Anda di halaman 1dari 7

RESUME 5

KONSELING LINTAS BUDAYA


BUDAYA DAN PERKAWINAN

DOSEN PEMBIMBING:
Prof. Dr. Mudjiran, M. S., Kons.

OLEH:
Ade Maharani
21006001

DEPARTEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
PETA KONSEP
BUDAYA DAN PERKAWINAN

A. Pernikahan
Perkawinan, sebagai institusi sosial dan hukum, adalah sebuah bentuk ikatan
legal dan moral antara dua individu yang biasanya berkomitmen untuk hidup bersama,
berkembang bersama, dan mendukung satu sama lain secara emosional dan finansial.
Sebagaimana dijelaskan oleh Djuweng, dkk (2018), perkawinan adalah suatu kontrak
sosial yang mengatur hak dan kewajiban pasangan yang terlibat di dalamnya, serta
memberikan kerangka hukum untuk perlindungan hak-hak anak yang mungkin lahir
dari perkawinan tersebut. Dalam banyak masyarakat, perkawinan memiliki peran
penting dalam membangun struktur sosial, menjaga ketertiban, serta melindungi hak-
hak individu yang terlibat. Perkawinan juga dapat memiliki beragam makna dan ritual
yang berbeda-beda di seluruh dunia, mencerminkan keragaman budaya dan nilai-nilai
yang berlaku. Selain itu, perkawinan juga merupakan hal yang sangat terkait dengan
aspek-aspek hukum dan ekonomi, terutama dalam hal warisan, hak kepemilikan, dan
tanggung jawab hukum antara pasangan yang menikah. Oleh karena itu, perkawinan
adalah fenomena sosial yang sangat kompleks yang melibatkan unsur-unsur budaya,
agama, hukum, dan sosial yang memainkan peran penting dalam membentuk
masyarakat dan hubungan antarindividu.
Adapun perkawinan dalam perspektif budaya adalah sebuah institusi sosial
yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma, dan kepercayaan budaya yang ada
dalam masyarakat tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Geertz (1973),
perkawinan adalah sebuah tindakan budaya yang mengandung makna dan simbolisme
yang mendalam dalam suatu masyarakat. Ia mencerminkan pandangan masyarakat
terhadap hubungan antara pria dan wanita, serta bagaimana masyarakat tersebut
mengatur keturunan, kepemilikan, dan kekuasaan. Dalam berbagai budaya di seluruh
dunia, perkawinan sering kali melibatkan ritual-ritual khusus, tata cara adat, dan peran
tertentu yang harus dimainkan oleh pasangan yang menikah. Selain itu, perkawinan
juga sering kali menjadi cara untuk menjaga dan memperkuat ikatan antar-keluarga,
mengatur warisan, serta menjaga kestabilan sosial. Karena perbedaan budaya, konsep
perkawinan, siapa yang dapat menikah, dan bagaimana pernikahan dijalani dapat
bervariasi secara signifikan di seluruh dunia. Oleh karena itu, memahami perkawinan
dalam konteks budaya adalah penting untuk memahami bagaimana masyarakat
mengatur hubungan antara individu, keluarga, dan komunitas.

B. Calon Pasangan
Calon pasangan merujuk pada individu yang sedang dalam proses pencarian
atau pertimbangan untuk memilih mitra hidup. Sebagaimana disebutkan oleh
Berscheid dan Reis (1998), proses pemilihan calon pasangan merupakan tahap awal
dalam perkembangan hubungan romantik, di mana individu mengidentifikasi,
mengevaluasi, dan memilih orang yang dianggap sesuai untuk membentuk ikatan
romantis atau perkawinan. Pemilihan calon pasangan dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, termasuk preferensi pribadi, nilai-nilai budaya, agama, dan faktor-faktor sosial.
Hal ini juga melibatkan pertimbangan tentang kualitas hubungan, keselarasan nilai-
nilai, dan kompatibilitas dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, perkembangan
teknologi dan media sosial telah memperluas cara individu bertemu dan berinteraksi
dengan calon pasangan potensial, yang juga memengaruhi dinamika dalam proses
pemilihan calon pasangan.
Pemilihan calon pasangan adalah tahap penting dalam kehidupan seorang
individu, dan sering kali menjadi dasar dalam pembentukan hubungan yang
berkelanjutan. Faktor-faktor seperti komunikasi efektif, keselarasan nilai, dan
perasaan saling terhubung memainkan peran kunci dalam proses ini (Hendrick &
Hendrick, 2006). Selain itu, dinamika peran gender dan ekspektasi sosial juga
memengaruhi cara individu mencari dan memilih calon pasangan. Sebagai hasilnya,
pemilihan calon pasangan adalah sebuah proses yang sangat pribadi dan bervariasi
dari individu ke individu, yang mencerminkan latar belakang, nilai-nilai, dan tujuan
hidup masing-masing.

C. Akibat Sesudah Menikah


Akibat-akibat yang muncul setelah menikah adalah aspek penting dalam
kehidupan pasangan yang baru menempuh langkah pernikahan. Menikah membawa
konsekuensi yang beragam, termasuk perubahan dalam aspek emosional, sosial,
ekonomi, dan hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Karney dan Bradbury (1995),
menikah adalah sebuah transisi kehidupan penting yang memengaruhi individu dan
hubungan mereka secara signifikan. Salah satu akibat yang umum terjadi adalah
perubahan status emosional. Pasangan yang telah menikah sering merasakan perasaan
lebih aman, nyaman, dan terikat secara emosional satu sama lain. Namun, ini juga
dapat membawa tekanan baru, seperti perubahan dalam komunikasi dan cara
mengatasi konflik.
Selain perubahan emosional, aspek sosial juga berperan penting dalam akibat
setelah menikah. Menikah dapat mengubah dinamika hubungan dengan keluarga,
teman-teman, dan masyarakat sekitar. Putnick dan Artzen (2016) menjelaskan, bahwa
menikah sering kali mengubah prioritas dan komitmen sosial individu. Pasangan yang
menikah mungkin harus menemukan cara mengintegrasikan pasangan baru mereka
dengan keluarga dan teman-teman mereka. Selain itu, perubahan dalam lingkungan
sosial dapat memengaruhi waktu dan energi yang tersedia untuk aktivitas sosial yang
sebelumnya dianggap penting. Dalam konteks ekonomi, perkawinan juga membawa
perubahan signifikan. Pasangan yang menikah harus mengelola keuangan bersama,
mengatur warisan, dan menghadapi tanggung jawab hukum yang berbeda. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Kalish dan Kalish (1997), bahwa menikah membawa
konsekuensi dalam hal pembagian aset, perencanaan keuangan, dan perlindungan
hukum.
Terakhir, aspek hukum dan peraturan juga merupakan bagian penting dari
akibat sesudah menikah. Menurut Cole dan Cole (1999), perkawinan adalah sebuah
kontrak hukum yang mengatur hak dan kewajiban pasangan yang terlibat, termasuk
hak-hak anak yang mungkin lahir dari perkawinan tersebut. Ini berarti bahwa
perkawinan membawa implikasi hukum yang serius, termasuk hak perwakilan dan
dukungan anak, hak kepemilikan bersama, dan hak-hak dalam situasi perceraian. Oleh
karena itu, pasangan yang menikah harus menghadapi aspek hukum dan tanggung
jawab yang tidak ada dalam hubungan non-perkawinan. Dengan demikian, akibat-
akibat sesudah menikah adalah campuran perubahan emosional, sosial, ekonomi, dan
hukum yang dapat memengaruhi kehidupan pasangan secara mendalam.

D. Faktor dari Luar Keluarga


Faktor dari luar keluarga memiliki peran penting dalam memengaruhi
dinamika perkawinan, terutama dalam perspektif budaya. Sebagaimana dijelaskan
oleh Hetherington (2002), keluarga adalah sistem yang terbuka, dan faktor-faktor
eksternal, seperti budaya, masyarakat, dan norma sosial, dapat memberikan dampak
signifikan terhadap perkawinan. Salah satu faktor eksternal yang memainkan peran
kunci adalah budaya. Budaya, dengan nilai-nilai, norma, dan ekspektasi yang melekat,
memengaruhi cara pasangan mengelola konflik, peran gender, dan cara mereka
berinteraksi satu sama lain. Misalnya, dalam budaya yang sangat tradisional, peran
gender mungkin lebih terkotak-kotak, sementara dalam budaya yang lebih modern,
peran gender dapat lebih fleksibel.
Selain budaya, faktor-faktor eksternal lainnya termasuk tekanan sosial,
ekonomi, dan lingkungan yang dapat memengaruhi perkawinan. Teori stres dan
dukungan sosial yang diajukan oleh Rook (1984) mencerminkan dampak tekanan
eksternal terhadap perkawinan. Faktor seperti tekanan finansial, beban kerja yang
tinggi, atau perubahan lingkungan sosial seperti migrasi dapat memberikan beban
tambahan pada pasangan. Selain itu, faktor dari luar keluarga juga dapat memengaruhi
persepsi individu tentang perkawinan dan kualitas hubungan mereka. Dengan kata
lain, faktor-faktor eksternal ini dapat memengaruhi bagaimana pasangan merasakan
kebahagiaan, kepuasan, dan stabilitas dalam perkawinan mereka. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap faktor-faktor dari luar keluarga dalam perspektif budaya sangat
penting untuk memahami dinamika perkawinan dalam berbagai konteks budaya.
DAFTAR RUJUKAN

Berscheid, E., & Reis, H. T. (1998). Attraction and Close Relationships. In D. T. Gilbert, S.
T. Fiske, & G. Lindzey (Eds.), The Handbook of Social Psychology (4th ed., Vol. 2, pp.
193-281). McGraw-Hill.
Cole, M., & Cole, S. R. (1999). The Development of Children. Worth Publishers.
Djuweng, H. (2018). Perkawinan dan Konsep Keluarga dalam Perspektif Sosial dan Hukum.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 22(1), 1-14.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. Basic Books.
Hendrick, C., & Hendrick, S. S. (2006). A Theory and Method of Love. Journal of
Personality and Social Psychology, 50(2), 392-402.
Hetherington, E. M. (2002). For Better or for Worse: Divorce Reconsidered. W. W. Norton
& Company.
Kalish, R. A., & Kalish, S. R. (1997). The Marriage and Family Experience: Intimate
Relationships in a Changing Society. Harcourt Brace College Publishers.
Karney, B. R., & Bradbury, T. N. (1995). The Longitudinal Course of Marital Quality and
Stability: A Review of Theory, Methods, and Research. Psychological Bulletin, 118(1),
3-34.
Putnick, D. L., & Artzen, J. (2016). Parenting Within Marital and Parent-Child Relationships:
The Mediating Role of Marital Well-Being. Journal of Family Psychology, 30(1), 62-
73.
Rook, K. S. (1984). Toward A More Differentiated View of the Social Support Process: Four
Conceptualizations. In I. G. Sarason & B. R. Sarason (Eds.), Social support: Theory,
Research and Applications (pp. 17-38). Martinus Nijhoff Publishers.

Anda mungkin juga menyukai