Anda di halaman 1dari 8

RESUME

KONSELING LINTAS BUDAYA


ISTILAH DALAM BUDAYA

DOSEN PEMBIMBING:
Prof. Dr. Mudjiran, M. S., Kons.

OLEH:
Ade Maharani
21006001

DEPARTEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
ISTILAH DALAM BUDAYA

A. Etik dan Emik


Emik mengacu pada sudut pandang suatu masyarakat dalam memperlajari dan
memberi makna terhadap satu tindakan, atau membedakan dua tindakan. Pendekatan
emik sangat erat kaitannya dengan bahasa, karena diperlukan dalam mengambarkan
kehidupan masyarakat dengan adanya penafsiran terhadap penelitian budaya harus
memahami terlebih bahasa yang digunakan agar dapat menganalisis bahasa dan
budaya tersebut. Emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya. Dimana
dalam hal ini, kebenaran bagi budaya tertentu belum tentu kebenaran bagi budaya
lain. Contoh emik antara lain: misalkan saja, ada budaya yang biasa menatap mata
saat melakukan pembicaraan dengan orang lain, namun ada budaya yang tidak
memperbolehkan melakukan kontak mata, disaat kedua budaya ini saling bertemu dan
tidak memahami budaya satu sama lain maka akan terjadi salah persepsi.
Untuk menganalisis secara sempurna dalam pendekatan etik, prilaku manusia
harus dianalisis tidak dengan menelusuri konsep dari sistem makna, tetapi dengan
melakukan pengamatan terhadap kegiatan secara keseluruhan. Melalui bahasa kita
dapat menjelaskan kehidupan masyarakat budaya dengan pendekatan etik yang
mengamati sifat-sifat yang berbeda dengan budaya-budaya yang lain Etik mengacu
pada kebenaran atau prinsip yang universal. Dimana dalam hal ini kebenaran yang
diketahui merupakan kebenaran bagi semua orang di budaya apapun. Contoh etik
antara lain : matahari terbit dari timur, bumi itu bulat, bulan dan bintang muncul
dimalam hari, awan berada di langit, air mengalir dari hulu ke hilir. (Fitriansyah,
2013).

B. Stereotipe
Stereotip (stereotype) merupakan sebuah keyakinan atau kepercayaan atau
asosiasi yang mengaitkan sekelompok orang dengan sifat atau karakteristik. Stereotip
adalah persepsi yang khas mengenai individu atau keanggotaan individu dari suatu
kelompok tertentu. Stereotip merujuk pada kepercayaan umum yang kita pegang
tentang kelompok, keyakinan yang mencerminkan seperti apa yang kita pikirkan
tentang anggota kelompok tertentu. Meskipun stereotip itu tidak akurat, namun
stereotip berlaku sangat universal dan sering dialami sehingga tampaknya hampir
merupakan bagian esensial dari kondisi manusia (Maryam, 2019).
Stereotip dapat muncul oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
a. Keluarga: perlakuan ayah dan ibu terhadap anak laki laki dan perempuan yang
berbeda. Orang tua mempersiapkan kelahiran bayi yang berbeda atas laki-laki dan
perempuan. Mereka juga menganggap bahwa bayi laki-laki kuat, keras
tangisannya, sementara bayi perempuan lembut dan tangisannya tidak keras.
b. Teman sebaya: teman sebaya memiliki pengaruh yang besar pada stereotip anak
sejak masa prasekolah dan menjadi sangat penting ketika anak di Sekolah
Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah atas. Teman sebaya mendorong
anak laki laki bermain dengan permainan laki-laki seperti sepak bola, sementara
anak perempuan bermain dengan permainan perempuan seperti bermain boneka.
c. Sekolah: Sekolah memberikan sejumlah pesan gender kepada anak-anak. Sekolah
memberikan perlakuan yang berbeda diantara mereka. d. Masyarakat :
Masyarakat mempengaruhi stereotip anak melalui sikap mereka dalam
memandang apa yang telah disediakan untuk anak laki-laki dan perempuan
mengidentifikasi dirinya. Perempuan cenderung perlu bantuan dan laki-laki
pemecah masalah.
d. Media massa: melalui penampilan pria dan wanita yang sering terlihat di
iklan iklan TV maupun koran. Tidak hanya frequensi yang lebih banyak pada
laki laki daripada perempuan tetapi juga pada jenis-jenis pekerjaan yang
ditampilkan laki laki lebih banyak dan lebih bergengsi daripada perempuan.
Dalam kenyataan, stereotip adalah “cepat berfikir” yang memberikan kita
informasi yang kaya dan berbeda tentang individu yang kita tidak tahu secara
pribadi (Rahmawati et al., 2020).

Stereotype juga terbagi menjadi dua jenis, yakni heterostereotype dan


autostereotype. Heterostereotype merujuk pada stereotip yang dimiliki yang terkait
dengan kelompok lain, sementara autostereotype adalah stereotip yang terkait dengan
dirinya sendiri. Stereotip ini tidak selalu negatif, namun juga kadang mengandung
gambaran gamabaran positif. Stereotip ini bias berbentuk pandangan positif ataupun
negatif, biasa jadi seluruhnya benar, namun bisa juga seluruhnya salah.
Secara psikologis perkembangan stereotip terjadi terancang dan terbangun atas
berbagai proses kejiwaan manusia, yakni: “selective attention, appraisal, concept
formation and categorization, attributions, emotion, and memory”. Pemilihan
perhatian, pendekatan, konsep formasi dan ketegorisasi, atribusi, emosi dan memori.
Dalam kaitan ini cara seseorang memilih perhatian, memandang, mempresepsi dan
menkategorikan individu yang lain sangat berperan dalam membangun stereotip
terhadap kelompok lain. Selain itu cara kita mengkaitkan perilaku kita dengan
perilaku orang lain, emosi serta pengalaman kita terhadap kelompok lain (Murdianto,
2018).

C. Prasangka
Prasangka adalah sikap negatif yang kaku (tidak toleran) terhadap sebuah
kelompok orang tertentu. Prasangka ditujukan bila anggota dari satu kelompok yang
disebut “kelompok dalam” memperlihatkan sikap dan tingkah laku negatif dari
kelompok lain yang disebut “kelompok luar”. Prasangka adalah penilaian dari satu
kelompok atau individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok. Efek
dari prasangka adalah merusak dan menciptakan jarak yang luas (Inshani & Nasution,
2023).
Prasangka dapat muncul oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
a. Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dalam berusaha,
seseorang mengalami kegagalan atau kelemahan. Sebab dari kegagalan itu tidak
dicari pada dirinya sendiri tetapi pada orang lain. Orang lain inilah yang dijadikan
kambing hitam sebagai sebab kegagalannya.
b. Orang berprasangka, karena memang ia sudah dipersiapkan di dalam
lingkungannya atau kelompoknya untuk berprasangka.
c. Prasangka timbul karena adanya perbedaan. Perbedaan ini menimbulkan perasaan
superior. Perbedaan bisa meliputi: a) Perbedaan fisik/biologis, ras; b) Perbedaan
lingkungan/geografis; c) Perbedaan kekayaan; d) Perbedaan status sosial; e)
Perbedaan kepercayaan/agama; dan e) Perbedaan norma sosial.
d. Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak
menyenangkan.
e. Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menajadi pendapat umum
atau kebiasaan di dalam lingkungan tertentu (Romli & Maulia, 2014).

Prasangka merupakan problem psikologi sosial karena dampaknya yang


signifikan pada relasi antar kelompok. Prasangka memiliki berbagai macam yaitu:
1. Prasangka rasial
Merupakan prasangka yang ditunjukan pada kelompok ras, etnis tertentu. Sikap
rasial yang terjadi karena perbedaan warna kulit terjadi di berbagai belahan dunia.
Di Amerika Serikat, warga kulit hitam (negro) menjadi sasaran prasangka warga
kulit putih sejak era perbudakan sampai sekarang. Namun berdasarkan sejumlah
penelitian/survei ditengarai prasangka terhadap warga kulit putih terhadap kulit
hitam cenderung menurun, berbagai penelitian lainnya menunjukan hasil yang
berbeda. Kehadiran imigran dirasakan sebagai ancaman bagi kebudayaan
Amerika. Hal ini menguatkan kembali prasangka terhadap warga imigran baik
kulit hitam maupun ras lainnya. Prasangka rasial di Indonesia juga masih ada. Hal
tersebut terjadi dalam relasi antar warga etnis Cina dengan warga pribumi.
2. Prasangka jenis kelamin
Merupakan prasangka terhadap kelompok jenis kelamin. Prasangka jenis kelamin
kebanyakan tertuju dan mendiskriminasikan kaum wanita. Di Arab Saudi wanita
dilarang mengemudi, di Sudan tidak boleh pergi keluar tanpa izin suami, ayah
atau saudara laki-laki. Di Afganistan, sejak kaum Taliban berkuasa, wanita tidak
boleh bekerja di kantor, tidak boleh keluar tanpa ditemani suami, anak wanita
tidak boleh sekolah.
3. Prasangka homoseksual
Prasangka terhadap homoseksual merupakan gejala yang terjadi di seluruh dunia.
Prasangka ini terjadi karena adanya peran pria-wanita tradisional yang disusun
berdasarkan kondisi sosial masyarakat yang didominasi oleh kaum heteroseksual.
Pengaruh prasangka homoseksual ini adalah pada perilaku diskriminasi terhadap
kaum homoseksual, seperti membuat jarak karena adanya anggapan bahwa
heteroseksual mengancam dan menggangu ketentraman.
4. Prasangka Agama
Prasangka antar agama banyak terjadi di berbagai bagian dunia. Berbagai konflik
berkepanjangan di berbagai tempat di dunia berakar dari isyu keagamaan, seperti
konflik antara Protestan-Katolik di Irlandia Utara, Muslim-Kristen Ortodok di
Bosnia, Muslin-Katolik di Filipina, Hindu-Islam di Khasmir, Hinsu Sikh di
India dan juga Islam-Yahudi di Palestina (Oktafiani, 2016).
Adapun beberapa teroi prasangka adalah sebagai berikut:
a. Teori Konflik Realistik Teori ini menjelaskan bahwa prasangka berakar pada
persaingan antara kelompok-kelompok sosial karena memperebutkan komoditas
kesempatan berharga.
b. Teori Belajar Sosial Menyatakan bahwa prasangka diperoleh melalui pengalaman
langsung maupun melalui pengalaman orang lain dengan cara yang hampir sama
dengan sikap-sikap lainnya.
c. Teori Kategorisasi Sosial Teori ini menyatakan bahwa seseorang memiliki
kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kelompok terpisah:
kelompok kita sendiri (kita) dan kelompok-kelompok lain (mereka).
d. Teori Kognisi Sosial Prasangka dapat berkembang dari bagaimana cara individu
berfikir mengenai individu lain. Gejala kognisi sosial yang berkontribusi bagi
timbulnya prasangka adalah korelasi ilusif, yaitu adanya keseragaman dari
kelompok luar (kelompok lain). Hal ini dikenal dengan istilah efek homogenitas
kelompok luar (out group homogenity effect).
e. Teori Norma Kelompok Teori norma kelompok menggambarkan tentang
perkembangan prasangka yang dikaitkan dengan norma sosial kelompok dan
adanya tekanan agar individu dapat conform terhadap norma kelompok tersebut.
Menurut teori ini, sikap, nilai nilai, keyakinan dan prasangka merupakan bagian
dari proses sosialisasi. Sikap, nilai-nilai dan prasangka bukan merupakan hasil
dari pilihan-pilihan individu yang diperoleh selamaa hidupnya. Hal tersebut
merupakan hasil kontak dengan anggota kelompok lain yang kemudian
distandarisasikan lalu diinternalisasikan menjadi nilai-nilai kelompoknya.
Kepatuhan seseorang pada nilai-nilai in-groupnya akan mengarahkan pada
munculnya prasangka (Inshani Anggraini & Nasution Zahara, 2023).

D. Keterkaitan dalam Proses Konseling


Konselor harus memiliki kesadaran multibudaya agar bisa mengenali konseli
yang berlatar belakang budaya yang berbeda-beda. Konselor harus memiliki asumsi,
nilai-nilai budaya, dan kecondongan, keyakinan, dan sikap antara lain yaitu sebagai
berikut.
1. Konselor budaya tidak menyadari akan pentingnya kepekaan budayanya.
2. Konselor budaya yang terampil menyadari bagaimana latar belakang budaya dan
pengalamannya, sikap, dan nilai-nilai serta bias pengaruh dari psikologi.
3. Konselor budaya yang terampil harus mengenali batas-batas kompetensi dan
keahlian mereka.
4. Konselor berbudaya juga mampu menciptakan rasa nyaman serta tidak
membeda bedakan ras, etnis, budaya, serta keyakinan.
Konselor harus memiliki keempat kriteria tersebut. Konselor yang bermartabat
ialah konselor yang memiliki culture respect yang baik serta mampu membuat
nyaman konseli yang memiliki latar belakang budaya (Zakiyah et al., 2022).
Emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien,
sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara
keseluruhan dalam proses konseling. Jadi dengan konsep atau landasan teori maka
dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang
akan dilakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini
berarti yang harus dilakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien secara
spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami
manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan (etik).
DAFTAR RUJUKAN

Fitriansyah. (2013). Pendekatan Emik-Etik Terhadap Upacara Pasak Indong Suku Tidung di
Desa Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Kalimantan Utara Kajian
Linguistik Antropologi. International Seminar "Language Maintenance and Shift III,
201–204.
Inshani Anggraini, S., & Nasution Zahara, F. (2023). Faktor Penyebab Munculnya Hubungan
Prasangka dan Frustrasi dengan Perilaku Agresif Remaja. Jurnal Rumpun Ilmu
Kesehatan, 3(1).
Maryam, E. W. (2019). Psikologi Sosial Penerapan Dalam Permasalahan Sosial. In Psikologi
Sosial Penerapan Dalam Permasalahan Sosial. https://doi.org/10.21070/2019/978-602-
5914-69-0
Murdianto. (2018). Stereotipe , Prasangka dan Resistensinya ( Studi Kasus pada Etnis Madura
dan Tionghoa di Indonesia ). Qalamuna, 10(2), 137–160.
Oktafiani, E. (2016). Prasangka Antarkelompok Pasca Konflik (Studi Kasus Pada Warga
Desa Panusupan dan Kasegeran, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas).
Universitas Negeri Malang.
Rahmawati, Afiati, E., & Wibowo, B. Y. (2020). Buku Ajar Bimbingan dan Konseling
Multibudaya. In FEBS Letters, 185(1). https://eprints.untirta.ac.id/7250/
Romli, K., & Maulia, A. (2014). Prasangka Sosial dalam Komunikasi Antaretnis (Studi
Antara Suku Bali dengan Suku Lampung di Kecamatan Sidomulyo Kabupaten
Lampung Selatan Provinsi Lampung). Jurnal Kom & Realitas Sosial, 4(2), 127–151.
http://jurnal.ubl.ac.id/index.php/JIK/article/download/451/431
Zakiyah, A., Rahmat, H. K., & Sa’adah, N. (2022). Peran Konselor Lintas Agama Dan
Budaya Sebagai Problem Solving Masyarakat Multibudaya the Role of Cross-Religious
and Cultural Counselors As a Multi-Cultural Community Solving Problem.
Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research, 1(1), 2962–8350.

Anda mungkin juga menyukai