Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KONSELING LINTAS BUDAYA


“Masalah Tentang Budaya Lokal Yang Menjadi Hambatan Dalam
Konseling”

Disusun Oleh :

Dian Nova Yunita (1605095064)

Bimbingan dan Konseling


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
2017/2018

1
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

PENDAHULUAN ..............................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG .............................................................................................4


B. PERMASALAHAN .................................................................................................5

KAJIAN PUSTAKA ..........................................................................................................6

A. DASAR TEORI .....................................................................................................20


B. PEMECAHAN MASALAH ..................................................................................20

PENUTUP .........................................................................................................................23

A. KESIMPULAN ......................................................................................................23
B. SARAN ..................................................................................................................23

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keragaman yang ada di Indonesia berpengaruh langsung terhadap kemampuan
pelayanan konseling. Keragaman yang ada diantaranya keragaman sosial, politik,
kemampuan ekonomi dan budaya. Konseling adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan melalui wawancara oleh seorang konselor terhadap individu guna mengatasi
masalah atau mengoptimalisasi potensi yang dimiliki. Faktor utama yang mempengaruhi
dalam memperoleh pemahaman dan pencapaian tujuan dalam proses konseling yaitu bahasa.
Bila terjadi kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan dirasakan oleh
klien, dan kesulitan menangkap makna ungkapan pikiran dan perasaan klien oleh konselor,
maka akan terjadi hambatan dalam proses konseling.
Konseling lintas budaya dapat dipahami sebagai proses bantuan yang menggunakan
modalitas dan menetapkan tujuan penyesuaian pada pengalaman hidup dan nilai budaya dari
klien, serta menyesuaikan pada identitas klien secara individual, grup, dan dimensi universal.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap
adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu
dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Budaya yang
dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin
masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut
oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain
yang ada di sekitar individu. Pengentasan masalah individu sangat mungkin dikaitkan dengan
budaya yang mempengaruhi individu. Pelayanan konseling menyadarkan klien yang terlibat
dengan budaya tertentu, menyadarkan bahwa permasalahan yang timbul, dialami bersangkut
paut dengan unsur budaya tertentu, dan pada akhirnya pengentasan masalah individu tersebut
perlu dikaitkan dengan unsur budaya yang bersangkutan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada pelaksanaannya akan timbul beberapa faktor yang
menjadi kendala atau hambatan yang akan dialami oleh konselor dalam pelaksanaan proses

4
konseling lintas budaya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai hambatan atau
kendala dalam pelaksanaan proses konseling lintas budaya.

B. Permasalahan
1. Bagaimana Konsep Dasar Budaya Lokal ?
2. Bagaiman Konsep Dasar Konseling Lintas Budaya ?
3. Bagaimana Masalah Tentang Budaya Lokal Yang Menjadi Hambatan Dalam Konseling ?

5
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. Dasar Teori
1. Konsep Budaya Lokal
a. Pengertian
Secara umum budaya diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi
dan akal manusia. Jadi budaya daerah adalah suatu sistem atau cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah daerah dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya daerah terbentuk dari berbagai unsure
yaitusistem agama dan politik, adat istiadat, perkakas, pakaian, bangunan, dan
karya seni serta bahasa. Kearifan Lokal secara umum diartikan sebagai gagasan-
gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.
Ciri-cirinya adalah:
1) Mampu bertahan terhadap budaya luar
2) Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3) Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli
4) Mempunyai kemampuan mengendalikan
5) Mampu memberi arah pada perkembangan budaya

b. Permasalahan Budaya Lokal


Dalam permasalahan pada budaya lokal, telah di analisiskan dengan analisis SWOT
sebagai berikut:
1) Kekuatan (Strength)
a) Kekuatan dari suatu nilai kearifan dalam berbudaya lokal adalah perlu adanya
bimbingan terhadap generasi muda kita agar nilai dalam unsur kebudayaan
yang ada di indonesia tetap melekat pada diri generasi muda kita sehingga
tidak hilang suatu ajaran yang bernilai positif pada kebudayaan yang ada di
indonesia.
b) Nilai Bhineka Tunggal Ika sebagai sikap social yang menyadari akan
kebersamaan ditengah perbedaan, dan perbedaan dalam kebersamaan.
Semangat ini sangat penting untuk diaktualisasikan dalam tantanan kehidupan
social yang multicultural.

6
c) Nilai moral sosial itu terkait hubungan manusia dengan manusia yang lain
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam melakukan hubungan tersebut,
manusia perlu memahami norma-norma yang berlaku agar hubungannya dapat
berjalan lancar atau tidak terjadi kesalah pahaman.
d) Nilai kearifan lokal menyama braya; mengandung makna persamaan dan
persaudaraan dan pengakuan social bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai
satu kesatuan sosial persaudaraan maka sikap dan prilaku dalam memandang
orang lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka
2) Kelemahan (Weakness)
a) Kurang adanya partisipasi kepada seluruh kalangan masyarakat ataupun
generasi muda untuk mempertahankan suatu kebudayaan yang ada di
indonesia, kebudayaan yang turunan dari leluhur kita dan banyak sekali
mengandung arti tersendiri bagi bangsa indonesia yaitu nilai arti dalam
kehidupan sosial baik dalam bertutur kata yang baik ataupun tingkah laku.
b) Seiring dengan perkembangan pesatnya suatu zaman sehingga nilai dari
kearifan kebudayaan yang ada maka tertinggalah suatu nilai kebudayaan di
indonesia sehingga sedikit sekali masyarakat indonesia yang masih
melestarikan budaya indonesia yang ada pada saat ini.
c) Kurang dapat perhatian dari pemerintah sekitar mengenai kearifan
kebudayaan yang ada disekitarnya sehingga masyarakat sekitarnya kurang
begitu mau mempelajarinya sehingga norma-norma yang terkandung dalam
suatu kearifan kebudayaan yang ada di indonesia sedikit terlupakan.
d) Lemahnya bangsa indonesia akan pentingnya pelestarian kebudayaan yang
telah dimiliki karena bangsa indonesia sendiri memiliki banyak kekayaan
budaya sehingga banyak wisatawan asing yang ingin berkunjung ke indonesia
untuk melihat langsung kebudayaan ataupun kesenian yang ada di Indonesia
3) Peluang (Opportunity)
a) Indonesia mampu bersaing dengan negara lain mengenai suatu unsur kearifan
dalam kebudayaannya karena indonesia itu memiliki suatu nilai norma
kehidupan yang terkandung dalam karakteristik setiap seseorang sehingga
terciptalah suatu arti bihneka tunggal ika.

7
b) Mampu menciptakan daya tarik tersendiri kepada wisatawan mancanegara
untuk datang ke indonesia, karena indonesia itu sendiri memiliki keaneka
ragaman suku bangsa dan budaya serta memiliki norma-norma kehidupan
yang baik dalam berperilaku sehari-hari sehingga banyak wisatawan asing
mencontoh nilai kebudayaan bangsa indonesia untuk dikembangkan lagi
dinegaranya pada saat dia kembali.
c) Mempunyai nilai tersendiri bagi bangsa indonesia untuk bersaing dalam
kemajuan teknologi yang terjadi pada zaman sekarang sehingga nilai
karakteristik yang terdapat pada bangsa indonesia tidak hilang karena
indonesia dikenal oleh negara lain dengan negara yang mempunyai
kebubayaan yang banyak dan mempunyai kekayaan alam yang dapat
mencukupi kehidupan setiap warga negaranya.
d) Dapat memajukan nilai kearifan kebudayaan indonesia dengan suatu tindakan
atau perilaku yang baik dan mencerminkan bahwa bangsa indonesia dalam
bertutur kata atau dalam kehidupan keseharian mempunya sifat ramah tamah
sehingga mempunyai daya tarik tersendiri untuk negara lain sehingga mereka
mau berkujung ke Indonesia

2. Konsep Konseling Litas Budaya


a. Pengertian
Konseling lintas budaya merupakan konseling yang dilaksanakan dalam
budaya yang berbeda (Supriatna, M. 2009; Suhartiwi, S., & Musifuddin, M. 2013).
Sue (1981) merumuskan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang
diberikan pada kelompok-kelompok minoritas seperti kelompok kulit hitam, hispanic,
Indian, keturunan Asia-Amerika. Locke (1998) merumuskan konseling lintas budaya
terjadi bila suatu proses konseling terdapat perbedaan-perbedaan budaya antara
konselor dengan konseli. Kegiatan konseling lintas budaya konselor tetap
menggunakan azas yang tidak berbeda jauh dengan asas konseling umumnya
(Jumarin, M. 2002) yaitu: (a) asas kerahasiaan, (b) asas kesukarelaan, (c) asas
keterbukaan, (d) asas kegiatan, (e) asas kemandirian, (f) asas kekinian, (g) asas
keterpaduan, (h) asas kedinamisan, (i) asas kenormatifan, (j) asas keahlian, dan (k)

8
asas alih tangan/refferral. Sedangkan prinsip konseling lintas budaya yang telah
dirangkum oleh Draguns (1996; Lestari, I. 2012; Agus, B. 2016) meliputi: (1) teknik
atau aktivitas para konselor semakin berubah yaitu menyesuaikan atau menerapkan
dalam lingkungan budaya yang berbeda, (2) permasalahan dalam proses konseling
akan cenderung meningkat jika antara konseli dan konselor terdapat perbedaan
kebudayaan yang makin melebar, (3) masalah, pola perilaku bermasalah akan
berbeda-beda dalam berbagai budaya, (4) norma, harapan, perilaku stres juga
memiliki keragaman antar kebudayaan; konseli dari berbagai budaya memiliki cara
yang berbeda dalam penyesuaian diri, dan (5) konsep konseling dan pola-pola
membantu berkaitan dengan sesuatu kebudayaan.
Pelaksanaan konseling lintas budaya, konselor membawa klien kearah yang
lebih baik untuk pencapaian kehidupan yang baik, sehingga individu mampu
mengambil suatu keputusan dan mampu memaknai nilai-nilai yang terkandung pada
dirinya, karena efektifitas konselor akan bergantung pada komunikasi konselor
dengan klien, dan konselor juga memahami latar belakang budaya klien yang
beragam, apabila ini dimiliki oleh konselor, maka pelaksanaan proses konseling akan
sangat efektif. Konseling lintas budaya adalah konseling yang melibatkan konselor
dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda (Lestari, I. 2012;
Fajrin, Y. N. 2014; Yusuf, M. 2016), dan karena itu proses konseling sangat rawan
oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling
tidak berjalan efektif (Draguns,1986; Pedersen,1986 dalam pidato pengukuhan Guru
Besar Dedi).
Berdasarkan uraian ini maka supaya proses konseling berjalan efektif maka
konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias
budaya, mengerti dan dapat mengapresiasikan diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang resposif secara kultural. Dari segi ini, maka
konseling pada dasarnya merupakan sebuah perjumpaan budaya antara konselor
dengan klien yang dilayaninya
b. Muatan-muatan budaya dalam konseling
Dalam proses konseling, dimana konselor akan bertanya kepada klien, anda
dari mana dengan penuh rasa kebersamaan atau kekeluargaan merupakan cermin dari

9
budaya timur, melainkan dalam sub kultur masing-masing budaya tersebut. Sebagai
contoh, ketika saling berbicara, ukuran jarak fisik yang wajar antara orang Eropa dan
Asia berbeda . bagi masyarakat Barat kontak mata saat berbicara berarti kesantunan
dan menunjukan sikap asertif, sedangkan bagi sebagian budaya Timur adalah perilaku
”menantang” dan bahkan dianggap tidak sopan.
Penggunaan sentuhan sebagai cara untuk memotivasi klien dalam konseling
dan penggunaan komunikasi non verbal dengan menggunakan media vokal juga
secara kental mengandung muatan budaya. dalam proses konseling, konselor maupun
klien membawa serta karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan,
bakat, sikap, motivasi, kehendak, dan tendensi-tedensi lainnya. Sejauh ini, di
Indonesia banyak perhatian diberikan terhadap aspek-aspek psikologi tersebut
(tertama pada pihak klien), dan masih kurang perhatian diberikan terhadap latar
belakang budaya konselor maupun klien yang ikut membentuk perilakunya dan
menentukan efektifitas proses konseling. Kegiatan komunikasi antar budaya
merupakan kegiatan komunikasi yang terjadi antara klien yang berbeda adat istiadat,
ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial atau bahkan jenis kelamin
(Mulyana dan Jalaluddin, 1998).
Dengan memperhatikan batasan diatas sepintas dapat dikatakan bahwa
komunikasi antar budaya harus oleh para diplomat, mahasiswa asing guru di sekolah
internasional, pekerja sosial dan lain sebagainya. Namun sebenarnya setiap
komunikasi kita dengan orang lain mengandung potensi komunikasi antar budaya
karena kita selalu berbeda ”budaya” dengan orang tersebut, seberapapun kecilnya
perbedaan itu, jadi komunikasi antar budaya seyogyanya merupakan kepedulian siapa
saja yang ingin berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. Keefektifan konselor
akan sangat tergantung pada keefektifan komunikasi dengan orang lain (klien), adalah
merupakan keharusan bagi konselor untuk mempelajari komunikasi antar budaya,
karena dalam proses konseling seorang konselor akan bertanya kepada klien tentang
daerah asal klien dengan penuh rasa kebersamaan atau kekeluargaan, ini merupakan
cermin dan budaya timur. Untuk dapat memahami lebih lanjut tentang komunikasi
antar budaya serta beberapa hambatan Yang Mempengaruhi keefektifan komunikasi
antar budaya, Jant (1998) mengemukakan hal berikut: (1) beberapa pendekatan

10
komunikasi antar budaya, (2) hambatan-hambatan komunikasi antar budaya, (3)
bagaimana hambatan-hambatan tersebut mengganggu komunikasi antar budaya.

3. Masalah Tentang Budaya Lokal Yang Menjadi Hambatan Dalam Konseling


Disebutkan pada bahasan sebelumnya bahwa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan konseling lintas-budaya. Dengan demikian bekerjanya faktor tersebut bisa
juga menjadi penghambat konseling lintas-budaya. Berikut dijelaskan secara rinci faktor-
faktor tersebut.
1. Bahasa
Ungkapan “piye khabare (bagaimana kabarnya)” itu sapaan orang Yogyakarta
kalau bertemu temannya. “yok opo rek (bagaimana teman)” itu percakapan khas
Malang atau Surabaya. “tolong belikan aku ote-ote”, kata “ote-ote” bisa berarti
‘makanan’ atau maksudnya ‘orang yang tidak memakai baju’. Di daerah tertentu
menganggukkan kepala itu artinya “ya” dan menggelengkan kepala artinya”tidak”.
Sementara ada daerah lain yang berarti sebaliknya, menganggukkan kepala
maksudnya “tidak” dan menggelengkan kepala artinya “ya”.
Beberapa contoh tersebut menggambarkan beda bahasa, baik verbal maupun
non-verbal. Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan
dalam konseling lintas-budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat
yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling. Di Amerika
misalnya, diketahui sebagai bangsa yang berbahasa Inggris, akan tetapi berjuta-juta
warga negaranya menggunakan bahasa lain. Di antara mereka memang bisa
berbahasa Inggris, banyak di antara mereka yang menggunakan bentuk yang tidak
baku dengan konotasi kata dan ungkapan-ungkapan bahasa silang yang sangat
berbeda dengan bentuk bakunya. Hambatan bahasa harus dipecahkan jika ingin
konseling berhasil.
Menurut Arredondo (dalam Brown et al, 1988) pada waktu ini hanya sedikit
praktisi konseling bilingual (menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu juga terjadi
di Indonesia, apalagi masyarakat kita multietnis. Dalam Sue dan Sue (2007) juga
dipaparkan dengan jelas tentang pengalaman tentang pelayanan medis dimana sang
dokter menggunakan bahasa Inggris dan sang pasien tidak bisa menggunakan bahasa

11
Inggris sehingga menggunakan penerjemah, namun yang terjadi sang terjemah salam
menafsirkan apa pesan yang disampaikan dokter sehingga sang pasien salah
menebus resep obat.
Hal tersebut membuktikan bahwa bahasa dalam kehidupan sangat penting,
karena melalui bahasa kita bisa mengerti apa yang dikomunikasikan atau makna
pesan dari apa yang diucapkan oleh seseorang. Menurut Sue dan Suet (2007) bahasa
merupakan kompleksitas yang dapat mengungkapkan pengalaman mereka, apa yang
mereka rasakan, situasi dan hal-hal unik yang menyangkut dirinya. Oleh sebab itu
hambatan dalam hal bahasa bisa menyebabkan sebuah proses konseling atau terapi
menjadi terhambat atau proses dan tujuannya tidak maksimal dan tercapai.
Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor menghadapi klien yang kemungkinan
menguasai bahasa lain, tingkat penguasaannya kurang, miskin dalam kosa kata,
miskin dalam ungkapan-ungkapan, atau menggunakan dialek yang berbeda.
Seringkali antara konselor dan klien menguasai bahasa daerahnya (bahasa ibu),
disamping bahasa Indonesia. Adapun lebih jelasnya seperti berikut:
a. Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang
Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam menyusun kosa kata
dan tata bahasa umum yang dipakai banyak orang, sehingga terkadang orang
lain kurang mengerti akan apa yang diucapkannya dan menimbulkan persepsi
yang berbeda. Contoh: konseli yang menyusun kata-kata kurang tepat, misalnya
“makan dia sudah”, maka akan menimbulkan kebingungan bagi konselor untuk
mengartikan ucapan konseli tersebut.
b. Miskin dalam kosa kata
Seseorang yang memiliki kekurangan dalam perbendaharaan kata.Contoh:
Seorang konseli yang tidak bisa merangkai kosa kata dalam mengungkapkan
apa yang akan dia katakan akan membuat konselor atau pun orang lain bingung
dalam menerima atau pun mengartikan kata-katanya tersebut.
c. Miskin dalam ungkapan- ungkapan
Contoh: Lia tidak nyambung ketika teman- temannya berbicara tentang
istilah “ Ayam Kampus”. Kemudian Lia menanyakan pada temannya tentang

12
istilah tersebut , temannya kemudian tertawa terbahak- bahak dan menganggap
Lia sebagai orang bego.
d. Penggunaan dialek yang berbeda- beda.
Contoh: orang malang yang menggunakan kata dibalik- balik misalnya:
berapa (orip) dan menggunakan dialeg tegas (terkesan kasar). Orang
Yogyakarta menggunakan krama alus dalam kebanyakan pembicaraannya.
e. Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap orang lain selalu
mengerti apa yang ia maksudkan.
Contoh: konselor yang berbicara dengan bahasa jawa padahal konselinya
berasal dari Madura, Konselor menganggap Konseli mengerti semua apa yang
oleh konselor. Namun pada kenyataannya konseli tidak semua mengerti apa
yang diucapkan konselor.
f. Perbedaan kelas sosial
Pada kelas Sosial yang tinggi cenderungan orang berbicara dengan bahasa
yang kelasnya tinggi(eksklusif) dan sulit dimengerti oleh orang dengan status
sosial rendah. Contoh: mahasiswa yang KKN menjelaskan pada warga desa
terpencil dengan menerangkan tentang penyebaran penyakit dengan
menggunakan istilah- istilah tinggi misalnya: inkubasi, injeksi. Tanpa
menjelaskan arti yang lebih mudah. Tentunya warga desa tersebut tidak
mengerti apa ia katakan. Seharusnya kata tersebut dijelaskan (inkubasi=
penularan penyakit dalam tubuh) dan (injeksi= menyuntik).
g. Usia
Contoh: Guru yang menganggap murid kurang ajar karena membahas
masalah onani/ masturbasi. Pada golongan muda membahas soal sex bukan soal
yang tabu lagi namun bagi sebagian guru yang usianya berbeda jauh dengan
siswa menganggap hal itu adalah kurang ajar.
h. Latar pendidikan keluarga
Contoh: Konseli yang memilki orang tua berlatar pendidikan tinggi akan
dianggap berasal dari keluarga kelas atas dan biasanya penggunaan bahasa dan
pemilihan kata ketika berbicara dengan orang akan cenderung lebih elegan
dibandingkan dengan orang yang dari latar belakang pendidikan bawah.

13
i. Penggunaan bahasa gaul.
Contoh: Konseli yang menggunakan bahasa gaul misal ;
pembokat,Lekong dll. Jika Konselor tidak faham tentang hal itu maka akan
menjadi tidak bersambungan dalam komunikasi.
Apalagi jika konselor merasa etnis mayoritas, ada kecenderungan
menganggap orang lain pasti tahu apa yang dimaksudkan, ia lupa bahwa di
antara siswanya tidak tahu apa yang dibicarakan. Selain itu, kenyataan adanya
beda kelas sosial, usia, latar pendidikan keluarga dan sebagainya juga
mempengaruhi beda bahasa. Pemggunaan bahasa prokem, bahasa gaul di
kalangan remaja atau sekelompok tertentu juga dapat merupakan hambatan.
2. Nilai
Nilai (value) merupakan kecenderungan/disposisi mengenai preferensi
(kelebih-sukaan) yang didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang
dikehendaki/diinginkan dan disukai orang banyak. Ini berkenaan dengan baik/buruk,
pantas/tidak pantas, patut/tidak patut. Nilai merupakan konstruk yang disimpulkan
(sebagai sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi secara
perorangan). Istilah nilai menunjuk suatu konsep yang dikukuhi individu atau
anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan dan
berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa
alternatif.
Nilai menjadi faktor penghambat dalam Konseling Lintas Budaya bilamana:
a. Memaksakan Nilai diri terhadap orang lain
Contoh: Konselor yang memaksakan konseli untuk melaksanakan nilai sub-
budaya konselor. Konselor merupakan orang yang rapi dan wangi, konselor tidak
melayani konseli yang tidak rapi dan tidak wangi sebelum mereka rapi dan wangi.
b. Memaksakan Nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan minoritas.
Contoh: Konselor yang menganggap konseli tidak sopan karena tidak
membungkuk ketika lewat di depan orang yang lebih tua. Konselor tersebut tidak
mau membantu konseli sebelum ia mau mengubah kebiasaan mereka untuk
membungkukkan badan ketika lewat didepan orang yang lebih tua. Tohang

14
berasal dari Timor Leste yang mempunyai kebiasaan menepuk bahu orang yang
dijumpainya sekalipun ia lebih tua darinya.
Nilai ikatan budaya merupakan rintangan penting dalam konseling lintas-
budaya. Belkin (dalam Brown et al, 1988) menyoroti beberapa contoh tentang
konselor yang secara tidak sadar memaksakan nilai-nilai mereka pada klien
golongan minoritas. Misalnya, salah satu tingkah laku yang sangat dihargai dalam
proses konseling adalah pengungkapan diri (self-disclosure). Konselor percaya
bahwa klien lebih banyak memperoleh manfaat dari konseling jika mau berbagi
pikiran dan perasaan yang tersembunyi, tetapi mungkin saja klien tidak bisa
menerima nilai itu. Ini karena ia dididik dan terbiasa tidak menceritakan diri dan
keluarganya kepada orang lain. Sue (2007) membandingkan terapis bangsa
Amerika umumnya dengan orang-orang Amerika keturunan China. Kebanyakan
terapis Amerika menghargai sikap terbuka, kompetitif, terus terang dan mandiri,
sedangkan orang Amerika keturunan China melalui kondisioning budaya belajar
menghormati solidaritas, ketaatan pada peran, yang dipegang, konformitas, dan
setia dalam sistem perkerabatan. Pedersen dalam Sue dan Sue (2007)
menyebutkan bahwa tidak semua budaya melihat individualisme sebagai orientasi
yang positif tetapi dibeberapa kebudayaan cacat dalam mencapai tujuan yang
cenderung spiritual. Dalam hal ini terlihat bahwa budaya di Amerika Serikat
sangat menerapkan konsep individualisme dan persaingan antara individu untuk
status, pengakuan, prestasi, dan sebagainya, serta membentuk dasar untuk tradisi
Barat. Individualisme, otonomi dan kemampuan untuk menjadi orang yang sukses
mencapai tujuan. Sedangkan budaya di negara Timur mengutamakan budaya
kolektivisme. Sehingga konselor dan terapis yang gagal untuk mengenali
pentingnya mendefinisikan perbedaan antara individualisme dan kolektivisme
akan menciptakan kesulitan dalam terapi/ konseling. Salah satu penilaian tentang
klien di Asia ialah tidak dapat mengambil keputusan dalam proses konseling serta
rasa ketergantungan yang berlebihan terhadap orang tua/dewasa atau orang yang
paling penting dalam hidup ini.
Di Indonesia tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor
dan nilai-nilai yang dianut klien. Klien menganut nilai dari kehidupan keluarga

15
itupun masih sering terdapat kesenjangan dengan orang tuanya apalagi dengan
konselor yang merupakan orang asing bagi klien. Kesenjangan nilai bisa juga
terjadi karena antara konselor dan klien berasal dari latar kehidupan sosial yang
berbeda, tingkat sosial ekonomi, usia, agama, suku, jenis kelamin dan sebagainya.
Namun, konselor harus peka budaya dan memahami serta menerima budaya klien
secara positif sebagai karakteristi unik dirinya, sehingga proses dan tujuan
konseling dapat tercapai tanpa harus memiliki masalah yang cukup berarti dalam
konseling.
3. Stereotip
Stereotip adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai
penilaian/kritikan (Brown et al, 1988). Stereotip merupakan generalisasi mengenai
orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi dulu baru
mengamati. Dapat juga dikatakan kecenderungan orang untuk memberi ciri yang
sifatnya umum tentang kelompok orang dalam bentuk pernyataan verbal. Stereotip
juga disebutkan sebagai suatu konsepsi yang diterima begitu saja tanpa dipikirkan
secara kritis/dianalisis, dan diterima begitu saja. Biasanya dibarengi dengan reaksi
emosional.
Stereotip merupakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena
terbentuk secara lama berakar sehingga sulit diubah, dan menjadi pola tingkah laku
yang berulang-ulang. Hal ini dapat dipahami karena Stereotip itu sebagai hasil
belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi
kendala jika konselor dihinggapi Stereotip. Apabila konselor menggunakan
Stereotip, maka mereka tidak bisa bersikap luwes waktu merespon klien dengan
segala kebutuhannya.
Keadaan ini bisa menjadi parah jika klien juga mempunyai Stereotip terhadap
konselornya. Ungkapan-ungkapan Stereotip misalnya “Orang Solo halus; Madura itu
keras; Cina itu pelit; laki-laki itu hanya pakai rasio; perempuan itu main perasaan;
anak remaja sukanya hura-hura;orang tua itu kolot; orang pakai tato itu jahat; anak
laki-laki yang rambutnya panjang pasti nakal”.
Stereotip itu bisa berupa kelompok dan bisa perorangan. Ungkapan Stereotip
ini dapat terjadi karena individu itu beda jenis kelamin, agama, kelompok usia, suku

16
bangsa, kelas sosial, dan sebagainya. Perbedaan konselor dan klien dapat memberi
peluang keduanya untuk terjebak Stereotip. Misalnya, Bu Rita sedang mengonseling
Aci siswi kelas 1 SMU, anak orang kaya, Bu Rita beranggapan Aci pasti anak yang
suka maunya sendiri, manja, tidak mau bersusah-susah, bergaya. Aci juga berpikir
bahwa Bu Rita guru perempuan yang cerewet, sok menasehati, tidak mau tahu
urusan anak muda. Jika keadaannya konselor dan klien sama-sama Stereotip, maka
keduanya sudah dihinggapi sikap yang kaku terhadap masing-masing. Kemungkinan
besar konseling tidak berhasil. Contoh lain, konselor berasal dari Yogyakarta sedang
mengonseling klien dari suku Batak. Konselor berpendapat kliennnya wataknya
keras, dan klien beranggapan konselornya tidak tegas.
Sue dan Sue (2007) menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya tercermin dalam
karakteristik konseling secara umum. Karakteristik ini dirangkum dan dapat
dibandingkan dengan nilai empat kelompok minoritas ras/etnik : Amerika, india,
Asia Amerika, kulit hitam dan Hispanik. Sebagai contoh dari kelompok –kelompok
tersebut melahirkan sifat-sifat yang berbeda dari kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain. Dalam hal ini konselor memang perlu memiliki pandangan
yang umum tentang karakteristik secara umum budaya spesifik klien akan tetapi
sangat mustahil bahwa setiap dari kita dapat memasukkan situasi atau menemukan
orang tanpa membentuk kesan konsisten dengan pengalaman dan nilai-nilai kita
sendiri, apakah klien berpakaian rapi dalam setelan jas atau memakai celana jeans
biru, pria atau wanita, dari ras mana mereka berasal. Kesan pertama tersebut akan
terbentuk sesuai interpretasi kita sendiri dan generalisasi perilaku manusia.
Generalisasi yang diperlukan ialah bahwa tanpa perilaku mereka kita tidak akan
menjadi makhluk yang efisien. Karena generalisasi yang diterapkan kepada
seseorang secara berlebihan akan menjadi sterotipe.
4. Kelas Sosial
Di dalam masyarakat terdapat kelompok individu yang disebut kelas sosial.
Kelas sosial ini muncul mungkin karena latar belakang pendidikan, pekerjaan,
kekayaan, penghasilan, juga termasuk perilaku dimana dan bagaimana individu itu
membelanjakan uang. Ada tiga kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah, dan
bawah. Jika dirinci lagi menjadi Sembilan, yaitu kelas sosial atas (atas-atas, atas-

17
menengah, atas-bawah); kelas sosial menengah (menengah-atas, menengah-
menengah, menengah-bawah); dan kelas sosial bawah (bawah-atas, bawah-
menengah, bawah-bawah). Masing-masing kelas sosial ini mempunyai nilai,
kebiasaan, pola pikir, gaya hidup, cara pandang, pola tingkah laku, fasilitas dan
sebagainya berbeda-beda. Orang-orang di kalangan atas mempunyai gaya tersendiri
untuk merayakan ulang tahunnya, sementara di kalangan bawah ingat hari ulang
tahunnya saja tidak.
Rendahnya kelas sosial atau kemiskinan tampaknya berpengaruh, baik pada
banyaknya masalah kesehatan mental maupun untuk memperoleh bantuan
penanganannya (Brown et al,1988). Penelitian-penelitian cenderung menunjukkan
adanya hubungan terbalik antara kelas sosial dan gangguan jiwa seperti
schizophrenia, alkoholisme, penyalah-gunaan obat, dan tingkah laku anti-sosial
(Dohrenwend dalam Brown et al, 1988). Sebagian, hal ini dijelaskan sebagai fungsi
hubungan antara sressor (hal-hal penimbul stress) dan kemiskinan.
Dalam proses konseling, tingkat perbedaan pengalaman antara konselor
dengan klien, persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan
hambatan besar. Konselor dari kelas sosial menengah mungkin kurang paham
terhadap kebiasaan hidup klien dari kelas sosial bawah dan atas.
5. Ras atau Suku
Banyak perhatian diberikan pada perbedaan kebudayaan yang ada di antara
kalangan ras golongan minoritas dan pengaruh adanya perbedaan ini pada isu-isu
yang berhubungan dengan konseling (dalam Brown et al, 1988). Selanjutnya
dijelaskan bahwa bukti-bukti memang menunjukkan kalau klien golongan minoritas
cenderung putus terapi lebih awal, tidak menepati jadwal perjanjian, dan
mengutarakan ketidakpuasannya mengenai jalannya proses bantuan.
Proses konseling itu sendiri bisa menimbulkan masalah bagi klien golongan
minoritas. Kebanyakan sistem terapi menekankan pentingnya intropeksi, hal
memikul tanggung jawab atas konsekuensi hidup dan perlunya klien berhasil
menemukan pemecahan masalah dan mengambil keputusan pribadi. Di pihak lain,
klien golongan minoritas memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah orang yang
tertindas. Mereka menunjuk lingkungan masyarakat di luar mereka sebagai sumber

18
dari kesulitan hidup mereka. Dengan demikian banyak teori konseling bertentangan
dengan esensi (kenyataan mendasar) identitas kelompok minoritas ini.
Individu golongan minoritas sering menginginkan lebih banyak dari yang
dapat diberikan oleh terapis (konselor). Keinginan berlebih ini, misalnya minta lebih
banyak campur tangan langsung lebih banyak nasihat konkret, konseling bantuan
keuangan, dan bantuan untuk memperoleh pekerjaan (Korchin dalam Brown et al,
1988). Karena tidak memahami hal-hal yang menyebabkan stress yang menimpa
klien golongan minoritas, kebanyakan konselor mengalami kesulitan dalam
memberikan bantuan secara langsung semacam itu.
Keadaan demikian menunjukkan kebutuhan akan hadirnya konselor lintas-
budaya. Hal yang mendasar bagi keterlibatan lintas-budaya adalah pengakuan atas
adanya identitas kelompok dan adanya perbedaan individu. Sikap toleran terhadap
dua hal tersebut merupakan keharusan etis bagi konselor.
Di Indonesia yang terdiri atas bermacam-macam ras atau suku menyebabkan
variasi perbedaan yang sangat beragam. Perbedaan suku ini seringkali merupakan
penghambat proses konseling, karena masing-masing suku memiliki kebiasaan,
falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh
konselor. Atas dasar kesadaran lintas-budaya yang dimiliki oleh konselor diharapkan
ia dapat mengatasi hambatan ini.
6. Jenis Kelamin (Gender)
Pada tahun 1970 para terapis dikejutkan oleh kenyataan adanya sikap kaum
seksis (yang suka melecehkan/memperolok-olok orang perempuan) dalam profesi
bantuan yang diungkapkan penelitian yang dilakukan Broverman dan rekan-
rekannya (dalam Brown et al, 1988).
Penelitian ini menunjukkan bukti-bukti tidak hanya mengenai adanya
stereotip jenis kelamin diantara para terapis, tetapi juga tentang stereotip perempuan
yang merendahkan. Menurut pikiran para terapis pada waktu itu, perempuan kurang
bersifat mandiri dan kurang berani (mencoba sesuatu, ambil resiko) dibandingkan
dengan laki-laki, mereka dipandang sebagai individu yang mudah dipengaruhi dan
terlampau emosional.

19
Pada tahun 1980 Worell mereviu artikel yang membahas ideologi, tujuan,
kebutuhan, rasional, strategi, dan temuan-temuan penelitian yang berhubungan
dengan konseling perempuan. Penelitian dan penulisan artikel tentang psikologi
feminisme dan hal lain yang yang berkenaan dengan bantuan kepada kaum
oerempuan memang perlu dilakukan. Ini perlu dilakukan dalam profesi bantuan
mengingat kenyataan bahwa menurut sejarahnya kebanyakan pendeketan konseling
timbul dari studi tentang laki-laki (dengan subjek laki-laki) (Hare-Mustin dalam
Brown et al, 1988), dengan akibat soal-soal gaya hidup perempuan kurang mendapat
penanganan. Hal ini terutama berlaku untuk perkembangan dan konseling karier, di
mana prasangka (bisa) seks mempunyai dampak yang paling besar.
Bidang-bidang yang paling relevan dengan soal-soal perempuan adalah
hubungan perkawinan dan keluarga, masalah reproduksi, pelecehan seksual dan
fisik, depresi, diagnosis yang didasarkan atas pandangan kaum seksis, dan masalah
yang menyangkut soal makan (Hare-Mustin dalam Brown et al, 1988). Dijelaskan
bahwa perempuan bisa mengikuti ragam yang lebih luas dalam pola gaya hidupnya,
beradaptasi lebih sebagai tantangan. Masalah besar bagi perempuan adalah
bagaimana menggabungkan karier dengan keluarga. Perempuan yang bekerja masih
harus memikul beban paling besar dalam mengelola rumah tangga. Perempuan
seringkali ditempatkan dalam posisi peran ganda.
Demikianlah, maka konseling untuk membantu perempuan seringkali
mencakup bukan hanya klien perempuan itu sendiri melainkan juga keluarga, atau
teman-temannya.

B. Pemecahan Masalah
Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang
mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan bahwa
konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan
keterampilan. Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya
perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor
harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling
kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Hal ini menimbulkan
konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di
Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin
macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai

20
apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor
dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan
konseling. Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan
pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki
oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari kelompok etnis
tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin
baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai
budaya yang ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja,
tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan
semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai suatu budaya
tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan
untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda.
Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan
mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal, konselor banyak
berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku
sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau,
maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku. Tiga kompetensi di
atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan
itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang
berbeda latar belakang budaya. Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak
saia dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di
atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor
yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990)
menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi
asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan
praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri
yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma
yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain,
konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang
mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka
konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah
dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah
kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang
dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu
konseling !intas budaya.

21
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan tugasnya
harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling.
Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku
suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia
harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja
membawa nilai nilai dan norma yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya hambatan
tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia
melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan
di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau
pertentangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami
budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor). Untuk hal ini, ada aturan main yang harus
ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas
menyatakan ¬bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal
ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan
kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan
pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang
mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu
memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang
mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa
penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari
masyarakat pri¬bumi (indegenous).

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konseling biasa dijalankan dengan menerapkan pengertian-pengertian dan asas-
asas sesuai dengan teori atau aliran yang dianut konselor, hampir-hampir tidak
memperhatikan factor-faktor diluar dari apa yang dipandang sudah baku sebagai prosedur
atau ancangan. Sejalan dengan itu, pengalaman- pengalaman dalam pelaksanaan
konseling terhadap orang-orang dengan latar budaya yang berlain-lainan menunjukkan
bahwa pendekatan yang berlaku dalam budaya satu belum tentu cocok untuk budaya
yang lainnya. Konselor akan mendapati hambatan-hambatan dalam melaksanakan
layanan-layanannya, termasuk dalam mengonseling. Dan faktor-faktor yang menghambat
dalam pelaksanaan proses konseling lintas budaya adalah bahasa, nilai, stereotip, kelas
sosial, ras atau suku, jenis kelamin (gender), usia, preferensi seksual, gaya hidup, keadaan
orang-orang cacat.
B. Saran
Dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling tentunya kita akan
menemui klien dengan berbagai latar belakang budaya (bahasa, nilai,ras/suku, kelas
sosial, stereotif, usia,jenis kelamin) dan karakteristiknya, sehingga berkaitan denganhal
ini maka penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap
terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien
yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya
agar pelayanan bimbingan dan konseling menjadi efektif dan efisien

23
DAFTAR PUSTAKA
Dayakisni, T., Yuniardi, S. (2008). Psikologi Lintas Budaya. Edisi Revisi. Malang: UMM
Press.

Baron, R.A., & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial, jilid pertama (edisi ke sepuluh). Alih
Bahasa: Ratna

Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th edition).
Singapore: Pearson Prentice Hall.

Ahmadi, A. (1991). Psikologi sosial (edisi revisi). Bandung: Rineka Cipta.

Anak Agung Ngurah Adhiputra (2013) Konselling Lintas Budaya Graha Ilmu :
Yogyakarta

Pramesthi, Hening.2015. Makalah Ketertarikan Interpersonal.


Diunduh di
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor

24

Anda mungkin juga menyukai