Anda di halaman 1dari 13

PERBEDAAN ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU

DENGAN PERKAWINAN PADA UMUMNYA

Makalah UTS Asas-Asas Hukum Adat

Kelas Reguler B

Disusun Oleh:

Arqueliano Di Marzo Tamala

2106734921

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK
2022
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki beragam
kekayaan, baik kekayaan alam maupun kekayaan budaya. Negara Indonesia terdiri
dari 17.508 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Di Nusantara,
terhitung ada total 34 provinsi, dimana setiap daerahnya memiliki keunikan dan
ciri khasnya masing-masing. Dari sekian banyak provinsi, salah satu provinsi
yang cukup dikenal oleh masyarakat umum adalah provinsi Sumatera Barat yang
memiliki ibukota bernama Padang. Penduduk Sumatera Barat secara mayoritas
dihuni oleh suku Minangkabau atau lebih dikenal dengan suku Minang.
Seorang budayawan dan ulama ternama di Indonesia, Hakimy, mengatakan
bahwa “adat Minangkabau merupakan suatu aturan hidup masyarakat di
Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu datuak Parpatieh Nan
Sabatang dan Datuak Katumanggunan”.1 Suku Minangkabau memiliki beragam
ciri khas mulai dari kesenian, kuliner, dan masih banyak lainnya. Setiap kelompok
masyarakat memiliki adat ciri khas dan keunikannya masing-masing dalam
melaksanakan ritual upacara adat, dimana tata cara pelaksanaan setiap upacaranya
dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai dan aturan tertentu yang terdapat dalam
kebudayaan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, suku Minangkabau memiliki
hukum adatnya tersendiri. Yang dimaksud dengan hukum adat adalah hukum
yang tidak tertulis tetapi bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan waktu
untuk mengatur kehidupan masyarakat setempat.2
Salah satu ritual upacara adat yang menarik dari suku Minangkabau adalah
upacara adat perkawinan. Setiap daerah memiliki tradisi pernikahannya masing-
masing yang disebabkan oleh asal-usul, kebiasaan hidup, maupun tingkat sosial
dalam masyarakat tersebut. Dalam suku Minangkabau, upacara adat perkawinan
dilatar belakangi oleh budaya yang dimiliki daerah tersebut. Yang menjadi
keunikan dari upacara adat perkawinan suku Minangkabau adalah sistem
kekerabatan garis matrilineal atau garis keturunan menurut ibu, sedangkan di

1
Annisa Syntia Trimilanda, “Purwarupa Ensiklopedi Adat Perkawinan Minangkabau,”
Jurnal Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan (2018), Vol 7, No. 1, hlm. 205.
2

Asmaniar, “Perkawinan Adat Minangkabau,” Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 7, No.2,


hlm 133.
kebanyakan daerah di Nusantara sistem perkawinannya menganut garis
patrilineal.
Di Minangkabau, perkawinan bagi seorang pria adalah suatu proses untuk
dapat memasuki suatu lingkungan yang baru, yaitu memasuki keluarga istri.
Sedangkan bagi para wanita, perkawinan merupakan suatu proses penambahan
anggota keluarga yang baru. Di suku Minang, pada umumnya yang melakukan
pelamaran adalah keluarga dari calon pengantin wanita yang mendatangi rumah
dari kelaurga calon pengantin pria.3 Sedangkan yang kita ketahui, pada umumnya
yang melakukan pelamaran adalah pihak laki-laki. Tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.4 Selain itu, bagi masyarakat adat
perkawinan bertujuan untuk memelihara serta meneruskan keturunan mereka.5
Menurut Hilman Hadikusuma, perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan maksud untuk mendapatkan
keturunan yang membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga,
tetapi juga hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat baik dari
pihak suami maupun pihak istri”.6 Dalam melaksanakan proses perkawinan di
Minangkabau atau biasa dikenal dengan sebutan baralek, terdapat beberapa tata
krama dan upacara adat yang terlebih dahulu perlu dipenuhi. Beberapa tahapan
tersebut seperti tahapan maminang atau meminang, manjapuik marapulai yang
merupakan tahap penjemputan pengantin pria, dan basandiang atau bersanding di
pelaminan. Setelah tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan, maka langkah
selanjutnya adalah menentukan hari pernikahan atau biasa disebut manantuan
hari. Tahapan terakhirnya adalah melangsungkan pernikahan secara Islam yang
pada umumnya dilaksanakan di rumah calon pengantin wanita atau Masjid.
Dalam penulisan ini, penulis memiliki tujuan untuk memberikan sebuah
penjelasan mengenai sistem perkawinan adat yang terdapat di suku Minangkabau.
Selain itu, penulis juga ingin menjelaskan betapa pentingnya untuk mengetahui

3
Anika Supindo, “Simbol Komunikasi dalam Adat Pernikahan Minangkabau di Desa
Simarasok Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat,” (Skripsi Sarjana Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, 2017), hlm. 11.
4
Fitria Agustin, “Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum
Perkawinan Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No.1, hlm. 46.
5
Yosi Maeona Passandaran, “The Semiotic Representation Analysis of Wedding
Ceremony in West Sumatera Province,” Journal of Human Narratives, Vol. 1, No. 1, hlm 46.
6
Ibid.
tujuan dari dibedakannya perkawinan adat Minangkabau dengan perkawinan pada
umumnya, dengan cara menjabarkan berbagai faktor yang relevan.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang membedakan perkawinan Adat Minangkabau dengan perkawinan
pada umumnya?
b. Mengapa kedudukan istri lebih tinggi dibandingkan posisi suami dalam adat
Minangkabau?
c. Apa saja akibat dari pernikahan adat Minangkabau?

II. PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan Perkawinan Menurut Masyarakat Adat Minangkabau
Dalam suku Minangkabau, seseorang diperbolehkan untuk menikah hanya
apabila orang tersebut sudah dianggap dewasa menurut hukum adat. Kedewasaan
seseorang dalam hukum adat tidak diukur dari usia mereka, melainkan dari
perubahan-perubahan yang dialami oleh tubuh mereka. Artinya seseorang yang
sudah mengalami banyak perubahan fisik dianggap sudah dewasa dan
diperbolehkan untuk menikah.7
Konsep pernikahan yang terdapat di Sumatera Barat adalah kombinasi dari
peraturan Agama Islam, Konstitusi Indonesia, dan adat Minangkabau. Dalam
melaksanakan pernikahan, ketentuan adat serta ketentuan agama tidak dapat
dipisahkan. Selain itu, Hard juga berpendapat bahwa hukum adat merupakan
sumber hukum yang utama, sedangkan hukum negara dianggap sebagai hukum
kedua.8 Dalam hukum adat Minangkabau, perkawinan bukan hanya merupakan
urusan bagi kedua calon pengantin, melainkan juga merupakan masalah bagi
keluarga yang bersangkutan. Hal tersebut dapat terjadi karena keluarga yang
bersangkutan terutama keluarga perempuan, perlu ikut membantu mencarikan
pasangan, pertunangan, bahkan akibat dari perkawinan juga merupakan bagian
dari tanggung jawab keluarga. Oleh karena itu, dalam perkawinan adat

7
Asmaniar, “Perkawinan Adat Minangkabau,” Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 7, No.2,
hlm 134.
8
Efren Nova, “The Implementation of Restorative Justice in Resolving Violence on
Women and Children as a form of Right of Origin in West Sumatera,” Journal of Economics and
Law, Vol. 5, No. 6, hlm. 3.
Minangkabau terdapat beberapa tata krama serta upacara adat yang perlu
dipenuhi. Tata krama dan upacara adat tersebut terbagi ke dalam beberapa proses,
yakni proses pra-nikah, pernikahan, dan pasca pernikahan.
Dalam proses pra-nikah, di adat Minangkabau terdapat beberapa nilai agama
yang perlu diperhatikan. Suatu perkawinan dianggap sah menurut hukum adat
apabila pernikahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dianggap sah hanya apabila
perkawinan tersebut berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.9
Cara untuk mengetahui apakah suatu perkawinan menjalankan nilai agama
atau tidak, dapat dilihat dari awal mula pertemuan kedua calon pengantin. Seorang
pengantin dilarang untuk berkenalan dekat dengan seseorang yang sudah
menikah, karena hal tersebut bisa merusak pernikahan orang lain. Selain itu,
keluarga pengantin tidak diperbolehkan untuk memaksa anaknya untuk menikahi
seseorang yang tidak diinginkan oleh anaknya. Meskipun begitu, keluarga tetap
diperbolehkan untuk memberi penilaian mereka terhadap calon pasangan anaknya
tersebut. Apabila ada peraturan yang dilanggar, maka dapat dikatakan bahwa
perkawinan tersebut tidak sepenuhnya mengikuti ajaran-ajaran agama.
Pada umumnya orang tua dari calon pengantin memperhatikan beberapa aspek
dalam menentukan calon pasangan yang tepat bagi anaknya, seperti tingkat
ketaatan terhadap agamanya, pekerjaannya, dan etika dari calon pasangan anaknya
tersebut. Orang tua dari seorang pengantin wanita diperbolehkan untuk melarang
anaknya menikah dengan lelaki yang fasiq (lelaki yang tidak menghormati dan
tidak menghargai peraturan-peraturan Islam).10 Sesuai ajaran Islam, seorang lelaki
dihimbau untuk menikahi wanita yang taat terhadap agama dan memiliki etika
yang baik, agar keduanya bisa memiliki pandangan dan tujuan hidup yang sama.
Sedangkan bagi wanita, terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi
keputusan wanita untuk menikah, seperti faktor ekonomi dan budaya. Faktor
budaya disebabkan karena seringkali orang tua merasa cemas akan anaknya dekat

9
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974,
TLN No. 3019, Ps. 2.

10
Al Furqan, “Islamis Education Values in Minangkabau Wedding Ceremony,” Juornal
of Al-Ta’lim, Vol. 23, No. 1, hlm. 90
dengan lelaki tanpa adanya ikatan pernikahan yang bisa menimbulkan suatu aib
bagi keluarga mereka, sehingga mereka rela untuk menikahkan anaknya secepat
mungkin.11 Selain itu, berdasarkan hasil analisis, wanita yang bertempat tinggal di
daerah pedesaan lebih memilih untuk menikah cepat karena mereka beranggapan
bahwa menikah adalah jalan terbaik untuk melangsungkan kehidupan. 12
Sedangkan wanita yang bertempat tinggal di kota, lebih cenderung memilih untuk
berkarir terlebih dahulu dibandingkan menikah cepat.
Sebelum diadakannya suatu pernikahan, di setiap masyarakat hukum adat
biasanya memiliki suatu proses pelamaran atau peminangan. Dalam proses
tersebut, yang biasanya melakukan pelamaran adalah keluarga dari pihak pria.13
Akan tetapi, di adat Minangkabau, yang melakukan pelamaran adalah keluarga
dari pihak perempuan. Hal tersebut didasarkan karena perkawinan adat
Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal yang bertujuan agar
kecintaan serta penghargaan kepada wanita selalu ada dalam hidup pria. Adapun
beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh kedua calon pengantin dalam proses
pra-nikah, yaitu:14
Maresek atau Maminang yang merupakan tahapan kenalan yang dilakukan
secara diam-diam oleh kedua keluarga calon pengantin. Tujuan dari maresek
adalah untuk mengetahui apakah pihak pria sudah menikah atau bertunangan
dengan wanita lain atau tidak. Pada umumnya, saat seorang gadis sudah beranjak
dewasa, orang tua gadis tersebut berdiskusi dengan mamak (kakak dari ibu) untuk
membantu keponakannya mencari pasangan yang cocok. Oleh karena itu, tahapan
ini merupakan salah satu upaya dari mamak untuk mempertemukan keponakannya
dengan laki-laki untuk dijadikan calon pasangannya. Selanjutnya ada tahap Naiak
Siriah yang merupakan tahap persetujuan dari keluarga kedua pengantin.
Setelah itu, terdapat tahap Batimbang tando yang merupakan tahap tunangan
atau tahap bertukaran cincin. Dalam tahap ini, calon pengantin pria dengan orang
tua dan kerabat terdekatnya membawa batimbang tando ke rumah calon pengantin
11
Nini Sahara, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Wanita Menikah di
Sumatera Barat,” Jurnal EcoGen, Vol. 1, No. 3, hlm. 641.
12
Nini Sahara, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Wanita Menikah di
Sumatera Barat,” Jurnal EcoGen, Vol. 1, No. 3, hlm. 645.
13
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, cet. 2 (Depok: Rajawali Pers, 1983), hlm.
224.
14
Ibid.
wanita sebagai pengikat antar kedua pasangan.15 Kemudian, mereka juga
sekaligus membahas persyaratan pernikahan dengan pihak keluarga calon
pengantin wanitanya. Hal ini membuktikan bahwa pernikahan bukan hanya
menggambungkan dua individu, melainkan juga merupakan penggabungan dua
keluarga. Setelah itu ada tahap mahanta siri yang merupakan tahap dimana kedua
calon pengantin meminta izin, doa dan restu anggota keluaga. Dalam tahap ini,
calon pengantin pria membawa selapah yang isinya tembakau atau daun nipah.
Sedangkan calon mempelai wanita akan membawa sirih lengkap.16
Tahapan berikutnya adalah Mambuek hari atau manantuan hari yang
merupakan tahap penentuan hari pernikahan yang dilakukan oleh kedua pihak
keluarga. Pada umumnya, mereka cenderung memilih tanggal pernikahan yang
cantik dan hari yang bagus untuk menyelenggarakan pernikahan kedua calon
pengantin. Tahapan terakhir di proses pra-nikah adalah tahap Mamanggia yang
merupakan tahap mengundang orang-orang untuk menghadiri pernikahan. Orang
yang pertama diundang adalah mamak. Setelah itu, baru akan diundang keluarga
besar, kerabat dekat, dan tetangga dari kedua calon pengantin.
Setelah proses pra-nikah, diadakan proses pernikahan yang pada umumnya
dibantu oleh keluarga kedua calon pengantin dan tetangga mereka. Dalam Islam,
calon pasangan dianjurkan untuk mengadakan resepsi pernikahan. Tujuan dari
diadakannya resepsi pernikahan adalah untuk memberitahu kepada masyarakat
bahwa terdapat pasangan yang baru menikah. Dalam proses pernikahan, terdapat
beberapa tahapan yang perlu dilewati oleh kedua calon pasangan, yaitu: 17 Malam
Bainai yang merupakan sebuah acara dimana calon pengantin wanita melekatkan
tumbuhan halus daun inai ke kukunya sebagai tanda kasih sayang dan doa yang
diberikan oleh keluarga calon pengantin wanita.
Setelah tahap tersebut, ada tahap manjapuik marapulai yang merupakan tahap
dimana calon pengantin pria dijemput untuk mendatangi rumah calon pengantin
wanita untuk melaksanakan akad nikah. Setelah itu terdapat tahap Batagak Gala
yang merupakan tahapan memberi gelar pusaka kepada calon pengantin pria

15
Ibid.
16
Nathania Griselda, “Susunan Acara, Ritual & Prosesi Pernikahan Adat Padang-
Minangkabau,” https://www.tokopedia.com/blog/susunan-acara-pernikahan-adat-padang-
minangkabau-rlt/, diakses 12 April 2022.
17
Ibid.
sebagai tanda kedewasaannya yang biasanya dilakukan sebelum resepsi
pernikahan atau setelah sumpah pernikahan disahkan. Kemudian ada tahap
penyambutan di Rumah Anak Daro, yang merupakan sebuah sambutan yang
diberikan kepada calon pengantin pria atas kehadirannya ke rumah calon
pengantin wanita. Saat calon pengantin memasuki rumah, anggota keluarga dari
pihak wanita memercikkan air ke kaki calon pengantin pria sebagai simbol
penyucian dan kemudian pria tersebut ditaburi beras kuning.
Acara tersebut kemudian diikuti dengan akad nikah. Dalam akad nikah, orang
tua dari pihak wanita melepaskan anaknya untuk menikah dengan calon
pasangannya tersebut dan pengantin pria menerima wanita tersebut untuk
dinikahi. Tahap terakhir dalam prosesi pernikahan adalah tahap bersandiang di
pelaminan yang merupakan tahap dimana kedua pengantin duduk di sebuah
tempat yang pada umumnya merupakan sebuah panggung yang sudah dihiasi
secantik mungkin untuk bertemu dengan tamu undangannya.
Setelah proses pernikahan sudah selesai, terdapat beberapa taradisi pasca
pernikahan, yang juga terdiri dari beberapa proses, yaitu: tahap mamulangkan
tando yang merupakan proses pengembalian tanda yang diberikan oleh masing-
masing keluarga sebagai ikatan janji karena keduanya sekarang sudah menjadi
suami-isti. Selanjutnya adalah japuik tigo hari yang merupakan tahap dimana satu
hingga tiga hari setelah pernikahan, keluarga dari sang istri menjemput sang
suami untuk tinggal di kediaman istrinya. Selain itu, juga ada tahap Manjalang
Mintuo adalah tahap dimana istri mengunjungi rumah orang tua suami dengan
membawa sejumlah hidangan. Selain itu, juga terdapat Maantaan Silamak yang
merupakan tahap dimana keluarga pengantin wanita mengunjungi keluarga
pengantin pria dengan membawa silamak baluo yang merupakan suatu jenis nasi
manis yang lengket.
Sesudah melewati segala rangkaian proses pernikaha, maka sesuai dengan
adat perkawinan Minangkabau, sang suami akan tinggal di kediaman istrinya.
Pada umumnya, suami tidak langsung tinggal di kediaman istrinya, melainkan ia
menunggu dijemput oleh keluarga istrinya untuk tinggal bersama di rumah sang
istri. Hal tersebut bertujuan untuk menggambarkan bahwa suami tidak secara
langsung masuk ke dalam keluarga istrinya.
2. Sistem Kekeluargaan Masyarakat Minangkabau
Menurut adat Minangkabau, meskipun pasangan suami-istri sudah menikah,
namun bukan berarti suami menjadi kepala keluarga, melainkan suami
berkedudukan sebagai urang sumando yang artinya pendatang. Meskipun begitu,
suami tetap akan diperlakukan dengan baik dan dihormati oleh keluarga istrinya.
Seorang suami harus bisa menyesuaikan dirinya dan mengikuti ketentuan adat
yang berlaku dalam keluarga istrinya. Dalam adat Minangkabau, suami juga
memiliki duo local residence yang disebabkan karena suami tetap termasuk dalam
suku dan kaumnya.18
Suatu hal yang menarik dalam masyarakat matrilineal Minangkabau adalah
jika seseorang dilahirkan menurut hukum adat, maka ia hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya. Dalam arti lain, anak tersebut hanya akan memiliki suku
dari ibunya saja, sedangkan anak tersebut tidak memiliki hubungan apa-apa
dengan sang ayah.19 Oleh karena itu, sang ayah juga tidak memiliki tanggung
jawab untuk memelihara serta membesarkan istri dan anak-anaknya.20
Pola perkawinan adat Minangkabau bersifat eksogami. Dengan perkawinan
eksogami, para istri memiliki kedudukan status yang sama dengan suaminya,
dimana mereka tidak bergantung kepada suaminya. Hal tersebut dikarenakan
dalam perkawinan adat Minangkabau, sang suami bukanlah kepala keluarga yang
berkuasa atas anak dan istrinya. Pernikahan yang ideal menurut perkawinan adat
Minangkabau adalah perkawinan antara keluarga dekat seperti anak dengan
keponakan atau biasa dikenal dengan sebutan “awak samo awak”.21 Urutan
pernikahan yang selanjutnya adalah perkawinan sakorong, perkawinan

18
Tamara Maharani Akbar, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Pernikahan
Minangkabau tentang Larangan Pengantin Baru Tinggal Serumah (Studi di Kecamatan Belitang
Kabupaten Oku Timur Sumsel),” (Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Raden Fatah,
Palembang, 2019), hlm. 5.

19
Asmaniar, “Perkawinan Adat Minangkabau,” Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 7, No.2,
hlm 135.
20
Ibid.
21
Yosi Maeona Passandaran, “The Semiotic Representation Analysis of Wedding
Ceremony in West Sumatera Province,” Journal of Human Narratives, Vol. 1, No. 1, hlm 50.
sekampung, perkawinan senagari, perkawinan seluhak, dan perkawinan dengan
orang sesama Minangkabau.22
Suku Minangkabau berpendapat bahwa perkawinan dengan wanita luar, bisa
merusak adat mereka. Mereka beranggapan bahwa menikah dengan orang luar
akan membuat anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak memiliki suku
Minang. Namun, apabila seorang perempuan Minangkabau yang menikahi
seorang lelaki yang bukan merupakan suku Minangkabau, maka hal tersebut tidak
akan merusak struktur adat mereka.
Dalam perkawinan adat Minangkabau, yang biasanya merasa tertekan adalah
pihak perempuan. Dalam adat mereka, seorang gadis dewasa yang belum menikah
dianggap sebegai suatu aib dan harga diri perempuan tersebut beserta keluarganya
akan jatuh. Hal tersebut bisa terjadi karena seorang wanita yang belum menikah
meskipun sudah dewasa sering dipandang oleh masyarakat sebagai wanita yang
menderita cacat turunan atau tidak ada lelaki yang ingin dekat dengan wanita
tersebut karena perilaku wanita yang kurang baik. Oleh karena itu, keluarga
perempuan akan berusaha untuk melakukan segala hal agar anak perempuan
mereka mendapatkan pasangan. Keluarga perempuan akan mencarikan anaknya
jodoh, akan meminangnya, menyelenggarakan perkawinan, serta mengurus segala
keperluan untuk membentuk rumah tangga dari pasangan tersebut.
Bagi seorang laki-laki, apabila tidak ada perempuan yang datang untuk
meminang, maka artinya laki-laki tersebut tidak mendapatkan sebuah
penghargaan yang layak dari orang lain. Pada umumnya wanita mencari pria yang
memikili pekerjaan yang tetap atau pria yang memiliki kedudukan yang terhormat
karena kewenangannya, kekayaannya atau karena ilmunya. Oleh karena itu,
banyak pria yang pergi ke daerah lain untuk mencari perkerjaan. Itulah sebabnya
mengapa kita seringkali mendengar istilah merantau. Apabila pria tersebut sukses
atau setidaknya memiliki pekerjaan setelah rantau, maka pasti kediaman keluarga
pria tersebut akan didatangi oleh banyak keluarga perempuan untuk
meminangnya. Namun, seorang pria tidak diperbolehkan untuk memilih jodohnya
sendiri. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk menghindari jodoh yang cacat lahir,
cacat batin, atau cacat turunan.
22
Asmaniar, “Perkawinan Adat Minangkabau,” Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 7, No.2,
hlm 136.
III. KESIMPULAN
Dalam perkawinan adat Minangkabau, diketahui bahwa pihak perempuan
lebih aktif dan tertekan untuk menyelenggarakn perkawinan. Hal tersebut terjadi
karena perkawinan di adat Minangkabau menganut sistem matrilineal. Hal
tersebut juga kemudian mengakibatkan peran istri lebih dominan disbanding
peran suami, dimana wanita Minangkabau dianggap sebagai tonggak rumah yang
lebih berperan dalam rumah tangga. Hal tersebut disebabkan karena suku Minang
menginginkan kaum wanita untuk lebih dihargai oleh kaum pria. Oleh karena itu,
perkawinan adat Minangkabau sangat berbeda dengan perkawinan pada umumnya
yang menganut sistem paritilinial, dimana suami adalah peran utama pernikahan.
Selain itu, dalam perkawinan adat Minangkabau, agama Islam memegang
peranan yang sangat penting. Mulai dari pemilihan pasangan hingga tata cara
pernikahan telah diatur oleh peraturan agama. Peraturan adat juga banyak
memengaruhi perkawinan adat Minangkabau. Terdapat banyak tata krama yang
perlu dilaksanakan agar suatu pernikahan dapat terlaksana. Salah satu akibat yang
timbul dari perkawinan adat Minangkabau adalah suami tidak bertanggung jawab
secara penuh terhadap keluarga. Hal tersebut dikarenakan posisi suami bukan
sebagai kepala keluarga melainkan sebagai seorang pendatang yang tugasnya
hanya untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, anak yang dilahirkan setelah
perkawinan tidak akan memiliki suku ayahnya.

IV. SARAN
Tujuan adat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah
supaya wanita bisa lebih dihargai dan dicintai oleh kaum pria. Hal tersebut
menjadikan adat Minangkabau sebagai adat yang unik karena lebih memfokuskan
kepentingan dan kewajiban perempuan dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu,
adat ini perlu terus dilestarikan agar kita bisa lebih menghargai wanita serta
perannya dalam kehidupan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Cet. 2. Depok: Rajawali Pers,
1983), hlm.224.

II. Jurnal
Agustin, Fitria. “Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama
Menurut Hukum Perkawinan Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum. Vol.
2. No.1.

Al-Furqan, “Islamic Education Values in Minangkabau Wedding


Ceremony,” Journal of Al-Ta’lim. Vol. 23. No. 1.

Asmaniar. “Perkawinan Adat Minangkabau.” Jurnal Binamulia Hukum.


Vol. 7. No.2.

Nova, Efren. “The Implementation of Restorative Justice in Resolving


Violence on Women and Children as a form of Right of Origin in
West Sumatera.” Journal of Economics and Law. Vol. 5. No. 6.

Passandaran, Yosi Maeona. “The Semiotic Representation Analysis of


Wedding Ceremony in West Sumatera Province.” Journal of
Human Narratives. Vol. 1. No. 1.

Sahara, Nini. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Wanita


Menikah di Sumatera Barat.” Jurnal EcoGen. Vol. 1. No. 3.

Trimilanda, Annisa Syntia. “Purwarupa Ensiklopedi Adat Perkawinan


Minangkabau.” Jurnal Ilmu Informasi Perpustakaan dan
Kearsipan. Vol 7, No. 1.

III. Skripsi
Akbar, Tamara Maharani. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat
Pernikahan Minangkabau tentang Larangan Pengantin Baru
Tinggal Serumah (Studi di Kecamatan Belitang Kabupaten Oku
Timur Sumsel).” Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Raden
Fatah, Palembang, 2019.

Supindo, Anika. “Simbol Komunikasi dalam Adat Pernikahan


Minangkabau di Desa Simarasok Kecamatan Baso Kabupaten
Agam Sumatera Barat.” Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim, Riau, 2017.

IV. Peraturan Perundang-Undangan


Indonesia. Undang-Undang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, LN No.1
Tahun 1974, TLN No. 3019.

V. Internet
Griselda, Nathania. “Susunan Acara, Ritual & Prosesi Pernikahan Adat
Padang-Minangkabau.” https://www.tokopedia.com/blog/susunan-
acara-pernikahan-adat-padang-minangkabau-rlt/. Diakses 12 April
2022.

Anda mungkin juga menyukai