Dosen Pengampu:
Emma Yuniarrahmah, S.Psi, MA
Neka Erlyani, M.Psi, Psikolog
Disusun Oleh:
Safina Salsabila Putri
1910914120013
Puji syukur saya panjatkan Kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena berkat Rahmat dan Hidayah nya
Jugalah kami dapat menyelesaikan analisa kasus ini yang bertujuan untuk
memberikan pengetahuan dan wawasan bagi kami penulis dan para pembaca.
Adapun tujuan dan maksud dari pembuatan analisa kasus ini adalah
sebagai salah satu untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga dan
Perkawinan. Maka dari itu sudah sepatutnya kami mengucapkan Terima kasih
yang sebesar – besarnya kepada Ibu Emma Yuniarrahmah, S.Psi, MA dan Ibu
Neka Erlyani, M.Psi, Psikolog selaku tim dosen pada mata kuliah yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah pengetahuan dan wawasan
saya terhadap bidang studi yang kami tekuni.
Semoga analisa kasus ini dapat berguna bagi pembaca. Kami meminta maaf
kepada semua pihak jika ada perbuatan atau ucapan yang kurang menyenangkan,
baik disengaja ataupun tidak. Semoga dengan adanya analisa kasus yang dibuat
dapat bermanfaat dan menambah wawasan, terutama bagi yang memerlukannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan...............................................................................................1
1.2 Tujuan...........................................................................................................3
1.3 Manfaat.........................................................................................................3
2.1 Perkawinan...................................................................................................4
2.2 Perceraian.....................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16
LAMPIRAN..........................................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
alat elektronik lain membuat intensitas komunikasi antar-individu mulai
merendah.
1
2
2.1 Perkawinan
2.1.1 Definisi Perkawinan
Undang-undang yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia
yaitu UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dapat kita simpulkan
bahwa dalam hubungan perkawinan setiap orang pasti menginginkan
kehidupan rumah tangga yang baik dengan landasan untuk bahagia, kekal,
dan sejahtera.
Menurut Cahyani (2020), perkawinan berasal dari bahasa arab dan
terdiri dari dua kata yaitu Zawwaja serta Nakaha. Zawwaja artinya
pasangan, sedangkan Nakaha artinya menghimpun. Singkatnya dari segi
bahasa perkawinan adalah usaha untuk menghimpun dua orang untuk
bersatu. Dua individu yang dulunya hidup sendiri-sendiri kemudian
dengan perkawinan yang dipertemukan Allah SWT untuk berjodoh
sehingga mereka menjadi pasangan suami istri dan saling melengkapi
kekurangan masing-masing.
Sedangkan menurut Eyo (2018), perkawinan didefinisikan sebagai
kemitraan antara dua anggota lawan jenis yang dikenal sebagai suami dan
istri. Peran dan tanggung jawab suami istri yang terikat perkawinan yaitu
hidup bersama, melakukan hubungan seksual hanya dengan satu sama
lain, berbagi sumber daya ekonomi, dan diakui sebagai orang tua dari
anak-anak mereka. Dalam beberapa budaya, perkawinan menghubungkan
dua keluarga dalam satu set rumit pertukaran properti yang melibatkan
tanah, tenaga kerja, dan sumber daya lainnya. Keluarga besar dan
masyarakat juga memiliki minat yang sama terhadap setiap anak yang
mungkin dimiliki pasangan tersebut
4
5
4. Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat
melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri
baik dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan masyrakat
7. Asas pencatatan perkawinan
2.2 Perceraian
2.2.1 Definisi Perceraian
The Oxford Dictionary of Sociology mendefinisikan perceraian
sebagai “pembubaran legal formal dari pernikahan yang dibentuk secara
hukum’. Dengan kata lain, perceraian merupakan pemisahan fisik
permanen dari pasangan (Michael, 2015). Perceraian bisa menjadi
pengalaman yang mengubah hidup keluarga secara keseluruhan; untuk
anak-anak, untuk pasangan, dan untuk keluarga di luar unit inti.
Perceraian adalah suatu peristiwa perpisahan resmi antara suami
dan istri yang bertekad untuk tidak meneruskan tugas dan kewajibannya
sebagai suami istri. Mereka tidak lagi tinggal dan hidup bersama, karena
tidak ada ikatan resmi. Bagi yang telah bercerai tetapi belum memiliki
anak, perpisahan tidak memberikan efek trauma psikologis pada anak.
Namun bagi yang sudah memiliki anak, tentunya perceraian menimbulkan
masalah psiko-emosional bagi anak. Di sisi lain, tidak menutup
kemungkinan anak yang lahir selama mereka hidup sebagai suami istri
akan diikutsertakan oleh salah satu orang tuanya baik mengikuti ayah
maupun ibunya (Dariyo, 2003).
Perceraian merupakan akhir dari kehidupan suami istri yang
mulanya selalu bersama dan melengkapi. Setiap orang tentu menginginkan
perkawinan yang dijalaninya agar tetap utuh sepanjang masa kehidupan.
Akan tetapi, tidak selalu perkawinan tersebut bisa sesuai dengan cita-cita
atau harapan yang dibangun, walaupun sudah diusahakan semaksimal
7
11
TKW di luar negeri sehingga kebutuhan biologis atau seksual tidak terpenuhi
dalam
12
13
waktu lama. Tidak jarang suami yang ditinggalkan tersebut memilih untuk
mencari selingkuhan atau istri simpanan, bahkan ada yang sampai memiliki anak
hasil dari hubungan tidak resmi tersebut. Suami yang merantau menjadi buruh di
kota-kota besar juga tidak jarang memiliki selingkuhan di kota tempat mereka
bekerja sehingga istri yang ditinggalkan jarang diberi nafkah dan akhirnya
mengajukan gugatan cerai kepada suami.
Selain masalah ekonomi dan orang ketiga, usia perkawinan juga turut
mempengaruhi terjadinya perceraian pada keluarga di Wonosobo. Pertama, yang
usia perkawinannya masih 1-5 tahun, kebanyakan dari mereka memilih untuk
cerai karena belum memiliki persiapan atau perencanaan ekonomi keluarga yang
baik sehingga untuk kesejahteraan keluarga belum tercapai penuh. Kurangnya
rasa tanggung jawab dalam pemberian nafkah juga turut menjadi pendorongnya.
Kedua, pada usia perkawinan 6-10 tahun, hal yang turut mendorong perceraian
pada usia ini yaitu perselingkuhan dengan pihak ketiga, pertengkaran yang terus
terjadi, dan tanggung jawab pemberian nafkah kepada istri atau keluarga yang
tidak optimal.
Selain ketiga permasalahan tersebut, perkawinan usia dini yang
disebabkan oleh pergaulan bebas, hamil diluar nikah, kawin paksa karena tingkat
pengetahuan agama dan pendidikan yang relatif rendah juga turut berperan
terhadap fenomena perceraian di Wonosobo.
Setiap orang tentu menginginkan perkawinan yang dijalaninya agar tetap
utuh sepanjang masa kehidupan. Akan tetapi, tidak selalu perkawinan tersebut
bisa sesuai dengan cita-cita atau harapan yang dibangun, walau sudah diusahakan
semaksimal mungkin agar bisa membinanya secara baik. Pada akhirnya,
ketidakmampuan dalam regulasi membuat mereka terpaksa harus berpisah dan
memilih untuk membubarkan perkawinan (Khoirul Abror, 2017). Pendapat ini
sesuai dengan keadaan dari suami istri yang berada di Wonosobo karena menurut
pernyataan peneliti berdasarkan studi lapangannya, dijelaskan bahwa mereka
diberikan masa iddah atau masa tunggu apabila suami istri ingin rujuk kembali.
Namun, kesempatan yang diberikan ini tidak mereka ambil dan perceraian
menjadi jalan atau solusi terakhir bagi permasalahan mereka. Hal ini
14
memilih untuk cerai karena belum memiliki persiapan atau perencanaan ekonomi
keluarga yang baik sehingga untuk kesejahteraan keluarga belum tercapai penuh.
Keeempat adalah harapan yang tidak direalisasi, orang memilih untuk
menetapkan perkawinan dengan harapan yang berbeda-beda. Terkadang
menginginkan pasangan yang akan memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, agama,
akademik, dll. Ketika harapan tersebut tidak terpenuhi, ikatannya dapat
merenggang dan berakhir mengalami perceraian. Dalam kasus di Wonosobo,
setiap istri di sana mengharapkan bahwa suaminya dapat memenuhi kesejahteraan
keluarga dengan memberikan nafkah yang tepat. Akan tetapi, pada beberapa
pasangan suami mereka kurang bertanggung jawab dalam pemberian nafkah
sehingga menyebabkan konflik dan kemunduran.
3.2 Solusi Permasalahan
Dengan berfokus pada ilmu psikologi, maka ditetapkan bahwa solusi yang
sesuai untuk kasus di Wonosobo dapat dijelaskan melalui psikoedukasi. Menurut
Ekhtiari dkk (2017) konsep psikoedukasi adalah melakukan terapi dengan
memberikan informasi, secara sistematis menyampaikan pengetahuan terpadu dari
aspek emosional dan motivasi. Psikoedukasi adalah proses berbagi informasi yang
akurat dengan individu dan sistem pendukungnya, biasanya dengan cara yang
terorganisir dan metodis dengan menggambarkan rencana intervensi untuk
perilaku bermasalah atau penyakit kejiwaan. Tujuannya termasuk untuk
menghilangkan mitos dan informasi yang salah tentang kesehatan mental,
mengajarkan klien mekanisme yang mendasari atau mempertahankan dan lintasan
gejala kesehatan mental, mengeksplorasi pilihan pengobatan individual,
melakukan diskusi jujur tentang efek pengobatan, dan mendorong pemberdayaan.
Melalui pemahaman ini, praktisi berusaha untuk meningkatkan kemungkinan
kepatuhan intervensi, membantu klien memberikan lebih banyak persetujuan
untuk layanan, dan mengembangkan bahasa yang sama untuk masalah dan solusi.
Selain memberikan informasi dan motivasi, psikoedukasi juga dapat membantu
klien mengembangkan metakognisi, atau kesadaran diri akan fungsi dan
kebutuhan mereka sendiri.
16
kehidupan masyarakat dan mendapat keturunan yang baik dan sehat sehingga
tidak berpikir untuk memilih perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Bronselaer, JLJ, De Koker, BSM, & Van Peer, CMA. (2008). The impact of
divorce on the health status of ex-partners. Archives of Public Health, 66,
168–186.
18
Junaedi, M. (2018). Fenomena Perceraian Dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Di
Kabupaten Wonosobo. Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hukum, 4(1),
83–104.
19
Sururie, R. W., & Yuniardi, H. (2018). Perceraian Dalam Keluarga Muslim Di
Jawa Barat. Jurnal Kajian Hukum Islam, 12(2), 264–280.
Top Reasons for Divorce. (2014, June 26). Retrieved from Love To Know:
http://divorce.lovetoknow.com/Top_Reasons_for_Divorce
Zulkarnain, A., & Korenman, S. (2019). Divorce and health in middle and older
ages. Review of Economics of the Household, 17(4), 1081–1106.
https://doi.org/10.1007/s11150-018-9435-z
20
LAMPIRAN
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43