Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 4

MEMAHAMI MAKNA ETIK, EMIK, STEREORIP, PRASANGKA DAN


KETERKAITAN DALAM PROSES KONSELING

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Konseling Lintas Budaya yang
diampu oleh Prof. Dr. Mudjiran, MS., Kons.

Oleh

Lisma Dianita

17006194

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2018
A. Etik
Menurut Matsumoto (2008: 7-8) (dalam Amin, dkk.,: 2014) etik mengacu kepada
temuam-temuan yang tampak konsisten/ tetap di berbagai budaya; dengan kata lain,
sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal.
Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini
siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat. Etik
mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya,
dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Kalau
kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal
itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah
juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun, maka apa yang kita anggap
kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain (David,
1994).
Menurut Bungin (2007:75) (dalam Fuadi, 2016) etik adalah norma dan nilai, berhubungan
dengan apa yang seharusnya akan dilakukan.
B. Emik
Menurut Matsumoto (2008: 7-8) (dalam Amin, dkk.,: 2014) emik merupakan
kebalikan dari etik yakni emik mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk
budaya yang berbeda; dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang
bersifat khas-budaya (culture-spesifik).
Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam
masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri (Ifani, 2009). Menurut Bungin
(2007:75) (dalam Fuadi, 2016) emik berhubungan dengan apa yang dipahami, dimaknai,
dan dirasakan oleh informan dan subjek-objek penelitian sebagaimana yang mereka
maksudkan.
Contoh kasus etik dan emik:
Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis disebut
sebagai sebuah fakta sosial, atau sebuah keniscayaan. Maka berlaku sebutan: pengemis
adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah,
manusia korban kemiskinan struktural, dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir,
melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang
semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya
sendiri (Ifani, 2009).
C. Streotip
Menurut Soekanto (1993) (dalam Widianti), Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang
paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang
kepada orang lain. Menurut Sanjaya (2010) (dalam Widianti) stereotip adalah komponen
kognitif dimana memiliki keyakinan akan suatu kelompok. Prasangka sebagai komponen
afektif dimana memiliki perasaan tidak suka. Sedangkan diskriminasi adalah komponen
perilaku..
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu
kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993).
secara lebih tegas Matsumoto (1996) (dalam Widianti) mendefinisikan stereotip sebagai
generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau
sifat kepribadian. beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah
stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. stereotip etnis Batak
adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. stereotip orang Minang adalah pintar
berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.
Menurut Bourhis, Turner, & Gagnon (1997) (dalam Widianti) stereotip berfungsi
menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan
yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan,
merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa
lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu. Melalui stereotip kita bertindak
menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. misalnya etnis jawa memiliki
stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak
berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak
mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah
generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya
stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena
umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. namun tentu saja terdapat
pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.
Menurut Brisslin (1993) (dalam Rilfani, dkk.) stereotip dapat diwariskan dari generasi ke
generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip.
misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang,
meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. stereotip juga dapat diperkuat
oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa.
Menurut Johnson & Johnson (2000) (dalam Rilfani, dkk.), stereotip dilestarikan dan di
kukuhkan dalam empat cara:
1. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan
tindakan orang-orang dari kelompok lain.
2. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota
kelompok lain. individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-
individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
3. Stereotip dapat menimbulkan kambing hitam.
4. Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun
sering tidak berdasar sama sekali. mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. lagi
pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-
sungguh etnik lain. apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka
stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.
Matsumoto (1996) (dalam Rilfani, dkk.) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk
mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip,
yaitu:
1. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan
latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan
pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita
mungkin salah didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
2. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. ciri-
ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. artinya bisa saja
kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
3. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam
kelompok tersebut. generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang
menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut.
D. Prasangka
Menurut Daft (1999) (dalam Widianti), prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan
untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal
seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik.
Menurut Matsumoto (2000) (dalam Caesar: 2012) istilah prasangka sering digunakan
untuk menggambarkan kecenderungan untuk menganggap hal lain dengan cara negatif.
Meskipun etnosentrisme dan stereotip konsekuensi normal dan tak terhindarkan dari fungsi
psikologis, prasangka tidak demikian. Prasangka hanya hasil dari ketidakmampuan individu
untuk menyadari keterbatasan dalam berpikir etnosentris dan stereotip-nya. Prasangka
memiliki dua komponen: komponen (berpikir) kognitif, dan komponen (perasaan) afektif.
Stereotip membentuk dasar dari komponen kognitif dari prasangka, stereotip, keyakinan,
pendapat, dan sikap terhadap orang lain. Komponen afektif terdiri dari satu perasaan pribadi
terhadap kelompok orang lain. Perasaan ini mungkin termasuk kemarahan, penghinaan,
kebencian, penghinaan, atau bahkan kasih sayang, dan simpati. Walaupun komponen kognitif
serta afektif sering berhubungan, mereka tidak perlu, dan sebenarnya mungkin ada secara
independen satu sama lain dalam orang yang sama. Artinya, seseorang mungkin memiliki
perasaan tentang sekelompok orang tertentu tanpa bisa menentukan stereotip tentang mereka,
dan seseorang mungkin memiliki keyakinan stereotip tentang orang lain yang terlepas dari
perasaan mereka.
E. Etik, Emik, Stereotip, Prasangkan dan kaitannya dengan proses konseling
Bias Budaya, Usia, Gender, dan Etnis yang menghambat Konseling. Substansi (isi) utama
kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang
bermunculan di dalam masyarakat yang memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri baik
dalam bentuk sistem penetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, dan etos kebudayaan.
Menurut Setiadi, E.M., dkk., 2011:30 hal ini berhubungan langsung dengan perspektif etik
dan emik mengenai prasangaka dan budaya. Menurut Pedersen (1980) dalam (Sumarwiyah,
2012) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu :
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling di tempat yang berbeda pula.
KEPUSTAKAAN
Amin, z., dkk. (2014). Perbandingan Orientasi Karir Siswa Keturunan Jawa dengan Siswa
Keturunan Tionghoa. Indonesia Journal of Guidance and Counseing Theory And
Application. [Online]. Diakses dari http://journal.unnes.ac.id/index.php/jbk
Caesar, Arhdya. (2012). Etnosentrisme dan Prasangka. [Online]. Diakses dari
https://arihdyacaesar.com/2012/01/13/etnosentrisme-stereotip-dan-prasangka/
Fuadi, Hamdan. (2016). Mengontruksi Desain Penelitian. [Online]. Diakses dari
http://www.hamdanfuadi.com/2016/11/mengontruksi-desain-penelitian.html
Ifani, Zulfi. (2009). Emik dan Etik daam Etnografi. [Onine]. Diakses dari
https://zulfiifani.wordpress.com/2009/04/07/emik-dan-etik-dalam-etnografi/
Rilfani, Yolla, dkk. (2017). Pendekatan Etik dan Emik Dalam Konseling Serta Etnosentris
dan Stereotype. Makalah. [Online]. Diakses dari
http://novierista93.blogspot.co.id/2017/07/pendekatan-etik-dan-emik-dalam.html
Widianti, Mutiana. (TT). Pengembangan Pribadi Konselor Dasar-Dasar Keagamaan dalam
Pengembangan Pribadi Konselor. [Online]. Diakses dari
https://mutianawidianti.wordpress.com/tag/prasangka-dan-stereotif-budaya/

Anda mungkin juga menyukai