sex bukan soal yang tabu lagi
namun bagi sebagian guru yang usianya berbeda jauh dengan siswa
menganggap hal itu adalah kurang ajar.
Contoh: Konseli yang menggunakan bahasa gaul missal ; pembokat,Lekong dll. Jika
Konselor tidak faham tentang hal itu maka akan menjadi tidak bersambungan
dalam komunikasi.
2. Nilai
3. Stereotip
Stereotip merupakan opini/ pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai
penilaian/kritikan( Brown et al, 1988). Stereotip juga merupakan generalisasi mengenai orang- orang dari
kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi dulu baru mengamati.
Stereotip menjadi kendala konseling( termasuk hambatan sikap)karena terbentuk secara lama dan berakar
sehingga sulit untuk diubah, dan menjadi pola tingkah laku yang berulang- ulang.Hal itu merupakan hasil
belajar sehingga semakin lama semakin susah di ubah.
Contoh: konselor yang menganggap konseli laki- laki yang memakai anting pasti pembuat onar
dan brandal. Sehingga ketika konseling konselor mengalami kesulitan untuk mengubah
pandangannya tentang konseli laki- laki tersebut yang memakai anting.
4. Kelas Sosial
Kelas sosial muncul karena latar pendidikan, pekerjaan, kekayaan, penghasilan, dan perilaku orang tersebut
membelanjakan uang. Ada 3 kelas sosial yang masih dapat dibagi lagi menjadi 9 yaitu atas- atas, atas-
menengah, atas bawah).Situasi yang menjadi kedala: tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan
klien , persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia.Konselor dari kelas sosial menegah mungkin kurang
paham terhadap kebiasaan konseli dari kelas sosial tinggi/ rendah. Contoh: Bu Ana dari kelas sosial sedang
yang mempunyai konseli dari kelas sosial tinggi benama Grace yang kesekolah mengendarai mobil sendiri,
hobi shoping dan ke salon ketika Grace bercerita terhadap Bu Ana , Bu Ana kurang memahami Grace
sepenuhnya karena perbedaan kelas sosial diatas.
6. Jenis kelamin(gender)
Perbedaan Jenis kelamin menjadi perbincangan sejak jaman dahulu perbedaan jenis kelamin mempengaruhi
konseling karena terkadang konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap perempuan yang bersifat kurang
mandiri, kurang tegas, dan kurang berani mengambil resiko. Konselor perempuan kadang menganggap laki-
laki tidak boleh cengeng dan tegas. Namun, jika dalam proses konseling baik laki-laki atau perempuan
menampakkan sikap yang tidak sepatutnya menurut gender mereka maka terkadang konselor menganggap
aneh dan salah. Contoh : konseli laki-laki ia kurang tegas, berbicara seperti perempuan dan sering menangis
maka konselor di suatu tempat menyuruh konseli untuk tegas dalam berbicara selayaknya laki-laki.
7. Usia
Setiap periode usia individu memiliki tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan untuk melaksanakan
tugas perkembangan dan memenuhi berbagai kebutuhuan tersebut. Setiap periode usia mempunyai nilai-nilai
budaya usia masing-masing. Hal itu terkadang menjadi masalah dalam pelaksanaan konseling karena adanya
perbedaan kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup dan nilai budaya tertentu dalam setiap rentangan usia. Contoh :
anak laki-laki jika dijemput orang tua, terutama ibu, terkadang ia malu dan memilih pulang sendiri atau pulang
bersama teman-temannya. Akan tetapi menurut orang tua hal itu merupakan suatu bentuk perhatian orang tua
terhadap anaknya.
Dalam rangka memahami hubungan yang erat antara konseling dan kultur, konseling harus
mempertimbangkan dalam konteks budayanya. Tak dapat disangkal, klien yang secara kultural berbeda
mempersepsikan sesi konseling sebagai gagal, tidak relevan, dan benar-benar tidak menolong. Penekanan
yang sekarang pada konseling multikultural yang lebih lanjut menggambarkan bahwa konselor tidak
mengenali kenyataan klien menjadi produk dari latar belakang budaya yang berbeda (Draguns,1989).
Langkah pertama dalam konseling adalah untuk memahami klien , isu, permasalahan, gejala, dan rasa
sakit/keluhan yang membimbing klien untuk mencari bantuan dan membebaskan diri dari distress. Di dalam
situasi konseling yang multikultural, perlu untuk menilai klien sebagai satu kesatuan budaya sebelum
perencanaan dan implementasi intervensi konseling(Ibrahim&Arre-Dondo, 1986).
Untuk itu dibutuhkanlah beberapa karakteristik seorang Konselor yang dipandang efektif dalam konseling
multikultural untuk meamahami masalah ataupun hal yang berkaitan dengan klien tersebut, beberapa
karakteristik tersebut menurut Sue adalah :
1. Konselor yang secara kultural efektif mengenali nilai-nilai dan asumsi mana yang mereka pegang
mengenai perilaku manusia yang diinginkan atau tidak diinginkan.
2. Konselor yang secara kultural efektif adalah mereka yang menyadari karakteristik umum dari konseling
yang melintasi beberapa pikiran/anggapan.
3. Konselor yang secara kultural efektif bisa berbagi pandangan duniadengan klien mereka tanpa meniadakan
hak kekuasaan mereka.
4. Konselor yang secara kultural efektif sungguh-sungguh eklektif dalam konseling. (Sue, 1978).
Kemudian di dalam artikelnya pada tahun 1981, Sue mengemukakan tambahan karakteristik yang efektif
dalam konseling multikultural yang perlu dikuasai Konselor yaitu :
1. Orang yang telah berpindah dari yang tidak menyadari secara budaya kepada adanya kesadaran dan
kepekaan terhadap budaya yang dimilikinya.
2. Menyadari nilai-nilai dan bias yang dimilikinya dan bagaimana hal ini mempengaruhi klien yang berbeda
budayanya.
3. Merasa nyaman dengan oerbedaan yang ada dengan klien dalam kaitan dengan masalah ras dan kepercayaan.
4. Harus menguasai informasi dan pengetahuan yang spesifik tentang kelompok tertentu dimana Ia
bekerjasama dengannya.
5. Harus mempunyai informasi dan pengetahuan secara eksplisit dan jelas tentang konseling.
6. Harus mampu menghasilkan suatu tanggapan nonverbal dan verbal/lisan yang luas.
7. Harus mampu mengirim dan meneima pesan baik secara verbal maupun nonverbal dengan teliti dan
sewajarnya.
Persiapan Profesional dan Pelatihan
Perbedaan kesukuan dan kebudayaan yang luas mendorongkonselor untuk mempunyai pengalaman-
pengalaman profesional yang sesuai secara kultural dalam pelatihan konselor. Sehingga perlu persiapan
profesional khusus didalam memberikan pelayanan pada klien yang berasal dari beragam budaya. Menurut
Drandea dan Daniels (1991) mengusulkan program pelatihan konseling multikultural untuk para profesional
(konselor) melalui dua tingkat yaitu :
1. Tingkat Cultural Encapsulation dimana teori konseling diajarkan dengan latar budaya aslinya. Pada
tingkatan ini, konseling diajarkan berdasar stereotip dosennya(pengajarnya), alih-alih memperhatikan
pandangan kelompok budaya tertentu. Perbedaan budaya cenderung diabaikan , dan hanya memakai asumsi
latar belakang budaya konselor sendiri.
2. Tingkat Concentius, dimana kandidat konselor peran penting bagi budaya, ras, kelamin, faktor kelas sosial
dalam perkembangan seseorang, dan perubahan-perubahan konseptual yang perlu dalam konseling yang
perlu agar konseling dapat bersifat multikultural. Bahan pengajaran dapat diambil dari jurnal yang memuat
hasil penelitian mutakhir, atau dari praktikum studi kasus (Lewis&Hayes, 1991).
Daftar Pustaka
http://counselingc1.blogspot.com/2010/04/kendala-konseling-lintas-budaya.html
Dardiri, A. 2004. Pendidikan Multikultural. Makalah : disampaikan dalam stadium general FIP.