Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN DAN PERKAWINAN

Makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat

Dosen pengampu :

Khurul Anam, M.H.I

Disusun Oleh:

A’immatur Rosidah (201955020400835)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB

UNUVERSITAS NAHDLATUL ULAMNA SUNAN GIRI

2021/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan atas ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan kasih
sayang, kesehatan, dan petunjuk-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum
Hukum Adat ini dengan judul “Hukum Adat Kekeluargaan dan Perkawinan”

Dalam menyusun makalah ini kami telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan
sesuai dengan harapan kami semua, walaupun dalam membuat makalah ini kami mengalami
kesulitan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki. Oleh
karna itu, kami mengucapkan terimakasih kepada Khurul Anam, M.H.I selaku dosen
pembimbing mata kuliah Hukum Adat. Dan juga kepada teman-teman yang telah memberikan
dukungan dan dorongan kepada kami.

Kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi. Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah
pengetahuan para pembaca.

Bojonegoro, 06 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ...........................................................................................................................i

KATA PENGANTAR .....................................................................................................ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1

A. LatarBelakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan .............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................2

A. Hukum Adat Kekeluargaan................................................................................2


B. Hukum Adat Perkawinan .................................................................................9

BAB III PENUTUP .........................................................................................................16

A. Kesimpulan .....................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari
seorang ayah, ibu dan anak. Bagi pasangan yang merasa telah siap secara lahir dan
batin untuk berumah tangga, maka mereka akan segera menikah agar sesegera
mungkin dapat mewujudkan impian membentuk suatu keluarga baru. Setiap keluarga
yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia,
damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk
keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Dari kehidupan suami istri di dalam suatu
ikatan perkawinan tersebut akan berakibat yang penting dalam masyarakat yaitu
apabila mereka dianugerahi keturunan, dengan keturunannya mereka bisa membentuk
suatu keluarga sendiri.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan
tanggung jawab, si istri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykologis yang
berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan.
Namun bagaimana sebenarnya pandangan hukum adat mengenai
kekeluargaann dan perkawinan?. Oleh karena itu dengan adanya makalah ini dapat
menjadi jendela ilmu untuk mengetahui hukum adat dalam memandang kekeluargaan
dan perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum adat kekeluargaan yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana hukum adat perkawinan yang berlaku di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui seputar hukum adat kekeluargaan yang berlaku di Indonesia
2. Untuk mengetahui seputar hukum adat perkawinan yang berlaku di Indonesia

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Adat Kekeluargaan


1. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan
Secara umum, Hukum adat kekeluargaan adalah hukum adat yang mengatur
tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai aggota keluarga,
kedudukan anak dengan orang tua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap
keluarga dan sebaliknya masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat
kekeluargaan mengatur tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah
(sekuturunan) pertalian perkawinan dan perkawinan adat.
Menurut Djaren Saragih, Hukum keluarga adalah sekumpulan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang ditimbulkan oleh
hubungan biologis (Djaren Saragih, 1980, h.123). Dari pendapat Djaren Saragih
memberikan pemaparan bahwa akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan
biologis akan beraneka ragam tergantung dari bentuk perkawinan yang dilakukan
oleh pria dan wanita atau orang tua mereka. Apabila hubungan biologis yang
dilakukan oleh seorang pria dan wanita tanpa dilakukan secara sah maka anak-
anak yang lahir dari hubungan tersebut akan menjadi anak tidak sah. Hal seperti
ini akan menjadi berbeda apabila hubungan biologis itu dilakukan secara saah
maka anak-anak yang dilahirpun akan menjadi anak-anak yang sah.1
2. Sistem Kekeluargaan di Indonesia
Pada prinsipnya di seluruh Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem kekeluargaan,
yaitu cara melihat atau menarik keturunan sehingga dapat diketahui dengan siapa
seseorang itu mempunyai hubungan hukum kekeluargaan atau keturunan siapa
mereka serta dapat pula diketahui batas-batas hubungan tersebut.
Adapun ketiga cara menarik garis keturunan itu di indonesia antara lain :
a. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis laki-laki saja (garis patrilinial),
seperti pada masyarakat suku Batak, Nias, Sumba, Bali.

1
http://aisannisanurulfitri.blogspot.com/2017/04/makalah-hukum-adat-kekeluargaan.html. Diakses pada
tanggal 06 April 2022 pukul 14.22 WIB
2
b. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis wanita (ibu) saja (garis
matrilinial), seperti masyarakat suku minangkabau.
c. Keturunan yang dilihat baik garis laki-laki maupun garis wanita (garis
keturunan yang bersifat parental), seperti suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak dan
lain-lain.

Perbedaan sistem kekeluargaan seperti tersebut diatas hanyalah


berfungsi untuk menunjukkan adanya suatu perbedaan kadar hubungan
kekeluargaan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya yang ada
antara kedua belah pihak yaitu garis bapak dan garis ibu, tetapi antara
hubungan kedua belah pihak itu tidak terputus sama sekali.

Sebagai contoh : masyarakat hukum adat di Bali yang menganut sistem


kekeluargaan patrilinial yang menghitung garis keturunan melalui garis ayah,
walaupun perkawinannya mungkin berbeda kasta tetap saja hubungan dengan
keluarga ibu juga dijaga. Hanya saja porsi hubungan itu lebih tinggi kekeluarga
ayah dari pada kekeluarga ibu apalagi dalam peristiwa-peristiwa yang penting
seperti dalam upacara dan upacara “Pitra Yadnya”.

Hal Itu berarti keluarga dari pancar laki-laki lebih utama dari keluarga
pancar wanita kecuali keluarga dari pancar laki-laki sudah tidak ada lagi,
barulah keluarga dari pancar wanita mendapat perhatian baik mengenai
penerimaan warisan maupun pemeliharaan anak. Dalam masyarakat yang
berhukum kekeluargaan patrilinial pada umumnya terdapat cara perkawinan,
dimana si wanita sesudahnya kawin akan tinggal pada kelompok keluarga
suami, demikian pula si anak masuk golongan keluarga (clan) bapaknya.
Sebagai corak kedua dalam susunan kekeluargaan di Indonesia pada umumnya
yang bersifat “klasifikatoris”, artinya bahwa seluruh generasi dari bapak (dan
ibu), seorang anak dari beberapa hal mempunyai kedudukan yang sama dengan
bapak serta ibunya, tanpa memperhatikan umur yang bersangkutan (Gde
Panetja, 1986, h.41).2

2
Anak Agung Istri Ariatu Dewi, dkk. “Bahan Ajar Hukum Adat Lanjutan “. Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 2016. 32

3
3. Keturunan
Berdasarkan pendapat dari Surojo Wignyodipuro yang dimaksud dengan
keturunan adalah ketunggalan leluhur, yang artinya ada perhubungan darah antara
orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari
yang lain (Surojo Wignyodipuro, 1979, h,128). Sedangkan menurut T I P. Astiti,
Cs : dikatakan bahwa keturunan itu adalah orang-orang laki dan perempuan yang
mempunyai hubungan darah dengan orang yang menurunkannya (T.I.P. Astiti, Cs,
1984, h.2). Dari kedua pendapat tersbut dapat dikatakan bahwa keturunan adalah
merupakan unsur yang mutlak harus ada jika satu keluarga tidak menginginkan
dirinya dikatakan tidak ada generasi penerusnya.
Menurut sifatnya, Keturunan dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Keturunan menurut garis lurus keatas dan kebawah, maksudnya adalah


keturunan langsung keatas yaitu apabila rangkaiannya dilihat dari bawah
keatas yaitu dari : anak, bapak, kakek. Sedangkan sebaliknya apabila
rangkaian itu dilihat dari atas kebawah yang disebut lurus kebawah yaitu dari
: kakek, bapak, anak.
b. Keturunan menurut garis menyimpang, menyamping atau bercabang yaitu :
apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur,
yang disebut dengan “sepupu”.
c. Hubungan darah antara seseorang dengan orang lainnya.
Menurut T.I.P. Astiti, dapat pula dilihat dari jauh dekatnya hubungan
tersebut, karena jauh dekatnya hubungan darah ini akan membawa akibat hukum
yang berbeda. Jadi harus dibedakan antara hubungan darah yang sangat dekat
dengan hubungan darah yang cukup dekat. Terhadap hubungan darah yang sangat
dekat mengakibatkan adanya larangan yang sangat mutlak bahwa diantara
mereka ada larangan perkawinan, seperti antara : bapak dengan anak atau antara
kakek dengan cucunya, atau antara saudara kandung.
Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah cukup jauh secara
relatif masih dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan. Dan mereka yang
mempunyai hubungan darah yang jauh, diantara mereka sudah tidak ada lagi
istilah untuk menyebutkan hubungan itu (T.I.P. Astiti, Cs, 1984, h.3).

4
Selain ada istilah melihat garis keturunan melalui sifat-sifatnya, maka
keturunan dapat pula dilihat melalui derajat atau tingkatannya yang disebut
dengan derajat keturunan. Hal ini juga untuk menentukan jauh dekatnya
hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang akan bermanfaat
dalam menentukan siapa yang akan muncul sebagai ahli waris pertama apabila
ada seseorang yang meninggal, apakah dia berada pada derajat I (anak), pada
derajat II (kakek), pada derajat III (cucu). Dan seterusnya.
Dalam hal ini keturunan mempunyai arti penting agar selalu dilestarikan,
beberapa diantaranya yaitu:
a. Sebagai penerus generasi sehingga seseorang tidak dikatakan punah.
b. Merupakan harapan dan tujuan dari setiap perkawinan.
c. Sebagai ahli waris apabila ada yang meninggal.
d. Wadah atau tempat orang tua atau keluarga berharap dan berlindung.
e. Melalui keturunan dapat dibuat ssisilah keluarga yang akan memberikan
gambaran dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang atau suami istri,
baik yang lurus keatas maupun kebawah, menyimpang, menyamping
baupun bercabang.
f. Berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah
diantara mereka ada hubungan darah dekat yang merupakan larangan untuk
mereka kawin (menjadi suami-istri), misalnya adik dengan kakak
sekandung.3
4. Jenis-Jenis Anak
a. Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah orang tuanya.
Yang dimaksud dalam kelompok anak yang demikian adalah :
1) Anak kandung.
2) Bukan anak kandung, meliputi : anak angkat, anak tiri dan anak piara.
b. Anak tidak sah anak luar kawin (natuurlijk kind) atau anak alam, yaitu anak
yang dilahirkan dari hubungan perkawinan yang tidak pernah disahkan.
Sebagai konsekwensi dari kedudukan anak yang demikian menurut hukum
adat mereka hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja. Dalam
UU No.1 Tahun 1974, anak tidak sah hanya mempunyai hubungan
keperdataan saja dengan ibu dan keluarga ibu. Berbeda halnya dalam hukum

3
Ibid 33.
5
barat, yang perlu mendapatkan pengakuan terlebih dahulu dari ibu maupun
laki-laki yang mengawini ibunya. Anak luar kawin disebut dengan “anak
bebinjat atau anak haram”.
5. Hubungan Hukum Antara Anak dan Orang Tua
Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya dikatan ada, apabila pada
waktu anak tersebut lahir, orang tuanya ada dalam perkawinan yang sah.
Pekawinan yang sah baik menurut hukum adat maupun Undang-Undang No.1
Tahun 1974 apabila perkawinan itu telah dilangsungkan menurut hukum agama
dan kepercayaannya seperti dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.
Pada umumnya terdapat suatu hubungan hukum berdasarkan atas hubungan
antara orang tua dengan anak-anaknya. Akibat hukum yang timbul dari adanya
hubungan hukum itu adalh beraneka ragam, tergantung dari bentuk perkawinan
orang tuanya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang sah wajib dipelihara
oleh orang tuanya. Dan dalam pemeliharaan itu orang tua tidak membedakan jenis
kelamin dari anak-anaknya baik yang laki maupun perempuan, anak tertua maupun
terkecil sama-sama dipelihara oleh ayah dan ibu mereka. Hubungan hukum antara
anak dengan orang tua sudah dimulai sejak si anak masih berada dalam
kandungan, kemudian lahir, hidup menjadi dewasa sampai kemudian kawin. Dan
hubungan ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara dan upakara yang dilakukan
terhadap si anak dan juga memelihara orang tua yang sudah tidak mampu bekerja
lagi.
Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan hukum antara anak dengan orang
tua secara umum akan menimbulkan hak dan kewajiban antara anak dengan orang
tua secara bertimbal balik. Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya antara
lain: memelihara dan mendidiknya, menjamin kesejahteraannya sesuai dengan
kemampuan orang tua. Seperti, upacara perkawinan dan lain sebagainya dan juga
memberikan pembagian warisan (kalau punya harta warisan). Dan si anak berhak
memakainama keluarga bapaknya. Sebaliknya orang tua mengharapkan dari anak-
anaknya antara lain mengenai :
a. Sebagai penegak dan penerus generasinya.
b. Menggantikan kedudukan orang tua.
c. Memberikan nafkah dan memelihara orang tua kalau sudah tidak mampu lagi.

6
Sebagai akibat hukum atau konsekwensi adanya hubungan hukum antara orang
tua dengan anak adalah :
a. Adanya larangan kawin diantara mereka. Karena apabila ketentuan ini
dilanggar maka akan timbul adanya delik adat dan pelakunya akan dijatuhi
reaksi dan koreksi adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku di desa masing-
masing.
b. Berhak memakai nama keluarga bapaknya.
c. Berhak sebagai ahli waris.
d. Timbul hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak (alimentasi).
Hubungan antara anak dengan orang tua dapat putus dalam hal anak dipecat
sebagai anak karena dianggap durhaka terhadap orang tua. Akibatnya si anak
dapat tidak diberikan hak untuk mewaris.4
6. Hubungan Hukum Antara Anak dengan Kerabat Orangtuanya
Dalam sistem kekeluargaan yang bersifat patrilinial, maka hubungan antara
anak dengan kerabat ayahnya, lebih erat dan lebih penting daripada hubungan
dengan kerabat ibunya penentuan hubungan kekeluargaan ini di dasarkan atas
adanya ketunggalan leluhur atau “kawitan” karena garis kebapaan. Disamping itu
dapat pula ditentukan hubungan kekeluargaan berdasarkan garis ibu, yang timbul
karena perkawinan.
Hubungan anak dengan leluhurnya yang dihitung lurus ke atas dapat
disebutkan dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut: 1. Anak, 2. Ayah, 3.
Kakek, 4. Buyut, 5... dst. Sedangkan hubungan kekeluargaan kesamping dapat
disebut dengan tingkatan-tingkatan seperti : 1. Sepupu dan sebutan lainnya.
Adanya hubungan kekeluargaan ini juga berperan untuk menentukan ada dan
tidaknya larangan perkawinan, seperti larangan perkawinan antara mereka yang
masih ada hubungan darah yang sangat dekat misalnya antara anak dengan
bibinya.
Hubungan kekeluargaan antara anak dengan kerabat ibunya tidak menimbulkan
adanya hubungan dalam hal waris. Karena itulah yang menyebabkan si anak tidak
mempunyai kewajibanhukum pada kerabat ibunya
7. Perwalian Anak

4
http://aisannisanurulfitri.blogspot.com/2017/04/makalah-hukum-adat-kekeluargaan.html. Diakses pada
tanggal 06 April 2022 pukul 14.22 WIB
7
Perwalian dapat terjadi apabila, kedua orang tua dari anak itu telah meninggal
dunia dan anak itu belum dewasa. Jika kedua orang tuanya meninggal, anak
menjadi yatim-piatu, dan anak-anak tidak lagi dibawah kekuasaan orang tuanya,
mereka akan berada dalam perwalian. Perwalian akan terjadi dengan
sendirinya, bahwa sesudah kematiannya perwalian itu tidak karena hukum atau
berdasarkan ketetapan hakim beralih menjadi beban orang tua lainnya (disebut
perwalian testamenter). Jika baik dengan cara yang satu maupun dengan cara yang
lain tidak ada seorang wali, wali itu lantas diangkat oleh hakim (disebut perwalian
oleh pihak ketiga atau perwalian datif). Seperti kekuasaan orang tua, pewalian itu
tidak hanya memberikan hak hak saja teapi ia membebani kewajiban kewajiban
juga. Pelaksanaan kewajiban kewajiban ini dikontrol oleh wali pengawas.
Perwalian dibedakan menurut cara seseorang itu menjadi wali. Pertama itu
dapati perwalian yang diperoleh seseorang karna hukum, hal mana
disebut perwalian menurut undang-undang, dengan jalan demikian, perwalian itu
diperoleh oleh orangtua yang paling lama tinggal hidup dari seorang anak sah oleh
ibu dari seorang anak luar kawin.
a. Masyarakat Matrilineal
Jika salah satu orang tuanya meninggal dunia maka orang yang masih hidup
memelihara anak, tetapi jika kedua orang tuanya meninggal dunia perwalian
akan jatuh kepada pihak kerabat ibu.
b. Masyarakat Patrilineal
Jika bapak meninggal dunia maka ibunya meneruskan memelihara anak anak
dalam lingkungan keluarga bapak. Jika kedua orang tua meninggal,
pemeliharaan berada di tangan kerabat pihak bapak.
c. Masyarakat Bilateral
Jika salah satu tidak ada lagi karena meninggal, pemeliharaan dilakukan oleh
salah satu orang tua yang masih hidup. Jika kedua orang tua meninggal dunia
maka kerabat kerabat terdekat dari salah satu pihak wajib mengurus dan
memelihara anak anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
8. Pengangkatan anak (Adopsi)
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang
lain ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang
memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan
8
yang sama seperti yang ada antar orang tua dengan anak kandung sendiri. Dilihat
dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dicatat adanya pengangkatan
pengangkatan anak yang berikut :
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga
Anak itu diambil dari lingkungan asalnya kemudian dimasukkan ke dalam
keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat.Lazimnya tindakan
ini disertai dengan penyerahan barang barang atau sejumlah uang kepada
keluarga anak semula. Kedudukan dari anak yang diangkat demikian ini
adalah sama dengan anak kandung daripada suami-isteri yang mengangkat ia,
sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat
menjadi putus.
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga
Di Bali perbuatan ini disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari
salah satun clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang
disebut purusa, tetapi akhir akhir ini dapat pula anak diambil dari luar clan
tersebut. Bahkan di beberapa desa dapat pula diambil anak dari lingkungan
keluarga isteri (pradana).
c. Mengangkat anak dari kalangan keponakan keponakan
Perbuatan ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi. Mengangkat keponakan
menjadi anak itu sesungguhnya merupakan pergeseran hubungan
kekeluargaan dalam lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan
ini tanpa disertai dengan pembayaran pembayaran uang ataupun penyerahan
penyerahan sesuatu barang kepada orang tua anak yang bersangkutan yang
pada hakikatnya masih saudara sendiri dari orang yang memungut anak.
B. Hukum Adat Perkawinan
1. Pengertian Hukum Adat Perkawinan
Perkawinan adat adalah ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang
bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya kehidupan
persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat.
Van Gennep menamakan semua upacara perkawinan sebagai “Rites De
Passage”upacara peralihan yang melambangkan peralihan status dari masing-masing
mempelai yang tadinya hidup sendiri sendiri berpisah setelah melampaui upacar yang
disyaratkan menjadi hidup bersatu sebagai suami istri, merupakan somah sendiri,
9
suatu keluarga baru yang berdiri serta mereka bina sendiri. Rites De Passage upacara
peralihan tersebut terdiri atas tingkatan, yaitu:
1. Rites De Separation yaitu upacara perpisahan dari status semula.
2. Rites De Marga yaitu upacara perjalanan kestatus yang baru.
3. Rites D’agreegation yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.
Dalam hukum adat, perkawinan bukan merupakan urusan pribadi dari orang
yang melakukan perkawinan, tetapi juga menjadi urusan keluarga, suku, masyarakat,
dan kasta. Perkawinan berarti pemisahan dari orang tuanya dan untuk seterusnya
melanjutkan garis hidup orang tuanya. Dalam suku, perkawinan merupakan suatu
usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya suku tersebut dengan tertibnya. Dalam
masyarakat persekutuan, perkawinan merupakan sutu peristiwa penting yang
mengakibatkan masuknya warga baru yang ikut mempunyai tanggung jawab penuh
terhadap persekutuannya. Dalam kasta, perkawinan adalah peristiwa penting, karena
kasta dalam masyarakat dahulu sering mempertahankan kedudukannya dengan
mengadakan tertib perkawinannya sendiri.
Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat
hukum ini telah ada sejak sebelum adanya perkawinan, misalnya adanya hubungan
pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan
“rasan Tuha” (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah
terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termasuk
anggota keluarga/kerabat menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan
upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan,
keutuhan, dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam
perkawinan.
Oleh karena itu, perkawinan adat memiliki arti yang penting masyarakat dan
disertai dengan upacara-upacara adat, agar kedua mempelai bahagia mengarungi hidup
berkeluarga sampai akhir hayatnya. Upacara-upacara yang dilakukan melambangkan
adanya perubahan satus hidup berpisah dengan keluarga induk dan membentuk
keluarga yang baru. Prosesi kegiatan dalam perkawinan adat yang telah dilakukan
secara terus menerus sehingga menjadi suatu hukum perkawinan adat.
2. Asas-Asas dalam Hukum Adat Perkawinan
a. Asas keadatan dan Kekerabatan
10
Perkawinan dalam hukum adat bukan sekedar mengikat secara individual, akan
tetapi juga mengikat masyarakat adat dalam arti masyarakat komunal punya
tanggung jawab dalam urusan perkawinan warganya. Oleh itu, perkawinan dalam
hal ini sangat ditentukan kehendak kerabat dan masyarakat adat. Kehendak yang
dimaksud ialah mulai dari pemilihan pasangan, persoalan jujur dan persoalan-
persoalan lainnya. Asas inilah sebenarnya yang mendasari dari asas-asas
perkawinan dalam hukum adat 5
b. Asas Kesukarelaan/Persetujuan
Dalam hukum adat calon mempelai tidak mempunyai otoritas penuh untuk
menyatakan kerelaan/persetujuan perkawinan. Perkawinan harus didasarkan pada
persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak
kedudukan suami atau istri yang tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.
Pelanggaran terhadap asas ini dapat dikenakan sanksi dikeluarkan dari lingkungan
kekerabatan masyarakat adat, terlebih dalam masyarakat adat yang masih kental
6
system kesukuaannya seperti masyarakat adat Nusa Tenggara Timur.
c. Asas Partisipasi Kerabat dan masyarakat Adat.
Dalam perkawinan, partisipasi orang tua beserta kerabat dan masyarakat
adat sangatlah besar artinya. Partisipasi ini dimulai dari pemilihan calon
mempelai, persetujuan sampai pada kelanggengan rumah tangga mereka, secara
langsung ataupun tidak langsung orang tua beserta kerabat punya tanggung jawab
moral terhadapnya. 7
d. Asas Poligami
Asas poligami dalam masyarakat adat sudah menjadi tradisi. Tidak sedikit
adat raja-raja, adat bangsawan baik yang beragama hindu, Budha, Kristen dan
Islam mempunyai istri lebih dari satu bahkan puluhan. Masing-masing istri
yangdipoligami tersebut mempunyai kedudukan yang berbeda satu sama lain
berdasarkan struktur hukum adat setempat. Walaupun demikian, seiring dengan
perkembangan jaman dan lemahnya institusi adat serta perkembangan iklim
hukum nasional, praktek poligami dalam masyarakat adat sudah mulai
ditinggalkan, kalaupun ada menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang

5
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2016). 52
6
Ibid 52
7
Ibid 53
11
terdapat dalam agama. Dengan demikian, poligami dalam hukum adat sudah
teresepsi dalam hukum lainnya yang lebih kuat. 8
e. Asas Selektivitas
Asas selektivitas dalam hukum adat, pada pembahasan ini diarahkan pada
proses dan siapa yang berhak menentukan calon mempelai. Seperti yang sudah
dijelaskna di atas bahwa dalam hukum adat, orang tua, kerabat dan masyarakat
adat sangat berpengaruh dalam pemilihan calon mempelai. Dengan demikian,
proses memilih calon mempelai mempunyai sedikit banyak peran yang ditentukan
oleh orang tua beserta kerabat. Dalam proses pemilihan calon mempelai,
diarahkan pada jenis perkawinan yang dikehendaki dan menghindari perkawinan
yang dilarang. 9
3. Bentuk-Bentuk Perkawinan
a. Bentuk Perkawinan berdasarkan persiapan
1) Pertunangan
Tahap ini dilakukan awal kali pertemuan setelah ada persetujuan antara kedua
belah pihak (pihak keluarga pihak suami dan pihak keluarga bakal Istri) untuk
mengadakan perkawinan, dan mempunyai sifat yang mengikat. Tujuan dari
pertunangan ini adalah untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak dan
menjamin perkawinan akan berlangsung dalam waktu dekat.
2) Tanpa lamaran dan tanpa pertunangan
Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan
pertunangan. Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam
persekutuan yang bersifat patrilineal. Namun dalam matrilineal dan patrilineal
(garis ibu-bapak) juga ditemukan walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah
Lampung, Kalimantan, Bali, Sulawesi Selatan. Mereka mempunyai tujuan
tersendiri diantaranya yaitu secara umum untuk membebaskan diri dari
pelbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dan pertunangan seperti
memberi hadiah.
b. Bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan
1) Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal (garis keturunan ibu). Setelah
kawin, suami tetap masuk pada keluarganya sendiri. Pada prosesnya calon

8
Ibid 54
9
Ibid 54
12
suami dijemput dari rumahnya kemudian tinggal dan menetap di rumah
keluarga istri, tetapi anak-anak dan keturunannya masuk keluarga istri dan si
ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
Keadaan ini disebabkan rumah tangga suami istri dan anak-anak keturunannya
dibiayai dari milik kerabat si istri.
2) Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal (garis keturunan bapak). Sifat
utama dari perkawinan ini adalah dengan memberikan “jujur” oleh pihak laki-
laki kepada pihak perempuan sebagai lambang diputuskannya hubungan
kekeluargaan si istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya dan singkatnya
dengan kerabat dan persekutuannya. Setelah perkawinan si istri masuk dalam
lingkungan keluarga suami begitu juga anak-anak keturunannya.
Kawin jujur mengandung tiga pengertian, yaitu pertama, pada sisi yuridis akan
terjadi perubahan status, kedua, pada sisi sosial politis, perkawinan tersebut
akan mempererat hubungan antar kerabat, hubungan kekeluargaan dan
menghilangkan permusuhan, dan ketiga dari sisi ekonomis, adanya pertukaran
barang.
3) Dalam sifat susunan kekeluargaan parental (garis keturunan Keibu-Bapaan).
Setelah perkawinan baik si istri maupun suami menjadi milik keluarga bersama
begitu juga anak-anak dan keturunannya. Dalam sifat ini juga terdapat
kebiasaan berupa pemberianpemberian dari pihak laki-laki terhadap pihak
perempuan, tetapi pemberian disini tidak mempunyai arti seperti jujur,
mungkin dulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih banyak diartikan sebagai
hadiah perkawinan. Hal demikian banyak dijumpai di daerah Aceh, Jawa dan
Sulawesi Selatan
c. Bentuk perkawinan anak
Perkawinan ini dilakukan terhadap calon suami dan istri yang belum
dewasa, yang biasanya dilaksanakan menurut ketentuan (ukum )slam,
sedang pesta dan upacara menurut hukum adat ditangguhkan. Sebelum
upacara perkawinan, suami belum boleh melakukan hubungan suami istri,
ditangguhkan sampai mereka dewasa dan dilangsungkan pesta dan upacara
menurut hukum adat.
d. Bentuk perkawinan permaduan

13
Permaduan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan dua atau lebih
wanita dalam waktu bersamaan. Pada daerah yang mengenal lapisan masyarakat,
wanita yang dari lapisan tinggi (sama) dijadikan istri pertama dan wanita yang dari
lapisan bawah dijadikan istri kedua dan seterusnya. Para istri yang dimadu (selir),
masing-masing beserta anaknya berdiam dan membentuk rumah berpisah satu
sama lain.
e. Bentuk perkawinan ambil anak
Perkawinan ini terjadi pada kekerabatan patrilineal, yaitu pihak laki-laki tidak
perlu membayar jujur, dengan maksud mengambil si laki-laki (menantunya) itu ke
dalam keluarganya agar keturunannya nanti menjadi penerus silsilah kakeknya.
Bentuk perkawinan ini juga bisa terjadi pada masyarakat semendo yang disebut
perkawinan semendo ambik anak, dalam rangka penerus silsilah menurut garis
perempuan.
f. Bentuk perkawinan mengabdi
Perkawinan ini terjadi sebagai akibat adanya pembayaran perkawinan yang cukup
besar, sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayarnya. Dalam bentuk ini
suami istri sudah mulai berkumpul, sedang pembayaran perkawinan ditunda
dengan cara bekerja untuk kepentingan kerabat mertuanya sampai jumlah
pembayaran perkawinan terbayar lunas.
g. Bentuk perkawinan meneruskan (sorotan)
Perkawinan seorang duda (balu) dengan saudara perempuan mendiang istrinya.
Perempuan tersebut meneruskan fungsi istri pertama tanpa suatu pembayaran
“jujur”. Perkawinan ini disebut kawin turun ranjang atau ngarang wulu (Jawa).
h. Bentuk perkawinan mengganti (leverat)
Perkawinan yang terjadi apabila seorang janda yang menetap di lingkungan
kerabat suaminya, kawin dengan laki-laki adik mendiang suaminya. Perkawinan
ini sebagai sarana perkawinan jujur, yang di Palembang dan Bengkulu dikenal
dengan kawin Anggau.
4. Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat
a. Sistem Endogami
Endogami yaitu perkawinan dilakukan dalam lingkungan rumpun antara anggota
yang satu lelaki dengan perempuan dari anggota yang lain tetapi perkawinan tidak
dilakukan di luar rumpun. Perkawinan endogami merupakan suatu anjuran yang
14
beralasan pada kepentingan persatuan dalam hubungan antar keluarga agar dapat
mempertahankan tanah tetap menjadi milik lingkungan sendiri atau milik rumpun.
Sistem ini masih terlihat dalam masyarakat hukum adat di daerah Toraja.10
b. Sistem Eksogami.
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya sendiri.
Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. 11
c. Sistem Eleutherogami
Pada sistem ini tidak mengenal larangan-larangan apa pun ataupun batasan-batasan
wilayah seperti halnya pada endogami dan exogami. Sistem ini hanya
menggunakan larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau
kekeluargaan (nasab) turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu
dan saudara kandung, saudara bapak atau ibu seperti di dalam masyarakat hukum
adat di Aceh.12
5. Perceraian dalam Hukum Adat
Dalam hukum adat, secara umum hal-hal yang mendorong dan menjadi penyebab
perceraian dari suatu perkawinan adalah perzinaan, tidak memberi nafkah,
penganiayaan, cacat tubuh/kesehatan dan perselisihan. Ada juga hal-hal lain yang
bersifat khusus sehingga terjadi perceraian, yaitu: 13
a. Adanya dorongan oleh kepentingan kerabat dan masyarakat, misalnya: di Batak,
salah satu alasan terjadinya perceraian adalah karena hubungan yang tidak baik
dengan salah satu atau beberapa “jabu” dari kerabat suami yang menjadi serius dan
membawa suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami. Selain
itu, tidak memperoleh keturunan dan suami meninggal dunia (minta cerai dari
“jabu” asal suaminya).
b. Karena kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sungguh
dipertahankan lagi (Lampung);
c. Adanya campur tangan pihak mertua yang sudah terlalu jauh dalam soal rumah
tangga (Aceh)

10
Erwin Owan Hermansyah Soetoto, dkk. Buku Ajar Hukum Adat (Malang: Madza Media, 2021),98.
11
ibid
12
ibid
13
Ibid, 99.
15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum adat kekeluargaan (kekerabatan) adalah hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak
terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan
masalah perwalian anak. Dalam struktur masyarakat adat menganut adanya tiga (3)
macam sistem kekerabatan, yaitu :sistem kekerabatan parental , sistem kekerabatan
patrilineal dan sistem kekerabatan matrilineal.
Pada umumnya terdapat suatu hubungan hukum berdasarkan atas hubungan antara
orang tua dengan anak-anaknya. Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan
hukum itu adalh beraneka ragam, tergantung dari bentuk perkawinan orang tuanya.
Dalam sistem kekeluargaan yang bersifat patrilinial, maka hubungan antara anak dengan
kerabat ayahnya, lebih erat dan lebih penting daripada hubungan dengan kerabat ibunya.
Hukum adat perkawinan adalah ikatan hidup bersama antara seorang pria dan
wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya
kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian
upacara adat.
Dalam Hukum adat perkawina terdapat beberapa asas yaitu Asas Keadatan dan
Kekerabatan, Asas Kesukarelaan/Persetujuan, Asas Partisipasi Kerabat dan Masyarakat
Adat, Asas Poligami, dan Asas Selektivitas. Selain mempunyai asas, hukum adat ini juga
memiliki berbagai bentuk-bentuk perkawinan antara lain Bentuk Perkawinan
Berdasarkan Arah Persiapan, Bentuk Perkawinan Berdasarkan Tata Susunan
Kekerabatan, Bentuk Perkawinan Anak-anak, Bentuk Perkawinan Permaduan, Bentuk
Perkawinan Ambil Anak, Bentuk Perkawinan Mengabdi, Bentuk Perkawinan
Meneruskan (Sororat), dan Bentuk Perkawinan Mengganti (Leverat). Sistem perkawinan
dalam hukum adat ada tiga yaitu Sistem endogami, Sistem eksogami dan sistem
eleutherogami. Dalam hukum adat, secara umum hal-hal yang mendorong dan menjadi
penyebab perceraian dari suatu perkawinan adalah perzinaan, tidak memberi nafkah,
penganiayaan, cacat tubuh/kesehatan dan perselisihan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Anak Agung Istri Ariatu, dkk. “Bahan Ajar Hukum Adat Lanjutan “. Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 2016.
Erwin Owan Hermansyah Soetoto, dkk. Buku Ajar Hukum Adat (Malang: Madza Media, 2021)

http://aisannisanurulfitri.blogspot.com/2017/04/makalah-hukum-adat-kekeluargaan.html. Diakses pada


tanggal 06 April 2022 pukul 14.22 WIB

Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2016).

Anda mungkin juga menyukai