Anda di halaman 1dari 47

Analisa Kasus

“Fenomena Perceraian Dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Di


Kabupaten Wonosobo”
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikologi Keluarga dan Perkawinan

Dosen Pengampu:
Emma Yuniarrahmah, S.Psi, MA
Neka Erlyani, M.Psi, Psikolog

Disusun Oleh:
Safina Salsabila Putri
1910914120013

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan Kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena berkat Rahmat dan Hidayah nya
Jugalah kami dapat menyelesaikan analisa kasus ini yang bertujuan untuk
memberikan pengetahuan dan wawasan bagi kami penulis dan para pembaca.
Adapun tujuan dan maksud dari pembuatan analisa kasus ini adalah
sebagai salah satu untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga dan
Perkawinan. Maka dari itu sudah sepatutnya kami mengucapkan Terima kasih
yang sebesar – besarnya kepada Ibu Emma Yuniarrahmah, S.Psi, MA dan Ibu
Neka Erlyani, M.Psi, Psikolog selaku tim dosen pada mata kuliah yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami dapat menambah pengetahuan dan wawasan
saya terhadap bidang studi yang kami tekuni.
Semoga analisa kasus ini dapat berguna bagi pembaca. Kami meminta maaf
kepada semua pihak jika ada perbuatan atau ucapan yang kurang menyenangkan,
baik disengaja ataupun tidak. Semoga dengan adanya analisa kasus yang dibuat
dapat bermanfaat dan menambah wawasan, terutama bagi yang memerlukannya.

Banjarbaru, 13 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan...............................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1

1.2 Tujuan...........................................................................................................3

1.3 Manfaat.........................................................................................................3

BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................4

2.1 Perkawinan...................................................................................................4

2.2 Perceraian.....................................................................................................6

BAB III ANALISA KASUS................................................................................11

3.1 Pembahasan Kasus.....................................................................................11

3.2 Solusi Permasalahan..................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

LAMPIRAN..........................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga adalah institusi terkecil yang ada pada masyarakat dan memiliki
aspek dari hubungan antar-individu, hubungan otoritas, pola asuh, pembentukan
moral serta karakter, dan sebagainya (Meinarno, 2010). Menurut Lestari (2016),
keluarga merupakan rumah tangga yang memiliki hubungan darah dan memiliki
fungsi-fungsi instrumental mendasar serta fungsi-fungsi ekspresif keluarga yang
terselenggara. Hubungan darah itulah yang disebut dengan perkawinan.
Perkawinan umumnya didefinisikan sebagai kemitraan antara dua anggota
lawan jenis yang dikenal sebagai suami dan istri. Peran dan tanggung jawab suami
istri yang terikat perkawinan yaitu hidup bersama, melakukan hubungan seksual
hanya dengan satu sama lain, berbagi sumber daya ekonomi, dan diakui sebagai
orang tua dari anak-anak mereka. Perkawinan adalah lembaga yang melampaui
individu-individu tertentu yang terlibat di dalamnya dan mempersatukan dua
orang
keluarga. Dalam beberapa budaya, perkawinan menghubungkan dua keluarga
dalam satu set rumit pertukaran properti yang melibatkan tanah, tenaga kerja, dan
sumber daya lainnya. Keluarga besar dan masyarakat juga memiliki minat yang
sama terhadap setiap anak yang mungkin dimiliki pasangan tersebut (Eyo, 2018).
Undang-undang yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia yaitu UU
No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Maka dapat kita simpulkan bahwa dalam hubungan perkawinan setiap
orang pasti menginginkan kehidupan rumah tangga yang baik dengan landasan
untuk bahagia, kekal, dan sejahtera.
Perkawinan yang baik tentu memberikan semangat dalam menghayati dan
menjalani hidup apapun keadaannya. Perkawinan yang baik juga dapat membantu
untuk melawan situasi yang sepi, terutama di era globalisasi ini ketika mesin atau

1
alat elektronik lain membuat intensitas komunikasi antar-individu mulai
merendah.

1
2

Selain itu, perkawinan yang baik memberikan perlindungan terhadap berbagai


ancaman dan berperan untuk mewujudukan keluarga sebagai ikatan penting dalam
masyarakat (Kastowo, 2019).
Meskipun begitu, perkawinan tidak hanya menyangkut akan hal yang baik.
Tentu ada beberapa permasalahan yang dijumpai karena untuk menyatukan dua
individu yang berbeda secara fisik dan psikologis bukan hal yang mudah. Setiap
individu, terutama dengan perbedaan gender memiliki keunikannya masing-
masing dan memerlukan proses adaptasi agar bisa saling memahami serta
memghormati saat hidup bersama (Iqbal, 2018).
Namun demikian, komitmen untuk tetap menjaga kekekalan ikatan
perkawinan tidak mudah dilaksanakan oleh setiap pasangan suami istri. Tantangan
mempertahankan ikatan perkawinan yang suci seringkali gagal di tengah jalan
karena berbagai ancaman yang mengganggu ikatan suci perkawinan mereka.
Ketika pasangan suami istri tidak mampu menghadapi ancaman seperti ini, ikatan
perkawinan menjadi rapuh dan berakhir dengan perceraian (Sururie & Yuniardi,
2018).
Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia
mencapai 447.743 kasus pada 2021. Apabila dibandingkan dengan tahun 2020
yang mencapai 291.677 kasus, maka ada peningkatan sebesar 53,50% (Badan
Pusat Statistik Indonesia, 2022).
Laporan ini menunjukkan bahwa lebih banyak istri yang menggugat cerai.
Sebanyak 337.343 kasus atau 75,34% perceraian terjadi karena cerai gugat, yaitu
perkara yang gugatannya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh
Pengadilan. Sementara itu, sebanyak 110.440 kasus atau 24,66% perceraian
terjadi karena cerai talak, yaitu perkara yang permohonannya diajukan oleh pihak
suami yang telah diputus oleh Pengadilan (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2022).
Berdasarkan provinsi, kasus perceraian tertinggi pada 2021 berada di Jawa
Barat dengan jumlah 98.088 kasus. Kemudian ada Jawa Timur dan Jawa Tengah,
dengan masing-masing jumlah 88.235 kasus dan 75.509 kasus (Badan Pusat
Statistik Indonesia, 2022).
3

Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus (constant arguing) menjadi


faktor perceraian tertinggi pada 2021 dengan jumlah 279.205 kasus. Sedangkan
kasus perceraian lainnya akibat dari permasalahan ekonomi, ada salah satu pihak
yang meninggalkan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga poligami (Badan
Pusat Statistik Indonesia, 2022).
Masalah perceraian menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dan dikaji
dalam suatu negara. Sebagai institusi terkecil pada masyarakat, apabila
perkawinan memiliki masalah serius yang memunculkan perpecahan, maka
kehidupan berbangsa dan bernegara juga akan berdampak. Perkawinan sebagai
langkah awal dari keluarga tentu diharapkan dapat melahirkan sumber daya
manusia yang berkualitas dan sejahtera untuk kehidupan selanjutnya (Iqbal,
2018).
Oleh karena itu, berdasarkan teori dan fakta di lapangan mengenai urgensi
dan data statistik dari perceraian, maka penulis akan melakukan analisa kasus
terkait perceraian terutama pada salah satu daerah di Indonesia untuk mengetahui
seberapa besar angka kasus dan bagaimana dampak serta faktornya. Dengan
demikian, solusi untuk permasalahan ini juga dapat dibuat agar bisa mengurangi
atau memberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dalam
perencanaan perkawinan yang baik saat menemui konflik yang mengarah pada
perceraian.
1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka tujuan dari analisa
kasus ini adalah untuk mengetahui bagaimana kasus perceraian berdasarkan sebab
dan akibat, serta solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahnya.
1.3 Manfaat
Berdasarkan tujuan yang telah dijabarkan, maka manfaat dari analisa kasus
ini untuk menambah wawasan atau pemahaman tentang kasus perceraian
berdasarkan sebab dan akibat, serta solusi yang tepat untuk mengatasi
permasalahnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perkawinan
2.1.1 Definisi Perkawinan
Undang-undang yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia
yaitu UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dapat kita simpulkan
bahwa dalam hubungan perkawinan setiap orang pasti menginginkan
kehidupan rumah tangga yang baik dengan landasan untuk bahagia, kekal,
dan sejahtera.
Menurut Cahyani (2020), perkawinan berasal dari bahasa arab dan
terdiri dari dua kata yaitu Zawwaja serta Nakaha. Zawwaja artinya
pasangan, sedangkan Nakaha artinya menghimpun. Singkatnya dari segi
bahasa perkawinan adalah usaha untuk menghimpun dua orang untuk
bersatu. Dua individu yang dulunya hidup sendiri-sendiri kemudian
dengan perkawinan yang dipertemukan Allah SWT untuk berjodoh
sehingga mereka menjadi pasangan suami istri dan saling melengkapi
kekurangan masing-masing.
Sedangkan menurut Eyo (2018), perkawinan didefinisikan sebagai
kemitraan antara dua anggota lawan jenis yang dikenal sebagai suami dan
istri. Peran dan tanggung jawab suami istri yang terikat perkawinan yaitu
hidup bersama, melakukan hubungan seksual hanya dengan satu sama
lain, berbagi sumber daya ekonomi, dan diakui sebagai orang tua dari
anak-anak mereka. Dalam beberapa budaya, perkawinan menghubungkan
dua keluarga dalam satu set rumit pertukaran properti yang melibatkan
tanah, tenaga kerja, dan sumber daya lainnya. Keluarga besar dan
masyarakat juga memiliki minat yang sama terhadap setiap anak yang
mungkin dimiliki pasangan tersebut

4
5

Perkawinan dalam arti sempit adalah akad yang menghalalkan


hubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan. Sedangkan
perkawinan dalam arti luas adalah akad atau ikatan antara seorang pria dan
seorang wanita untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia, sakinah, mawaddah, dan rahmah (Khoirul Abror, 2017).
2.1.2 Tujuan Perkawinan
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974, tujuan dari perkawinan adalah
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Nasution (2009, seperti yang dikutip oleh Abror 2017),
ada sejumlah ayat yang mengisyaratkan tujuan perkawinan. Apabila dibuat
suatu kesimpulan, maka ditemukan lima tujuan umum. Penetapan tujuan
ini didasarkan pada pemahaman sejumlah nas, ayat Al-Qur’an, dan
Sunnah Nabi SAW, dengan pernyataan:
1. Untuk membangun keluarga yang sakinah
2. Untuk regenerasi, meneruskan keturunan/perkembangbiakan
manusia, dan secara tidak langsung sebagai jaminan eksistensi
agama Islam
3. Untuk pemenuhan aspek biologis (seksual)
4. Untuk menjaga kehormatan diri
5. Sebagai ibadah
2.1.3 Asas-Asas Perkawinan
Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-
Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah hukum (Khoirul Abror,
2017) sebagai berikut:
1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
2. Asas keabsahan perkawinan di dasarkan pada hukum agama
dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan
dan harus di catat oleh petugas yang berwenang
3. Asas monogami terbuka
6

4. Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat
melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri
baik dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan masyrakat
7. Asas pencatatan perkawinan
2.2 Perceraian
2.2.1 Definisi Perceraian
The Oxford Dictionary of Sociology mendefinisikan perceraian
sebagai “pembubaran legal formal dari pernikahan yang dibentuk secara
hukum’. Dengan kata lain, perceraian merupakan pemisahan fisik
permanen dari pasangan (Michael, 2015). Perceraian bisa menjadi
pengalaman yang mengubah hidup keluarga secara keseluruhan; untuk
anak-anak, untuk pasangan, dan untuk keluarga di luar unit inti.
Perceraian adalah suatu peristiwa perpisahan resmi antara suami
dan istri yang bertekad untuk tidak meneruskan tugas dan kewajibannya
sebagai suami istri. Mereka tidak lagi tinggal dan hidup bersama, karena
tidak ada ikatan resmi. Bagi yang telah bercerai tetapi belum memiliki
anak, perpisahan tidak memberikan efek trauma psikologis pada anak.
Namun bagi yang sudah memiliki anak, tentunya perceraian menimbulkan
masalah psiko-emosional bagi anak. Di sisi lain, tidak menutup
kemungkinan anak yang lahir selama mereka hidup sebagai suami istri
akan diikutsertakan oleh salah satu orang tuanya baik mengikuti ayah
maupun ibunya (Dariyo, 2003).
Perceraian merupakan akhir dari kehidupan suami istri yang
mulanya selalu bersama dan melengkapi. Setiap orang tentu menginginkan
perkawinan yang dijalaninya agar tetap utuh sepanjang masa kehidupan.
Akan tetapi, tidak selalu perkawinan tersebut bisa sesuai dengan cita-cita
atau harapan yang dibangun, walaupun sudah diusahakan semaksimal
7

mungkin dengan membinanya secara baik. Pada akhirnya,


ketidakmampuan dalam regulasi membuat mereka terpaksa harus berpisah
dan memilih untuk membubarkan perkawinan (Khoirul Abror, 2017).
2.2.2 Faktor Penyebab Perceraian
Tidak ada asap tanpa api. Hal yang sama berlaku untuk perceraian.
Para agamawan, psikolog, antropolog, ilmuwan medis, sosiolog, dan lain
lain semuanya mengajukan satu alasan atau yang lain sebagai penyebab
perceraian (Eyo, 2018), yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Alasan Keagamaan
Agama diharapkan dapat memberikan stabilitas bagi masyarakat,
tetapi terkadang yang terjadi justru sebaliknya. Agama terkadang bisa
menyebabkan perceraian. Perbedaan agama dari masing-masing suami
istri adalah salah satu konflik yang turut berperan. Karena setiap
agama memiliki prinsip dan aturan tersendiri, maka cukup sulit bagi
pasangan tersebut untuk bersama-sama mencapai tujuannya karena
mereka memiliki cara dan pandangan yang berbeda. Selain itu,
keterbatasan pengetahuan agama yang berkaitan dengan makna
perkawinan sakral dan suci kurang dipahami sebagaimana dalam
agama yang diajarkan.
2. Alasan Ekonomi
Ini tampaknya menjadi salah satu penyebab utama perceraian. The
American Journal of Sociology pernah menerbitkan sebuah penelitian
yang menemukan bahwa suami yang pengangguran dapat menjadi
faktor kunci di balik perceraian (Top Reasons for Divorce, 2014).
Faktanya, kekurangan uang seringkali dapat menyebabkan masalah
perkawinan berkobar menjadi pengajuan perceraian. Pasangan suami
istri yang menghadapi kesulitan keuangan seringkali berada di bawah
banyak tekanan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan
pertengkaran terus-menerus dan kurangnya komunikasi. Pasangan
yang tidak memperhatikan kebiasaan belanja atau salah satu pasangan
yang memiliki dan mengendalikan keuangan rumah dapat menghadapi
8

ketegangan perkawinan sehingga berujung pada perceraian.


Pengelolaan sumber daya ekonomi yang boros oleh pasangan
(kebanyakan istri, meskipun beberapa suami mungkin juga terlibat)
dapat menyebabkan pasangan lain memilih perceraian.
3. Usia Saat Pertama Kali Menikah
Penulis Sosiologi Keluarga, Ebingha E. Enang mengemukakan
bahwa faktor lain yang dapat menyebabkan perceraian dalam
perkawinan adalah usia pertama kali menikah. Mereka yang menikah
untuk pertama kali di usia remaja cenderung bercerai karena
pasangannya biasanya kurang matang secara intelektual dan
emosional.
4. Kekerasan dalam rumah tangga
Dalam kasus di mana kekerasan dijatuhkan pada wanita dalam
pernikahan baik oleh pasangan atau mertuanya, hal itu dapat
menyebabkan perceraian, terutama di usia kesetaraan dan kesetaraan
gender ini. Kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan fisik, seksual,
verbal, ekonomi, emosional, dll.
5. Ketidakcocokan Seksual
Edet A. Ukpong berpendapat bahwa, “ketidakcocokan dalam hal
seksual atau keengganan pasangan untuk melakukan tindakan seksual
untuk jangka waktu yang lama” dapat menyebabkan pasangan lain
mengajukan dan memperoleh perceraian. Hal tersebut sering disebut di
pengadilan sebagai “penolakan hak suami-istri”.
6. Alasan Medis
Masalah kesehatan seperti impotensi dengan akibat tidak memiliki
anak baik pada istri atau suami, penyakit yang berkepanjangan,
kegilaan, HIV/AIDS, dll. dapat menyebabkan perceraian. Infertilitas
khususnya, ditambah dengan tekanan sosial dapat menyebabkan
perceraian.
7. Kecanduan
9

Orang bisa menjadi kecanduan zat, perilaku, atau bahkan orang


lain. Baik itu obat-obatan, perjudian, atau alkohol, kecanduan dapat
menghancurkan kehidupan seseorang. Ketika kecanduan seseorang
mendapatkan lebih banyak kendali, mereka sering menemukan diri
mereka dalam bahaya kehilangan pekerjaan, teman, dan perkawinan
mereka. “Pecandu sering menunjukkan perilaku yang tidak dapat
diterima dalam perkawinan, yaitu berbohong, mencuri, dan
mengkhianati kepercayaan dari pasangan sehingga akibatnya
kecanduan membuat daftar alasan utama mengapa pasangan bercerai,
menurut Henry Gornbein, spesialis hukum keluarga (Top Reasons for
Divorce, 2014).
8. Perubahan Status
Dalam sebuah studi tentang Pola Perilaku Orang dan Masalah
Sosial, dapat diketahui bahwa perubahan status terkadang
mempengaruhi gaya hidup sebagian orang. “Sedikit semangat dapat
membawa teman baru, status sosial, dan akibatnya cara hidup baru”
(Roy, 2006). Dalam beberapa kasus, pasangan yang gagal memenuhi
standar hidup baru dapat diceraikan agar orang tersebut dapat menikah
dengan pasangan baru yang sesuai dengan status baru tersebut. Hal
yang sama mungkin juga berlaku ketika seseorang jatuh dalam status
sosial. Pasangannya mungkin menginginkan perceraian karena merasa
malu.
9. Harapan yang Tidak Direalisasi
Sebelum menikah, mungkin selama pacaran atau sebelum itu,
pasangan memiliki harapan tertentu. Orang datang ke pernikahan
dengan harapan yang berbeda-beda, terkadang menginginkan pasangan
yang akan memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, agama, akademik,
dll. Ketika harapan tersebut tidak terpenuhi, ikatan pernikahan dapat
mengalami perceraian.
2.2.3 Dampak Perceraian
10

Menurut Kurdek (1990) perceraian mengakibatkan kemunduran


emosi (emotional setback). Orang yang bercerai mungkin menyalahkan
diri sendiri atas kemalangan tersebut (perceraian). Indikator kesehatan
mental yang terkena dampak perceraian adalah terkait dengan depresi,
kemarahan, harga diri rendah, dan kecemasan. Perceraian membawa
dampak emosional dan mental pada individu, terutama perempuan. Wanita
dianggap sebagai kekuatan dalam keluarga, diyakini bertanggung jawab
atas kesalahan apa pun yang dilakukan, lebih banyak mengatasi dalam
keluarga, mengambil tanggung jawab lebih besar dalam pernikahan, dan
karena itu perceraian adalah kegagalan yang lebih besar daripada pria.
Perceraian memiliki dampak negatif yaitu pengalaman traumatis
pada salah satu pasangan hidup (laki-laki atau perempuan) dan
ketidakstabilan dalam pekerjaan. Perceraian memiliki dampak negatif pada
kesehatan mental dan fisik (Bronselaer, De Koker, dan Van Peer, 2008;
Zulkarnain & Korenman, 2019). Perceraian dikaitkan dengan peningkatan
risiko kecacatan, masalah kesehatan mental, penurunan kesehatan, dan
kematian (Zulkarnain & Korenman, 2019). Perceraian menimbulkan
perubahan transisional seseorang seperti perubahan tanggung jawab,
memburuknya situasi keuangan, kurangnya dukungan sosial, perubahan
perilaku kesehatan yang sering dianggap sebagai stres (Bronselaer, De
Koker, dan Van Peer, 2008).
Dampak buruk perceraian terhadap kesehatan mental adalah stres,
depresi, dan kecemasan. Depresi adalah keadaan tertekan, karena
kekecewaan besar (kematian, perceraian, kebangkrutan) atau kehilangan
pribadi (kematian kekasih) secara alami menjadi depresi. Jiwanya tertekan
dengan gejala merasa sangat sedih, putus asa, dan kehilangan semangat,
merasa lelah dan letih, tidak nafsu makan, dan susah tidur. Dan juga
mentalnya terganggu, sering termenung dengan pikiran delusi, konsentrasi
berkurang, ketidakpastian, dan kesulitan mengambil keputusan (Dariyo,
2003).
BAB III
ANALISA KASUS

3.1 Pembahasan Kasus


Kasus yang diangkat berjudul “Fenomena Perceraian Dan Perubahan
Sosial: Studi Kasus Di Kabupaten Wonosobo” oleh Mahfudz Junaedi (2018)
dalam Syariati: Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hukum. Menurut artikel jurnal ini,
kasus perceraian di wilayah Kabupaten Wonosobo mengalami peningkatan karena
dipengaruhi oleh adanya transformasi sosial. Tidak hanya itu, ekonomi,
pendidikan, dan keagamaan juga dianggap turut berperan dalam membentuk pola
serta perilaku kehidupan rumah tangga di sana.
Wonosobo secara geografis adalah daerah pegunungan agrarsi yang
masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai petani di desa. Namun, kondisi dan
potensi alamnya ternyata belum memberikan kesejahteraan yang maksimal bagi
warganya. Hal ini disebabkan oleh tanah kering yang masih kurang subur pada
lahannya. Keterbatasan ini menyebabkan masyarakatnya cenderung miskin.
Tingkat pendidikan di sana juga masih rendah sehingga kurang meningkatkan
kesejahteraan mereka dalam bekerja.
Oleh karena itu, beberapa masyarakat di sana kemudian memilih untuk
menjadi buruh atau merantau keluar daerah terutama pada kota kota besar di
Indonesia. Beberapa warganya juga menjadi tenaga kerja di luar negeri untuk
mencari peluang kerja yang lebih baik dan akhirnya terpisah dengan keluarga
masing-masing.
Dampak dari perpisahan ini kemudian membuat keluarga, terutama suami
istri menjadi renggang. Selain itu, ada miskomunikasi dan penyaluran biologis
(hubungan seksual) yang terputus sehingga tidak jarang ada orang ketiga atau
perselingkuhan yang hadir di kehidupan suami istri di sana. Pertengkaran yang
terus terjadi juga akhirnya berujung kepada perceraian.
Lebih jelasnya apabila ditinjau dari kasus pihak ketiga berawal dari suami
yang ditinggal bertahun-tahun oleh istri mereka yang memutuskan untuk menjadi

11
TKW di luar negeri sehingga kebutuhan biologis atau seksual tidak terpenuhi
dalam

12
13

waktu lama. Tidak jarang suami yang ditinggalkan tersebut memilih untuk
mencari selingkuhan atau istri simpanan, bahkan ada yang sampai memiliki anak
hasil dari hubungan tidak resmi tersebut. Suami yang merantau menjadi buruh di
kota-kota besar juga tidak jarang memiliki selingkuhan di kota tempat mereka
bekerja sehingga istri yang ditinggalkan jarang diberi nafkah dan akhirnya
mengajukan gugatan cerai kepada suami.
Selain masalah ekonomi dan orang ketiga, usia perkawinan juga turut
mempengaruhi terjadinya perceraian pada keluarga di Wonosobo. Pertama, yang
usia perkawinannya masih 1-5 tahun, kebanyakan dari mereka memilih untuk
cerai karena belum memiliki persiapan atau perencanaan ekonomi keluarga yang
baik sehingga untuk kesejahteraan keluarga belum tercapai penuh. Kurangnya
rasa tanggung jawab dalam pemberian nafkah juga turut menjadi pendorongnya.
Kedua, pada usia perkawinan 6-10 tahun, hal yang turut mendorong perceraian
pada usia ini yaitu perselingkuhan dengan pihak ketiga, pertengkaran yang terus
terjadi, dan tanggung jawab pemberian nafkah kepada istri atau keluarga yang
tidak optimal.
Selain ketiga permasalahan tersebut, perkawinan usia dini yang
disebabkan oleh pergaulan bebas, hamil diluar nikah, kawin paksa karena tingkat
pengetahuan agama dan pendidikan yang relatif rendah juga turut berperan
terhadap fenomena perceraian di Wonosobo.
Setiap orang tentu menginginkan perkawinan yang dijalaninya agar tetap
utuh sepanjang masa kehidupan. Akan tetapi, tidak selalu perkawinan tersebut
bisa sesuai dengan cita-cita atau harapan yang dibangun, walau sudah diusahakan
semaksimal mungkin agar bisa membinanya secara baik. Pada akhirnya,
ketidakmampuan dalam regulasi membuat mereka terpaksa harus berpisah dan
memilih untuk membubarkan perkawinan (Khoirul Abror, 2017). Pendapat ini
sesuai dengan keadaan dari suami istri yang berada di Wonosobo karena menurut
pernyataan peneliti berdasarkan studi lapangannya, dijelaskan bahwa mereka
diberikan masa iddah atau masa tunggu apabila suami istri ingin rujuk kembali.
Namun, kesempatan yang diberikan ini tidak mereka ambil dan perceraian
menjadi jalan atau solusi terakhir bagi permasalahan mereka. Hal ini
14

menunjukkan bahwa berbagai konflik yang menjadi pendorong bagi perceraian


mereka sudah tidak bisa diusahakan agar bisa terbangun atau terbina kembali
dengan baik.
Berdasarkan literatur dari Eyo (2018), kasus perceraian suami istri di
Wonosobo dapat ditinjau dari empat faktor yaitu alasan keagamaan, alasan
ekonomi, usia saat pertama kali menikah, dan harapan yang tidak direalisasi.
Pertama adalah alasan keagamaan, yaitu makna perkawinan sakral dan
suci kurang dipahami sebagaimana dalam agama yang telah diajarkan. Hal ini
dapat dijelaskan dari perselingkungan yang dilakukan suami saat istrinya tengah
keluar kota atau keluar negeri untuk bekerja. Sedangkan menurut Eyo (2018),
salah satu peran dan tanggung jawab suami istri sendiri yang terikat perkawinan
seharusnya untuk hidup bersama dan melakukan hubungan seksual hanya dengan
satu sama lain. Hal ini sejalur dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa seorang pria
hanya boleh memiliki seorang istri. Begitupula dengan wanita yang hanya boleh
memiliki seorang suami. Aturan tersebut kemudian disebut dengan asas
monogami terbuka.
Kedua adalah alasan ekonomi, suami istri yang menghadapi kesulitan
keuangan seringkali berada di bawah banyak tekanan, yang pada gilirannya dapat
menyebabkan pertengkaran terus-menerus dan kurangnya komunikasi. Pada kasus
di Wonosobo, karena kesejahteraan ekonomi sulit dicapai maka akhirnya mereka
memilih untuk bekerja di luar Wonosobo demi mendapatkan pekerjaan yang lebih
menjanjikan. Namun, komunikasi dan kesetiaan pun menjadi taruhannya.
Perpisahan ini berakibat pada miskomunikasi serta kerenggangan dan berujung
pada perceraian.
Ketiga adalah usia saat pertama kali menikah, mereka yang menikah untuk
pertama kali di usia remaja cenderung bercerai karena pasangannya biasanya
kurang matang secara intelektual dan emosional. Dalam kasus di Wonosobo
disebutkan bahwa perkawinan usia dini terjadi karena disebabkan oleh pergaulan
bebas dan kebanyakan berakhir pada perceraian. Kebanyakan dari mereka juga
15

memilih untuk cerai karena belum memiliki persiapan atau perencanaan ekonomi
keluarga yang baik sehingga untuk kesejahteraan keluarga belum tercapai penuh.
Keeempat adalah harapan yang tidak direalisasi, orang memilih untuk
menetapkan perkawinan dengan harapan yang berbeda-beda. Terkadang
menginginkan pasangan yang akan memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, agama,
akademik, dll. Ketika harapan tersebut tidak terpenuhi, ikatannya dapat
merenggang dan berakhir mengalami perceraian. Dalam kasus di Wonosobo,
setiap istri di sana mengharapkan bahwa suaminya dapat memenuhi kesejahteraan
keluarga dengan memberikan nafkah yang tepat. Akan tetapi, pada beberapa
pasangan suami mereka kurang bertanggung jawab dalam pemberian nafkah
sehingga menyebabkan konflik dan kemunduran.
3.2 Solusi Permasalahan
Dengan berfokus pada ilmu psikologi, maka ditetapkan bahwa solusi yang
sesuai untuk kasus di Wonosobo dapat dijelaskan melalui psikoedukasi. Menurut
Ekhtiari dkk (2017) konsep psikoedukasi adalah melakukan terapi dengan
memberikan informasi, secara sistematis menyampaikan pengetahuan terpadu dari
aspek emosional dan motivasi. Psikoedukasi adalah proses berbagi informasi yang
akurat dengan individu dan sistem pendukungnya, biasanya dengan cara yang
terorganisir dan metodis dengan menggambarkan rencana intervensi untuk
perilaku bermasalah atau penyakit kejiwaan. Tujuannya termasuk untuk
menghilangkan mitos dan informasi yang salah tentang kesehatan mental,
mengajarkan klien mekanisme yang mendasari atau mempertahankan dan lintasan
gejala kesehatan mental, mengeksplorasi pilihan pengobatan individual,
melakukan diskusi jujur tentang efek pengobatan, dan mendorong pemberdayaan.
Melalui pemahaman ini, praktisi berusaha untuk meningkatkan kemungkinan
kepatuhan intervensi, membantu klien memberikan lebih banyak persetujuan
untuk layanan, dan mengembangkan bahasa yang sama untuk masalah dan solusi.
Selain memberikan informasi dan motivasi, psikoedukasi juga dapat membantu
klien mengembangkan metakognisi, atau kesadaran diri akan fungsi dan
kebutuhan mereka sendiri.
16

Psikoedukasi yang dapat diberikan misalnya mengenai variabel


manajemen konflik dalam rumah tangga. Rachmadani (2003) menjelaskan bahwa
manajemen konflik perkawinan adalah kemampuan pasangan suami istri dalam
mengelola berbagai konflik yang mereka alami dengan cara yang sesuai dan tepat
berdasarkan permasalahannya sehingga tidak memberikan dampak negatif
terhadap kesehatan jiwa serta keharmonisan keluarga. Walgito (2004) juga
menjelaskan bahwa manajemen konflik perkawinan adalah kemampuan yang
dilakukan saat pasangan suami istri menemui konflik yang mengancam
perkawinan mereka dengan cara yang logis sehingga konsekuensi negatif pada
keharmonisan hubungan rumah tangga bisa dihindari. Menurut Robbins dan Judge
(2017), manajemen konflik merupakan perilaku konstruktif yang direncanakan,
diorganisasikan, digerakkan dan dievaluasi secara teratur demi mengakhiri
konflik. Manajemen konflik sebaiknya dilakukan sejak konflik pertama kali mulai
tumbuh.
Dengan adanya variabel manajemen konflik yang dijelaskan, maka
harapannya warga di Wonosobo baik itu yang sudah berumah tangga maupun
yang tidak bisa menemukan perencanaan dan evaluasi yang baik demi kebaikan
perkawinan mereka. Salah satu manajemen yang dapat dilakukan misalnya adalah
kolaborasi. Menurut Robbins dan Judge (2017) kolaborasi atau pemecah masalah,
merupakan manajemen dengan mencari solusi secara integratif apabila
kepentingan kedua belah pihak terlalu penting untuk dikompromikan. Gaya ini
cenderung lebih suka menciptakan situasi yang memungkinkan agar tujuan dapat
dicapai. Mencari solusi agar dapat diterima semua pihak, tujuan pribadi juga
tercapai sekaligus hubungan dengan orang lain menjadi lebih baik.
Warga di Wonosobo dapat diarahkan untuk memikirkan kembali tujuan
mereka saat memutuskan untuk menikah. Mereka dapat diberikan psikoedukasi
bahawa sebagai pasangan suami istri yang telah mengikat janji harapannya dapat
berintegrasi untuk mencari jalan keluar dari permasalahan dengan tetap
berlandaskan asas-asas dan tujuan perkawinan bahwa ada keseimbangan hak dan
kewajiban antara suami dan istrri baik dalam kehidupan rumah tangga dan
17

kehidupan masyarakat dan mendapat keturunan yang baik dan sehat sehingga
tidak berpikir untuk memilih perceraian.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Dariyo. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT


Gramedia Widiasarana.

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2022). Catalog : 1101001. STATISTIK


INDONESIA 2022 Statistical Yearbook of Indonesia 2022, 1101001, 790.
https://www.bps.go.id/publication/2020/04/29/e9011b3155d45d70823c141f/
statistik-indonesia-2020.html

Bronselaer, JLJ, De Koker, BSM, & Van Peer, CMA. (2008). The impact of
divorce on the health status of ex-partners. Archives of Public Health, 66,
168–186.

Cahyani, Tinuk Dwi. (2020). Hukum Perkawinan. Malang: UMM Press

Ekhtiari, H., Rezapour, T., Aupperle, R. L., & Paulus, M. P. (2017).


Neuroscience-informed psychoeducation for addiction medicine: A
neurocognitive perspective. Progress in brain research, 235, 239-264.

Eyo, U. E. (2018). Divorce: Causes and Effects on Children. Asian Journal of


Humanities and Social Studies, 6(5), 172–177.
https://doi.org/10.24203/ajhss.v6i5.5315

Indonesia, R. (1974). Undang-Undang Tentang Perkawinan. Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1985 Tentang Jalan,
2003(1), 2.

Iqbal, Muhammad. (2018). Psikologi Pernikahan Menyelami Rahasia


Pernikahan. Depok: Gema Insani

18
Junaedi, M. (2018). Fenomena Perceraian Dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Di
Kabupaten Wonosobo. Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hukum, 4(1),
83–104.

Kastowo, Wolfgang Bock. (2019). Hidup Keluarga Bahagia Psikologi


Perjalanan Hidup. Yogyakarta: PT Kanisius

Khoirul Abror. (2017). Hukum Perkawinan dan Perceraian Akibat Perkawinan


Campuran. Yogyakarta: Ladang Kata.

Kurdek, L. A. (1990). Divorce history and self-reported psychological distress in


husbands and wives. Journal of Marriage and the Family, 52(3), 701–
708. https://doi.org/10.2307/352935

Lestari, Sri. (2016). Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanaman


Konflik Dalam Keluarga. Jakarta: Prenada Media

Michael, E. M. (2015). A study on the psychological well-being and quality of life


of divorced Muslim women. Kottayam, Kerala: Mahatma Gandhi University.
doi:10.603/42079

Rachmadani, C. (2013). Strategi komunikasi dalam mengatasi konflik rumah


tangga mengenai perbedaan tingkat penghasilan di RT. 29 Samarinda
Seberang. eJournal Ilmu Komunikasi. 1(1), 212–227.

Robbins, Steppen P, dan Judge, Timothy, (2017), Organizational Behaviour,


England: Pearson Education Limited

Roy, R. E. (2006). Behavioural Pattern and Social Problems. New York:


Reformed and Presbyterian Publishing.

Silalahi, K., & Meinaro, E. A. (2010). Psikologi Keluarga. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

19
Sururie, R. W., & Yuniardi, H. (2018). Perceraian Dalam Keluarga Muslim Di
Jawa Barat. Jurnal Kajian Hukum Islam, 12(2), 264–280.

Top Reasons for Divorce. (2014, June 26). Retrieved from Love To Know:
http://divorce.lovetoknow.com/Top_Reasons_for_Divorce

Walgito, B. (2004). Bimbingan & Konseling Perkawinan. Yogyakarta: AndiOffset

Zulkarnain, A., & Korenman, S. (2019). Divorce and health in middle and older
ages. Review of Economics of the Household, 17(4), 1081–1106.
https://doi.org/10.1007/s11150-018-9435-z

20
LAMPIRAN

21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43

Anda mungkin juga menyukai