Anda di halaman 1dari 17

KESETARAAN PERAN SUAMI ISTRI DALAM RUMAH TANGGA DALAM

KEHARMONISAN KELUARGA DAN MEMINIMALISIR KDRT (STUDI KASUS


PERKARA DI PENGADILAN AGAMA GARUT KELAS 1 A Tahun 2023)

Habib Mumtaz 1 ,Yusrizal 2 ,Neng Hannah3


1
Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
2
Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
3
Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
E-mail : habibmumtaz1999@gmail.com, nenghannah@uinsgd.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki peran kesetaraan suami-istri dalam rumah tangga dalam
konteks kerharmonisan keluarga dan upaya meminimalisir Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT). Penelitian ini merupakan studi kasus pada perkara yang diproses di Pengadilan Agama Garut
Kelas 1 A, dan melibatkan analisis data dari berbagai perspektif, termasuk perbandingan pembagian
tugas, keputusan keluarga, dukungan karir, dan dampaknya terhadap hubungan suami-istri.
Metodologi yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif, dengan
pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan analisis dokumen resmi dari perkara KDRT yang
dihadirkan di Pengadilan Agama Garut Kelas 1 A. Temuan menunjukkan bahwa kesetaraan peran suami-
istri dalam rumah tangga memiliki peran yang signifikan dalam menciptakan kerharmonisan keluarga.
Pembagian tugas yang adil, kesetaraan dalam pengambilan keputusan, serta dukungan suami terhadap
karier istri maupun sebaliknya, berkontribusi positif terhadap hubungan suami-istri yang harmonis.
Selain itu, kesetaraan peran juga memainkan peran penting dalam meminimalisir KDRT. Kesetaraan ini
menciptakan lingkungan yang mendorong komunikasi yang efektif, meningkatkan empati di antara suami
dan istri, dan mengurangi perasaan ketidakadilan yang dapat menjadi pemicu konflik rumah tangga.
Temuan penelitian ini memberikan wawasan tentang pentingnya kesetaraan peran suami-istri dalam
rumah tangga dalam upaya menciptakan kerharmonisan keluarga dan meminimalisir KDRT, serta
implikasinya dalam konteks hukum di Pengadilan Agama Garut Kelas 1 A. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan bagi perbaikan kebijakan dan praktik hukum yang lebih inklusif dan
berkeadilan dalam masyarakat.
Kata Kunci : KDRT, Suami Istri, Kesetaraan Gender, Keharmonisan Keluarga
Pendahuluan
Keluarga adalah sel yang paling kecil dari sebuah masyarakat yang memiliki peran yang
sangat penting dalam pembentukan karakter individu dan struktur sosial yang lebih luas.
Kesuksesan keluarga dalam mempertahankan kerharmonisan dan menghindari Konflik
Domestik Rumah Tangga (KDRT) sangat bergantung pada kesetaraan peran antara suami dan
istri dalam rumah tangga. Dalam makalah ini, kita akan membahas pentingnya kesetaraan peran
suami-istri dalam menciptakan kerharmonisan keluarga dan meminimalisir KDRT.
Fenomena yang membuat miris terkait alasan atau penyebab dari perceraian ialah adanya
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan oleh pasangan. Dan kebanyakan
yang melakukan KDRT adalah pihak suami terhadap istri. Kondisi ini merupakan bagian dari
latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Sebuah undang-undang yang selain mengatur ihwal pencegahan dan
perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur
secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Undang-undang ini juga mengatur
ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, kerja sosial, relawan
pendamping atau pembimbing rohani agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap
kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah
tangga (Lesnussa, dkk, 2021).
Dalam membangun sebuah keluarga, suami istri perlu menyepakati pembagian peran
gender bersama untuk menjaga dan mewujudkan keseimbangan keluarga. Misalnya,
membagi peran dan tugas sehari- hari, bertanggung jawab terhadap peran dan tugasnya
masing-masing, serta menjaga komitmen bersama (Puspitawati, 2012). Pembagian kerja yang
seimbang ini diatur pula dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Putri Kusumaning,
Dyah Purbasari, 2015).

Padahal, kedudukan antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga tidak semua
memberi “garis tegas” antara wilayah domestik dan publik. Artinya, ada rumah tangga yang
tampak kaku melihat domestik dan publik, tetapi ada juga yang longgar. Pada sebagian
masyarakat perkotaan, domestik dan publik terlihat semakin mengabur. Setidaknya,
saat ini, dalam kehidupan yang kita dapat amati sehari-hari, kita banyak menyaksikan
perempuan berstatus istri ikut bekerja di ruang publik (kerja kantoran), tetapi kehidupan
rumah tangganya berjalan harmonis. Hal ini disebabkan oleh adanya kesetaraan dalam
pembagian peran antara suami dan istri, termasuk saling memahami tugas masing- masing.
Bukan itu saja. Meski bekerja kantoran, istri tetap menganggap suami sebagai kepala rumah
tangga dan imam.
Sebaliknya, sebagai kepala rumah tangga dan imam, suami juga tidak menggunakan
kuasanya untuk melakukan tindakan semena-mena terhadap istri, seperti tidak membebani istri
dengan menambah beban kerja-kerja domestik di rumah. Intinya, suami dan istri saling
berbagi peran. Sederhananya begini: kalau suami mencuci piring, maka istri menyeterika
baju. Atau, kalau suami menyeterika baju, istri yang menyapu, dan seterusnya. Aktivitas
domestik ini dilakukan suka sama suka dan tidak ada paksaan. Dari relasi yang terjalin ini,
tidak ada yang kemudian merasakan pekerjaan yang dia lakoni lebih berat dibanding
pasangannya.
Selanjutnya terkait dinamika pasangan suami istri dalam rumah tangga, Nurrahman
(2022) menyatakan bahwa, “Dialektika perjalanan pemikiran dalam Islam dari masa ke masa
ada beberapa era, diantaranya adalah revivalist pre modernist, classic modernists: 19 and 20
century, neo revivalist or revivalist post modernis, neo modernist.” Dan karena dewasa ini
adalah era post modernisme dengan berbagai karakteristiknya yang tentu berbeda dengan era
sebelumnya, maka muncul sebuah pertanyaan apakah ada korelasinya antara melonjaknya
volume kawin cerai (cerai gugat, cerai talak) dengan karakteristik perubahan fisik, psikologis
dan pemikiran manusia di era post modern?
Setiap zaman memiliki kondisi serta permasalahan sendiri. Sejak tahun 80- an hingga
sekarang, terutama di negara-negara maju seperti-Eropa dan Amerika- marak diperbincangkan
sebuah kondisi yang dinamakan “postmodern”. Kondisi ini juga diperbincangkan di berbagai
belahan dunia di luar Eropa dan Amerika. Pemikiran ini bukan hanya menyentuh persoalan-
persoalan filsafat kemanusiaan melainkan juga persoalan keagamaan (Ismail,2019).
Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang mendeskripsikan kajian


Kesetaraan Peran Suami Istri Dalam Rumah Tangga Dalam Kerharmonisan Keluarga Dan
tingkat kasus KDRT di Pengadilan Agama Garut. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan
teknik pengumpulan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis datanya ada tiga
tahap, yaitu analisis data sebelum di lapangan, analisis data selama di lapangan, dan analisis data
setelah selesai di lapangan. Populasi penelitian ini diambil dari keseluruhan penggugat atau
tergugat kasus perceraian di PA Garut, Studi kasus dilakukan selama satu bulan, terhitung dari
tanggal 1-29April 2023.
Metode penelitian kuantitatif adalah suatu pendekatan yang sering dinamakan
pendekatan tradisional, positivistik, scientific, dan discovery. Dinamakan tradisional karena
pendekatan kuantitatif sudah lama digunakan, disebut positivistik karena berlandaskan pada
filsafat positivisme, disebut scientific karena telah memenuhi kaidah ilmiah (empiris, terukur,
rasional, dan sistematis), dan dinamakan discovery karena dapat ditemukan dan dikembangkan
berbagai iptek baru. Selain dari itu, pendekatan ini disebut kuantitatif karena data penelitian
berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik (Sugiyono, 2013).
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional yang bersifat kausalitas,
yang bertujuan untuk melihat hubungan sebab akibat antar variabel dengan maksud untuk
melihat bagaimana pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel terikat yang diprediksikan
variabel bebas menjadi penyebab variabel terikat (Arikunto, 2013).
BAB II KAJIAN PUSTAKA
1. Gambaran Umum Tentang Perkawinan dan Perceraian.

Pernikahan adalah suatu yang sangat mulia, karena perkawinan merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan kata lain, pernikahan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi sebab sahnya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keluarga seperti ini adalah ideal
yang diidam kan oleh semua orang (Azizah Linda, 2012).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan sebuah


undang-undang yang mempunyai keistimewaan. Ia mengatur seluruh anggota masyarakat yang
telah dewasa yang akan melangsungkan perkawinan. Undang-undang tersebut disusun untuk
memelihara, melindungi, serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. (Rosadi,
2021) Sedangkan perceraian dalam KUHP (Burgerlijk Wetboek) adalah salah satu alasan
terjadinya pembubaran dalam perkawinan. (Abdullah dan Saebani, 2013) Selanjutnya akan
dipaparkan lebih komprehensif terkait dengan gambaran umum tentang perkawinan dan
perceraian yang akan mengantarkan pada tujuan dari penelitian ini

a. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan dan Perceraian

Abu A’la Al-Maududi seperti dikutip oleh Rahmat Hakim dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perkawinan Islam mengatakan, salah satu prinsip hukum perkawinan Islam adalah
bahwa perkawinan itu harus dipertahankan sedapat mungkin agar tidak terjadi perceraian. Oleh
karena itu, segala usaha harus dilakukan agar persekutuan tersebut dapat terus berlangsung.
Namun, apabila semua harapan dan kasih sayang telah musnah dan perkawinan menjadi suatu
yang membahayakan sasaran hukum untuk kepentingan mereka dan kepentingan masyarakat,
maka perpisahan di antara mereka boleh dilakukan (Binti Mohd Rijal& Muhammad Ali, 2020).

Kemudian putusnya perkawinan adalah perceraian. Dalam istilah hukum Islam disebut
dengan thalaq, artinya melepaskan atau meninggalkan. Menurut Sayyid Sabiq (1987:7), talak
artinya melepaskan ikatan perkawinan. Apabila telah terjadi perkawinan, yang harus dihindari
adalah terjadinya perceraian, meskipun perceraian adalah bagian dari hukum adanya persatuan
atau perkawinan. Semakin kuat usaha manusia membangun rumah tangganya sehingga dapat
menghindarkan diri dari perceraian, akan semakin baik rumah tangganya. Akan tetapi sesuatu
yang memudaratkan harus ditinggalkan, mekipun cara meninggalkannya senantiasa berdampak
buruk bagi yang lain. Demikian juga dengan perceraian, bukan hanya suami istri yang menjadi
korban permainan duniawinya, tetapi anak-anak dan keluarga dari kedua belah pihak yang
awalnya saling bersilaturahmi dengan seketika dapat bercerai-berai. Oleh karena itu, perceraian
adalah perbuatan yang dihalalkan, tetapi dibenci oleh Allah Swt. (Abdullah dan Saebani, 2013)

Seperti dijelaskan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu

Dawud dan Al- hakim yang berbunyi sebagai berikut:

‫“ ضغبأ لَلحلا ىلإ الّل ىلاعت قَلطلا‬Perbuatan halal


yang paling dibenci Allah adalah thalak.”

Asy-Syafi’I berkata: Allah swt., telah memberikan kekhususan kepada Rasul-Nya


berupa wahyu-Nya. Allah juga membedakan beliau dengan karunia-Nya dari makhluk-Nya
yang lain dalam perkara fardhu. (Syafi’i, 2014)

Oleh karena perceraian adalah seuatu hal yang halal namun dibenci Allah, maka jadikan
perceraian langkah terakhir setelah pasangan suami istri berusaha maksimal mempertahankan
perkawinan.

b. Peran dan Tugas Suami Istri dalam rumah tangga


Pembagian peran dan tugas antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga
cenderung memposisikan perempuan berada pada wilayah domestik. Hal ini disebabkan oleh
cara pandang sebagian masyarakat, terutama yang masih kuat menganut budaya patriarki.
Inilah yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan gender bagi perempuan dalam masyarakat
maupun rumah tangga. Padahal, perempuan juga memiliki hak sama untuk memperoleh posisi
setara (kesetaraan gender), seperti halnya laki-laki. Pengertian gender sendiri menurut
pandangan sejumlah ahli, adalah hasil konstruksi sosial kultural masyarakat yang membagi
ruang domestik menjadi “wilayah perempuan” sedangkan ruang publik sebagai “milik laki-
laki.”

Pada masyarakat perkotaan, sudah jarang lagi terjadi laki-laki dan perempuan memberi
batasan tegas antara domestik dan publik dalam rumah tangga mereka. Dua wilayah tersebut
(domestik dan publik) sudah tampak “mencair.” Ini terlihat dengan adanya istri berkecimpung
di ruang publik (kerja kantoran), dan sebaliknya, para suami juga ikut mengurusi tugas-tugas
domestik dalam rumah tangga.

Namun, meskipun terdapat pembagian peran dalam rumah tangga, istri yang bekerja di
ruang publik tetap menjalani peran ganda, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan peran.
Selain membantu ekonomi keluarga, istri juga masih bertanggung jawab penuh melakukan
pekerjaan rumah tangga, sehingga waktu kerjanya di wilayah domestik terhitung lebih
banyak daripada suami.

c. Budaya Patriarki Yang “Membelenggu” Laki-Laki?


Patriarki pada awalnya memiliki pengertian sempit yang menunjuk kepada sistem,
yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi. Dalam sistem ini, kepala rumah
tangga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga,
termasuk budak yang menjadi tanggungannya (Mosse, 2002).
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah patriarki kemudian digunakan di seluruh
dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, yang berujung pada
perempuan terpinggirkan (Farid, 2019).
Pada kebudayaan tertentu di Indonesia, masih sering dijumpai suami melarang istri
kerja kantoran. Tugas istri hanya berkutat di sumur, dapur, dan kasur, yang direpresentasikan
sebagai wilayah domestik. Hal ini diutarakan Suhada (2021), yang mengambil contoh
perempuan membumi di pedesaan Jawa Barat. Menurut Suhada, selain tidak boleh kerja
kantoran, laki-laki juga kerap menghalang-halangi perempuan untuk maju dan berkembang,
termasuk membatasi akses ke jenjang pendidikan tinggi.
Suhada menjelaskan, ada keyakinan pada masyarakat tradisional, bahwa perempuan
tidak memerlukan pendidikan tinggi karena pendidikan tinggi tidak akan digunakan pada saat
menikah nanti. Jadi, setinggi apapun perempuan mengenyam pendidikan, ia tetap akan
bergumul di ruang domestik dalam rumah tangga.
Anehnya, laki-laki terkesan menghindari perempuan yang memiliki tingkat pendidikan
lebih tinggi dari laki-laki untuk dipinang sebagai istri. Laki-laki khawatir perempuan tersebut
akan mendominasi kehidupan rumah tangga mereka (Suhada, 2021). Laki-laki maupun
perempuan sebenarnya menjadi korban dari ketidaksetaraan gender atau ketidakadilan gender.
Keduanya menjadi korban hasil konstruksi dari sistem tersebut (Dewi, 2020). Artinya, jangan
dikira budaya patriarki menguntungkan semua laki-laki. Sebagian laki-laki malah memandang
budaya patriarki sebenarnya menjadi bumerang juga baginya.
Disebabkan tuntutan gender, budaya patriarki yang sejak awal kemunculannya ingin
mendominasi segala aspek kehidupan, kemudian membatasi ruang gerak perempuan di ruang
publik, yang mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan. Perempuan lalu dikesankan lemah,
tidak berdaya, dan tidak mampu melakukan pekerjaan berat- berat, seperti halnya laki-laki.
Masalahnya, di balik semua itu, laki-laki sesungguhnya merasa tersiksa oleh tuntutan gender
tersebut, karena mengharuskan dia harus terlihat lebih hebat dan bisa melakukan semuanya
seorang diri. Laki-laki “seolah” terpaksa melakukan semua itu supaya patriarki tidak mati
(Suhada,
2021).

Selain itu, karena budaya patriarki menempatkan laki-laki pada posisi teratas
(superior) dan perempuan di posisi kedua (subordinat), maka ada yang menganggap,
melakukan kerja-kerja domestik dalam rumah tangga bagi laki-laki
merupakan“pantangan.” Dia khawatir, apa yang dia dilakukan akan menjadi santapan gosip
tetangga dan bisa membuat harga dirinya jatuh (Cahyanti, 2020). Dominannya budaya
patriarki ikut melahirkan pula istilah maskulinitas dan feminitas. Hanya saja, di berbagai
kebudayaan tertentu, maskulinitas dan superior yang dilekatkan pada laki-laki, tak pelak,
melahirkan semacam “code of conduct (kode etik),” yang lagi-lagi, menjadi bumerang
terhadap laki-laki. Misalnya, laki- laki tidak boleh menangis, laki-laki tidak boleh mencuci
piring, memasak, dan menjemur pakaian (Cahyanti, 2020).
Dalam lingkungan keluarga, anak laki-laki umumnya diperkenalkan dengan mobil-
mobilan sebagai “mainan dan boleh main di luar rumah “berpanas-panasan”, sedangkan
perempuan diberikan boneka dan bermain di dalam rumah. Sejak kecil, perempuan juga
diajarkan mengurusi dapur (mencuci piring dan memasak). Hal seperti ini kemudian
membentuk karakter mereka, bahwa aktivitas laki-laki memang bermain di ranah publik
sedangkan perempuan bergelut di wilayah domestik.
Namun begitu, secara psikologis, “code of conduct” ini, tentu saja, membuat sebagian
laki-laki, terutama yang berpandangan kesetaraan gender, merasa tersiksa dan
terbebani.Tulisan ini ingin melihat bagaimana pasangan suami istri membangun kesetaraan
gender dan keadilan gender dalam kehidupan rumah tangga mereka, antara lain; mencuci,
memasak, menjaga anak, memilih sekolah untuk anak, membeli kendaraan, memilih warna cat
buat rumah, dan seterusnya. Katakanlah, saat pasangan ini hendak membeli sesuatu untuk
kebutuhan rumah tangga (seperti kendaraan, lemari, mengganti cat rumah, memilih sekolah
anak), siapakah di antara mereka paling dominan dan memiliki kuasa menentukan pilihan.
Apakah suami? Apakah istri? Atau, tidak ada yang mendominasi dan berkuasa, karena sama-
sama mendasarinya atas kesepakatan bersama?
Sayangnya, di saat para aktivis feminis Indonesia tak kenal lelah mewacanakan dan
melakukan gerakan kesetaraan dan keadilan gender, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
yang dilakukan suami terhadap istri, masih sering terjadi. Alhasil, alih-alih membangun
kesetaraan gender dalam bahtera rumah tangga, suami justru melakukan aksi kekerasan
terhadap istrinya. Hal ini dikemukakan oleh sejumlah riset yang digeber, antara lain (Melsi
Syawitri
& Afdal, 2020), (Sutiawati dan Nur Fadhilah Mappaselleng, 2020), (Mutmainah, Ema Triana,
2019), (Badruzaman, 2020), dan (Farid, 2019), yang menemukan KDRT.

Menurut temuan riset ini, motif KDRT cukup bermacam-macam. Namun intinya,
suami tega berbuat demikian, karena menganggap dia lebih berkuasa atas istrinya. Faktor
sosial kultural atau adanya ketimpangan relasi kuasa, juga menyebabkan subordinasi
perempuan. Jadi, ketika suami melakukan kekerasan terhadap istri, hal tersebut dianggap
tidak melanggar hukum. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
menegaskan hal tersebut, bahwa perempuan rentan mengalami korban KDRT, karena sebagian
laki-laki masih memegang teguh budaya patriarki.
Dalam catatan aktivis feminis di Indonesia, laki-laki sangat diuntungkan oleh budaya
patriarki. Laki-laki menempati posisi atas sedangkan perempuan ditempatkan pada posisi
kedua, atau lebih rendah dari laki-laki. Patriarki juga membentuk persepsi, bahwa laki-laki
berhak mengontrol dan mengendalikan perempuan (Mutmainah, Ema Triana, 2019).
Selanjutnya, istri pun dikatakan lebih rendah posisinya dalam relasi suami istri, seperti terlihat
dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 tahun 2017, tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, bahwa relasi kuasa merupakan relasi yang
bersifat hierarkis, ketidaksetaraan atau ketergantungan status sosial, budaya,
pengetahuan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan satu pihak terhadap pihak
lainnya dalam konteks relasi gender, sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih
rendah.
Dalam relasi suami dan istri, posisi istri dipandang lebih rendah (Melsi Syawitri &
Afdal, 2020). Antai D, dalam tulisannya “Controlling Behavior, Power Relations within
Intimate Relationships and Intimate Partner Physical and Sexual Violence Agains Women In
Nigeria” (2011), menjelaskan, relasi kuasa suami cenderung memiliki tingkat konflik,
kontrol, dan kekuasaan yang tinggi terhadap istri. Sebagai orang yang punya kuasa, suami
menempati posisi pemimpin rumah tangga, sehingga istri dan anak harus tunduk dan patuh
kepadanya (Melsi Syawitri & Afdal, 2020).
Kesetaraan Gender Dan Bias Gender
Gender kerap dilekatkan kepada jenis kelamin; laki-laki dan perempuan. Padahal,
gender tidak hanya persoalan jenis kelamin semata. Kata gender sendiri diambil dari bahasa
Latin (genus), yang berarti jenis atau tipe, yang lambat laun digunakan pula untuk
membedakan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) (Malau, 2014). Dalam kamus
Webstere’s New Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak dari laki-laki
dan perempuan, yang dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan Concise Oxford of
Current English edisi 1990, memaknai gender sebagai penggolongan gramatikal terhadap kata-
kata benda dan kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan
dengan jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (Dewi, 2020).
Perbedaan biologis ini membawa konsekwensi fungsi reproduksi yang berbeda, seperti
perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan laki-laki
membuahi dengan spermatozoa. Jenis kelamin biologis dalam konteks gender ini merupakan
ciptaan Tuhan dan bersifat kodrati (Latief Abdul, 2019).
Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status, dan tanggung
jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi sosial-kultural masyarakat.
Perbedaan ini kemudian tertanam melalui proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya pada suatu masyarakat. Pada suatu masyarakat, gender tidak bersifat mutlak, karena
ia dapat berubah setiap saat. Karenanya, gender bersifat universal, dan setiap kebudayaan
memiliki pandangan berbeda terhadap gender. Jenis kelamin dan gender adalah konsep
penting. Ketika menyebutkan jenis kelamin, yangdibayangkan adalah konteks biologis;
kelamin laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, gender bukanlah semata soal jenis kelamin,
meskipun terkait dengan itu (Santoso, 2016).
Dengan demikian, dapat dikatakan, gender merupakan peran, sikap, dan sifat
perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi oleh sosial-kultural, sehingga tidak menutup
kemungkinan antara budaya yang satu dan budaya lainnya berbeda dalam memandang peran,
sikap, dan sifat perempuan. Gender bukanlah kodrat ilahi, dan karenanya, ia sewaktu-waktu
bisa berubah menurut budaya yang melingkupinya (Dewi, 2020).
Dalam perkembangannya, masih banyak yang menyalah artikan istilah gender,
sehingga memunculkan istilah bias gender. Bias gender, menurut Nurhayati (2005), tidak
terlepas dari ketidaksetaraan gender yang berdampak kepada diskriminasi gender bagi
perempuan. Tentu saja, bias gender sangat merugikan pihak perempuan. Padahal, kata
Nurhayati lagi, posisi laki-laki dan perempuan adalah sejajar dalam pandangan kesetaraan
gender. Tidak ada penilaian posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan, serta tidak ada kontrol
dan dominasi laki-laki terhadap perempuan (Melsi Syawitri & Afdal, 2020).

Posisi dan peran perempuan yang acap kali ditempatkan pada posisi subordinat,
berimbas pula kepada keraguan publik terhadap ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
perempuan. Martin van Bruinessen dalam bukunya, “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat:
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1999)”, memberikan contoh betapa perempuan mengalami
diskriminatif di bidang ilmu pengetahuan. Hal ini dialami seorang ulama perempuan di
Banjarmasin, Fatimah, cucu Sheikh Arshad Al-Banjari, yang keilmuwannya diragukan oleh
kalangan laki-laki. Menurut Bruinessen, di Banjarmasin, ada kitab bernama Perukunan
Jamaluddin, yang mengulas masalah haid dan tata cara bersuci bagi perempuan, setelah
masa haid atau nifasnya selesai. Dan, kitab ini ditulis oleh Fatimah.
Hanya saja, ketika orang Banjarmasin mengetahui kitab tersebut bukan ditulis oleh
laki-laki, Jamal al-Din, putra Sheikh Arshad Al-Banjari, melainkan Fatimah, sebagian
masyarakat Banjarmasin memberi respon tidak percaya dan tidak bisa menerima hal tersebut
(perempuan menulis kitab fiqih perempuan).
Dalam kasus Fatimah, kata Bruinessen menjelaskan, identitas pengarang sengaja
disembunyikan, karena mengarang kitab dianggap pekerjaan laki-laki. Bruinessen menduga,
tidak tertutup kemungkinan masih ada lagi kitab lain yang ditulis perempuan, tetapi
masyarakat mengingkari atau memboikotnya (Ulfah, 2012).
Kesetaraan Peran Suami-Istri
Kesetaraan peran suami-istri dalam rumah tangga adalah prinsip dasar yang melibatkan
pemberian hak, tanggung jawab, dan keputusan yang setara kepada kedua pasangan. Ini bukan
berarti bahwa suami dan istri harus memiliki peran yang sama persis, tetapi bahwa mereka
memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi pada berbagai aspek kehidupan keluarga.
Kesetaraan peran ini mencakup beberapa elemen penting:
1. Pembagian Tugas Rumah Tangga: Dalam penelitian "The Second Shift" (1989), Arlie
Hochschild menjelaskan bagaimana ketidaksetaraan dalam pembagian tugas rumah
tangga dapat menyebabkan konflik dan stres dalam rumah tangga. Kesetaraan peran di
sini berarti adanya pembagian tugas yang adil, sehingga kedua pasangan merasa terlibat
dalam pekerjaan rumah tangga tanpa merasa terbebani.
2. Kesetaraan Keputusan: Menurut John Gottman, seorang ahli hubungan, kesetaraan dalam
pengambilan keputusan keluarga membantu menciptakan "The Sound Relationship
House," yang adalah model fondasi keharmonisan keluarga. Suami dan istri yang
memiliki kesetaraan dalam pengambilan keputusan akan cenderung merasa lebih dihargai
dan terlibat dalam proses ini.
3. Pendukung Karir: Penelitian oleh Shelley Correll dan Cecilia Ridgeway menggarisbawahi
pentingnya kesetaraan peran dalam mendukung perkembangan karir bagi suami dan istri.
Ketidaksetaraan dalam hal ini dapat menghambat potensi individu, yang pada gilirannya
dapat menyebabkan konflik dalam rumah tangga.
4. Kepedulian Terhadap Perasaan dan Kebutuhan: Kesetaraan peran juga mencakup
kepedulian terhadap perasaan dan kebutuhan masing-masing pasangan. John Bowlby,
seorang psikolog terkenal, berargumen bahwa kepedulian terhadap perasaan dan
kebutuhan pasangan adalah kunci untuk menciptakan ikatan emosional yang kuat dalam
keluarga.
Keharmonisan Keluarga
1. Kesetaraan peran suami-istri memiliki dampak positif yang signifikan pada
kerharmonisan keluarga. Beberapa manfaatnya antara lain:
2. Komunikasi yang Lebih Baik: Kesetaraan peran mendorong komunikasi yang lebih baik
antara suami dan istri. Mereka merasa lebih nyaman berbicara satu sama lain,
mengungkapkan perasaan, dan menyelesaikan masalah bersama. Komunikasi yang baik
adalah landasan yang kuat untuk kerharmonisan keluarga.
3. Pembagian Beban yang Adil: Ketika suami dan istri berbagi tanggung jawab secara adil,
mereka merasa lebih dihargai dan diperlakukan setara. Ini mengurangi kemungkinan
konflik yang timbul akibat perasaan tidak adil. Sebuah penelitian oleh Joan Berlin Kelly
menemukan bahwa pembagian tugas yang adil berkorelasi positif dengan keharmonisan
rumah tangga.
4. Kepuasan dalam Hubungan: Kesetaraan peran dapat meningkatkan kepuasan dalam
hubungan. Kedua pasangan merasa memiliki andil yang sama dalam kebahagiaan
keluarga mereka. Hal ini berdampak positif pada keharmonisan dan kualitas hubungan
mereka.
5. Perkembangan Anak yang Lebih Baik: Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan
yang menunjukkan kesetaraan peran antara suami dan istri cenderung tumbuh menjadi
individu yang lebih seimbang dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang konsep
kesetaraan. Penelitian oleh E. Mark Cummings menunjukkan bahwa lingkungan keluarga
yang harmonis memiliki dampak positif pada perkembangan anak.
Sayangnya, di saat para aktivis feminis Indonesia tak kenal lelah mewacanakan
dan melakukan gerakan kesetaraan dan keadilan gender, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) yang dilakukan suami terhadap istri, masih sering terjadi. Alhasil, alih-alih
membangun kesetaraan gender dalam bahtera rumah tangga, suami justru melakukan
aksi kekerasan terhadap istrinya. (Badruzaman, 2020)
Menurut temuan riset ini, motif KDRT cukup bermacam-macam. Namun
intinya, suami tega berbuat demikian, karena menganggap dia lebih berkuasa atas
istrinya. Faktor sosial kultural atau adanya ketimpangan relasi kuasa, juga menyebabkan
subordinasi perempuan. Jadi, ketika suami melakukan kekerasan terhadap istri, hal
tersebut dianggap tidak melanggar hukum. Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia menegaskan hal tersebut, bahwa perempuan rentan
mengalami korban KDRT, karena sebagian laki-laki masih memegang teguh budaya
patriarki.
Dalam catatan aktivis feminis di Indonesia, laki-laki sangat diuntungkan oleh
budaya patriarki. Laki-laki menempati posisi atas sedangkan perempuan ditempatkan
pada posisi kedua, atau lebih rendah dari laki-laki. Patriarki juga membentuk persepsi,
bahwa laki-laki berhak mengontrol dan mengendalikan perempuan (Mutmainah, Ema
Triana, 2019). Selanjutnya, istri pun dikatakan lebih rendah posisinya dalam relasi
suami istri, seperti terlihat dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 tahun 2017,
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, bahwa
relasi kuasa merupakan relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan atau
ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan dan/atau ekonomi yang menimbulkan
kekuasaan satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi gender, sehingga
merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Dalam relasi suami dan istri, posisi
istri dipandang lebih rendah (Melsi Syawitri & Afdal, 2020).
Antai D, dalam tulisannya “Controlling Behavior, Power Relations within
Intimate Relationships and Intimate Partner Physical and Sexual Violence Agains
Women In Nigeria” (2011), menjelaskan, relasi kuasa suami cenderung memiliki
tingkat konflik, kontrol, dan kekuasaan yang tinggi terhadap istri. Sebagai orang yang
punya kuasa, suami menempati posisi pemimpin rumah tangga, sehingga istri dan anak
harus tunduk dan patuh kepadanya (Melsi Syawitri & Afdal, 2020).
Penyelesaian Sengketa Hak Perempuan Dan Anak Melalui Mediasi Berdasarkan
Laporan Putusan Gugatan Cerai Bulan Januari Tahun 2023 Di Pengadilan
Agama Garut Kelas 1 A.
Laporan Pusbakom di Pengadilan Garut per bulan Januari tahun 2023
Gugatan
bulan Hadhanah Iddah Mutah dikabulkan ditolak SKTM Ghoib dicabut VERSTEK IN CG
Cerai
120 12 0 1 104 2 9 10 13 94 3
Januari Mediasi 5
lain-lain 2 2 2 2 8
Persentase 10% 0% 1% 87% 2% 8% 8% 11% 78% 3%
tidak hadir yang diperkenankan 2
ghoib tidak jelas 4
catatan*
Mediasi berhasil 5
permintaan pemohon 2
Sumber : Data diolah tanggal 28-03-2023
Berdasarkan laporan diatas, jumlah putusan gugatan perceraian dipengadilan agama
garut pada januari tahun 2023 sebanyak 120, dimana 104 dikabulkan baik yang dihadiri
oleh Tergugat/Termohon Principal maupun tanpa dihadiri, yang diputus secara Verstek dan
diluar hadir (kontra diktur). Namun, adapula beberapa perkara yang dicabut dikarenakan
beberapa faktor seperti; mediasi berhasil, akta vandading, dan faktor lainnya. Lalu terkait
penerapan Hak perempuan), ada beberapa pihak yang mengajukan namun terkait masalah
hasil putusan lebih lanjut pada perkara tersebut sejauh ini, belum dapat peneliti temukan
secara detail karena keterbatasan dalam menemukan informasi. Disisi lain, Adapula
pengajuan perkara kumulasi antara cerai dan Isbath disebabkan belum tercatat pernikahannya
secara hukum dalam pemerintah.
Tabel Laporan analisa Putusan Perkara, sebagai berikut :

Identitas Putusan Pertimbangan Amar Analisis Fakta


a. Menimbang, bahwa Dikabulkan bahwa Penggugat
5034/Pdt.G/2022/PA.Gr
t berdasarkan pertimbangan tersebut di semasa masih hidup
Sebagian
atas Majelis Hakim berpendapat, dengan Tergugat
b. Perkara : Pengajuan sering kali
Gugatan Perceraian anak tersebut cukup nyaman ikut
tinggal dengan Tergugat rekonpensi, menitipkan anak
Terkait Harta kepada orang lain,
maka kami berkesimpulan anak
c. Posita : Pengajuan bersama serta Penggugat
Gugatan Perceraian tersebut merasa cukup mendapatkan Tidak dapat memiliki perilaku
dengan Tuntunan Hak curahan kasih saying dan perhatian Diterima
asuh anak dan Nafkah dari Tergugat rekonpensi, karena boros, hal ini
dari Harta Bersama Sebagian terbukti dari fakta
selama masih berumah tidak ada kendala untuk bisa bahwa Penggugat
tangga bertemu, baik bertemu dengan memiliki banyak
Penggugat rekonpensi maupun utang, sementara
Tergugat rekonpensi,maka dengan uang dari hasil
d. Hakim : Drs. Supyan
demikian kepentingan anak telah berutang tidak jelas
Maulani, M.Sy. sebagai
terpenuhi; peruntukan dan
Ketua Majelis, Drs.
Ahmad Riva'i, S.H. dan penggunaannya
Drs. H. Raden Achmad
Syarnubi, S.H., M.H. Bahwa berdasarkan
masing-masing sebagai pertimbangan tersebut di atas, maka hal tersebut
gugatan rekonpensi Penggugat terungkap di
Hakim Anggota
rekonpensi/Tergugat, agar 4 (empat) persidangan Majelis
orang anak tersebut hak asuhnya Hakim, menemukan
(hadlanahnya) ditetapkan kepada fakta hukum, dua
Penggugat rekonpensi/Tergugat orang anak tersebut
belum mumayyij,
sebagai ayah kandungnya,
karena usianya
dinyatakan ditolak;
belum mencapai 12
tahun, hal tersebut
sesuai ketentuan
pasal 105 Instruksi
Presiden RI. Nomor
1 tahun 1991, tetang
Kompilasi Hukum
Islam;
Sumber : Data diolah pada tanggal 28-04-2023

Meminimalisir KDRT
Kesetaraan peran suami-istri juga memiliki dampak positif dalam meminimalisir KDRT.
Keharmonisan dalam rumah tangga yang diperoleh melalui kesetaraan peran dapat mengurangi
faktor-faktor pemicu KDRT, seperti ketidaksetaraan keputusan, ketidakadilan dalam pembagian
tugas, dan konflik yang tidak terselesaikan. Beberapa cara kesetaraan peran membantu
meminimalisir KDRT adalah:
1. Komunikasi yang Efektif: Kesetaraan peran menciptakan lingkungan yang mendorong
komunikasi yang efektif, yang dapat mencegah eskalasi konflik menjadi KDRT. Menurut
penelitian oleh John Gottman, komunikasi yang efektif adalah faktor kunci dalam
mencegah KDRT.
2. Peningkatan Empati: Ketika suami dan istri saling memahami dan peduli terhadap
perasaan satu sama lain, mereka lebih cenderung mencari solusi yang damai dalam situasi
konflik. Empati adalah elemen kunci dalam mencegah KDRT.
3. Tidak Adanya Perasaan Tidak Adil: Ketidaksetaraan peran dapat menjadi penyebab
konflik, yang dapat berkembang menjadi KDRT. Dengan kesetaraan peran, perasaan tidak
adil dapat diminimalisir. Penelitian oleh Scott W. Stanley dan Howard J. Markman
menunjukkan bahwa perasaan tidak adil dapat menjadi pemicu KDRT.
Kesimpulan
Meski hingga detik ini banyak kalangan terus menggelorakan wacana
kesetaraan gender dan keadilan gender, namun tetap saja sering dijumpai ketidakadilan gender
dalam kehidupan masyarakat. Dalam konstruksi gender, perempuan menjadi pihak yang sering
dirugikan dari ketidakadilan gender tersebut. Ini disebabkan oleh adanya konstruksi budaya
patriarki yang lantas membeda- bedakan peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki kemudian
menempati posisi superior, yang menyebabkan perempuan harus tunduk dan patuh terhadap laki-
laki.

Kesetaraan peran suami-istri dalam rumah tangga sangat penting untuk menciptakan
kerharmonisan dalam keluarga dan meminimalisir KDRT. Ini melibatkan pembagian tugas yang
adil, kesetaraan keputusan, dukungan karir, dan perhatian terhadap perasaan dan kebutuhan
pasangan. Dengan menerapkan prinsip ini, kita dapat membangun keluarga yang kuat, bahagia,
dan bebas dari konflik berbahaya seperti KDRT. Kesetaraan peran bukan hanya hak, tetapi juga
kunci menuju keluarga yang bahagia dan harmonis.
Referensi
Azizah Linda. (2012). Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam. Al-
’Adalah, Vol. X, No. 4(Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam),
1–8.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Badruzaman, D. (2020). Keadilan dan Kesetaraan Gender untuk Para Perempuan
Korban KDRT. Tahkim Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam, 3(1), 103–124.
Isman, dkk. (2022). Fenomena Kawin – Cerai Dalam Teori Interaksionisme Simbolik.
Prosiding Kajian Islam dan Integrasi Ilmu di Era Society 5.0 (KIIIES 5.0)
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Datokarama Palu
2022, Volume 1, 1-5.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kombinasi : (Mixed Methods). Bandung : Alfabeta.
Melsi Syawitri & Afdal. (2020). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Relasi Kuasa

Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Jurnal Penelitian Guru

Indonesia, 5(1), 37–45.

Mutmainah, Ema Triana, D. (2019). Upaya Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Melalui Program Corporate Social Responsibility. Prosiding Penelitian &

Pengabdian Kepada Masyarakat, 259–268.

Wawancara

Hamdani, Asep (Ketua Pelaksana PTSP) wawancara oleh Habib Mumtaz JR. Pengadilan Agama
kelas 1 A. Tanggal 29 Januari 2023.

Anda mungkin juga menyukai