Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

“PENGAPLIKASIAN PENELITIAN PROGRAM EVALUASI DAN


PENAFSIRAN DALAM KONSELING”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling

Dosen Pengampu:
Prof. Dr Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons

Disusun Oleh:
Isti Khoirunnisa : 0106519002
Burhanudin : 0106519019

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019

i
KATA PENGANTAR

Sebagai Kata Pengantar. Pertama, saya mengucapkam syukur Alhamdulillah


yang sedalam dalamnya kepada Allah SWT. Yang mana atas berkah dan rahmatnya
dapat memberikan tuntunan jalan dan kemudahan pada kami untuk dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah ini.
Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dosen
pengampu yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya pada kami, sehingga
dapat mempermudah kami dalam memahami materi yang diberikan.
Makalah ini tersusun dengan berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang kontruktif akan senantiasa kami nanti dalam upaya evaluasi diri demi
terciptanya makalah yang lebih baik kedepanya.
Dengan demikian saya berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan kami dan
penyusunan makalah ini bisa ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat
atau bahkan hikmah bagi kami selaku penyusun dan para pembaca lainnya. Amin ya
Rabbal Alamin.

September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER .............................................................................................. ii


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang ................................................. Error! Bookmark not defined.
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ...................................... Error! Bookmark not defined.
A. Testing dan Assasement dalam konseling.......................................................... 7
B. Penelitian dan Evaluasi dalam Konseling .......................................................... 9
1. Riset (Penelitian) ............................................................................................ 9
2. Evaluasi ........................................................................................................ 25
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 31
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ada empat hal penting dalam proses bimbingan dan konseling, yaitu tes,
assasement, evaluasi dan riset. Tes adalah salah satu cara untuk menaksir besarnya
kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respons seseorang terhadap
stimulus atau pertanyaan (Djemari Mardapi, 2008: 67). Tes merupakan salah satu alat
untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik
suatu objek. Objek ini bisa berupa kemampuan peserta didik, sikap, minat, maupun
motivasi. Respons peserta tes terhadap sejumlah pertanyaan menggambarkan
kemampuan dalam bidang tertentu.
Sedangkan assessment menurut Popham (1995: 3) dalam konteks pendidikan
adalah sebuah usaha secara formal untuk menentukan status siswa berkenaan dengan
berbagai kepentingan pendidikan. Boyer & Ewel mendefinisikan asesmen sebagai
proses yang menyediakan informasi tentang individu siswa, tentang kurikulum atau
program, tentang institusi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem institusi.
“Processes that provide information about individual students, about curricula or
programs, about institutions, or about entire systems of institutions” (Stark &
Thomas,1994: 46).
Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan
sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit) dari
tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat
keputusan, membantu pertanggung jawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap
fenomena. Menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah penyediaan informasi
yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Sedangkan riset dalam profesi konseling memiliki hubungan panjang dan
ambivalen. Kata riset memiliki sedikit kemisteriusan di dalamnya (Leedy dan Ormrod
2001). Kata ini menyiratkan suatu aktivitas yang eksklusif, elusif, dan jauh dari
kehidupan sehari-hari. Beberapa konselor tertarik dengan riset karena
kemisteriusannya, dan karena secara umum mereka berminat dalam investigasi.
Namun, di kalangan para konselor yang lain, "kata riset menimbulkan reaksi emosional
seperti ketakutan, kegelisahan, dan bahkan meremehkan" (Fall& Van Zandt, 1997, p.

4
2). Para konselor tersebut merasa bahwa mayoritas penelitian riset kurang berhubungan
dengan kebutuhan praktis. Lebih jauh lagi, mereka memandang riset sebagai dingin dan
tidak bersahabat. (Krauskopf, 1982)
Namun permasalahan yang timbul ternyata masih banyak pendidik belum
mengetahui tentang hakikat assessment, evaluasi dan riset. Selain itu penggabungan
makna maupun penyamaaan makna antara empat hal tersebut masih sering ditemui.
Padahal penting bagi pendidik untuk mengetahui definisi ataupun konsep ketiga hal
tersebut agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kekeliruan maupun tumpang tindih.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah testing dan assessmen dalam
2. konseling?
3. Bagaimanakah penelitian dalam konseling?
4. Bagaimanakah evaluasi dalam konseling?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui testing dan assessmen dalam konseling?
2. Untuk mengetahui penelitian dalam konseling?
3. Untuk mengetahui evaluasi dalam konseling?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. TESTING DAN ASSESSMENT DALAM KONSELING


Assesment (Penilaian) meliputi pengumpulan data dan informasi, meneliti dan
wawancara, menganalisa variabel, mencari pola, dan mengelola hasil dengan cara yang
bertujuan agar bisa melakukan pengambilan keputusan dan/atau pemecahan masalah.
Konselor sekolah bisa mengajarkan peserta didik bagaimana caranya untuk melakukan
penilaian diri dan kesadaran diri yang termasuk minat mereka, prestasi, bakat, dan
motivasi untuk membantu mereka secara lebih lanjut dalam merencanakan masa depan
mereka. Disamping itu, pengujian adalah bagian dari penilaian dengan tujuan untuk
seleksi atau penempatan, memeriksa pemahaman muatan, mengukur kemampuan
kognitif, mengidentifikasi ciri-ciri kepribadian, dan menemukan pilihan karir
(Anastasi, 1992)
Pengujian dan penilaian telah berkembang selama bertahun-tahun dari focus awal
pada bimbingan kejujuran di awal 1900, menuju proses yang lebih komplek dalam
penilaian dan evaluasi. Dampaknya di sekolah terasa pada pertengahan 1950-an ketika
National Defense Education Act (NDEA) menyediakan dana insentif untuk
mengidentifikasi siswa dengan prestasi yang baik untuk berkarir di bidang matematika
dan sains.
Pengujian hanya bisa menggambarkan peristiwa pada saat; potret kinerja. Sebagai
advokasi, konselor sekolah bisa mengingatkan orang tua, guru, dan murid juga bahwa
skor tes tidak memberikan informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang
signifikan dan penting. Dalam pernyataan ASCA, mengakui bahwa menggunakan
pengujian standard adalah salah satu cara dari berbagai langkah yang digunakan untuk
menilai prestasi dan pengetahuan siswa (ASCA, 2007).
Jenis dari pengujian standard yang umumnya digunakan dalam seting sekolah
dikategorikan dengan cara sebagai berikut: prestasi, kecerdasan, bakat, karir,
kepribadian, dan diagnosis. Definisi masing-masing sebagai berikut:
1. Pengujian prestasi mengukur pengetahuan siswa tentang subjek atau tugas; tes ini
sering dilakukan, yang berarti kita dapat membandingkan kemajuan dari seorang
individu siswa ataupun kelompok dibandingkan dengan individu atau kelompok

6
lain. Pengujian prestasi dirancang dan distandarkan oleh guru. Paling sering
pengujian standard digunakan untuk menilai pengetahuan dan pertumbuhan,
mengukur kemajuan akademik, dan menunjukkan kemajuan dalam subjek
tertentu dan konten yang berbeda.
2. Skala kecerdasan digunakan untuk mengevaluasi kecerdasan dan kemampuan
kognitif. Pengujian ini terkadang digunakan untuk menilai kemungkinan
ketidakmampuan belajar, gangguan perkembangan, mengevaluasi psiko-
penndidikan untuk penempatan pendidikan khusus, dan juga untuk menempatkan
peserta didik dalam program bakatnya.
3. Test bakat atau kemampuan didefinisikan sebagai kemampuan untuk
keterampilan tertentu (Aiken, 2000). Kemampuan seperti ketangkasan, mengenal
ruang, koordinasi motorik, dan koordinasi mata/ tangan yang diuji secara individu
yang terdiri dalam beberapa subtest (Guindon, 2003). The Armed Service
Vocational Aptitude Battery (ASVAB) adalah tes kemampuan untuk menilai
kesiapan pekerjaan militer dan berbagai pekerjaan sipil. Perbedaannya adalah
digunakan di sekolah menengah dan perguruan tinngi untuk menilai kesiapan
karir dan membantu individu dari sekolah mereka menuju transisi karir.
Pendataan karir dan minat membantu siswa untuk menentukan pilihan dalam
kegiatan atau bidang minat tertentu. Ada banyak pendataan minat yang tersedia
di sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah menengah atas untuk membantu
siswa untuk mendapatkan pemahaman karir dan menjelajahi peluang karirnya.
4. Tes kepribadian mengukur emosi, perasaan, kecenderungan, karakteristik
individu, sikap, dan pendapat (Conlon & Hansen, 2004); namun, keunikan sifat
kepribadian individu membuat penilaian menjadi sulit. Instrumen yang paling
banyak digunakan dan diteliti adalah Minnesota Multi-Phasic Personality
Inventory- A and B (MMPI-A and MMPI-B; Butcher, Dahlstrom, Graham,
Tellegen, & Kraemmer, 1992), yang memiliki versi dewasa dan remaja untuk usia
muda 14-18 MMIP-A dan MMIP-B menekankan bahwa tujuan dari instrumen ini
adalah untuk membedakan antara berbagai pola kepribadian dan gangguan emosi.
(Butcher, dll.,1992,h. 2). Instrument lain yang banyak digunakan adalah Myers-
Briggs Type Indicator yang didasarkan dari karya Jung. Teorinya menunjukkan
bahwa perbedaan perilaku berkaitan dengan cara di mana individu lebih suka
untuk mempersepsikan (merasakan) dan menilai persepsi mereka. Teori ini
dimaksudkan untuk membantu orang memahami pilihan mereka dan ini

7
digunakan konselor dan pengelola sekolah untuk lebih memahami dinamika
interaksi manusia.
5. Penilaian kepribadian lainnya terstruktur dan bersifat proyektif. Konselor sekolah
pada umumnya tidak melakukan tes seperti Rorschach Thematic Apperception
Test (TAT) atau House-Tree-Person Test (H-T-P) karena tidak adanya pelatihan
khusus tambahan yang diperlukan untuk administrasi dan interpretasi. Seorang
siswa yang membutuhkan penilaian kepribadian yang kompleks dapat dirujuk
oleh konselor sekolah ke psikolog sekolah atau ke spesialis kesehatan mental
yang terlatih untuk mengartikan prosedur penilaian dan analisis yang kompleks.
6. Penilaian Diagnostik digunakan untuk menilai siswa yang mampu dan tidak
mampu untuk masalah belajar, kekacauan emosi, dan penyakit kejiwaan.
Asesmen diginakan untuk penentuan resiko bunuh diri, perilaku gangguan
makan, penyalahgunaan zat, dan gejala kekerasan. Psikolog, psikiater, dan
konselor professional yang terlatih khusus menggunakan variasi alat untuk
melakukan diagnose. Karena penggunaan pengujian sangat luas, itu menciptakan
kecemasan dan stres pada siswa (Cheek, Bradley, Reynolds, &Coy, 2002: Helms,
2004). Salah satu kegunaan umum pengujian dan asesmen adalah untuk
penempatan kelas dan tingkat kelas. Hasil tes sering digunakan untuk
mengelompokkan siswa dalam pembelajaran.
Asesmen jauh melampaui tes kertas dan pesil. Observasi tidak boleh diabaikan
sebagai bagian yang berkontribusi banyak bafi asesmen secara luas. Observasi formal
dan informal yang dilakukan konselor sekolah dan tenaga pendidik professional yang
lainnya menawarkan komponen manusia yang dinamis dan interaktif yang tidak dapat
dikumpulkan dari alat diagnosis kertas dan pensil. Observasi di ruang kelas, tempat
bermain, dan dalam berbagai situasi menawarkan wawasan akademik serta kinerja
sosial-emosional. Konselor mengamati antara perilaku dan interaksi verbal sehingga
dapat menemukan pola. Observasi biasa digunakan untuk menilai ketidakmampuan
belajar dan gangguan emosional siswa.
Wawancara individu siswa juga berkontribusi untuk memahami perilaku, pikiran,
dan cara merespon. Perhatian yang cermat harus diberikan untuk menyusun pertanyaan
yang memberikan respons yang bijaksana dan berwawasan luas. Wawancara
mengingatkan kita betapa pentingnya menambahkan dimensi manusia dalam
wawancara yang sering terdiri dari penilaian yang komprehensif. penggunaan data

8
kualitatif ini membantu mengumpulkan pandangan yang lebih luas tentang individu.
tak hanya terbatas pada kertas dan pensil.

B. PENELITIAN DAN EVALUASI DALAM KONSELING


1. RISET
Ada banyak definisi riset, namun salah satu yang terbaik adalah definisi dari
Barkley (1982): "Riset adalah pengumpulan sistematis, pengorganisasian, dan
penginterpretasian observasi untuk menjawab pertanyaan dengan sebisa mungkin
tanpa ambiguitas" (p. 329; penekanan ditambahkan). Tantangan yang ada dalam
riset adalah menjawab pertanyaan yang tidak menghasilkan kebenaran dengan
mudah, Kualitas riset bergantung pada tingkat diatasinya hambatan, dan cara yang
digunakan untuk menjawab pertanyaan seyakin mungkin dengan meminimalkan
pengaruh kontaminasi.
Profesi konseling memiliki "hubungan panjang dan ambivalen" dengan riset
(Sprinthall, 1981, p. 465). Kata riset memiliki sedikit kemisteriusan di dalamnya
(Leedy dan Ormrod 2001). Kata ini menyiratkan suatu aktivitas yang eksklusif,
elusif, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Beberapa konselor tertarik dengan riset
karena kemisteriusannya, dan karena secara umum mereka berminat dalam
investigasi. Namun, di kalangan para konselor yang lain, "kata riset menimbulkan
reaksi emosional seperti ketakutan, kegelisahan, dan bahkan meremehkan" (Fall&
Van Zandt, 1997, p. 2). Para konselor tersebut merasa bahwa mayoritas penelitian
riset kurang berhubungan dengan kebutuhan praktis. Lebih jauh lagi, mereka
memandang riset sebagai dingin dan tidak bersahabat. (Krauskopf, 1982)
Beberapa praktisi menganggap bahwa karena tuntutan kerja sehari-hari
dengan klien, mereka hanya mempunyai waktu yang sangat sedikit untuk
melakukan investigasi, apalagi jika harus mengikuti penemuan terbaru dan hasil
studi (Sexton, 1993). Oleh karena itu, kebanyakan konselor tidak melibatkan diri
dalam aktivitas riset, dan tampaknya ada kesenjangan yang cukup serius pada
pengintegrasian riset ke dalam praktik konseling (Sexton & Whiston, 1996).
Malahan, sejumlah praktisi konselor "menunjukkan penolakan dan
ketidaknyamanan terhadap dengan periset" dan riset (Robinson, 1994, p. 339).
Pandangan negatif konselor mengenai riset, dan ketidakmauannya untuk
meluangkan waktu dan energi berhubungan dengan sejumlah faktor. Yang paling
penting adalah:

9
a. kurangnya pengetahuan mengenai metode riset,
b. program yang mereka kerjakan tidak mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas,
kurangnya kesadaran akan pentingnya riset dalam perencanaan prosedur
perawatan yang efektif,
c. ketakutan mendapatkan hasil yang negatif,
d. komentar yang mengecilkan hati dari kolega atau penyelia,
e. kurangnya dukungan keuangan, dan
f. bakat yang rendah dan kemampuan yang terbatas untuk melaksanakan studi
investigasi (Heppner & Anderson, 1985; Sexton, 1993)
Selain itu, beberapa teori konseling kurang menekankan pentingnya investigasi
empiris.
Namun, di luar ketegangan antara riset dan konselor, ada kesamaan dalam
aktivitas praktik konseling dan riset hasil. Keduanya berisikan proses enam tahap
(Whiston, 1996). Analogi tahap-tahap praktik konseling dan proses riset

Tahap dalam Konseling Tahap dalam Riset Hasil


a. Mengidentifikasi masalah atau a. Mengidentifikasi pertanyaan riset
kesulitan b. Merumuskan desain riset
b. Merumuskan tujuan c. Menentukan metode untuk
c. Menentukan intervensi menjamin integritas perawatan
d. Menerapkan konseling dan pengukuran hasil
e. Menilai dan mengevaluasi kemajuan d. Mengumpulkan data
f. Mengakhiri e. Menganalisis data
f. Menginterpretasikan dan
menyimpulkan

Sebagai contoh, tahap pertama pada kedua proses mencakup identifikasi.


Pada konseling, identifikasinya adalah masalah atau kesulitan klien, sementara pada
riset fokusnya adalah mengidentifikasi pertanyaan untuk investigasi. Sama halnya,
pada tahap kedua, ada analogi dalam merumuskan tujuan perawatan dengan
merumuskan desain riset. Diikuti tahap penentuan untuk memilih intervensi
konseling; sementara pada riset, untuk memilih metode yang menjamin integritas
perawatan. Pada tahap yang keempat, tindakan terjadi dalam bentuk penerapan

10
konseling atau pengumpulan data, diikuti penilaian dan evaluasi kemajuan dalam
konseling atau analisis data dalam riset. Akhirnya, kedua proses berakhir dengan
pengakhiran
konseling atau interpretasi dan kesimpulan dari riset.
1. Tahap-Tahap dalam Proses Riset
Dilihat dari definisi katanya, riset yang bagus adalah ilmiah. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, dimulai dengan observasi sistematis yang berkonsentrasi
pada populasi, variabel, atau pertanyaan khusus (Gay et al, 2006; Heppner et al.,
2008). Observasi lengkap dan sistematis semacam ini berusaha untuk menjelaskan
hubungan antar variabel dan mengapa kejadian tertentu bisa terjadi. Penjelasan
mengarah pada pemahaman dan akhirnya pada pengontrolan dan prediksi
(perkiraan).
Ada beberapa petunjuk untuk melakukan riset investigasi. Campbell dan
Katona (1953), misalnya, mengembangkan bagan alur untuk menunjukkan
serangkaian langkah yang terlibat dalam survei. Yang lebih baru lagi adalah proses
delapan-tahap untuk melakukan riset, yang dikembangkan Ary (1996). Delapan
langkah tersebut sangat cocok untuk praktik klinis namun juga bisa diterapkan
untuk bidang riset konseling yang lain.
a. Pernyataan masalah.
Pernyataan ini harus jelas dan singkat. Jika ada kerancuan pada tahap ini,
investigasi hanya akan memberi sedikit manfaat. Contoh pernyataan masalah
yang jelas adalah, "Tujuan dari riset ini adalah untuk menguji hipotesa bahwa
kontak mata antara konselor dan klien berhubungan dengan keefektifan proses
konseling."
b. Identifikasi informasi yang dibutuhkan untukmemecahkan masalah.
Tahap ini mencakup berbagai informasi yang diperoleh dari sumber-sumber
seperti tes pendidikan dan psikologi atau observasi sistematis, termasuk
eksperimen. Bisa jadi beberapa data yang dibutuhkan oleh investigator tidak
mungkin dikumpulkan. Jadi, investigator harus memutuskan apakah akan
memodifikasi pernyataan masalah atau mengakhiri riset.
c. Seleksi atau mengembangkan cara pengumpulan data.
Cara yang biasa dipakai untuk pengumpulan data adalah survei, tes, dan lembar
laporan observasi. Jika peneliti tidak dapat menemukan cara yang tepat, dia

11
harus mengembangkannya sendiri dan kemudian menguji keandalan serta
keabsaharnya.
d. Identifikasi target populasi dan prosedur sampel.
Jika ukuran kelompoknya cukup kecil, seluruh populasi dapat diteliti. Jika tidak,
sampel diseleksi dengan hati-hati memakai prosedur sampling standar.
e. Desain prosedur pengumpulan data.
Tahap ini meliputi mermpertimbangkan bagaimana, kapan, di mana, dan oleh
siapa informasi akan dikumpulkan.
f. Pengumpulan data.
Suatu prosedur yang sistematis diterapkan untuk memperoleh informasi yang
diinginkan Biasanya proses ini meliputi pengawasan yang hati-hati dan
memakan waktu cukup lama.
g. Analisis data.
Prosedur tertentu digunakan pada tahap ini untuk mengorganisasi data dalam
susunan yang bermakna dan menentukan apakah data ini dapat memberi
jawaban untuk masalah yang sedang diinvestigasi.
h. Persiapan laporan.
Hasil riset harus tersedia untuk orang lain dalam bentuk yang bermakna, seperti
artikel jurnal atau presentasi profesional.
2. Relevansi Riset
Satu pertanyaan utama yang biasa diajukan oleh pembaca hasil riset
konseling adalah relevansi hasil studi tersebut bagi praktisi. Banyak riset yang tidak
memproduksi hasil yang relevan dengan isu praktik dan tidak bermanfaat
(Goldman,1976, 1977, 1978, 1979, 1986, 1992). Banyak riset yang kurang
berwawasan, hanya berkonsentrasi pada detail-detail kecil saja. Peneliti yang
melakukan riset dengan cara ini terlalu cepat menerima desain riset eksperimental
fisik dan biologis dan, dalam prosesnya, gagal untuk mengembangkan metode riset
yang tepat bagi konseling. Apa yang mereka hasilnya dari risetnya sering kali tidak
penting dan tidak ada isinya.
Argumentasi mengenai relevansi dari riset dipusatkan pada kenyataan,
bahwa tidak semua pengetahuan dapat mendatangkan hasil yang sama
bermanfaatnya bagi setiap konselor (Krumboltz dan Mitchell, 1979). Oleh karena
itu, arahkan dana dan energi yang terbatas ke studi yang berpotensi dapat mengubah
cara kerja konselor. Salah satu cara untuk mendefinisikan relevansi dari riset adalah

12
dengan menekankan penelitian yang terfokus pada alasan individu mencari
konseling, seperti tujuan, maksud, dan kehendak (Howard, 1985). Cara penting
lainnya untuk menilai relevansi adalah menentukan "seberapa dekatnya riset
menyamai apa yang dilakukan dalam praktik konseling" (Gelso, 1985, p. 552).
Riset semacam ini disebut experience-near-research dan karena riset ini dapat
diterapkan oleh konselor, kemungkinan besar akan dibaca dan digunakan.
Riset tindakan (action research) merupakan bentuk experience-near-
research. Riset ini difokuskan pada penyelesaian masalah praktik yang secara rutin
dihadapi konselor, misalnya bagaimana membantu menangani anak yang
mengalami gangguan belajar atau mengevaluasi efek dari program percaya diri
terhadap sekelompok anak (Gillies, 1993). Riset tindakan meliputi penelitian yang
diarahkan ke tindakan diagnostik, tindakan partisipan, tindakan empiris, dan
tindakan eksperimental. Beberapa riset ini cenderung kurang terkontrol dan tidak
mudah digeneralisasi seperti riset yang lebih besar. Untuk membantu mengatasi
masalah relevansi dalam riset, Gelso (1985) menyarankan agar seluruh hasil riset
dibaca sambil kita bertanya-tanya dalam hati seperti, misalnya, "Dengan cara
bagaimana riset ini dilakukan?" atau "Bagaimana riset ini akan memengaruhi cara
saya mempraktikkan konseling?"
3. Memilih Metode Riset
Di luar kendala yang ada dalam riset konseling, para konselor pada
umumnya menggunakan sejumlah metodologi investigasi. Kaplan (1964)
mendefinisikan metode sebagai suatu prosedur yang dapat diterapkan pada banyak
bidang ilmu. Sebaliknya, teknik adalah prosedur yang terkait dengan bidang ilmu
khusus. Sebagian besar riset konseling menggunakan prosedur, seperti observasi
terkendali, yang juga digunakan dalam bidang ilmu lainnya. Oleh karena itu, istilah
metode bukan teknik yang akurat digunakan bila kita mengacu pada cara melakukan
riset konseling. Tidak satu pun dari metode ini yang "bisa dianggap terbaik untuk
menguji proses konseling" (Hill, 1982, p. 16). Sebagai gantinya, ada bermacam-
macam metode yang bisa digunakan untuk menangani berbagai macam pertanyaan
riset (Watkins & Schneider, 1991). Dan akhirnya, metode riset menyediakan
jawaban untuk berbagai permasalahan yang diriset dengan cara mengontrol variabel
terpilih, yang mempunyai dampak pada proses konseling (Kerlinger & Lee, 2000).
Semua metode riset memiliki apa yang digambarkan oleh Gelso (1979)
sebagai gelembung atau kelemahan. Gelso mengatakan bahwa memilih metode

13
riset adalah ibarat menempelkan selembar stiker pada kaca depan mobil.
Gelembung akan selalu muncul; meskipun telah sebisa mungkin diratakan, namun
selalu saja ada sisanya. Satu-satunya cara untuk menyingkirkan gelembung tersebut
secara total adalah dengan melepas stikernya. Dalam riset, satu-satunya cara untuk
menghilangkan kelemahan adalah dengan tidak melakukan riset sama sekali.
Makanya meski tidak sempurna, metode riset diperlukan untuk pemberntukan dan
pengembangan profesional. Atau bisa saja tidak memedulikan info-info tentang
efek konseling, yang artinya lupakan saja perkembangan metode dan teknik-teknik
mutakhir.
4. Penekanan Riset
Riset konseling memiliki beberapa penekanan yang berbeda. Empat di
antaranya yang paling mencolok adalah:
a. Riset laboratorium vs riset lapangan.
b. Riset dasar vs penerapan.
c. Proses vs riset hasil.
d. Riset kuantitatif (kelompok) vs riset kualitatif (perorangan).
Setiap penekanan dihubungkan dengan kekontrasan antara dua dimensi
investigatif. Dimensi-dimensi ini tidak eksklusif mutual; banyak studi riset, seperti
riset yang secara kuantitatif melaporkan hasil teknik konseling dalam lingkungan
laboratorium, melibatkan lebih dari satu dimensi (Creswell, 2002).
Penekanan pertama adalah pada riset laboratorium vs riset lapangan. Riset
laboratorium dipusatkan pada investigasi yang dilakukan dalam lingkungan
terbatas, seperti laboratorium konseling di mana semua variabel dapat dikontrol
sebisa mungkin (Dobson & Campbell, 1986). Beberapa periset beranggapan bahwa
di bawah kondisi semacam ini, mereka dapat memperoleh informasi yang paling
dapat dipercaya, Bahkan, peneliti John Gottman percaya "laboratorium cintanya"
dapat memberi informasi yang sangat penting tentang kualitas hubungan sebuah
pasangan. Namun, praktisi riset lapangan memandang sebagian besar investigasi
laboratorium adalah palsu dan berkeyakinan bahwa teori dan teknik konseling akan
terobservasi dan terrekam paling baik dalam kondisi konseling yang sebenarnya,
yakni seperti di pusat dan klinik konseling. Mereka berpendapat bahwa lingkungan
ini lebih riil, dan hasilnya lebih bisa diterapkan oleh praktisi lain.
Penekanan kedua adalah riset dasar vs penerapan. Riset dasar berorientasi pada
teori, dan mereka yang melakukannya "tertarik untuk menginvestigasi teka-teki

14
atau permasalahan yang muncul dari sebuah teori." (Forsyth & Strong, 1986, p.
113). Contohnya, riset yang berfokus pada seberapa banyak konselor berbasis
Roger menggunakan metode reflektif dibanding konfrontatif. Sebaliknya, riset
penerapan berfokus pada memeriksa problem praktis dan menerapkan temuan pada
masalah tersebut. Contoh riset penerapan adalah evaluasi program yaitu
mengumpulkan informasi dari klien, mengenai layanan yang diberikan pada suatu
pusat konseling dan menganalisis efisiensi, efektivitas, serta dampaknya pada
komunitas yang dilayani (Astramovich & Coker, 2007). Tracey (1991)
menawarkan satu cara untuk membedakan riset dasar dengan riset penerapan.
Penekanan yang ketiga adalah proses vs riset hasil. Menurut Hill (1991), riset
proses berfokus pada apa "yang terjadi dalam konseling dan sesi terapi" (p. 85). Dia
mengatakan bahwa mengidentifikasi perubahan dalam konseling "sulit dan
membuat orang frustrasi" (Hill, 1982, p. 7). Untuk ini diperlukan sejumlah waktu
dan energi yang difokuskan pada beberapa variabel, seperti reaksi konselor
terhadap klien. Tingkat stres yang dialami para peneliti yang berorientasi proses,
memang tinggi. Namun, riset ini tidak mungkin dihilangkan, karena memberikan
pada konselor pencerahan mengenai dinamika hubungan konseling itu sendiri.
Contoh riset proses adalah riset Allen Ivey (1980) dalam menilai pentingnya
keahlian konselor dalam tahapan konseling tertentu. Riset hasil, bagaimanapun
juga, adalah "investigasi eksperimental tentang dampak konseling terhadap klien"
(Lambert, Masters, & Ogles, 1991, p. 51). Hal ini diilustrasikan dengan mengukur
variabel ketergantungan khusus sebelum dan sesudah perawatan" (Hill, 1982, p. 7).
Satu contoh riset hasil adalah efek dari konseling berpusat pada orang terhadap
orang yang depresi. Riset hasil menekankan pada hasilnya bukan faktor-faktor yang
menghasilkan hasil tersebut.
Penekanan keempat adalah riset kuantitatif vs riset kualitatif (misalnya,
pertanyaan naturalistik). Riset kuantitatif bersifat objektif dan deduktif, biasanya
mencakup angka dan pemahaman subjektif sekunder mengenai kejelasan,
ketepatan, dan keterulapngan suatu fenomena objektif. Pendekatan kuantitatif
berdasarkan pada sistem konseptual positif-reduktif yang "mementingkan
objektivitas, kesejajaran, sebab dan akibat, dapat diulangi, dapat diproduksi lagi,
dapat diramalkan, dan kuantitatif data" (Merchant & Dupuy, 1996, p. 538). Dua
desain riset kuantitatif dasar adalah eksperimen dan survei (Rosenthal, 2001).
Contoh riset kuantitatif yang juga memberi hasil praktis dalam kaitannya dengan

15
apa yang sebenarnya dilakukan oleh konselor adalah Practice Research Network
(PRN) nasional, dimana melalui survei, praktik harian dari pekerja kesehatan
mental diinvestigasi (Smith, Sexton, & Bradley 2005).
Sebagai lawannya, riset kualitatif bersifat induktif, naturalistik, cybernetic, dan
fenomenal. Terutama sekali menekankan pada pemahaman kerangka kerja yang
unik di mana di dalam kerangka, ini manusia mengenal diri mereka dan
lingkungannya. Riset ini berguna pada situasi kekurangan teori dan riset (Merriam,
2002). Difokuskan untuk memahami situasi sosial yang kompleks tanpa ada
parameter yang sudah idefinisikan (Creswell, 2002; Jencius & Rotter, 1998). Lebih
jauh lagi, "riset kualitatif memeriksa apa yang lakukan orang dan bagaimana
mereka menginterpretasikan apa yang terjadi, ketimbang mengejar pola sebab dan
akibat dalam suatu kondisi yang terkontrol" (Merchant & Dupuy, 1996, p. 537).
Dalam beberapa hal, riset kualitatif sangat cocok untuk konseling "karena hubungan
antarpribadi yang menjadi intinya mendefinisikan domainnya [konseling]" (Berrios
& Lucca, 2006, p. 175). Secara keseluruhan, "riset kualitatif pada konseling
membutuhkan komitmen ganda, baik untuk pemberian layanan dan untuk
investigasi ilmiah mengenai pemberian layanan tersebut" (p. 181).
Metode kualitatif yang sering digunakan adalah riset lapangan, studi kasus,
naratif, wawancara lengkap dan menyeluruh, serta riwayat hidup. Mark Savickas
(2005) adalah pakar riset kualitatif dalam menggunakan metode konseling naratif
untuk membantu klien menyelaraskan pekerjaan dengan kehidupannya, bukan
sebaliknya, menyelaraskan kehidupan ke dalam pekerjaannya. Pendekatannya
memandang kehidupan klien ibarat sebuah novel. Menekankan pada tema yang
muncul berulang kali yang menunjukkan bagaimana klien menggunakan pekerjaan
untuk memajukan kehidupannya.
Jadi, penekanan kedua pendekatan tersebut berbeda karena masing-masing
pendekatan mempunyai tujuan sendiri dan asumsi yang berbeda tentang sasaran
dari riset (May, 1996; Merchant & Dupuy, 1996). Baik riset kuantitatif ataupun
kualitatif tidak ada yang lébin unggui. Tegunaanniya. hergganhung nada pertanyaan
yang ada dan untuk alasan apa. Kekuatan utama riset kuantitatif terletak pada
penekanannya yaitu menganalisis setumpuk besar data dengan cara matematis yang
jelas. Kekuatan utama riset kualitatif adalah cara riset ini mengambil aspek-aspek
konseling yang dilaporkan secara perkembangan dan empiris, terfokus pada

16
individu, dan begitu detail (Creswell, 2002; Denzin & Lincoln, 2000; Mertens,
1998).
Konseling tengah melangkah maju ke arah riset gabungan yang bersifat
kualitatif (vs kuantitatif) dan lebih berorientasi lapangan (vs laboratorium)
(Goldman, 1992; Watkins & Schneider, 1991). Klien dipandang sebagai pihak yang
aktif bukan pasif, dalam proses konseling (Gelso, 1985; Howard, 1985). Secara
keseluruhan, penekanan yang lebih holistik ditingkatkan dalam riset konseling
(Froehle, 1985).
5. Metode Riset Utama
Metode riset yang dipilih konselor ditentukan oleh permasalahan yang
mereka coba jawab, ketertarikan utama mereka, dan waktu serta sumber daya yang
mereka sediakan untuk riset tersebut (Heppner et al., 2008). Metode harus menjadi
hamba riset bukan tuannya (Smith, 1981). Tidak ada metode yang bisa cocok untuk
semua bentuk riset. Malah Ohlsen (1983) menyatakan, "mengembangkan dan
mengklarifikasi suatu pertanyaan riset adalah proses yang lama dan menyakitkan"
(p. 361). Pertanyaan riset memberikan konteks yang digunakan untuk mulai
mempertimbangkan suatu metode. Pada sebagian besar kasus, pertanyaan riset
adalah hal-hal yang ada dalam bidang konseling (LaFountain &Bartos, 2002).
Begitu suatu pertanyaan ditentukan, metode kuantitatif atau kualitatif dapat dipilih.
Metode dan cara memperoleh data berbeda-beda antara riset yang dilakukan
pada konseling perorangan, kelompok, atau pasangan/keluarga. Strategi riset yang
merupakan "kekuatan penuntun atau latar belakang yang mengarahkan" suatu
proyek riset, dimaksudkan untuk menempatkan investigator "pada kedudukan yang
paling menguntungkan" (Husband & Foster, 1987, p. 53). Metode riset utama dapat
dipilih dari antara metode-metode yang memunculkan data dari titik pandang
historis, deskriptif, atau eksperimental (Galfo & Miller, 1976; Vacc & Loesch,
2001). Prosedur yang digunakan dalam metode-metode ini umumnya tidak
eksklusif. Contohnya, Tracey (1983) melaporkan bahwa N dari riset 1, yang
difokuskan pada studi satu entitas kualitatif (misalnya manusia), dapat diterapkan
pada studi historis, studi kasus, dan studi desain intensif. Riset semacam ini dapat
bersifat asosiasional atau eksperimental. Fakta bahwa metode riset ini dan lainnya
begitu feksibel, memberi kesempatan kepada periset untuk merencanakan strategi
dan melaksanakan penelitiannya.

17
a. Metode Historis.
Metode historis sudah banyak dilupakan dalam konseling (Goldman,
1977). Alasannya bermacam-macam, namun salah satu yang paling penting
adalah hubungan riset historis dengan psikohistoris (Frey, 1978).
Psikohistoris dikaitkan secara erat dengan teori psikoanalisis dan
kegunaannya sebagai cara untuk memahami orang dan kejadian yang
dipertanyakan (Thoresen, 1978). Bahkan seperti dikatakan Frey (1978),
psikohistoris yang dipraktikkan oleh Erik Erikson (1958) dan kelompok
Wellfleet (yang anggotanya termasuk Kenneth Keniston dan Robert Coles)
mencakup dua aspek:
1) Mengalami dan melaporkan kejadian dan prosedur dari zaman dahulu
yang memengaruhi perkembangan profesi, dan
2) Mempercantik teori terbaru dan menghasilkan hipotesis riset yang baru.
Kebanyakan riset historis yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal
konseling terbatas dalam bentuk tulisan obituari mengenai para konselor
terkemuka, dan hasil wawancara dengan para pelopor profesi ini (Heppner,
1990a dan b). Meskipun metode yang digunakan dalam riset historis biasanya
tidak terlalu rumit dan lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan yang
diterapkan pada riset lain, riset ini memberikan hasil yang menarik dan
mencerahkan. Riset historis mempunyai peranan yang penting dalam
memahami manusia, seperti yang diuraikan dalam studi ideografis Gordon
Allport mengenai karakter (trait) dan kepribadian. Pendekatan riset ini terbuka
luas untuk dikembangkan lebih lanjut.
b. Metode Deskriptif
Riset deskriptif berpusat pada penggambaran berbagai faktor yang ada dalam
suatu profesi. Metode ini memiliki tiga subkategori: survei, studi kasus, dan
studi banding.
c. Survei
Survei adalah salah satu metode yang paling popular dan digunakan secara
luas untuk mengumpulkan informasi mengenai munculnya perilaku dan
menggambarkan karakteristik dari hal-hal yang belum dimengerti (Fong,
1992; Heppner et al., 2008). Survei serupa dengan metode riset lainnya;
dimulai dengan membuat pertanyaan riset, kemudian menghasilkan hipotesis,
memilih desain riset, dan mengumpulkan serta menganalisis data (Kerlinger

18
& Lee, 2000). Data survei dapat dikumpulkan dengan empat cara: wawancara
pribadi, kuesioner per surat, wawancara telepon, tindakan non-reaktif seperti
rekaman yang sudah ada atau arsip (Hackett, 1981; Marken, 1981; Moser &
Kalton, 1972). Data dikumpulkan baik dengan cara terstruktur maupun tidak
terstruktur, baik dengan potong lintang populasi (banyak orang sekaligus)
atau longitudinal (orang yang sama dua atau beberapa kali).
Jika dilakukan dengan tepat, riset survei dapat memberi banyak informasi
untuk konselor perihal bagaimana klien memandang konselor dan program-
program konselor. Survei juga dapat menawarkan informasi mengenai
kebutuhan klien (Heppner et al, 2008; Hosie, 1994). Bagaimanapun juga, ada
empat masalah utama yang sering kali mengganggu riset survei:
1) Pertama, instrumen survei tidak dibuat dengan baik.
2) Kedua, survei tidak menghasilkan respons balik yang tinggi.
3) Ketiga, sampel yang disurvei kadang-kadang non-random dan tidak dapat
mewakili populasi (Hackett, 1981; Marken, 1981). Pada ketiga kasus ini,
hasilnya pada dasarnya tidak bermanfaat, karena desain dan metodologi
riset survei kurang baik (Fong, 1992).
4) Masalah keempat pada riset survei (atau hampir semua riset yang
manapun) adalah bahwa riset ini mahal (Robinson, 1994).
Dampak sosial dari riset survei yang dibuat dan dilakukan dengan baik
dapat dilihat pada penelitian Kinsey mengenai praktik seksual dari pria dan
wanita. Survei NBCC tentang program pendidikan konselor yang semula
dimulai oleh Joe Hollis merupakan contoh kegunaan metode ini bagi
konseling. Setiap beberapa tahun Joe Hollis, dan sekarang NBCC,
mengumpulkan informasi untuk dimasukkan ke dalam program pendidikan
konselor. Survei ini bersifat kuantitatif dan menghasilkan data yang relevan
mengenai tren program konseling berskala nasional.
d. Studi kasus
Studi kasus adalah suatu usaha untuk memahami satu unit, seperti seseorang,
kelompok, atau program, melalui investigasi mendalam dan sistematis dari
unit tersebut secara longitudinal. Hampir semua fenomena dapat diteliti
dengan metode studi kasus (Leedy & Ormrod, 2001). Beberapa studi kasus
bergantung pada metode laporan-diri yang tidak terlalu bisa diandalkan; yang
lainnya mencakup pertanyaan naturalistik, di mana studi berlangsung dalam

19
periode cukup lama Smith, 1981). Kendala yang ada dalam riset naturalistik
cukup banyak dan mencakup isu seperti apa yang membentuk riset yang baik,
tingginya biaya pekerja, kendala dalam menetapkan hubungan sebab-akibat,
dan keterbatasan dalam menggeneralisasi hasilnya. Sebagai tambahan, sering
ada masalah bias observasi dan efek halo (suatu observasi positif yang
digeneralisasi kepada orang atau situasi secara keseluruhan) (Goldman,
1977). Untuk membantu meminimalkan kendala semacam ini, Anton (1978)
dan Huber (1980) menguraikan beberapa desain eksperimental intensif yang
cocok untuk studi kasus. Konselor dengan waktu dan sumber daya yang
terbatas bisa memanfaatkan desain ini, untuk menelusuri perubahan dari
waktu ke waktu. Desain ini akan dibicarakan di bagian metode eksperimental.
e. Studi banding
Studi riset banding (juga disebut studi paralel) membentuk suatu jaringan
antara metode studi historis/studi kasus dengan desain eksperimental dan
quasi-experimental. Studi ini melakukan perbandingan direksional dan
kuantitatif dari serangkaian data. Studi semacam ini nonmanipulatif (Cozby,
2001). Hanya menunjukkan kesamaan dalam variasi antar faktor tanpa usaha
membedakan hubungan sebab-akibat. Contoh studi semacam ini adalah
hubungan antara skor dari tes religius dengan skor dari instrumen yang
mengukur berbagai aspek kesehatan mental (Gladding, Lewis & Adkins,
1981). Penemuan utama dari studi ini adalah bahwa orang yang mendapat
skor tinggi pada tes religius juga memiliki skor yang tinggi pada kesehatan
mental. Hasilnya tidak mengatakan bahwa religius menyebabkan seseorang
memiliki kesehatan mental yang lebih baik; tetapi hanya membandingkan
skornya saja. Studi apa pun yang membandingkan ukuran dengan cara ini
adalah contoh riset banding.
f. Metode Eksperimental
Metode riset eksperimental dilakukan untuk menggambarkan,
membandingkan, dan menganalisis data di bawah kondisi yang terkendali
(Galfo & Miller, 1976; Heppner et al., 2008; McLeod, 1995). Metode
eksperimental yang digunakan dalam riset konseling berasal dari ilmu-ilmu
yang bersifat alamiah. tujuan menggunakan metode ini adalah untuk
menentukan efek satu variabel terhadap variabel yang lain dengan
mengendalikan faktor-faktor lain yang dapat menjelaskan efek tersebut.

20
Dengan kata lain, peneliti yang menggunakan metode ini mencari hubungan
sebab-akibat. Untuk melakukan hal ini, mereka mendefinisikan variabel yang
bergantung dan mandiri. Variabel mandiri adalah yang dimanipulasi oleh
peneliti, seperti perawatan. Variabel dependen adalah sesuatu yang mencatat
efek potensial, seperti perilaku klien. Peneliti berasumsi jika efek faktor-
faktor lain ditiadakan, maka setiap perubahan pada variabel dependen
merupakan hasil dari variabel mandiri. Contoh dari variabel mandiri dalam
konseling adalah usia, jenis kelamin, daya tarik pribadi, atau penampilan fisik
konselor. Contoh varibel dependen adalah reaksi klin terhadap karakter
konselor, seperti derajat relaksasi, kerja sama, dan respons keseluruhan dalam
konseling. Reaksi dapat diukur dengan berbagai prosedur, termasuk analisis
audio-videotape atau wawancara pascakonseling atau kuesioner.
Cohen (1990) merekomendasikan dua prinsip umum untuk orang-orang
yang melakukan riset dengan variabel dependen dan mandiri: kurang adalah
lebih, dan sederhana adalah lebih baik. Semakin sedikit variabel yang harus
diperhatikan dan semakin jelas variabel ini dilaporkan (contoh., melalui
grafik), semakin mudah bagi eneliti dan pemakai untuk memahami
pentingnya studi riset konseling. Dalam melakukan riset eksperimental
sangatlah penting bahwa konsclor mengendalikan variabel pengkontaminasi
(variabel yang menghilangkan keabsahan studi, seperti satu kelompok klien
yang lebih sehat dari yang lain). Salah satu cara umum untuk mengendalikan
variabel yang berpotensi mengkontaminasi adalah dengan membentuk
kelompok eksperimen dan kontrol yang setara. Jika variabel bergantung
imanipulasi pada kelompok eksperimen, sementara untuk kelompok kontrol
tetap konstan, efek variabel bergantung dapat ditentukan dengan
membandingkan data pascaeksperimental dari kedua kelompok. Campbell
dan Stanley (1963) menguraikan secara rinci kendala yang ada dalam riset
eksperimental dan quasi-experimental; uraian ini direkomendasikan untuk
para pembaca yang ingin mengetahui isu tersebut lebih lanjut.
Riset eksperimental tradisional meliputi studi banding kelompok. Sejak
tahun 1970-an, riset subjek-tunggal, yang umumnya disebut riset N dari 1
(yakni., n 1), telah semakin diterima dalam bidang konseling tetapi kurang
dimanfaatkan oleh para konselor (Sharpley, 2007). "Pada dasarnya, studi riset
n-1 adalah satu-satunya studi di mana data dari satu peserta (bukan

21
sekelompok peserta) menjadi fokus dari desain riset" (p. 350). Ada sejumlah
kelebihan desain riset kasus-tunggal. Di antaranya adalah:
1) Bebas teori, jadi bisa digunakan oleh konselor dengan keyakinan apa pun.
2) Fleksibel dan akurat untuk digunakan dalam suasana praktik.
3) Dapat meningkatkan keefektifan konseling.
4) Tidak membutuhkan penggunaan metode statistik.
5) Menghasilkan bukti yang efektif dari segi ilmiah yang mengarah pada
kredibilitas profesional.
6) "Konsisten dengan standar CACREP yang semakin memberi penekanan
pada riset, akuntabilitas, dan metodologi riset yang beragam dalam model
praktisi-ahli ntuk persiapan konselor" (Lundervold & Beldwood, 2000, p.
100).
Miller (1985, p. 491) menyimpulkan ada enam keuntungan utama yang
dimiliki riset subjek-tunggal dibanding studi kelompok tradisional,
(studinya diperoleh dari Hill, Carter, dan O'Farrell [1983] dan Sue
[1978b])
a) Memungkinkan diperolehnya gambaran yang lebih baik tentang apa
yang terjadi antara konselor dan klien.
b) Hasil negatif dan positif dapat dipahami dalam bentuk proses data.
c) Hasil tindakan dapat diadaptasikan dengan masalah spesifik dari klien.
d) Memungkinkan ditelitinya fenomena yang tidak biasa atau jarang
terjadi.
e) Cukup fleksibel untuk memungkinkan adanya prosedur baru dalam
perawatan dan diagnosis.
f) Dapat digunakan untuk mengevaluasi keefektifan suatu strategi
intervensi pada seorang klien.
Kendala potensial dalam studi subjek-tunggal adalah "jika digunakan
sesudah periode perawatan standar yang tidak berhasil." Beberapa perbaikan
umum mungkin terjadi, yang tidak ada kaitannya dengan perawatan yang
diterapkan, tetapi merupakan regresi menuju titik tengah (yaitu "tendensi dari
nilai ekstrem ketika diukur ulang ternyata mendekati nilai rata-rata";
Aldridge, 1994, p. 337). Untuk mengatasi kendala ini, khususnya jika
melibatkan pengobatan, peneliti menambahkan periode pembersihan, yaitu
periode dimana tidak ada perawatan dan efek sebelumnya (misalnya dari obat)

22
keluar dari tubuh secara alamiah. Tiga desain eksperimental intensif yang
berfokus pada individual adalah deret waktu sederhana, rancangan bolak-
balik, dan rancangan berbasis jamak
1. Deret Waktu Sederhana
Deret waktu sederhana, metode desain eksperimental intensif yang paling
umum, dikenal juga sebagai desain AB (Sharpley, 2007). Pertama-tama,
basis (A) ditetapkan dengan mengobservasi klien dan merekam terjadinya
perilaku yang menjadi target, setiap hari. Kemudian strategi intervensi (B)
ditampilkan. Klien terus mencatat perilaku yang menjadi target penelitian
dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Manifestasi perilaku ini
dibandingkan selama dua periode ini, dan tren-nya dicatat. Melalui grafik
dari hasilnya, konselor dapat menentukan apa (jika ada) efek dari strategi
intervensi itu.
2. Desain Bolak-balik. Desain bolak-balik lebih rumit dibanding deret
waktu sederhana. Desain ini melibatkan desain kebalikan ABAB. Bagian
pertama dilaksanakan seperti pada deret waktu sederhana, tetapi strategi
intervensi (B) dihentikan setelah waktu tertentu, diikuti bagian serta
intervensi kedua. "Jika periode intervensi kedua memberi hasil yang
proporsional seperti periode intervensi pertama, dapat diasumsikan bahwa
strategi itulah yang menyebabkan perubahan dari tingkat yang dilakukan"
(Huber, 1980, p. 212)
3. Desain Basis Jamak. Desain basis jamak, desain eksperimental yang
paling rumit, memberikan generalisasi hasil yang lebih besar. Ada tiga
tipe desain riset basis jamak, yaitu: lintas individual, lintas situasi, dan
lintas perilaku (Schmidt, 1974). Masing-masing menekankan fokus yang
berbeda. Persamaan sifat di antara ketiga desain ini adalah intervensi
mula-mula diterapkan pada individu, situasi atau perilaku terpilih,
sementara peneliti terus mengumpulkan data basis dari orang-orang,
situasi, atau perilaku yang lain. Ketika intervensi itu diperluas ke populasi
dasar, konselor akan dapat melihat kekuatan intervensi itu dengan lebih
jelas. Seperti rancangan yang lain, di sini hasilnya juga perlu dibuat grafik.
Secara keseluruhan, ada lima tahap desain eksperimental intensif untuk in
dividual:

23
a. mengidentifikasi masalah yang terlihat, yang dapat dipantau untuk
dilakukan perubahan,
b. mengumpulkan data basis.
c. memutuskan intervensi yang ingin dipelajari.
d. melaksanakan strategi intervensi dalam salah satu dari ketiga desain
eksperimental, dan
e. mengevaluasi perubahan yang terjadi dari perilaku yang menjadi
target (jika ada).
6. Panduan Menggunakan Riset
Konselor yang menggunakan riset sebagai basis untuk berpraktik dapat
mengikuti panduan tertentu. Panduan ini mencakup mengenali kekurangan dan
kelebihan metode riset, berhati-hati dalam mendefinisikan istilah, dan tidak
menggeneralisasi melebihi lingkup temuan tertentu. Prosedur demikian akan
membantu konsumen mengevaluasi studi tersebut seobjektif mungkin sehingga
mereka dapat menerapkan hasilnya secara lebih baik dan etis.
Beberapa penulis mempertimbangkan keadilan penilaian antara pria dan
wanita (McHugh, Koeske, & Frieze, 1986; Wakefield, 1992). Untuk masalah ini,
Altmaier Greiner, dan Griffin-Pierson (1988, p. 346) menawarkan saran sebagai
berikut:
a. Pembaca sebaiknya memperhatikan nilai-nilai yang mendasari studi riset
tersebut.
b. Konselor sebaiknya mencari temuan yang sejalan dengan pengalamannya dan
temuan yang konvergen lintas kondisi dan studi.
c. Konsumen riset sebaiknya tidak melalaikan topik-topik yang penting bagi
wanita seperti kehamilan.
d. Jangan mengasumsikan perbedaan antara pria dan wanita, sebagai satu garis
yang bertolak belakang.
e. Besaran efek harus dipertimbangkan dalam membaca riset mengenai perbedaan
gender. Dengan kata lain, pembaca harus memperhatikan seberapa besar
keragaman dalam perilaku yang diamati, dipengaruhi oleh perbedaan gender.
Pada analisis akhir, konselor yang menggunakan riset harus melaksanakannya
sejalan dengan keahlian yang dia dapatkan dalam program pendidikan, dan
pendidikan lanjutan yang berkesinambungan. Klinisi harus meneliti metodologi

24
riset sedemikian rupa, sehingga praktik yang dilakukannya mewakili
pengetahuan profesional yang terbaik.
7. Evaluasi
Evaluasi biasanya mencakup pengumpulan informasi yang bermakna
tentang berbagai aspek dari program konseling untuk menuntun pengambilan
keputusan perihal alokasi sumber daya, dan memastikan kemaksimalan efektivitas
program (Gay, Mills,& Airasian, 2006; Wheeler & Loesch, 1981). Evaluasi
memiliki kualitas manfaat seketika. Pada praktik klinis, memberi pada konselor
umpan balik langsung tentang layanan yang dia berikan, dan pencerahan tentang
layanan baru apa yang perlu konselor tawarkan. Hal ini juga memungkinkan klien
membawa masukan sistematis, positif, ke dalam program konseling. Untuk setiap
program konseling ada lebih dari satu jenis evaluasi (Hosie, 1994; Oetting, 1976).
Walaupun tersedia banyak model evaluasi yang solid, ada sejumlah
prosedur evaluasi yang tidak benar, yang digunakan oleh mereka yang kurang
terinformasi ( Daniel, Mines, & Gressard, 1981). Metode yang keliru ini yang
memberi hasil tidak sahih dan tidak bisa diandalkan, mempunyai beberapa atau
semua cacat berikut ini (Burck & Peterson, 1975).
a. Membatasi contoh opini
b. Membuat perbandingan antar kelompok yang tidak setara
c. Lebih mempromosikan layanan dari pada evaluasi
d. Mencoba menilai suatu program tanpa tujuan yang jelas
Program evaluasi harus sistematis dan mengikuti serangkaian proses tahap
demi tahap. Tahapan untuk setiap evaluasi mungkin berbeda-beda, namun prosedur
yang dirumuskan oleh Burck dan Peterson (1975) dalam menerapkan program
evaluasi cukup solid untuk diikuti.
Menurut kedua penulis ini, langkah pertama dalam merumuskan program
evaluasi mencakup penilaian kebutuhan. Agar konselor dapat dimengerti, pertama-
tama dia harus mengidentifikasi masalah atau isu penting yang ada dalam
programnya. Kebutuhan adalah "kondisi di antara anggota-anggota suatu kelompok
yang mencerminkan kekurangan nyata akan sesuatu atau kewaspadaan (persepsi
bahwa sesuatu itu kurang" (Collison, 1982, p. 115). Adanya kebutuhan diasumsikan
berdasarkan pada sejumlah faktor, seperti filosofi institusional atau pribadi, mandat
pemerintah, sumber-sumber yang tersedia, sejarah atau tradisi, dan opini ahli.
"Teknik menilai kebutuhan mencakup mengidentifikasi secara jelas target survei

25
menspesifikasi metode kontak, dan membereskan kembali masalah-masalah yang
berkaitan dengan pengukuran" (Cook, 1989, p. 463).
Langkah kedua dalam evaluasi adalah "menetapkan tujuan dan sasaran
kinerja." Di sini, baik hasil terakhir suatu program (yaitu yang paling dapat dikena
secara langsung) dan hasil optimal suatu program (yaitu yang paling bertahan lama)
dideskripsikan dalam bentuk saran kinerja yang bisa diukur. Normalnya "ada
beberapa sasaran kinerja untuk setiap pernyataan tujuan" (Burck & Peterson, 1975,
p. 567).
Langkah ketiga dalam evaluasi adalah mendesain program. Ketika suatu
program dikembangkan untuk memenuhi sasaran yang ditetapkan, aktivitas yang
berfokus pada tujuan dapat didesain secara tepat. Langkah keempat adalah
memperbaiki dan merevisi suatu program. Aktitivas khusus dan keadekuatan pola
komunikasi keduanya dievaluasi pada titik ini.
Langkah kelima dan terakhir adalah "mencatat dan melaporkan hasil
program" (Burck dan Peterson, 1975, p. 567). Tugas ini terutama dilakukan dengan
mempublikasikan temuan dari evaluasi program kepada masyarakat umum.
Informasi konsumen seperti ini sangat penting untuk klien potensial jika mereka
ingin membuat keputusan yang berdasarkan pada informasi, dan konselor dalam
juga membutuhkan jenis umpan balik semacam ini, untuk meningkatkan keahlian
dan layanan mereka.
Evaluator harus mengajak orang lain terlibat dalam hasil penelitian
memiliki dampak langsung pada program. Individu yang merasa ikut terlibat dalam
penilaian kebutuhan akan lebih mau membantu konselor mencapai kebutuhan yang
telah diidentifikasi dan menetapkan tujuan program dibanding individu yang tidak
terlibat.
8. Memilih Model Evaluasi
Karena evaluasi adalah suatu bagian yang berkesinambungan dari profesi,
konselor harus mempersiapkannya dengan baik (Wheeler & Loesch, 1981). Bagian
dari persiapan ini termasuk menentukan waktu untuk melakukan evaluasi. Bagian
lain yang cama pentingnya adalah mendidik diri sendiri dan orang lain mengenai
berbagai model evaluasi yang tersedia. House (1978) menawarkan daftar model
evaluasi dan dimensi penting dari tiap model (lihat Tabel 13.1). Model-model
tersebut adalah analisis sistem, perilaku objektif, pengambilan keputusan, tujuan
bebas, kritikan seni, akreditasi, oposisi, dan transaksi.

26
Daniel dan kolega-koleganya (1981) mempelajari dimensi yang menilai
model-model evaluasi utama dan memperkenalkan beberapa cara praktis untuk
membandingkannya, guna menentukan model yang paling tepat untuk situasi
khusus. Mereka mencatat bahwa baik batasan internal maupun eksternal
"mendefinisikan sampai batas mana setiap model dapat diterapkan secara efektif"
(p. 580). Mereka menyediakan kerangka kerja untuk membantu konselor menilai,
model mana yang akan digunakan untuk suatu situasi (lihat Gambar 13.1)
Pertanyaan yang muncul sebelum evaluasi (yakni, pertanyaan utama) akan
bisa dijawab dengan lebih memuaskan, dibanding jika pertanyaan muncul setelah
evaluasi selesai dilakukan (ex post facto question). Dalam beberapa kasus, seperti
investigasi mengenai pandangan klien atas perilaku bunuh diri, tidak banyak pilihan
yang dimiliki peneliti selain mengajukan pertanyaan pada pelaku bunuh diri yang
berhasil diselamatkan untuk mencerahkan pikiran mereka, setelah mereka terlanjur
menunjukkan perilaku tersebut (Paulson & Worth, 2002).
Pendekatan metodologi yang digunakan untuk riset, yaitu mengajukan
pertanyaan untuk mempelajari struktur penyebab suatu fenomena seperti yang
dialami partisipan, disebut pemetaan konsep (Kunkel & Newson, 1996).
Bagaimanapun juga, pada saat memulai, evaluator harus bertanya pada diri sendiri
apa yang akan dia evaluasi dan bagaimana melakukannya (Davidson, 1986). Ada
tiga model yang mencakup dua hal tersebut: model hasil penjumlahan program dan
personel yang setara (P+ P= R) (Gysbers* Henderson, 2006b), sistem perencanaan,
pemrograman, penganggaran (PPBS), dan model konteks-masukan-proses-produk
(CIPP) (Humes, 1972; Stufflebeam et al., 1971).
Evaluasi P+ -R adalah salah satu evaluasi yang dikembangkan oleh Gysbers
dan Henderson (2006b) untuk konselor sekolah dan contohnya akan diberikan di
sini. Model evaluasi ini dapat dimodifikasi untuk digunakan bagi lingkungan
institusional yang lain. Menurut Gysbers dan Henderson, sebagai hasil
dikeluarkannya No Child Left Behind Act (PL 107-110) pada tahun 2001
(McGannon, Crey, dan Dimmitt 2005), para konselor di sekolah semakin sering
diminta untuk mendemonstrasikan bahwa hasil pekerjaan mereka memberi
sumbang peran bagi kesuksesan siswa, terutama pencapaian akademis siswa. Untuk
ini, konselor sekolah dapat menggunakan tiga jenis evaluasi, guna
mendemonstrasikan bagaimana program konseling yang mereka berikan, memberi
kontribusi pada kesuksesan siswa secara keseluruhan.

27
Evaluasi personal adalah jenis pengukuran pertama yang menunjukkan cara
parakonselor sekolah dievaluasi dan dipantau. Evaluasi program adalah jenis
penilaian yang kedua. Evaluasi ini mengecek status program tertentu dibandingkan
standar uatu program untuk mengetahui sampai tingkatan mana program ini telah
diterapkan. Akhirnya, ada evaluasi hasil yang terfokus pada dampak aktivitas dan
layanan program pada siswa, sekolah, dan komunitas. Walaupun masing-masing
jenis evaluasi penting, semua evaluasi tersebut harus dikaitkan dan diinteraksikan
satu sama lain. Evaluasi personel ditambah evaluasi program sama dengan evaluasi
hasil.
Model PPBS menekankan perencanaan program dengan tujuan, sasaran,
dan kriteria evaluasi yang dinyatakan secara khusus. Situasi, populasi, dan
perawatan yang termasuk di dalamnya, merupakan kepedulian utama dari model
ini. Humes (1972) menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh dari PPBS
mengacu ke kriteria (berhubungan langsung dengan dimensi yang diukur) alih-alih
mengacu ke norma-norma (berhubungan dengan anggota-anggota kelompok
lainnya, seperti jika digunakan tes yang dibakukan). Oleh karena itu, jika dilakukan
perencanaan dan pemrograman yang tepat, evaluator akan dapat
mendemonstrasikan bahwa konseling adalah satu variabel penting dalam kemajuan
seorang klien. Lebih dari itu, jika dilakukan penganggaran, dampak konseling dan
keefektifan biayanya dapat diperlihatkan dengan jelas, sedang kekuatan dan
kelemahan program juga dapat didokumentasikan. Dengan demikian, administrator
layanan konseling akan mempunyai kedudukan lebih baik untuk menilai
permintaan dana guna pengembangan dan pemberian layanan yang sekarang ini
belum ada. Aspek analisis program sangatlah vital.
Model CIPP menyajikan empat jenis evaluasi. Yang pertama, evaluasi
konteks, adalah membandingkan antara apa yang seharusnya dilakukan oleh suatu
program dengan apa yang sebenarnya diperoleh. Yang kedua, evaluasi masukan,
mengumpulkan informasi mengenai sumber-sumber apa yang dibutuhkan dan
sumber mana yang tersedia untuk memenuhi sasaran program. Bagian dari evaluasi
ini menunjukkan keefektifan biaya dan perlunya sumber tambahan. Jenis evaluasi
ketiga, evaluasi proses, berfokus pada kekuatan dan kelemahan desain
program. Jika ada kelemahan seperti pada desain arus komunikasi, tindakan
korektif dapat dilakukan. Jenis evaluasi keempat, evaluasi produk, berfokus pada
hasil akhir dari seluruh program. Pada tahap ini, evaluator menanyakan seberapa

28
kefektifkah program tersebut sebenarnya. Rencana dapat dibuat untuk melanjutkan,
menggunakan kembali, mengembangkan, atau menghapus program. Apa punjenis
evaluasi yang digunakan, sebagian besar proses evaluasi menggunakan riset untuk
menuju ke kesimpulan.
9. Sifat Evaluasi dan Riset
Evaluasi berbeda dengan riset, namun ada hal-hal yang sama antara
keduanya. Wheeler dan Loesch (1981) mencatat bahwa kedua istilah tersebut sering
kali dipasangkan secara konseptual dan sering dipakai bergantian. Krauskopf
(1982) mengatakan bahwa "pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Ada sikap empiris yang sama dalam keduanya dan kedunya membutuhkan
perlengkapan yang sama" (p. 71). Meskipun demikian, Burck dan Peterson (1975)
membedakan kedua konsep tersebut.
Berdasarkan kedua penulis ini, evaluasi dikatakan "lebih berorientasi ke
misi, mungkin lebih sedikit jumlah subjek yang harus dikontrol, lebih berhubungan
dengan memberikan informasi kepada pengambil keputusan, cenderung kurang
kompleks atau canggih, dan berhubungan terutama dengan menjelaskan kejadian
serta hubungannya, untuk menetapkan tujuan dan sasaran" (p. 564). Sebagai contoh,
dalam program persiapan konselor, siswa mempersiapkan selembar portfolio
sebagai akhir dari periode program itu, yang menjadi bahan untuk mengevaluasi
siswa tersebut (dinilai). Berdasarkan pada nilai mereka, siswa dan fakultas
kemudian akan memutuskan seberapa banyak kemajuan yang telah dicapai dan
apakah akan melanjutkan program pendidikan mereka. Baik akademis maupun
klinis, "kualitas pelayanan, evaluasi yang teliti, komunikasi evaluasi yang baik"
adalah tiga komponen utama dari program konseling yang solid (Ohlsen, 1983, p.
357). Jika evaluasi tidak dilakukan atau hasil positif tidak dipublikasikan, program
konseling kemungkinan besar akan terkena imbas yang kurang baik.
Riset, bagaimanapun juga, "lebih berorientasi teori dan terkait disiplin
ilmu,memberi kontrol lebih besar terhadap aktivitas, menghasilkan lebih banyak
hasil yang mungkin tidak langsung diterapkan, lebih canggih kerumitan dan
ketepatan desain, melibatkan penilaian di pihak periset, dan yang lebih
berhubungan dengan menjelaskan dan memprediksi fenomena" (Burck & Peterson,
1975, p. 564). Sebagai contoh, konselor melakukan riset untuk menilai mana dari
beberapa teknik teoretis memberi hasil paling positif, ketika diterapkan pada
populasi klien yang semuanya mengalami gangguan yang sama. Pada kondisi

29
semacam ini, variabel, seperti usia, jenis kelamin, dan latar belakang budaya,
dikontrol seketat mungkin sehingga para periset dapat memperoleh gambaran yang
jelas dan akurat mengenai teknik mana yang berhasil dan pada siapa, sehingga
hasilnya dapat dilaporkan dan temuannya dijelaskan dengan tepat. Dalam riset
konseling, kebanyakan konselor adalah periset terapan: mereka menggunakan
pengetahuan dari riset dalam lingkungan praktiknya.

30
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Assesment merupakan salah satu bagian terpenting dalam seluruh kegiatan yang ada
dalam konseling (baik konseling kelompok maupun konseling individual). Karena itulah
asesmen dalam bimbingan dan konseling merupakan bagian yang terintegral dengan proses
terapi maupun semua kegiatan bimbingan dan konseling itu sendiri. Assesment dilakukan untuk
menggali dinamika dan faktor penentu yang mendasari munculnya masalah. Hal ini sesuai
dengan tujuan asesmen dalam bimbingan dan konseling, yaitu mengumpulkan informasi yang
memungkinkan bagi konselor untuk menentukan masalah dan memahami latar belakang serta
situasi yang ada pada masalah klien. Assesment yang dilakukan sebelum, selama dan setelah
konseling berlangsung dapat memberi informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi klien. Dalam prakteknya, Assesment dapat digunakan sebagai alat untuk
menilai keberhasilan sebuah konseling, namun juga dapat digunakan sebagai sebuah terapi
untuk menyelesaikan masalah klien.
Evaluasi juga merupakan unsur yang tidak kalah penting dalam membantu
konselor memutuskan bagaimana program mencapai tujuan akhir dan sasaran dari staf
dan klien. Langkah pertama yang utama dalam melakukan evaluasi adalah melakukan
penilaian kebutuhan. Tersedia beberapa model yang sangat bagus untuk digunakan
konselor dalam menyelesaikan tugas ini.
Riset membuat banyak konselor ketakutan. Namun, rasa takut ini akan berkurang
seiring dengan semakin sadarnya para konselor bahwa ada banyak cara untuk
melaksanakan studi investigasi. Tiga metode riset utama adalah historis, deskriptif, dan
eksperimental. Selama bertahun-tahun, riset eksperimental mendapat tempat sangat
tinggi, namun penekanan ini mulai berubah. Studi kasus dan desain eksperimental
intensif mulai popular. Selain itu, semakin bertumbuh perbedaan dalam memahami
metode riset dan konsep statistik; yaitu, kesadaran bahwa kedua pendekatan tidak sama.
Keduanya memang penting, tetapi sangat mungkin ada salah satu yang lebih dikuasai
periset dibanding yang lain.
Konselor harus terus-menerus berupaya meningkatkan keahlian Assesment,
evaluasi dan risetnya, dan selalu up-to-date. Masa berlakunya suatu pengetahuan itu
sangat pendek, dan konselor yang tidak melatih pikiran dan mencari bidang-bidang

31
yang perlu perubahan hanya akan menjadi orang yang ahli dalam angka-angka saja,
alih-alih menjadi aktor yang berpengaruh.

32
DAFTAR PUSTAKA

Dahir, Carol A & Stone, Carolyn Bishop. 2012. The Transformed School Counselor.
United States Of America: Brooks/Cole Cengage Learning.

33

Anda mungkin juga menyukai