Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENELITIAN

SISTEM PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU

Disusun Oleh:
Farah Adinda Salma
(3020210220)
Hukum Keluarga Adat C

Universitas Pancasila
2021
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................3

BAB I.............................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................5

BAB II...........................................................................................................................6
2.1 Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Adat Minangkabau..................................6
2.2 Tata Cara Perkawinan Masyarakat Adat Minangkabau..................................10

KESIMPULAN...........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................14
KATA PENGANTAR

Dengan memajatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan rasa nikmat sehat jasmani dan rohani sehingga Penulis mampu untuk
menyelsaikan makalah ini sebagai tugas akhir dalam mata kuliah Hukum Keluarga
Adat C yang berjudul “Sistem Perkawinan Adat Minangkabau”

Penulis berharap dengan menyelesaikan Makalah ini bisa untuk mengikuti


Ujian AKhir Semester Ketiga. Penulis sangat berterima kasih kepada Bapak Wibisono
Oedoyo SH.,MH. selaku dosen Mata Kuliah Hukum Keluarga Adat C untuk
membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari dan meminta maaf bahwa makalah ini masih sangat jauh
dari kata sempurna, dari segi kalimat atau tata bahasa. Maka dari itu Penulis sangat
menerima untuk segala saran atau kritik agar Penulis dapat memperbaiki kesalahan
penulisan lainnya.

Jakarta, 11 Desember 2021

Farah Adinda Salma


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, salah satu hukum yang merupakan pencerminan kepribadian
bangsa adalah hukum adat, yang merupakan penjelmaan jiwa bangsa tersebut
dari abad ke abad. Adat yang dimiliki oleh daerah daerah adalah berbeda-beda,
meskipun dasar serta sifatnya satu, yaitu ke-Indonesiaan-nya. Oleh karena itu
adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya
berbeda-beda, tetapi tetap satu. Adat tersebut selalu berkembang dan senantiasa
mengikuti perkembangan masyarakat dan erat hubungannya dengan tradisi
rakyat. Dengan demikian Hukum adat adalah hukum asli masyarakat yang
mencerminkan budaya bangsa Indonesia, mempunyai corak khas yang berbeda
dengan negara-negara lain. Sistem hukum adat berdasar pada alam pikiran dan
budaya bangsa Indonesia yang berbeda dengan cara berpikir sistem hukum
Barat. Untuk dapat memahami sistem hukum adat harus memahami cara
berpikir masyarakat Indonesia.1

Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia adalah suku Minangkabau yang
sering disebut dengan urang awak (orang Minang). Minangkabau merupakan
salah satu suku bangsa Indonesia yang mendiami sebagian besar pulau Sumatera
bagian barat, mereka dikenal sebagai masyarakat yang dinamis dan mudah
menerima pembaharuan tetapi masih tetap memegang teguh budaya dan adat
istiadatnya. Orang Minang berpandangan bahwa hidup pada hakikatnya baik,
karena itu tujuan hidup adalah berbuat kebaikan atau jasa,"hiduik bajaso, mati
bapusako", mereka mengibaratkan seperti: “gajah mati maninggakan gadiang,
harimau mati maninggakan balang, manusia mati maninggakan namo". Pepatah
itu mengisyaratkan bahwa hidup adalah menghasilkan, setiap orang harus

1
Sulistiani, S. L., & Sy, M. E. (2021). Hukum Adat di Indonesia. Bumi Aksara.
bekerja dan produktif sewaktu ia hidup sehingga dapat meninggalkan sesuatu
apabila telah meninggal.

Dalam salah satu tradisi orang Minangkabau, mereka tidak dapat menikah
sesama suku karena dianggap tabu dan akan merusak tatanan masyarakat adat.
Bahkan ada keyakinan kalau menikah sesuku itu sama saja dengan menikahi
saudaranya sendiri. Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan,
adat Minangkabau juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut
dengan sistem "matri-local" yang menetapkan bahwa marapulai atau laki-laki
yang sudah menikah bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum
kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri.2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa syarat sahnya perkawinan menurut Hukum Adat Minangkabau?
2. Bagaimanakah tata cara perkawinan masyarakat adat Minangkabau?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengtahui dan mengkaji apa yang menjadi syarat sahnya perkawinan
menurut Hukum Adat Minangkabau
2. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana tata cara dari perkawinan
masyarakat Adat Minangkabau

2
Isjoni, I., & Ibrahim, B. (2014). Tradisi Pemberian Gelar Kepada Sumando dalam
Upacara Pernikahan Adat Minangkabau di Kota Bukittinggi (Doctoral dissertation,
Riau University).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Adat Minangkabau

Perkawinan menurut hukum adat adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan
masyarakat, urusan pribadi satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-
beda. Jadi perkawinan menurut hukum adat adalah merupakan tanggung jawab
bersama dari masyarakat hukum adat. Perkawinan dalam hukum adat jelas memiliki
kedudukan yang tinggi. Bahwa dalam hukum adat, perkawinan juga termasuk
kejadian yang sangat penting dan suci dalam kehidupan manusia. Dalam hukum adat
dikatakan ,bahwa perkawinan tidak hanya sebuah proses dimana seorang pria dan
wanita menjadi sepasang suami istri, tapi perkawinan juga dianggap sebagai
penyatuan duah buah keluarga yang pada awalnya tidak saling berhubungan.3 Dengan
demikian jelaslah bahwa perkawinan dalam hukum adat bukan hanya menyangkut
masalah pengantin laki-laki dan perempuan saja tetapi juga masalah keluarga dari
kedua pihak dan sistem masyarakatnya yang berlaku.

Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa


penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti
dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan. Di dalam
penyelenggaraan perkawinan di suku Minangkabau, adanya upacara adat perkawinan.
Upacara adat perkawinan yang ada dalam suatu masyarakat berdasarkan budaya yang
dimilikinya sehingga antara suatu daerah dengan daerah lain ada perbedaan. salah satu
hal yang khas dari suku Minangkabau adalah sistim kekerabatan berdasarkan garis
matrineal (garis keturunan menurut Ibu).4 Ketentuan adat Minangkabau menetapkan
bahwa orang Minangkabau dilarang kawin dengan orang dari suku serumpun, yang
dimaksud dari suku serumpun adalah serumpun menurut garis keturunan matrilineal.
Ketentuan ini disebut dengan istilah eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal.

3
Reskha Amira Alizona, “Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau
dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan
Hukum Adat Minangkabau”, 2019, File Bab I
4
Trimilanda, A. S., & Desriyeni, D. (2018). “Purwarupa Ensiklopedi Adat
Perkawinan Minangkabau. Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan”, 7(1),
205-212.
Yang dimaksud dari eksogami matrilocal ialah laki-laki yang sudah menjalan
perkawinan, harus tinggal atau menetap di sekitaran tempat yang tidak jauh dari
keluarga istri.

Dengan berlakunya undang-undang Perkawinan yaitu Undang-undang nomor 1


tahun 1974, maka syarat-syarat sahnya perkawinan diatur oleh undang-undang
tersebut kecuali bagi mereka yang tidak menganut suatu agama, maka syarat sahnya
perkawinan ditentukan oleh hukum adat mereka yang memang sudah berlaku bagi
mereka sebelum diundangkannya undang-undang perkawinan ini.

Sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan ketentuan


yang dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yaitu sahnya perkawinan berdasarkan agama masing-masing. Maka bagi masyarakat
Minangkabau yang beragama Islam sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang
ditentukan oleh hukum Islam mengenai syarat sah dan rukun perkawinan. Namun,
tetap juga diatur perkawinan orang Minangkabau selalu berusaha memenuhi semua
syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Kedua calon mempelai beragama Islam.
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama,
kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau pihak yang lain.
3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai
4. Orang tua dan keliaga kedua belah pihak.
5. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan
6. untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat di atas dapat
dianggap perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat
menurut adat Minangkabau.

Asas-asas Perkawinan menurut Hukum adat Minangkabau:


1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau
kepercayaan tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota
kerabatan.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai istri yang keduduka nya masing-masing ditentukan menurut hukum
adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat.
Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui
masyarakat adat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur
atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan
harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
6. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian
antara suami dan istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara
dua pihak.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri-istri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah
tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.

Sanksi adat yang diberikan kepada setiap orang yang melanggar larangan
perkawinan. Sanksi adat itu tergantung kepada keputusan yang ditetapkan dalam
musyawarah para ninik mamak kaumnya. Tingkatannya antara lain :
1. Membubarkan perkawinan
2. Hukum buang dengan diusir dari kampungnya
3. Di kucilkan dari pergaulan
4. Juga dengan hukuman denda dengan cara meminta maaf kepada semua pihak
dalam sebuah perjamuan dengan memotong satu atau dua ekor ternak,
binatang ternak yang dipotong misalnya sapi dan kambing. 5

Manusia dalam perjalanan hidupnya akan melalui masa-masa tertentu, dimulai


dari masa balita, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan,
5
Reskha Amira Alizona, “Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau
dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan
Hukum Adat Minangkabau”, 2019, File Bab I
masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua. Setiap peralihan dari suatu masa
berikutnya mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan setiap manusia. Salah satu
masa peralihan yang sangat penting adalah pada saat menginjak masa perkawinan,
karena masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan
dirinya dari masa-masa sebelumnya dan mulai membentuk kelompok kecil (keluarga)
miliknya sendiri yang tidak lepas dari kelompok hidupnya semula. Dengan perkataan
lain perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran
kelompok.6

Dalam hal batas umur untuk melangsungkan perkawinan, hukum adat pada
umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan.
dimana hukum adat membolehkan perkawinan di usia berapapun. Kedewasaan
seseorang di dalam hukum adat di ukur dengan tanda-tanda bagan tubuh. Apabila
seorang anak perempuan sudah haid, buah dada sudah menonjol, berarti ia sudah
dewasa.

Bagi anak laki-laki ukuran kedewasaan hanya dilihat dari perubahan suara, bagan
tubuh dan sudah mengeluarkan air mani. Jadi kedewasaan menurut hukum adat tidak
dilahat dari umur si anak, melainkan di ukur dari perubahan fisik si anak saja. Jika
perubahan fisik sesuai dengan apa yang dicirikan di atas telah ada, maka seorang anak
dalam hukum adat sudah di anggap dewasa. Maka seseorang yang sudah dianggap
dewasa tersebut dalam hukum adat boleh melangsungkan perkawinan, tanpa melihat
batas umur dari pihak yang akan menikah tersebut. Baik umur dari calon mempelai
laki-laki maupun calon mempelai perempuan.7

2.2 Tata Cara Perkawinan Masyarakat Adat Minangkabau

- Perkawinan Menurut Kerabat Perempuan

6
Sofyan, S., & Gani, S. (2010). Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau
dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Hlmn.50
7
ibid. hlm 51
Jika dipandang dari segi kepentingan, maka kepentingan perkawinan lebih
berat kepada kerabat pihak perempuan. Oleh karena itu, pihak mereka yang
menjadi pemrakarsa dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Mulai
mencari jodoh, meminang, menyelenggarakan perkawinan, lalu mengurus dan
menyediakan segala keperluan untuk membentuk rumah tangga, sampai kepada
memikul segala yang ditimbulkan perkawinan itu. Tujuan perkawinan bagi pihak
mereka serba rangkap. Pertama-tama ialah melaksanakan kewajiban, yang
merupakan beban hidup yang paling berat, untuk menjodohkan kerabat mereka
yang telah menjadi gadih gadang atau gadis dewasa, yang tidak segera mendapat
jodoh, akan menimbulkan aib seluruh kaum.

Oleh karena itu, untuk memperoleh jodoh bagi anak gadis mereka, setiap
keluarga akan bersedia mengadakan segala- galanya atau akan berusaha dengan
segala cara yang dapat mereka lakukan. Sekiranya dianggap patut memperoleh
jodoh itu dengan cara memberi harta benda, mereka akan menyediakan. Untuk itu,
harta pusaka kaum boleh digadaikan. Dalam suasana yang paling mendesak,
mereka hampir dapat mempertimbangkan berbagai calon tanpa memandang usia
atau telah menikah, dan lainnya, asal sepadan dengan martabat sosial mereka.

Perkawinan seorang gadis dapat pula digunakan untuk menaikan martabat


kerabat atau kaum. Dengan cara menjodohkan anak gadis mereka dengan
sesorang dari kalangan yang lebih mulia dari mereka, baik mulia karena uangnya,
pangkatnya, ilmunya, atau karena kewenangannya. Terjadinya perkawinan
demikian berarti mereka telah mempunyai hubungan kerabat dengan orang
terkemuka, sehingga mereka akan mendapat tempat yang lebih baik dari sediakala
dalam pandangan masyarakatnya. Jika perkawinan itu membuahkan turunan,
maka dengan sendirinya mereka telah mempunyai anak kemenakan yang berdarah
turunan dan mulia pula. Perkawinan juga dapat digunakan sebagai pengukuhan
hubungan sosial antara kerabat, antara sahabat, atau untuk menyambung pertalian
yang telah lama putus atau hubungan yang telah lama renggang.
- Perkawinan Berdasarkan Kerabat Laki-Laki
Seorang anak kemenakan laki-laki yang matang untuk menikah senantiasa
memikirkan pikiran kaum kerabatnya. Jika tidak ada yang datang meminang, pertanda
bahwa pihaknya tidak mendapat penghargaan layak dari orang lain. Memang pihak
mereka dapat mengambil prakarsa untuk memancing pinangan, tetapi andai kata
pancingan itu tidak mengena akan menambah jatuhnya harga diri mereka. Jarang
kerabat yang mempunyai anak gadis yang mau melamar jejaka yang tidak mempunyai
mata pencaharian. Kecuali apabila jejaka itu anak orang terkemuka karena hartanya,
jabatannya, atau karena ilmunya. Anak orang kaya yang terkemuka pada umumnya
mempunyai masa depan yang lebih baik.

Jejaka yang tidak mempunyai mata pencaharian disarankan agar pergi


merantau untuk memperoleh harta atau memperoleh ilmu. Seandainya ia sukses di
rantau, maka “carano” akan pasti datang bersilang ke rumah ibunya untuk
meminangnya. Jika pun belum sukses, asal punya mata pencaharian, pinangan lambat
laun tentu akan datang juga. Mereka maklum bahwa bagi masyarakat yang berpola
pada ajaran materialisme itu meskipun mereka ingin memperoleh semenda (pertalian
keluarga karena perkawinan dengan anggota suatu kaum) yang jejaka, mereka lebih
suka mempunyai semenda yang punya mata pencaharian yang besar, walau berusia
tua atau telah menikah.

Perkawinan seorang jejaka sama pentingnya dengan seorang gadis.


Menentukan atau memilihkan jodoh serta membuat persetujuan dan mengadakan
perhelatannya merupakan tugas kaum kerabat. Seorang jejaka tidak dibiarkan memilih
jodoh sendiri. Tujuannya demi menjaga agar tidak sampai memperoleh jodoh yang
mempunyai cacat lahir, batin, atau turunan. Di samping itu juga untuk menjaga agar
perjodohan itu tidak menyebabkan anak kemenakan sampai lupa pada kewajibannya
terhadap kaum kerabatnya kelak. Ibunyalah yang mempunyai peranan penting dalam
memilihkan jodoh bagi anaknya. Biasanya jejaka itu akan takluk oleh kehendak
ibunya.

Konsekuensi perkawinan atas pilihan kerabatnya itu didukung kerabatnya


pula. Segala kewajiban yang harus ia pikul bagi istrinya akan disediakan kerabatnya
selama laki-laki tersebut belum mampu. Tujuannya adalah agar anak kemenakannya
terpandang sebagai semenda yang dihormati kerabat istrinya. Tentu saja dukungan
atas konsekuensi itu mempunyai jangka waktu, yang pasti akan tiba waktunya, sesuai
dengan kelaziman yang manusiawi, muncul kemauan berusaha sendiri dan
bertanggung jawab. Suatu perkawinan yang tidak rukun tetap menjadi urusan kerabat.
Jika yang menyebabkannya pihak anak kemenakan sendiri, maka mereka berusaha
ikut memperbaikinya. Akan tetapi, apabila yang menyebabkannya pihak besan atau
menantunya, mereka pun akan ikut campur untuk membubarkannya. Demikian pula
apabila perkawinan itu menyebabkan anak kemenakan mereka lupa akan kewajiban
atas kerabatnya sendiri, mereka akan berusaha merenggangkannya. Berbagai cara
akan mereka tempuh, yang paling ampuh ialah mencarikan lagi seorang istri yang
lebih cantik dan lebih muda. Biasanya cara demikian sangat ampuh oleh sebab kodrat
poligami yang umum serta tidak akan ada beban atau tanggung jawab berat atas
perkawinan yang dikehendaki kaum kerabat itu.

Mamak bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan ekonomi


kemenakannya, apabila ayah dari kemenakannya sudah meninggal atau tidak mampu
lagi. Hal ini berlaku hanya dalam keadaan tertentu saja. Tanggung jawab sesorang
laki-laki sudah beralih ke rumah istri dan anaknya, bahkan sudah ada yang memiliki
rumah tangga yang berdiri sendiri yaitu tanggung jawab utama seorang laki adalah
istri dan anak-anaknya.8

KESIMPULAN

8
Asmaniar, Asmaniar. "Perkawinan Adat Minangkabau." Binamulia Hukum, vol. 7,
no. 2, 2018, pp. Hlmn. 137-139.
Berdasarkan penjelasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan sahnya
perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan ketentuan yang
dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu
sahnya perkawinan berdasarkan agama masing-masing. Maka bagi masyarakat
Minangkabau yang beragama Islam sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang
ditentukan oleh hukum Islam mengenai syarat sah dan rukun perkawinan. Namun
tetap dibentuklah syarat perkawinan dalam adat Minangkabau dan asas-asas yang
harus diperhatikan dalam menjalankan perkawinan. Jika melanggar dari larangan
perkawinan maka terdapat sanksi-sanksi yang sudah diatur oleh mamak atau petuah-
petuah dari kaumnya.

Dalam melaksanakan tata cara perkawinan, diperlukan memilih pasangan


yang seusai dengan adat, yang dimana menurut adat Minangkabau, perkawinan
berlaku secara eksogami ditinjau dari segi lingkungan suku dan endogami ditinjau
dari lingkungan nagari eksogami suku berarti bahwa seseorang tidak boleh
mengambil jodoh dari kelompok sesukunya. Alasannya karena orang yang sesuku
adalah bersaudara, sebab masih dapat ditarik garis hubungan kekerabatannya secara
matrilineal dan menurut asalnya mereka sama-sama serumah gadang. Perkawinan
endogami nagari berarti bahwa seseorang dalam mencari jodoh harus di antara orang
sesama nagari dan tidak boleh kawin ke luar dari nagari. Alasan keharusan endogami
nagari itu ialah karena seorang suami bertempat pada dua rumah. Sebagai urang
sumando ia tinggal dan bermalam di rumah istri. Ia juga mamak rumah di rumah
ibunya dan mempergunakan waktu siangnya bekerja di rumah ibunya untuk
membantu kemenakannya dalam mengolah harta pusaka. Adanya tempat yang ganda
ini hanya mungkin berjalan baik bila rumah istrinya tidak berjauhan dari rumah
ibunya. Inilah di antara yang menyebabkan larangan kawin ke luar nagari.

DAFTAR PUSTAKA
Sulistiani, S. L., & Sy, M. E. (2021). Hukum Adat di Indonesia. Bumi Aksara.
Isjoni, I., & Ibrahim, B. (2014). Tradisi Pemberian Gelar Kepada Sumando
dalam Upacara Pernikahan Adat Minangkabau di Kota Bukittinggi (Doctoral
dissertation, Riau University).

Reskha Amira Alizona, “Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di


Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau”, 2019, File Bab I

Trimilanda, A. S., & Desriyeni, D. (2018). “Purwarupa Ensiklopedi Adat


Perkawinan Minangkabau. Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan”, 7(1), 205-
212.

Sofyan, S., & Gani, S. (2010). Persintuhan Hukum Perkawinan Adat


Minangkabau dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hlmn.50

Asmaniar, Asmaniar. "Perkawinan Adat Minangkabau." Binamulia Hukum,


vol. 7, no. 2, 2018, pp. Hlmn. 137-139.

Anda mungkin juga menyukai