MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Problematik Bimbingan Dan Konseling
Yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Andi Mappiare AT
Oleh:
I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Model konseling KIPAS merupakan pendekatan baru dalam dunia konseling
yang bermuatan budaya. Model konseling ini di cetuskan pertama kali oleh Andi
Mappiare-AT selaku guru besar Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri
Malang. Model ini muncul sebagai solusi baru terhadap ketidaksesuaian
penerapan model-model konseling sebelumnya. Konseling Intensif (dan) Progresif
(yang) Adaptif (terhadap) Struktur, merupakan akronim dari konseling KIPAS.
Pada saat ini model konseling KIPAS masih dalam tahap pengembangan dan
memperkenalkan kepada seluruh praktisi/ konselor sekolah di Indonesia. Model
konseling KIPAS merupakan pendekatan konseling yang masih terbilang baru dan
butuh adanya evaluasi sebagai upaya pengembangan dan perbaikan terhadap
keefektifan model konseling dalam pelaksanaan pelayanan Bimbingan dan
Konseling di Indonesia. Harapannya model konseling ini dapat menjadi solusi
untuk prospek pelaksanaan Bimbingan dan Konseling kedepannya. Berdasarkan
uraian tersebut, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengevaluasi
dan menilai apakah konsep yang terdapat dalam model konseling KIPAS mampu
menjadu solusi dalam prosepek kedepannya.
B. Rumusan masalah
1. Apakah model konseling KIPAS mampu menjadi solusi permasalahan
pelaksanaan BK di sekolah?.
2. Apakah konsep konseling KIPAS mampu menghapus persepsi siswa bahwa
konselor adalah polisi sekolah?.
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui apakah model konseling KIPAS mampu menjadi solusi
permasalahan pelaksanaan BK di sekolah
2. Untuk mengetahui apakah konsep konseling KIPAS mampu menghapus
persepsi siswa bahwa konselor adalah polisi sekolah?.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
dari konsep model konseling lain, evaluasi terhadap model konseling KIPAS lebih
mudah dilakukan karena penulis dapat membandingkan konsep masing-masing
model. Agar tidak terlalu luas penulis memilih model konseling REBT sebagai
model konseling yang diambil konsep-konsep dasarnya yang disejajarkan dengan
model konseling KIPAS.
Nama model REBT KIPAS
Peran konselor Konselor berperan sebagai Kawan, Inovator, Pamong,
guru yang mengajarkan Abdi, Suporter
koseli mengubah pola pikir
ke arah rasional, sebagai
model dan ahli bahasa, serta
penasihat
Prosedur Konselor menunjukan Kelola diri dan rekontruksi
modifikasi bahwa kesulitan konseli pribadi, imunisasi diri dan
berasal dari fikiran irrasioanl internalisasi nilai budaya,
Konselor berupaya pemberdayaan, analisis diri
mengubah keyakinan konseli dan situasi, sensitisasi sosial
Konselor berusaha (sarasehan).
menghindarkan konseli dari
ide-ide irrasional
Konselor berusaha
menantang konseli dalam
mengembangkan filosofi
rasionalnya
Tehnik khusus Disputing, confrontation, Kata dukungan, interpretasi,
reframing, pemantulan, arahan dan sari
pati.
Tujuan konseling Tujuan konseling REBT Kecakapan hidup produktif,
bertujuan untuk intelegen/cerdas berifikir
memperbaiki dan mengubah kritis, piawai/penuh daya,
sikap, persepsi, cara berfikir, analis aktif dan realitas,
keyakinan serta cara pandang sensitif terhadap norma/
klien yang irrasional, nilai dan sensitif pada
3
menjadi rasional sehingga ia kebaikan.
dapat mengembangkan diri
dan mencapai realisasi yang
optimal. Menghilangkan
gangguan emosional yang
dapat merusak diri sebagai
akaibat sebagai pemikiran
irrasioanl, melatih dan
mendidik konseli agar dapat
menghadapi hidup secara
rasional, mengembangkan
nilai dan kemampuan diri
Basis Berfikir irrasioanl Keterampilan terpendam
Tidak bisa mengontrol dan tersia-siakan, intelek
emosi terpendam dan tersia-siakan,
Tidak meimiliki tujuan power tersiman/terbuang
hidup yang terencana sia-sia, asosiatif berlebihan,
sensitif simpang orientasi.
Langkah/tahapa Menerapkan falsafah A-B-C- Kabar gembira, integritas
n konseling D-E data dan internalisasi,
perencanaan tindakan,
aktualisasi rencana
tindakan,
selebrasi/sertifikasi.
Tema bahasan Belum jelas temanya karena Karakter, identitas,
konseling dalam model konseling ini pekerjaan, akademik, sosial
membahas permasalahan
yang berkaitan dengan
pikiran irasional jadi tema
bahasan dapat luas sesuai
dengan jenis pikiran irasional
yang melatar belakanginya.
4
Dalam tabel tersebut dapat diamati bahwa kedua model konseling tersebut
sangat berbeda. Dilihat dari aspek-aspek yang ada sudah jelas bahwa falsafah
yang mendasari kedua model konseling sangat bertolak belakang. Sebagai contoh
fenomena di sekolah tentang kenakalan remaja atau perilaku maladaptif dalam
pandangan model konseling REBT kenakalan remaja atau perilaku maladaptif
dipengaruhi oleh pikiran irasional konseli/siswa dan untuk merubah perilaku
konselor melakukan beberapa strategi pengubahan yang bertujuan untuk merubah
pikiran irasional tersebut. Padahal jika dipahami lebih lanjut fenomena kenalakan
yang terjadi di sekolah khususnya di indonesia tidak terlepas dari adanya
pengaruh budaya yang memengaruhinya. Konseli mungkin saja memiliki nilai dan
norma yang berbeda, dan nilai serta norma tersebut tidak dapat di diskusikan
karena masing-masing konseli itu unik dan berbeda. Jika sudah seperti ini
bagaimana mungkin sebuah model pendekatan konseling dapat menyediakan
kerangka kerja yang efektif untuk menyelesaikan permaslahaan jika akar dari
permasalahan berbeda dengan falsafah model konseling yang digunakan. Hal ini
di perkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Corey bahwa “An adequate
theory of counseling does deal with the social and cultural factors of an
individual’s problems. However, there is something to be said for helping clients
deal with their response to environmental realities (Corey, 2009: 44).”
Kerangka kerja konseling KIPAS yang bersifat intensif, progersif, dan
adaptif terhadap struktur tentunya lebih bisa diandalkan mengingat falsafah yang
mendasari model konseling tersebut tidak lepas dari latar belakang budaya
konseli. Model konseling KIPAS dapat dijadikan sebagai sebuah solusi dalam
menghadapi permasalahan yang berorientasi multibudaya. Pedersen, dkk memiliki
pendapat bahwa“Multicultural counseling is not an exotic topic that applies to
remote regions, but is the heart and core of good counseling with any client”
(Corsini, 2008: 537).Katakanlah bahwa suatu produk yang berasal dari negeri
sendiri lebih relevan digunakan daripada produk luar negeri yang belum tentu
cocok dengan selera masayarakat. Sama halnya dengan model konseling, untuk
menentukan mana model konseling yang sesuai sebagai intervensi seharusnya
mempertimbangkan kesesuaian model konseling dengan konseli yang ditangani.
Hal ini sejalan dengan pendapat Corey bahwa
5
“Counselors who operate from a multicultural framework also have certain
assumptions and a focus that guides their practice. They view individuals in the
context of the family and the culture, and their aim is to facilitate social action
that will lead to change within the client’s community rather than merely
increasing the individual’s insight” (Corey, 2009: 44).
6
Pertanyaan yang muncul saat ini adalah, apakah konsep posisi diri konselor
dalam model konseling KIPAS dapat menghapuskan persepsi konselor sebagai
polisi sekolah? maka jawabannya atas pertanyaan tersebut adalah “ya”. Mengapa
demikian? Berikut ulasan mengenai konsep posisi diri konselor dalam model
konseling KIPAS.
Mappiare-AT (2013: 37) meramu keutuhan posisi diri konselor dalam
akronim KIPAS sebagai berikut:
1. Kawan. Konselor sebagai kawan bagi konseli/ siswa memiliki ciri-ciri yaitu
kesetaraan dengan nilai-nilai humanistik, memandang individu tanpa melihat
status sosial dan jabatan, bersikap adil, bijaksana, dan tenang (Mappiare-AT,
2013: 37). Jika seorang konselor mampu menempatkan dirinya sebagai teman
yang dapat dipercayai oleh konseli/siswa maka tidak menutup kemungkinan
hal tersebut mampu menghapuskan persepsi konselor sebagai polisi sekolah.
Seorang kawan tidak akan memberi hukuman seperti yang polisi lakukan,
seorang kawan tidak akan mencatat kesalahan kawan lainnya seperti yang
polisi sekolah lakukan, dan seorang kawan setia mendampingi kawannya jika
mengalami kesulitan tidak seperti polisi sekolah yang bertindak sebagai
penegak hukum.
2. Inovator. Konselor dilengkapi dengan sifat inspiratif, memiliki prakrasa,
cerdas, penuh pertimbangan, terampil berkomunikasi dan menyelesaikan
masalah, serta berpikir logis (Mappiare-AT, 2013: 37). Seorang konselor
yang bersikap sebagai inovator mampu menginspirasi siswa untuk bersikap
lebih baik, bukan membuat takut dan cemas seperti yang polisi sekolah
lakukan. Seorang inovator dapat menjadi panutan/ contoh dalam bersikap
bukan sebagai seseorang yang memaksakan kehendak seperti yang dilakukan
polisi sekolah. Jika konselor mampu menempatkan dirinya sebagai seorang
inovator maka tidak menutup kemungkinan persepsi siswa bahwa konselor
adalah polisi sekolah dapat terhapuskan.
3. Pamong. Konselor yang memposisikan dirinya sebagai pamong memiliki
sifat mengasuh, memiliki pengaruh sosial, dijadikan tempat mengadu, suka
membantu, memiliki toleransi dan menghargai (Mappiare-AT, 2013: 37).
Selama ini banyak fenomena yang menunjukan adanya praktek konselor
7
sebagai penegak hukum jika siswa datang terlambat ke sekolah ataupun
ketika siswa melakukan kenakalan remaja maka konselor akan memutuskan
hukuman apa yang dapat memberi efek jera pada siswa/konseli. Dalam model
konseling KIPAS jika seorang konselor mampu menempatkan dirinya sebagai
pamong yang mengayomi layaknya orang tua yang mengasuh mereka maka
anggapan mengenai konselor sebagai polisi sekolah akan terhapuskan. Justru
sebaliknya mereka akan menjadikan konselor sebagai tempat untuk berbagi
saat mereka menghadapi masalah, siswa juga akan lebih terbuka atas latar
belakang tindakan yang medndasari perilaku penyimpangan.
4. Abdi. Sebagai seorang abdi konselor menempatkan dirinya sebagai pelayan
yang jujur dan peduli, menampilkan keaslian diri, altruistis, sabar, rendah hati
dan menghormati orang lain (Mappiare-AT, 2013: 38). Bagaimana mungkin
siswa menganggap konselor sebagai polisi sekolah jika konselor bersikap
rendah hati dan menghormati segala tindakan yang dilakukan siswa/konseli
tanpa memberi penilaian benar atau salah seperti yang polisi sekolah lakukan.
Tentunya persepsi konselor sebagai polisi sekolah dapat dihapuskan jika
konselor mampu bersikap sebagai abdi yang rendah hati, dapat dipercaya dan
menghormati konseli sebagai sesama manusia yang tidak luput dari
kesalahan.
5. Suporter. Konselor memposisikan dirinya sebagai penyemangat dengan ciri
pribadi teguh pendirian, pantang menyerah, berjiwa tangguh dan memiliki
keteguhan hati (Mappiare-AT, 2013: 38). Saat siswa mengalami
permasalahan yang membuat dirnya merasa kecil dan sulit, konselor yang
bersikap sebagai penyemangat hadir agar konseli tetap maju, berusaha serta
menyadarkan konseli bahwa dirinya mampu menyelesaikan permasalahan
yang dihadapinya. Bukan malah bertindak sebagai penentu apakah yang
dilakukan oleh konseli itu benar atau salah dan membuat siswa merasa
terintimidasi.
8
kearah yang lebih rasional. Disini dapat diartikan jika ada perbedaan derajat
antara konselor dan konseli. Konselor REBT berperan sebagai guru dan
seseorang yang lebih paham. Lain halnya dengan peran konselor dalam konseling
KIPAS yang menjungjung tinggi adanya kesetaraan dan toleransi sehingga
membuat konseli merasa nyaman, tidak, takut, dan tidak merasa digurui.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model konseling
KIPAS dapat menghapuskan persepsi siswa yang menganggap konselor
merupakan polisi sekolah. hal tersebut tampak dari unsur model konseling
KIPAS pada pemosisian diri konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling. Unsur lain seperti langkah konseling dan tema bahasan juga
memungkinkan untuk menghapuskan persepsi tersebut. Selama ini konseling
juga diersepsikan sebagai suatu kegiatan yang hanya bermuatan untuk membahas
segala bentuk permeasalaha-peramsalahan yang dilakukan siswa. Model
konseling KIPAS mengemas kerangka kerja yang mampu menghapuskan
persepsi bahwa konseling merupakan kegiatan bagi orang yang bermasalah saja.
Model konseling KIPAS diorientasikan bersifat “happy electicism” dalam
pelaksanaanya sehingga dapat mengurangi kesan “kabar buruk” bagi siswa
(Mappiare-AT, 2017: 42). Penulis berpendapat bahwa dalam konteks
permasalahan yang sering muncul yaitu “konselor yang berperan atau
memposisikan dirinya secara tidak langsung sebagai polisi sekolah” maka unsur
yang diulas dalam bahasan ini adalah unsur posisi diri konselor dalam model
konseling KIPAS.
Seorang konselor yang menerapkan model konseling KIPAS dalam
memberikan pelayanan bersikap sebagai kawan bagi peserta didik, kawan yang
bisa mereka percayai secara netral dan tidak berpihak. Konselor menjadi inovator
dan mungkin saja menginspirasi mereka untuk menjadi lebih baik. Konselor
sebagai pamong yang mengayomi layaknya orang tua. Konselor sebagai seorang
yang asli tanpa sandiwara dan senantiasa memberikan dukungan penuh. Maka
tidak menutup kemungkinan jika 5 hal yang telah disebutkan diatas benar-benar
diinternalisasi oleh konselor dalam memberikan pelayanan akan menghapuskan
persepsi siswa bahwa konselor adalah penegak hukum kedisiplinan sekolah atau
polisi sekolah.
9
C. Saran dan Kritik Terhadap Model Konseling KIPAS.
Bimbingan dan konseling sebagai suatu ilmu terapan, hendaknya terbuka
pada kritik agar ia memenuhi salah satu syarat sebagai suatu ilmu yakni terbuka
terhadap kritik (Lasan, 2014: 87). Sehingga dalam makalah ini juga disertakan
beberapa saran dan kritik yang berasal dari pemikiran penulis sebagai berikut:
1. Model konseling KIPAS tidak hanya dikembangkan dalam ruanglingkup
bimbingan dan konseling di sekolah, namun dalam hal pemberian layanan
bimbingan dan konseling di luar sekolah. Meskipun saat ini konseling di mata
masayarakat Indonesia masih terbilang jarang dan beranggapan bahwa
konseling hanya untuk anak sekolah, justru hal tersebut dapat menjadi trobosan
bahwa ada model konseling KIPAS yang sesuai dengan latar belakang budaya
bangsa dapat membantu masayarakat untuk menyelesaikan dan meningkatkan
keterampilan dalam mengatasi masalah hidupya.
2. Adanya buku panduan teknis secara tertulis/cetak yang berisi bagaimana
menerapkan model konseling KIPAS di sekolah. Hal ini bertujuan untuk
mengenalkan kepada konselor sekolah adanya model konseling baru yang
mungkin saja menjawab permasalahan yang mereka hadapi. Jika di pikirkan
lebih jauh tentunya dibutuhkan banyak mitra kerja sama untuk
mewujudkannya.
3. Model konseling KIPAS dilatar belakangi budaya multikultural yang ada di
Indonesia, oleh sebab itu bila model konseling ini diterapkan di luar negeri
butuh beberapa modifikasi agar sesuai dengan latar belakang budaya negara
tersebut (berpikir lebih jauh barangkali dapat diperkenalkan ke dunia
internasional sebagai sumbangsih terhadap perkembangan Konseling).
4. Pemahaman akan pentingnya isu-isu multibudaya diperlukan untuk
mempermudah memahami dan mempraktekkan model konseling KIPAS.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
Daftar Rujukan
12