Dosen :
Oleh
ZIKRA NOVIYAS
18006163
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi dan akal manusia.
Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya dapat dimaknai sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh dari hasil
belajar dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia itu sendiri. Kemudian
David Matsumoto (2004: 6) mengemukakan bahwa budaya dapat didefinisikan sebagai
sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok
orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau
beberapa sarana komunikasi.
Lebih lanjut, beberapa ahli (dalam Djoko Purwanto, 2006: 55) mengemukakan
definisi dari budaya, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Lehman, Himstreet, dan Baty, budaya diartika sebagai sekumpulan
pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka sendiri.
2. Menurut Hofstede, budaya diartikan sebagai pemograman kolektif atas pikiran
yang membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dari kategori lainnya.
3. Menurut Bovee dan Thill, budaya adalah system sharing atas simbol-simbol,
kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan, dan norma-nomra untuk berperilaku
4. Menurut Murphy dan Hildebrandt, budaya diartikan sebagai tipikal karakteristik
perilaku dalam suatu kelompok.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa Budaya tidak sama dengan
masyarakat, meski keduanya terjalin secara tertutup dan dapat juga diartikan sebagai
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang
dan diwariskan dari generasi ke generasi
Taylor (1988), mendefenisikan kebudayaan sebagai pandangan hidup dari sebuah
komunitas atau kelompok. Peranan kebudayaan menjadi sangat besar dalam ekosistem
komunikasi, karena karakteristik kebudayaan lisan dan tertulis yang merupakan
kebiasaan suatu komunitas dalam mengkomunikasikan adat-istiadatnya
Dalam Rosjidan (1995) mendefenisikan budaya terdiri dari berbagai pola tingkah
laku, baik eksplisit maupun implisit, serta pola tingkah laku itu diperoleh dan
dipindahkan melalui symbol, yang merupakan karya khusus kelompok-kelompok
manusia, temasuk penelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia.
Dari uraian defenisi diatas menjelaskan bahwa suatu budaya tertentu akan
mempengaruhi keidupan masyarakat tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat
tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu.
B. PENGARUH BUDAYA RELASI KLIEN DENGAN KONSELOR DALAM
KONSELING
Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan
konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992)
menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals who are of
different culture/cultures than that of the therapist. Oleh sebab itu menurutnya sensitivitas
konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting. Ia menegaskan:
It is important for counselors to be sensitive to and considerate of a client's
cultural makeup. Clinicians encounter many challenging and complex issues
when attempting to provide accessible, effective, respectful and culturally
affirming chemical dependency treatment to a multi-cultural population of Deaf
and hard of hearing individuals.
Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau
etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang
dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai
hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-
kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli
yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan
variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia
(Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37)
C. ADAPTASI RELASI KONSELOR DENGAN KLIEN DALAM KEBERAGAMAN
BUDAYA
Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah
mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling lintas budaya
melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak
konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif,
maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-
bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan- keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka
konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor
dan klien.
Dalam pengimplementasiannya, konselor sekolah yang responsif secara budaya
harus berupaya menggunakan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan
multibudaya di dalam konteks pertemuan yang terfokus pada perkembangan akademik,
karier, pribadi dan atau sosial, serta kebutuhan para siswa dari lingkungan yang secara
budaya berbeda.
KEPUSTAKAAN
David Matsumoto. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djoko Purwanto. 2006. Komunikasi Bisnis. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.