Anda di halaman 1dari 6

TUGAS II

KONSELING LINTAS BUDAYA

RESUME:
KEBERAGAMAN INDIVIDU, KELOMPOK DAN MASYARAKAT DALAM
LAYANAN KONSELING

DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr.Firman M.S.

NAMA : AMINAH DAULAY


NIM :19006006

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
A. Keberagaman Individu, kelompok dan masyarakat dalam layanan konseling

Keragaman budaya berbentuk keragamanetnis, gender, latar belakang budaya,


geografiasal daerah, ras, kondisi fisik (abilitas/disabilitas), usia (Sue, & Sue, 2003),
sertakeragaman sosial ekonomi, agama, karakteristikpribadi, kemampuan sosial, peri
laku dankebiasaan serta kemampuan intelektual(Redman, 1999). Oleh karena itu,
keragaman(multibudaya) merupakan fitrah kehidupan.

Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara


beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang
memberi artinya. Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam
menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas,
komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik
(kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-
populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.
Namun, Fukuyama 1990 (dalam Supriadi, 2001) yang berpandangan universal
pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural”
yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh
literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik
untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut
dapat dipadukan. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang
melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompokkelompok minoritas, atau
hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik
sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain
seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia.

Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling,


setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling lintas
budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias
budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif.
Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan
melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas
budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsive secara kultural.
Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
encounter) antara konselor dan klien. Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi
jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor
dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan
budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.
Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang
berbeda. Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum.
Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya
akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal.
Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk
melaksanakan konseling.

B. Tema sentral konseling lintas budaya


Kehendak (Pink: 2004) merupakan fitrah manusia yang sudah menjadi tema
kajian tertua di dunia dari data yang diwariskan sejak Yunani, sebagaimana yang
diwariskan oleh Homer dan Sophocles; Plato dan Aristoteles (Frede,2011:1).
Kehendak manusia dapat menjadi kunci jawaban yang dapat digunakan untuk
menjawab banyak persoalan yang dirasakan konseli. Pandangan para Filosof Yunani
Kuno tentang kehendak manusia berkembang hingga abad pertengahan, yaitu pada
masa Stoisisme dan Epikureanisme; Agustinus, Anselmus dan Thomas Aquinas;
Leibniz, Descartes, Hume dan Kant; Schopenhauer dan Freud; Nietzsche,
Kierkegaard, Sartre dan Camus; William James, Wittgenstein, Whitehead, Sam
Harris. Mereka ini memahami kehendak sesuai dengan sudut pandang yang berbeda
beda. Misalnya, dari sisi kecenderungan moralitas, kosmologi, politik, ekonomi,
agama, psikologi, sains, hukum dan kriminologi.

Kehendak merupakan tema tertinggi, karena kehendak merupakan ciri utama:


sifat kemanusiaan (Hans Kung); kematangan identitas (Erik Erikson); kesadaran
moral secara universal (Kohlberg); keutuhan kepribadian (Sugiharto, 2000:262),
kebudayaan dan keragamannya. Sebagai contoh tentang kebudayaan, budaya dapat
dipahami sebagai hasil refleksi kehendak akal budi, kehendak kesenian, kehendak
kepercayaan dan kehendak adat istiadat (KBBI, 1998:149).

Tema sentral dalam pembahasan etika konseling dalam konteks lintas budaya
dan agama, memfokuskan pada kajian mengenai etika seorang konselor dalam
menangani klien/konseli yang berbeda budaya. etika yang dimaksud disini mencakup
analisis dan penerapan konsep mengenai baik, buruk, salah, benar dan tanggung
jawab. Secara sederhana etika yang dimaksud dalam kajian ini adalah sudut pandang
mengenai baik dan buruk, benar dan salah serta tangggung jawab konselor sebagai
pemberi layanan guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh konseli yang
berbeda budaya.

C. Konseling dalam keanekaragaman budaya dalam masyarakat majemuk/plural.


Multikulturalisme adalah “pengakuan pluralisme budaya yang menumbuhkan
kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok-kelompok minoritas terintegrasi ke
dalam masyarakat dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya kelompok-
kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka diakui” (Kymlika dalam
Haryatmoko, 2007). Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling yang
dilaksanakan di Indonesia, Moh. Surya (2008) beranggapan dan mengetengahkan
tentang pola khas pelaksanaanbimbingan dan konseling multikultural, bahwa
bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk
lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling
dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas
keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada
nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang
harmoni dalam kondisi pluralistik.

Di masyarakat multikultural yang sekarang ini, tidak mungkin layanan


bimbingan dan konseling berjalan seperti apa adanya, namun harus menguasai dan
memahami kehidupan masyarakat yang multikultural secara mendalam. Sehingga
proses layanan akan berjalan dengan apa yang diharapkan atau sesuai dengan tujuan
dan fungsi bimbingan dan konseling.Kesadaran budaya merupakan salah satu dimensi
yang penting dalam memahami masyarakat dengan keragaman budaya. Hal ini akan
membantu dalam memberikan makna akan pemahaman mengenai perbedaan yang
muncul. Konselor sebagai pendidik psikologis memiliki peran strategis dalam
menghadapi keragaman dan perbedaan budaya. Oleh karena itu, konselor perlu
memiliki kompetensi dan menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik secara
pribadi maupun lintas budaya.Pemahaman mengenai prilaku dan proses interaksi
dalam kehidupan bermasyarakat menjadi faktor penting dalam mewujudkan.

Faktor utama yang harus dimiliki konselor adalah kemampuan berinteraksi


dan berkomunikasi dengan kemajemukan dan keberagaman budaya; konselor harus
peka terhadap kemajemukan budaya yang dimiliki individu; memiliki pemahaman
mengenai rasial dan warisa budaya; dan bagaimana hal tersebut secara personal dan
professional yang mempengaruhi pengertian dan hal yang bisa terjadi dalam proses
konseling; serta memiliki pengetahuan mengenai pengaruh social terhadap orang
lain.Konselor sebaiknya dapat meingkatkan penghargaan diri terhadap perbedaan
budaya, sehingga menyadari streotipe yang ada dalam dirinya dan memiliki persepsi
yang jelas mengenai pandangannya terhadap kelompok-kelompok monoritas sehingga
dapat meningkatkan kemampuan untuk menghargai secara efektif dan pemahaman
yang sesuai dengan perbedaan budaya (Brown & Williams, 2003).Konselor perlu
memperkuat kesadaran mengenai budaya yang beragam dalam kehidupan manusia.
Pentingnya memahami perbedaan nilai-nilai, persepsi, emosi dan faktor-faktor yang
menjadi wujud kemajemukan yang ada. Kompetensi, kualitas dan guide lines
mengenai kesadaran budayanya sendiri yang dapat diwujudkan dengan memiliki
kesadaran dan kepekaan pada warisan budayanya sendiri, memiliki pengetahuan
mengenai ras-nya dan bagaimana hal ini secara personal dan professional yang
mempengaruhi proses konseling, serta memiliki pengetahuan mengenai kehidupan
sosial yang dapat mempengaruhi oranglain.Sejalan dengan dinamika kehidupan,
kebutuhan akan pentingnya bimbingan konseling tidak hanya dirasakan dilingkungan
sekolah saja. Saat ini sedang dikembangkan pula pelayanan bimbingan dan konseling
dalam lingkup yang lebih luas.Semua itu membawa konsekuensi tersendiri untuk
kepentingan tersebut. Bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan masyarakat karena
populasi yang beragam dan sejumlah tipe serta ciri problem manusia yang makin
meluas.
DAFTAR PUSTAKA

D. W. & Sue, D. (2003). Counseling Culturally Diverse: Theory and Practice Fourth
Edition.USA: John Wiley & Sons. Inc.
David, Fred R,2011. Strategic Management, Buku 1. Edisi 12 Jakarta
Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan Dan penyuluhan Konseling di Sekolah
(Bandung: Rineka Cipta, 2008).
Degibson Siagian, Sugiarto. (2000). Metode Statistika Untuk Ekonomi dan Bisnis.
Jakarta : Gramedia
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi (Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi). Yogyakarta: Kanisius.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1998). Jakarta : Pustaka Amani
Pink. A. 2004. Gardening for the Million Project. Literary Achive
Foundation,Gutenberg.
Redman, G. L. (1999). Casebook for Exploring Diversity in K-12 Classrooms,
Colombus Ohio: Merrill.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai