Disusun Oleh:
Farah Adinda Salma
(3020210220)
Hukum Keluarga Adat C
Universitas Pancasila
2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................6
2.1 Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Adat Minangkabau..................................6
2.2 Tata Cara Perkawinan Masyarakat Adat Minangkabau..................................10
KESIMPULAN...........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................14
KATA PENGANTAR
Dengan memajatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan rasa nikmat sehat jasmani dan rohani sehingga Penulis mampu untuk
menyelsaikan makalah ini sebagai tugas akhir dalam mata kuliah Hukum Keluarga
Adat C yang berjudul “Sistem Perkawinan Adat Minangkabau”
Penulis menyadari dan meminta maaf bahwa makalah ini masih sangat jauh
dari kata sempurna, dari segi kalimat atau tata bahasa. Maka dari itu Penulis sangat
menerima untuk segala saran atau kritik agar Penulis dapat memperbaiki kesalahan
penulisan lainnya.
Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia adalah suku Minangkabau yang
sering disebut dengan urang awak (orang Minang). Minangkabau merupakan
salah satu suku bangsa Indonesia yang mendiami sebagian besar pulau Sumatera
bagian barat, mereka dikenal sebagai masyarakat yang dinamis dan mudah
menerima pembaharuan tetapi masih tetap memegang teguh budaya dan adat
istiadatnya. Orang Minang berpandangan bahwa hidup pada hakikatnya baik,
karena itu tujuan hidup adalah berbuat kebaikan atau jasa,"hiduik bajaso, mati
bapusako", mereka mengibaratkan seperti: “gajah mati maninggakan gadiang,
harimau mati maninggakan balang, manusia mati maninggakan namo". Pepatah
itu mengisyaratkan bahwa hidup adalah menghasilkan, setiap orang harus
1
Sulistiani, S. L., & Sy, M. E. (2021). Hukum Adat di Indonesia. Bumi Aksara.
bekerja dan produktif sewaktu ia hidup sehingga dapat meninggalkan sesuatu
apabila telah meninggal.
Dalam salah satu tradisi orang Minangkabau, mereka tidak dapat menikah
sesama suku karena dianggap tabu dan akan merusak tatanan masyarakat adat.
Bahkan ada keyakinan kalau menikah sesuku itu sama saja dengan menikahi
saudaranya sendiri. Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan,
adat Minangkabau juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut
dengan sistem "matri-local" yang menetapkan bahwa marapulai atau laki-laki
yang sudah menikah bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum
kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri.2
1. Untuk mengtahui dan mengkaji apa yang menjadi syarat sahnya perkawinan
menurut Hukum Adat Minangkabau
2. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana tata cara dari perkawinan
masyarakat Adat Minangkabau
2
Isjoni, I., & Ibrahim, B. (2014). Tradisi Pemberian Gelar Kepada Sumando dalam
Upacara Pernikahan Adat Minangkabau di Kota Bukittinggi (Doctoral dissertation,
Riau University).
BAB II
PEMBAHASAN
Perkawinan menurut hukum adat adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan
masyarakat, urusan pribadi satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-
beda. Jadi perkawinan menurut hukum adat adalah merupakan tanggung jawab
bersama dari masyarakat hukum adat. Perkawinan dalam hukum adat jelas memiliki
kedudukan yang tinggi. Bahwa dalam hukum adat, perkawinan juga termasuk
kejadian yang sangat penting dan suci dalam kehidupan manusia. Dalam hukum adat
dikatakan ,bahwa perkawinan tidak hanya sebuah proses dimana seorang pria dan
wanita menjadi sepasang suami istri, tapi perkawinan juga dianggap sebagai
penyatuan duah buah keluarga yang pada awalnya tidak saling berhubungan.3 Dengan
demikian jelaslah bahwa perkawinan dalam hukum adat bukan hanya menyangkut
masalah pengantin laki-laki dan perempuan saja tetapi juga masalah keluarga dari
kedua pihak dan sistem masyarakatnya yang berlaku.
3
Reskha Amira Alizona, “Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau
dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan
Hukum Adat Minangkabau”, 2019, File Bab I
4
Trimilanda, A. S., & Desriyeni, D. (2018). “Purwarupa Ensiklopedi Adat
Perkawinan Minangkabau. Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan”, 7(1),
205-212.
Yang dimaksud dari eksogami matrilocal ialah laki-laki yang sudah menjalan
perkawinan, harus tinggal atau menetap di sekitaran tempat yang tidak jauh dari
keluarga istri.
Sanksi adat yang diberikan kepada setiap orang yang melanggar larangan
perkawinan. Sanksi adat itu tergantung kepada keputusan yang ditetapkan dalam
musyawarah para ninik mamak kaumnya. Tingkatannya antara lain :
1. Membubarkan perkawinan
2. Hukum buang dengan diusir dari kampungnya
3. Di kucilkan dari pergaulan
4. Juga dengan hukuman denda dengan cara meminta maaf kepada semua pihak
dalam sebuah perjamuan dengan memotong satu atau dua ekor ternak,
binatang ternak yang dipotong misalnya sapi dan kambing. 5
Dalam hal batas umur untuk melangsungkan perkawinan, hukum adat pada
umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan.
dimana hukum adat membolehkan perkawinan di usia berapapun. Kedewasaan
seseorang di dalam hukum adat di ukur dengan tanda-tanda bagan tubuh. Apabila
seorang anak perempuan sudah haid, buah dada sudah menonjol, berarti ia sudah
dewasa.
Bagi anak laki-laki ukuran kedewasaan hanya dilihat dari perubahan suara, bagan
tubuh dan sudah mengeluarkan air mani. Jadi kedewasaan menurut hukum adat tidak
dilahat dari umur si anak, melainkan di ukur dari perubahan fisik si anak saja. Jika
perubahan fisik sesuai dengan apa yang dicirikan di atas telah ada, maka seorang anak
dalam hukum adat sudah di anggap dewasa. Maka seseorang yang sudah dianggap
dewasa tersebut dalam hukum adat boleh melangsungkan perkawinan, tanpa melihat
batas umur dari pihak yang akan menikah tersebut. Baik umur dari calon mempelai
laki-laki maupun calon mempelai perempuan.7
6
Sofyan, S., & Gani, S. (2010). Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau
dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Hlmn.50
7
ibid. hlm 51
Jika dipandang dari segi kepentingan, maka kepentingan perkawinan lebih
berat kepada kerabat pihak perempuan. Oleh karena itu, pihak mereka yang
menjadi pemrakarsa dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Mulai
mencari jodoh, meminang, menyelenggarakan perkawinan, lalu mengurus dan
menyediakan segala keperluan untuk membentuk rumah tangga, sampai kepada
memikul segala yang ditimbulkan perkawinan itu. Tujuan perkawinan bagi pihak
mereka serba rangkap. Pertama-tama ialah melaksanakan kewajiban, yang
merupakan beban hidup yang paling berat, untuk menjodohkan kerabat mereka
yang telah menjadi gadih gadang atau gadis dewasa, yang tidak segera mendapat
jodoh, akan menimbulkan aib seluruh kaum.
Oleh karena itu, untuk memperoleh jodoh bagi anak gadis mereka, setiap
keluarga akan bersedia mengadakan segala- galanya atau akan berusaha dengan
segala cara yang dapat mereka lakukan. Sekiranya dianggap patut memperoleh
jodoh itu dengan cara memberi harta benda, mereka akan menyediakan. Untuk itu,
harta pusaka kaum boleh digadaikan. Dalam suasana yang paling mendesak,
mereka hampir dapat mempertimbangkan berbagai calon tanpa memandang usia
atau telah menikah, dan lainnya, asal sepadan dengan martabat sosial mereka.
KESIMPULAN
8
Asmaniar, Asmaniar. "Perkawinan Adat Minangkabau." Binamulia Hukum, vol. 7,
no. 2, 2018, pp. Hlmn. 137-139.
Berdasarkan penjelasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan sahnya
perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan ketentuan yang
dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu
sahnya perkawinan berdasarkan agama masing-masing. Maka bagi masyarakat
Minangkabau yang beragama Islam sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang
ditentukan oleh hukum Islam mengenai syarat sah dan rukun perkawinan. Namun
tetap dibentuklah syarat perkawinan dalam adat Minangkabau dan asas-asas yang
harus diperhatikan dalam menjalankan perkawinan. Jika melanggar dari larangan
perkawinan maka terdapat sanksi-sanksi yang sudah diatur oleh mamak atau petuah-
petuah dari kaumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sulistiani, S. L., & Sy, M. E. (2021). Hukum Adat di Indonesia. Bumi Aksara.
Isjoni, I., & Ibrahim, B. (2014). Tradisi Pemberian Gelar Kepada Sumando
dalam Upacara Pernikahan Adat Minangkabau di Kota Bukittinggi (Doctoral
dissertation, Riau University).