Anda di halaman 1dari 24

PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KEHIDUPAN KONSELOR

Makalah
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengembangan Pribadi
Konselor

oleh
A. Mursal (0106519045)
Ganjar Suargani (0106519017)
Julia Surya (0106519022)

dosen pengampu
Dr. Awalya, M.Pd., Kons.

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa


yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “PENGEMBANGAN NILAI-NILAI
KEHIDUPAN PRIBADI KONSELOR” dengan tepat waktu. Pembuatan makalah
ini berguna untuk memenuhi tugas mata kuliah “PENGEMBANGAN PRIBADI
KONSELOR” dari Ibu Dr. Awalya, M.Pd., Kons. selaku dosen pengampu.
Makalah ini disusun dari beberapa sumber buku. Tak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan yang lebih baik dimasa mendatang.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaatan bagi kita semua.

Semarang, … November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penulisan ....................................................................................... 2
1.4. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2
II PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KEHIDUPAN KONSELOR
2.1. Konsep Nilai Kehidupan ............................................................................. 3
2.2. Hubungan Nilai dengan Kepribadian Konselor ..................................... 11
2.3. Kualitas Nilai Kepribadian Konselor ...................................................... 14
SIMPULAN ......................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA RUJUKAN ..................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepribadian konselor adalah suatu hal yang sangat penting dalam konseling.
Seorang konselor haruslah dewasa, ramah, dan bisa berempati. Mereka harus
alturistik (peduli kepada kepentingan orang lain tanpa pamrih) dan tidak mudah
marah atau frustrasi. Dalam konteks ciri pribadi konselor yang efektif, Gladding
(2012: 62-63) menyimpulkan bahwa, kualitas dan perilaku yang sangat
dibutuhkan untuk menjadi konselor efektif akan terus meningkat, sejalan dengan
perkembangan konseling sebagai profesi. Namun, ada beberapa kualitas dan
kemampuan dasar yang yang harus dimiliki semua konselor agar dapat bekerja
efektif. Salah satu kualitas tersebut adalah kepribadian inti konselor. Orang
merasa nyaman bekerja dalam lingkungan konseling karena latar belakang, minat,
dan kemampuannya. Mayoritas konselor yang efektif memiliki minat di bidang
sosial, seni, dan menikmati bekerja dengan manusia dalam berbagai bidang
pemecahan masalah dan pengembangan. Konselor yang efektif biasanya
mempunyai karakteristik hangat, bersahabat, terbuka, peka, sabar, dan kreatif.
Mereka secara konsisten menjaga kesehatan mental mereka sendiri, dan berusaha
agar tidak mengalami kelelahan maupun ketidakefektifan. Pendidikan merupakan
kualitas kedua yang terkait dengan efektivitas konselor, yaitu mereka sudah
menempuh program konseling terakreditasi atau yang setara dengan itu, baik di
tingkat master maupun doktoral. Banyak di antaranya yang juga sudah memiliki
keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan untuk bekerja dalam bidang konseling
spesialis. Paling tidak di lingkungan sistem persekolahan Indonesia (Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), seorang konselor minimal memenuhi kualifikasi
akademik Sarjana pendidikan (S1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling, dan
berpendidikan profesi konselor. Bidang ketiga yang terkait dengan efektivitas
dalam konseling adalah teori dan sistem. Konselor yang efektif mengetahui bahwa
teori adalah “mengapa” di balik “bagaimana” dari teknik dan praktik, dan bahwa

1
2

tidak ada yang lebih praktis dibanding menguasai pendekatan teoretis utama
dalam konseling. Konselor yang demikian akan sistematis dan terampil dalam
menerapkan teori dan metode dalam praktik mereka. Banyak yang menggunakan
tipe eklektisisme yang sehat dalam pekerjaannya. Mereka bekerja secara
sistematis dari ancangan perkembangan/kesejahteraan, model medis/patologis,
atau gabungan keduanya. Terlepas dari itu, konselor yang efektif tahu bagaimana
individu berkembang sepanjang masa kehidupannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah konsep nilai kehidupan?
2. Bagaimanakah hubungan nilai dengan pribadi konselor?
3. Apa sajakah kualitas nilai kepribadian konselor?

1.3 Manfaat Penulisan


Menambah khasanah pengetahuan pengembangan nilai-nilai kehidupan pribadi
konselor.

1.4 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan konsep nilai kehidupan.
2. Menjelaskan hubungan nilai dengan pribadi konselor.
3. Mengetahui kualitas nilai kepribadian konselor.
BAB II
PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KEHIDUPAN KONSELOR

2.1 Konsep Nilai Kehidupan


Terdapat perbedaan dalam mengartikan nilai. Perbedaan cara pandang dalam
memahami makna dan/atau pengertian “nilai” bukan untuk menyalahkan definisi
lain, akan tetapi merupakan suatu khazanah para pakar, dan juga sesuatu yang
sangat wajar karena didasari persepsi masing-masing para pakar berdasarkan
sudut pandang teoritis, empiris dan analisis.

Nilai-nilai adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan


terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku. Sistem
nilai dalam suatu organisasi adalah tentang nilai-nilai yang dianggap penting dan
sering di artikan sebagai perilaku personal. Nilai merupakan milik setiap pribadi
yang mengatur langkah – langkah yang seharusnya dilakukan karena merupakan
cetusan dari hati nurani yang dalam dan diperoleh seseorang sejak kecil.

Nilai juga dianggap sebagai sesuatu yang baik yang menjadi suatu norma
tertentu yang mengatur ketertiban kehidupan sosial manusia. Karena manusia
merupakan makhluk budaya dan makhluk sosial selalu membutuhkan bantuan
orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik berupa jasmaniah (segi
ekonomis) maupun rohaniah (segi spiritual) maka manusia dalam interaksi dan
interpendensinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina
dengan baik dan selaras.

Nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan karena


mempunyai kaitan yang erat. Jika kebudayaan di pahami sebagai hasil cipta
manusia untuk memperbaiki, mempermudah, dan meningkatkan kualitas diri,
maka nilai nilai hidup dan kehidupan meruapakan hasil kebudayaan. Akan tetapi,
jika kebudayaan dimengerti sebagai keseluruhan kemampuan baik pikiran, kata,
dan tindakan atau perbuatan manusia, maka nilai-nilai hidup dan kehidupan

3
4

merupakan unsur-unsur kebudayaan yang digunakan untuk berinteraksi dengan


lingkungan dan sesuai sikonnya.

Definisi ini menekankan bahwa nilai merupakan standar bagi sikap dan
aktivitas seseorang. Sedangkan Milton Rokeah seperti di kutip oleh Kosasih
Djahiri (1985: 20 ) mengartikan nilai: “suatu kepercayaan (belief) yang bersumber
pada sistem nilai seseorang, mengenai apa yang patut atau apa yang tidak patut
dilakukan seseorang mengenai apa yang berharga dan apa yang tidak berharga.

Berikut ini akan dikemukakan empat definisi nilai yang masing masing
mempunyai tekanan yang berbeda, yaitu :
1) Menurut Goldon Allport, seorang ahli psikologi (1964), nilai adalah
keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Nilai
terjadi pada wilayah psikologis yang membuat keyakinan, seperti hasrat,
motif, sikap, keinginan dan kebutuhan. Karena itu keputusan benar-salah,
baik-buruk, indah-takindah pada wilayah ini merupakan hasil dari serentetan
proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan
perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.
2) Menurut Kupperman, seorang ahli sosiolog (1983), nilai adalah patokan
normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara
cara-cara tindakan alternatif. Definisi ini mempunyai tekanan utama pada
norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Oleh
sebab itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai adalah
pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.
3) Menurut Kluckhohn (Brameld, 1957), nilai sebagai konsepsi (tersirat atau
tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa
yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan
tujuan akhir tindakan.

Dengan demikian bahwa nilai merupakan seperangkat tingkah laku


seseorang menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi
atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat, baik
yang bersumber metafisika, teologi, estetika maupun logika.
5

Menurut maknanya etika, etiket, hal hal etis, nilai dan norma dapat
berlaku atau mempunyai kesamaan secara universal. Akan tetapi, jika
diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk kata dan tindakan serta perilaku dalam
interaksi antar manusia, maka berbeda sesuai situasi dan kondisi serta lingkungan
interaksi itu terjadi. Orang-orang di benua Amerika, Eropa, Asia dan benua
lainnya mempunyai pengertian ataupun pemahaman yang relatif sama tentang
etika, etiket, hal-hal etis, nilai dan norma. Namun ada perbedaan dalam
mengimplementasikan hal tersebut pada kehidupan sehari-hari seperti halnya
dalam tindakan, ucapan kata-kata dan perilaku keseharian yang telah menjadi
kebiasaan masyarakat pada setiap wilayahnya. Akan menjadi sebuah masalah jika
kebiasaan tersebut dilakukan pada sikon yang tidak sesuai dengan nilai atau
norma pada wilayah –wilayah masyarakat tertentu.

Nilai atau value disini diartikan sebagai suatu ukuran pada diri seseorang
tergantung tentang suatu sikap, kata, situasi, dan lain-lain, yang dapat dan selalu
atau sering mempengaruhi perilakunya. Nilai selalu mempunyai kaitan dengan
norma atau petunjuk-petunjuk agar mempunyai hidup serta berprilaku yang baik.
Norma biasanya tidak tertulis namun berlaku dan disetujui secara umum. Jadi,
nilai – nilai hidup dan kehidupan merupakan keseluruhan tampilan diri, sikap,
kata, perbuatan, manusia sesuai sikonnya. Yang termasuk nilai-nilai hidup antara
lain :
1) Agama atau ajaran-ajaran agama
Agama atau ajaran agama biasanya besifat mutlak. Artinya tertanam dan
berakarnya nilai-nilai dalam diri seseorang, yang telah menjadi prinsip
hidupnya.
2) Norma ataupun kebiasaan yang berlaku dalam komunitas
Norma yang berlaku dalam komunitas biasana bersifat warisan bersama,
artinya semua anggota komunitas menyetujui dan mempraktekkannya, maka
hal itu terus menerus diturunkan kepada generasi berikutnya dan bisa dipakai
sebagai salah satu identitas bersama pada komunitas tersebut.
3) Pendidkan formal dan informal, disiplin, latihan, bimbingan orang tua
maupun guru
6

Semuanya itu merupakan penanaman nilai-nilai yang dilakukan sejak dini


oleh orang dewasa kedalam diri seseoarang atau anak-anaknya, proses ini
dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja dengan tujuan menanamkan
nilai luhur, baik dan benar, yang menjadikan seseorang dapat diterima oleh
sesamanya.
4) Interaksi sosial
Interaksi sosial dapat membawa perubahan pikiran dan tujuan
mengungkapkan kata serta melakukan tindakan.
5) Pengalaman serta wawasan
Didapat karena adanya interaksi dengan orang lain serta keterbukaan
menyerap hal-hal baru yang dengan demikian adanya kesamaan nilai hidup
dan kehidupan yang ada di suatu komunitas masyarakat.

Nilai-nilai hidup dan kehidupan pada pribadi seseorang berbeda dengan


yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai hidup dan kehidupan dalam
masyarakat pun mempunyai aneka perbedaan tertentu karena berbagai latar
belakang anggotanya. Orang-orang yang mempunyai nilai keagamaan yang baik,
kokoh dan kuat akan menjadikan ia mampu bersifat kritis terhadap hal-hal yang
ada disekitarnya. Namun nilai kehidupan yang dominan karena ajaran agama tidak
boleh menjadikan fanatisme keagamaan yang sempit, nilai agama seharusnya
dapat menjadi suatu saringan untuk mampu menahan diri terhadap semua
pengaruh buruk.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal dan menganut berbagai
macam nilai kehidupan. Beberapa contoh nilai kehidupan itu antara lain sebagai
berikut :
1) Nilai Kekuasaan, seperti persepsi terhadap keinginan untuk mendudukkan
atau mempengaruhi orang lain.
2) Nilai Cinta atau Kasih Sayang, seperti ikatan batin, saling menghagai, saling
menghormati, saling membantu, memikirkan kepentingan dan kebaikan orang
lain
7

3) Nilai keindahan, seperti kemampuan intuk menghargai dan menikmati hal hal
indah, serasi, dan bagus.
4) Nilai keindahan fisik, seperti persepsi terhadap keadaan tubuh yang dianggap
ideal atau serasi.
5) Nilai kesehatan, seperti keinginan untuk memiliki keadaan tubuh yang jauh
dari penyakit.
6) Nilai keterampilan, seperti keinginan untuk memiliki kemampuan melakukan
berbagai hal dengan tepat, mudah, dan cepat.
7) Nilai rasa sejahtera dan aman, seperti memiliki keinginan untuk bebas dari
tekanan, kecemasan dan konflik batin.
8) Nilai pengetahuan, seperti tuntutan diri terhadap informasi, kebenaran, hal hal
yang dapat memuaskan rasa ingin tahu atau memiliki kemampuan untuk
mengetahui sesuatu yang diinginkan.
9) Nilai moral, seperti keinginan untuk memiliki pemikiran, keyakinan, dan
tindakan yang sesuai dengan norma yang diterima oleh masyarakat.
10) Nilai keagamaan atau kepercayaan, yaitu iman terhadap tuhan dan keinginan
untuk dapat hidup sesuai dengan agama dan kepercayaan.
11) Nilai keadilan, seperti keinginan untuk memiliki sikap adil, sifat tidak
memihak atau membedakan manusia, menghargai kebenaran dan fakta, serta
mampu memperlakukan orang lain secara adil.
12) Nilai altruisme, yaitu memiliki kemauan dan kemampuan untuk
memperhatikan kebutuhan, kepentingan dan kebahagiaan orang lain.
13) Nilai pengakuan atau penghargaan, seperti keinginan untuk mengakui bahwa
dirinya sendiri adalah pentin, berharga, dan layak mendapatkan perhatian
serta penghargaan dari orang lain.
14) Nilai kesenangan, seperti keinginan merasakan kenikmatan atau kegembiraan.
15) Nilai kebijaksanaan, seperti memiliki kemauan menggunakan akal sehat,
pengalaman dan pengetahuan dengan tepat.
16) Nilai kejujuran, seperti memiliki kebaikan hati, ketuluasan hati, kesungguhan
hati dan keterusterangan.
17) Nilai prestasi, seperti penghargaan terhadap hasil yang baik dari kerja keras.
8

18) Nilai kemandirian atau otonomi, seperti kemampuan untuk berdiri sendiri dan
tidak dikuasai orang lain.
19) Nilai kekayaan, seperti keinginan untuk memiliki banyak harta yang berharga
dan atau memiliki banyak uang.
20) Nilai kesetiaan, seperti keinginan memiliki keteguhan hati dalam
persahabatan, dalam ikatan dengan kelompok atau lembaga tertentu.

Di antara kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor yaitu


beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menunjukkan integritas
dan stabilitas kepribadian yang kuat. Integritas dan stabilitas kepribadian tersebut
dapat tercermin dalam perilaku yang terpuji, emosi yang stabil, peka, bersikap
empati, menghormati keragaman dan perubahan, toleransi tinggi, bertindak secara
cerdas, kreatif, inovatif dan produktif, bersemangat, berdisiplin, mandiri,
berpenampilan menarik dan menyenangkan, serta berkomunikasi secara efektif.
Selain itu, Prayitno & Erman Amti mengungkapkan sepuluh kapribadian bagi
seorang guru pembimbing (konselor), yaitu perangai, emosi, mandiri, bobot,
integritas, mawas, berani, inteligensi, nalar dan gagasan.

Kepribadian konselor atau yang biasa dikaitkan dengan kualitas pribadi


konselor menurut Willis dalam Anas Salahudin yakni semua kriteria unggulan,
termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan dan nilai-nilai yang
dimilikinya, yang akan memudahkannya dalam menjalankan proses konseling
sehingga mencapai tujuan dengan berhasil (efektif). Kajian mengenai kepribadian
konselor selama ini lebih berpusat pada teori-teori kepribadian yang berasal dari
Barat, khususnya Amerika Serikat. Namun tidak semua teori yang berasal dari
Barat tersebut dapat digunakan oleh konselor di Indonesia. Hal ini dikarenakan
pertimbangan beberapa aspek penting, seperti nilai spiritual, nilai adat, nilai sopan
santuan, dan lain sebagianya. Di Indonesia dengan penduduk yang sebagian besar
memeluk agama Islam, nilai-nilai tersebut sangatlah penting untuk
dipertimbangkan. Dimana tokoh Kiai merupakan salah satu panutan bagi
masyarakat yang beragama Islam khususnya.
9

Nilai merupakan bagian yang amat penting dari pengalaman yang


mempengaruhi perilaku individu. Nilai meliputi sikap individu, sebagai standar
tindakan dan keyakinan (belief). Nilai dapat menyatakan pada orang lain apa yang
penting bagi individu dan menuntun individu dalam mengambil keputusan. Nilai
menjadi pedoman atau prinsip umum yang memandu tindakan, tentang apa yang
harus dilakukan dan kapan melakukannya. Masyarakat yang berbeda dapat sama-
sama menganggap prestasi sebagai sesuatu yang bernilai, namun dapat berbeda
dalam hal apa yang harus diraih, bagaimana meraihnya, dan kapan perlu meraih
prestasi tersebut.

Berikut dua konsep nilai yang sering dijadikan rujukan dalam


mengngkap nilai, yakni konsep nilai Rokeach dan konsep nilai Schwartz :

1) Rokeach mengungkapkan bahwa nilai bersifat stabil, karena nilai bukan


merupakan evaluasi terhadap tindakan atau objek spesifik, melainkan lebih
mempresentasikan kriteria normatif yang digunakn untuk membuat evaluasi.
Selain itu, nilai dianggap sebagai daya yang dapat menggerakkan perilaku,
sehingga nilai menjadi istrumen untuk menjelaskan perilaku individu.
2) Sedangkan Schwartz mengungkapkan bahwa nilai mempresentasikan respon
individu secara sadar terhadap tiga kebutuhan dasar, yakni kebutuhan
fisiologis, interaksi sosial, dan institusi sosial yang menjamin keberlangsungan
hidup dan kesejahteraan kelompok.

Nilai sebagai bagian integral dari perilaku sosial dalam suatu budaya
yang bersifat religius, spiritual, dan mengatur. Budaya merupakan warisan
sekaligus masa depan yang menjadi dasar bagi individu dan bangsa untuk
membentuk identitasnya. Budaya adalah sistem nilai dan kepercayaan yang
dipegang secara bersama oleh beberapa orang dan memberikan perasaan menjadi
bagian dari kelompok atau rasa identitas. Nilai pribadi konselor yang akan dikaji
yakni pribadi konselor dalam teori person centered therapy yang dicetuskan oleh
Carl Rogers.

Konsep person centered therapy dalam memandang kepribadian


manusia, menurut Rogers terdiri dari tiga aspek, yaitu pertama, organisme,
10

phenomenal field, dan self concept. Organisme merupakan individu itu sendiri,
mencakup aspek fisik maupun psikologis. Sedangkan phenomenal filed yaitu
pengalaman-pengalaman hidup yang bermakna secara psikologis bagi individu,
berupa pengetahuan, pengasuhan orang tua dan hubungan pertemanan. Dan yang
terakhir self concept yakni interaksi organisme atau fisik individu sendiri dengan
phenomenal field yang akan membentuk (“I/me”/saya).

Teori person centered berlandaskan suatu filosofi tentang bagaimana


manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya akan kenyataan.
Orang termotivasi untuk mengaktualisasikan diri dalam kenyataan yang
dipersepsinya. Oleh karena itu, diperlukan adanya konsep diri ataupun
mempersepsi diri dalam menghadapi masalah yang dihadapi tersebut, agar
mencapai aktualisasi diri yang seseorang miliki. Manusia memiliki kesanggupan
untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif.

Menurut Corey, pendekatan person centered dibangun atas dua hipotesis


dasar, yaitu (1) setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami keadaan yang
menyebabkan ketidakbahagiaan dan mengatur kembali kehidupannya menjadi
lebih baik, dan (2) kemampuan seseorang untuk menghadapi keadaan ini dapat
terjadi dan ditingkatkan jika konselor menciptakan kehangatan, penerimaan, dan
dapat memahami relasi (proses konseling) yang sedang dibangun. Dalam
pendekatan person centered therapy, seseorang dilihat sebagai sosok yang
bertindak untuk memenuhi kebutuhan pokokonya, yakni kebutuhan untuk
aktualisasi diri dan kebutuhan untuk dicintai dan dihargai oleh orang lain.

Berdasar pendapat Brian Thorne dan Gerald Corey mengenai kepribadian


terapis (konselor) dalam teori person centered therapy Carl Rogers, dapat
dikategorikan ke dalam tujuh nilai sikap atau kepribadian yaitu objektivitas,
menghormati individu, pemahaman diri, pengetahuan psikologis, keselarasan atau
kesejatian, perhatian positif tanpa syarat, dan pengertian empatik yang akurat.

Menelaah nilai nilai kepribadian konselor berdasarkan pendapat diatas


maka akan di jelaskan sebagai berikut :
11

1) Objektivitas. Objektivitas dimana termasuk kapasitas simpati yang tidak


berlebihan, sikap yang munjukkan keaslian penerimaan dan perhatian, dan
pemahaman yang mendalam
2) Mengormati Individu. Menghormati individu bertujuan untuk melepaskan
tanggung jawab utama ditangan klien sebagai individu yang akan menuju
kebebasan diri/ kemandirian.
3) Pemahaman diri, artinya menerima dirinya sendiri serta sadar diri.
4) Pengetahuan Psikologis. Pengetahuan psikologis secara menyeluruh tentang
prilaku manusia dan fisik, sosial dan penentu psikologis. Hal ini bertujuan
agar ia mampu memberikan wawasan dan cara penyampaiannya lebih efektif
dan efesien, sesuai dengan karakteristik orang tersebut.
5) Keselarasan atau kesejatian. Ini mengisyaratkan bahwa seorang terapis harus
tampil nyata, yang berarti sejati, terintegrasi, dan otentik selama dalam proses
terapi. Ia tampil tanpa kepalsuan, pengalaman batin dan ekspresinya
bersesuaian, serta secara terbuka mengungkapkan perasaanperasaan dan
sikap-sikap yang muncul dalam hubungan dengan klien.
6) Perhatian positif tanpa syarat. Dalam artian, perhatian yang diberikan tidak
dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap perasaan-perasaan,
pemikiran-pemikiran, dan tingkah laku klien sebagai baik atau buruk. Ia
menerima dan menilai klien secara hangat tanpa menaruh syarat dalam
penerimaannya itu.

Pengertian empatik yang akurat. Konsep ini menyiratkan bahwa terapis


dapat memahami perasaan-perasaan klien seakan-akan perasaan-perasaan itu
merupakan perasaan-perasaannya sendiri, namun tanpa tenggelam di dalamnya.
Salah satu tugas utama terapis adalah mengerti secara peka dan akurat perasaan
seorang klien dalam proses terapi.

2.2 Hubungan Nilai dengan Pribadi Konselor


Nilai suatu yang dianggap baik yang menjadi suatu norma tertentu mengatur
ketertiban kehidupan sosial manusia. Karena manusia merupakan makhluk budaya
dan makhluk sosial selalu membutuhkan bantuan oranglain dalam memenuhi
12

kebutuhan sehari-hari, baik berupa jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohani


(segi spiritual), maka manusia dalam interaksi dan interdependensinya harus
berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan
selaras.

Dalam pendidikan, manusia sebagai subjek pendidikan (siap untuk


mendidik) dan sebagai objek (siap untuk dididik), berhasil atau tidaknya usaha
pendidikan tergantung pada jelas atau tidaknya tujuan pendidikan. Di Indonesia,
tujuan pendidikan berlandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu,
Pancasila. Filosofi pendidikan pancasila: usaha-usaha pendidikan dalam keluarga,
masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi.

Dalam rangka mengembangkan sifat sosial, manusia selalu menghadapi


masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai. Nilai-nilai itu
merupakan faktor internal dengan hubungan antar sosial tersebut, sebagaimana
dikatakan Celcius, ubi societas, ibiius “dimana ada suatu masyarakat, disana pasti
ada hukum”. Dengan kata lain, sebagaimana pandangan aliran progresivisme,
nilai itu timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor lain dari masyarakat
saat nilai itu timbul. Sehingga nilai akan selalu muncul apabila manusia
mengadakan hubungan sosial dan bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini
sesuai dengan aliran progresivisme bahwa “masyarakat sebagai wadah nilai-nilai”.

Aktivitas bimbingan konseling, pada dasarnya, merupakan interaksi


timbal balik, yang di dalamnya terjadi. Hubungan saling mempengaruhi antara
konselor sebagai pihak yang membantu dan konseli sebagai pihak yang dibantu.
Hanya saja, mengingat konselor diasumsikan sebagai pribadi yang akan
membimbing konseli dalam mencapai tujuan tertentu, maka dalam relasi ini
sangat dibutuhkan adanya kapasitas tertentu yang harus dimiliki konselor.
Kapasitas tertentu inilah yang menentukan kualitas konsleor. Kualitas konselor
adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi, pengetahuan, keterampilan,
wawasan, dan nilai-nilai yang dimiliki konselor, yang akan menentukan
keberhasilan (efektivitas) proses bimbingan dan konseling.
13

Salah satu kualitas yang dibicarakan adalah kualitas pribadi konselor,


kualitas konselor adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi,
pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan nilai- nilai yang dimiliki konselor, yang
akan menentukan keberhasilan (efektivitas) proses bimbingan dan konseling.
Salah satu kualitas adalah kualitas pribadi konselor, yang menyangkut segala
aspek kepribadian yang amat penting dan menentukan efektivitas konseling (Putri,
2016). Dengan kata lain, efektivitas proses konseling akan dipengaruhi oleh besar
modal yang dimiliki konselor. Modal ini meliputi dua aspek yaitu, aspek personal
dan profesional.

Modal personal adalah hal-hal yang menyangkut kualitas kepribadian


yang dimiliki konselor, sementara aspek profesional lebih mengarah pada
kualifikasi pendidikan, pengetahuan serta penguasaan konselor atas berbagai teori
dan teknik konseling. Meminjam bahasa Ary Ginanjar, modal personal dapat
dimaknai sebagai kecerdasan emosional dan spiritual, sementara modal
profesional lebih berorientasi pada kecerdasan intelektual. Perlu dicatat, beberapa
kajian mutakhir tentang kecerdasan menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan
spiritual ternyata lebih menentukan kesuksesan/kebahagiaan hidup seseorang
dibandingkan peran kecerdasan intelektual. Dalam konteks bimbingan dan
konseling dapat dianalogikan bahwa keberhasilan konselor dalam melakukan
pekerjaannya yaitu membimbing klien sangat ditentukan oleh kecerdasan emosi
dan spiritual daripada kecerdasan intelektual yang dimilikinya (Fuad, 2009).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 27 tahun 2008 tentang


standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor menyebutkan bahwa
diantara kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh konselor adalah
kompetensi kepribadian. Catatan teks peraturan Pendidikan Nasional Nomor 27
Tahun 2008 memaparkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, Beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menampilkan kepribadian yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; konsisten dalam menjalankan
kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain; berakhlak mulia,
serta berbudi pekerti luhur. Kedua, menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai
14

kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih dengan mengaplikasikan


pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual,
bermoral, sosial, individual, dan berpotensi; menghargai dan mengembangkan
potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya; peduli
terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya;
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya;
toleran terhadap permasalahan konseli; bersikap demokratis. Ketiga, menunjukkan
integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dengan menampilkan kepribadian
dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah dan konsisten;
menampilkan emosi yang stabil; peka, bersikap empati, serta menghormati
keragaman dan perubahan; menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang
menghadapi stres dan frustasi. Keempat, menampilkan kinerja berkualitas tinggi
dengan menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif;
bersemangat, disiplin, dan mandiri; berpenampilan menarik dan menyenangkan;
berkomunikasi secara efektif (Riswanto, 2016).

2.3 Kualitas Nilai Kepribadian Konselor


Pribadi konselor yang berkualitas merupakan hal yang esensial dalam sebuah
konseling untuk mencapai keberhasilan konseling yaitu terjadinya pemahaman
pada klien terhadap permasalahan yang dihadapi termasuk solusinya (Putri dalam
Triyono, Al-Ghozaly, & Imanti, 2018: 173). Hal ini dikarenakan bahwa konselor
merupakan instrument dalam aktivitas konseling, sehingga keberhasilan terletak
pada pribadi konselor. Sementara, menurut Fuad pengembangan pribadi konselor
harus ditinjau dari beberapa aspek. Menurutnya, efektifitas bimbingan konseling
sangat ditentukan oleh pribadi konselor, kualitas pribadi konselor perlu
dimaksimalkan dan diutamakan dalam porsi pendidikan konselor, pribadi
konselor yang berkualitas juga lebih ditunjukkan dalam menyikapi sesuatu; nilai-
nilai yang dianut; perilaku yang tampak, serta perilaku dari respon tertentu; dan
spiritualitas konselor, dibutuhkan pelatihan diri yang bermuatan psiko-spiritual-
edukasi bagi konselor (Fuad dalam Triyono, Al-Ghozaly, & Imanti, 2018: 173).
15

Beberapa penelitian pakar konseling menemukan bahwa keefektifan


konselor banyak ditentukan oleh kualitas pribadinya. Secara umum, berangkat
dari hasil penelitian tersebut, khususnya untuk konteks Indonesia, beberapa
kerakteristik kepribadian yang perlu dimiliki seorang konselor adalah sebagai
berikut:
1) Beriman dan bertakwa
2) Menyenangi manusia
3) Komunikator yang terampil
4) Pendengar yang baik
5) Memiliki ilmu yang luas, terutama tentang wawasan manusia dan sosial-
budaya
6) Menjadi nara sumber yang kompeten
7) Fleksibel, tenang dan sabar
8) Menguasai keterampilan atau teknik
9) Memiliki intuisi
10) Memahami etika profesi
11) Respek, jujur, asli, menghargai, dan tidak menilai
12) Empati, memahami, menerima, hangat, dan bersahabat
13) Fasilitator dan motivator
14) Emosi stabil, pikiran jernih, cepat dan mampu
15) Objektif, rasional, logis, dan konkrit
16) Konsisten dan tanggung jawab

Kualitas tambahan dari konselor yang efektif selain yang sudah


disebutkan meliputi:
1) Kompetensi intelektual: Keinginan dan kemampuan untuk belajar sekaligus
berpikir cepat dan kreatif.
2) Energi: Kemampuan untuk aktif dan tetap aktif dalam sesi konseling
meskipun melihat jumlah antrian konseli cukup banyak.
3) Keluwesan: Kemampuan beradaptasi dengan apa yang dilakukan konseli guna
memenuhi kebutuhan konseli.
16

4) Dukungan: Kemampuan untuk mendorong konseli mengambil keputusan


sementara membantu menaikkan harapan mereka.
5) Niat baik: Keinginan untuk membantu konseli secara konstruktif, dengan etika
meningkatkan kemandirian mereka.
6) Kesadaran diri: Mengetahui diri sendiri, termasuk perilaku, nilai, dan perasaan
serta kemampuan untuk mengenali bagaimana dan faktor apa yang saling
memengaruhi satu sama lain (Zamroni, 2016: 33-4).

Selain itu, kualitas pribadi konselor yang termasuk dalam kategori baik
menunjukkan bahwa konselor (1) memiliki banyak informasi yang dapat
disampaikan kepada siswa, sungguh-sungguh dalam menjelaskan informasi, dan
menyampaikan informasi yang bermanfaat (resource person), (2) komunikator
dan pendengar yang baik (model of communication), (3) rela berkorban,
mengutamakan kepentingan orang lain, dan ikhlas dalam membantu (altruisis),
(4) pribadi yang berpedoman pada nilai dan norma agama dan mengutamakan
ibadah (pengembangan landasan dan identitas religius), (5) mampu menghayati
masalah yang sedang dialami siswa dan memberikan respon yang dapat
menenangkan (pengembangan empati), (6) pribadi yang tenang, tidak mudah
cemas, tidak mudah marah dan tersinggung, pribadi yang kuat/kokoh, mampu
berintrospeksi diri (pengembangan pribadi terhadap toleransi stres dan frustasi),
(7) memiliki keyakinan terhadap sisi positif orang lain, bersyukur, dan memiliki
jiwa optimis (pengembangan berpikir positif), (8) pribadi yang taat terhadap
aturan-aturan dan mampu membina hubungan baik dengan sesama manusia
(pengembangan nilai-nilai kehidupan pribadi), (9) memiliki kesadaran dan
penerimaan terhadap perbedaan budaya yang dimiliki oleh setiap orang, tidak
menaruh kecurigaan, dan tidak membeda-bedakan perlakuan (prasangka dan
stereotif budaya positif), (10) kemampuan mengarahkan, memantau, dan
mengontrol (pengembangan manajemen diri) (Ahadiyah & Awalya, 2017, p. 4-5).

Sementara itu, ABKIN (Asosiasi Profesi Bimbingan dan Konseling)


merumuskan bahwa salah satu komponen standar kompetensi yang harus dijiwai
17

dan dimiliki oleh konselor adalah mengembangkan pribadi dan profesionalitas


secara berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi:
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2) Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat
3) Memiliki kesadaran diri dan komitmen terhadap etika professional
4) Mengimplimentasikan kolborasi intern di tempat tugas dan secara ekstern
antarprofesi
5) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling

Apa yang diungkap oleh Willis maupun yang dirumuskan oleh ABKIN
di atas, mengisyaratkan bahwa porsi kecerdasan atau kematangan emosi dan
spiritual konselor harus lebih ditekankan daripada sisi intelektual dan
keterampilan teknis. Persoalannya adalah mampukah lembaga pendidikan menjadi
konselor yang memenuhi kriteria tersebut atau pertanyaan besar bagi para ahli
bimbingan dan konseling adalah mampukah kita mendidik atau
mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konseling selalu ditegaskan bahwa konselor tidak mempengaruhi


pandangan, keyakinan dan tingkah laku konselinya, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Jadi dikarenakan konselor berperan sebagai pihak yang secara
personel maupun professional menyediakan diri untuk sepenuhnya membantu
konseli tanpa syarat, maka dia juga berkewajiban menerima konseli yang
menghadapi masalah demikian dengan berusaha membantunya. Aspek nilai dalam
konseling adalah hal yang sangat fundamental. Pertentangan antara nilai-nilai
yang dianut konselor tidak dapat dilanjutkan, utamaanya konseling adalah hal
yang sangat fundamental. Pertentangan antaara nilai-nilai yang dianut oleh
konselor dengan yang dianut oleh konseli akan menyebabkan konseling tidak
dapat dilanjutkan, utamanya konseling yang menyangkut pengambilan keputusan
berhubungan dengan nilai-nilai dasar kedua belah pihak.

Aktivitas bimbingan dan konseling, pada dasarnya merupakan interaksi


timbal-balik, yang di dalamnya terjadi hubungan saling mempengaruhi antara
konselor sebagai pihak yang membantu dan konseli sebagai pihak yang dibantu.
18

Seorang konselor yang bekerja dengan diatur oleh kode etik dan memiliki tugas
untuk membanu menangani masalah konseli harus memiliki nilai kehidupan
dalam melaksanakan profesinya secara professional. Ketentuan ini dapat dilihat di
poin pertama pada “Kualifikasi Dan Kegiatan Profesional Konselor” di dalam
ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling), yang berbunyi sebagai berikut:
Kualifikasi dan kegiatan professional konselor terdiri dari dua poin, yaitu:
1) Memiliki nilai, sikap. Keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang
profesi bimbingan dan konseling. Nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan
wawasan yang harus dimiliki konselor adalah sebagai berikut:
a) Konselor wajib terus menerus berusaha mengembangkan dan menguasai
dirinya
b) Konselor wajib memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar,
menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib dan hormat
c) Konselor wajib memiliki rasa tanggungjawab terhadap saran ataupun
peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan seprofesi
yang berhubungan dengan pelaksanaan ketentuan tingkah laku
professional
d) Konselor wajib mengusahakan mutu kerja yang tinggi dan tidak
mengutamakan kepentingan pribadi termasuk material, finalsial dan
popularitas
e) Konselor wajib terampil dalam menggunakan teknik dan prosedur khusus
dengan wawasan luas dan kaidah-kaidah ilmiah
2) Memperoleh pengakuan atas kemampuan dan wewenang sebagai konselor.
a) Pengakuan keahlian
b) Kewenangan oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan
kepadanya.

Selanjutnya hubungan nilai kehidupan pribadi konselor dengan tugas


seorang konsleor dapat dilihat pula di dlaam salah satu aspek tujuan bimbingan
dan konseling yaitu aspek pribadi-sosial konseli yang terdapat dalam rambu-
rambu penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal
bahwa tujuan bimbingan adalah sebagai berikut: Memiliki komitmen yang kuat
19

dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang


Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluargam pergaulan dengan teman
sebaya, sekolah/madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
SIMPULAN

Proses konseling yang merupakan sentral layanan konseling dilakukan sesuai


dengan kaidah profesi dan kode etik yang ditetapkan. Konselor merupakan sebuah
profesi, tuntutan secara profesi, konselor harus memiliki kualitas pribadi yang
memadai untuk menunjukkan profesionalisme perilaku dan aktivitasnya. Konselor
yang memiliki pribadi mantap, akan sangat menyadari profesinya yang harus
ditunjang dengan kompetensi-kompetensi pribadi, akademik, sosial dan
profesional. Efektivitas konseling sangat ditentukan oleh kualitas pribadi konselor.
Konseling yang efektif bergantung pada kualitas hubungan antara klien dengan
konselor.

19
DAFTAR PUSTAKA RUJUKAN

Ahadiyah, M. F., & Awalya. (2017). Hubungan Antara Kualitas Pribadi Konselor
dan Minat Siswa Terhadap Layanan Konseling Perorangan. Indonesian
Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application, 6(3), 1-7.
Retrive from http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk

Awalya. (2013). Pengembangan Pribadi Konselor. Yogyakarta: Deepublish.


Fuad, M. (2009). Kualitas Pribadi Konselor: Urgensi dan Pengembangannya.
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 3(2), 247-254.

Gladding, S. T. 2012. Konseling Sebuah Profesi yang Menyeluruh. Jakarta: PT.


Indeks.

Mufaridah, H. (2018). Nilai-Nilai Pribadi Konselor Dalam Pribadi Seorang Kiai.


Jurnal Lisan AL-Hal, 12(1).

Putri, A. (2016). Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor Dalam Konseling Untuk


Membangun Hubungan Antar Konselor Dan Konseli. Jurnal Bimbingan
Konseling Indonesia, 1(1), 10-13.

Riswanto, D., Mappiare-AT, A., & Irtadji, M. (2016). Karakteristik kepribadian


ideal konselor (studi hermeneutika gadamerian). Jurnal Pendidikan: Teori,
Penelitian, dan Pengembangan, 1(11), 2113-2117.

Sanyata, Sigit. (2006). Perspektif Nilai Dalam Konseling: Membangun Interaksi


Efektif Antara Konselor – Klien. Paradigma, 2(1), 75-84.

Setyaputri. Nora Y. (2017). Karakter Ideal Konselor Multibudaya Bedasarkan


Nilai Luhur Semar. Jurnal Kajian Bimbingan Konseling, 2(2), 2017, 58-65.

Triyono, Al-Ghozaly, S., & Imanti, V. (2018). Peningkatan Soft Skills Pribadi
Konselor Mahasiswa BKI Melalui Career Development Program (CDP).
KONSELI: Jurnal Bimbingan dan Konseling (E-Journal), 5(2); 171-182.
Doi: https://doi.org/10.24042/kons.v5i2.3207

Zamroni, Edris. (2016). Self-Resilience pada Konselor: Konstruksi Konselor Tahan


Uji Sebagai Pribadi Efektif dalam Melayani Konseli. G-COUNS Jurnal
Bimbingan dan Konseling, 1(1), 24-36. Retrive from
http://ejournal.undwi.ac.id/index.php/widyaaccarya/article/viewFile/445/4
11

20

Anda mungkin juga menyukai