Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ILMU KEWARGANEGARAAN
PKN DALAM KONTEKS TRADISI PENGAJARAN PIPS
SECARA UNIVERSAL

Di susun oleh :
MUHAMAD ALI BAGJA
NURFITRI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS PAMULANG
2014

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan
hidayah-Nya dapat menyelesaikan tugas kelompok ini tepat pada waktunya.
Kami sangat tertarik untuk melakukan penyusunan dalam sebuah makalah dengan judul
PKN DALAM KONTEKS TRADISI PENGAJARAN PIPS SECARA UNIVERSAL
Adapun tujuan tugas kelompok ini diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok Ilmu
Kewarganegaraan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Pamulang Progam Studi
Pendidikan Kewarganegaraan.
Penulis menghadapi hambatan dalam menyelesaikan tugas kelompok ini. Oleh karena itu
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Bapak Komarudin selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Ilmu Kewarganegaraan
Orang tua yang selalu memberikan motivasi dan semangat serta doa
Teman-teman Pendidikan Kewarganegaraan Semester I Kelas A Pagi selalu memberikan
motivasi dalam penyelesaian tugas mandiri ini.
Kami menyimpulkan bahwa dalam tugas kelompok ini masih jauh dari sempurna oleh itu
kami menerima kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan tugas kelompok ini dan
bermanfaat bagi Penulis serta Pembaca pada umunya.

Pamulang, November 2014

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kondisi kehidupan bangsa masyarakat Indonesia di era reformasi, dilihat dari sisi moral,
mengundang perhatian banyak pihak. Sebagai bangsa yang warganya menganut asas-asas Pancasila,
banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak diharapkan terjadi, seperti tawuran antar warga, tawuran antar
pelajar, perbuatan-perbuatan amoral yang terkait antara lain dengan masalah seksual, narkoba,
kecurangan dalam proses pendidikan, pemalsuan-pemalsuan ijazah dan sertifikat, dan semacamnya. Atas
dasar kondisi semacam itu, saat ini pemikiran bangsa Indonesia terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan terfokus kembali kepada pentingnya mengangkat masalah pendidikan karakter. Hal itu
memang harus demikian, karena masalah karakter bangsa Indonesia harus dapat menunjukkan jati diri
bangsa yang bermartabat, berkepribadian, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pada
tempatnya dan wajar bahwa semua lembaga penyelenggara pendidikan dan para pemerhati pendidikan,
ramai memikirkannya. Sementara ini persepsi tentang pendidikan karakter masih berbeda-beda; sebagian
pandangan menyatakan bahwa pendidikan karakter perlu diadakan secara monolitik dan dilaksanakan di
semua lembaga pendidikan, seperti halnya mata pelajaran yang lain. Di waktu yang lampau telah
dilakukan pendidikan budi pekerti yang pada dasarnya untuk membina karakter bangsa. Sebagian
pandangan yang lain berpendapat bahwa pendidikan karakter dilaksanakan secara integratif di semua
mata pelajaran dan bahkan secara holistik harus terefleksi dalam bentuk perilaku kehidupan di lembaga
pendidikan.
Dalam dokumen kurikulum 1975, Ilmu Pengetahuan Sosial yang biasa disingkat menjadi IPS
merupakan salah satu nama mata pelajaran yang diberikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
mata pelajaran integrasi dari mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi serta mata pelajaran ilmu
sosial lainnya agar pelajaran menjadi lebih bermakna dan berarti bagi peserta didik karena telah

disederhanakan dan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik. Sedangkan, sebagai
akibat dari adanya istilah IPS maka ada istilah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial atau disingkat PIPS
supaya bisa dibedakan dengan pendidikan pada tingkat universitas karena istilah PIPS sebagai pendidikan
disiplin ilmu digunakan untuk dikaji dan dikembangkan secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis di
tingkat perguruan tinggi baik pada jenjang S1, S2 maupun S3. Sementara keterkaitan antara pendidikan
kewarganegaraan dan PIPS, pada dasarnya ada dua pandangan utama. Pandangan pertama melihat
pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari PIPS, dan pandangan kedua melihat pendidikan
kewarganegaraan sebagai esensi atau inti dari PIPS. Seperti dikemukakan oleh Mehlinger (1977:78;
dalam hakikat PIPS:Tim dosen PIPS): social studies has no monopoly over citizenship education, but a
social studies without citizenship education as its core is like yards of thread without a spool-all tangle
and confusion. Dari pandangan ini dapat dilihat dengan jelas bahwa pendidikan kewarganegaraan dan
PIPS tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti halnya ditegaskan Mehlinger (1977:79) bahwa PIPS
tanpa pendidikan kewarganegaraan sebagai intinya, laksana benang tanpa gulungan, semuanya akan
kacau dan semerawut. Jika pandangan ini diterapkan untuk di Indonesia, dengan tegas dapat dikemukakan
bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan inti dari Pendidikan IPS. Pendidikan kewarganegaraan
memasuki ketiga wilayah tradisi PIPS, melalui tradisi citizenship transmission jelas pendidikan
kewarganegaraan menekankan pada pentransmisian kekayaan budaya bangsa kepada warga negara,
dalam tradisi sosial sciences pendidikan kewarganegaraan

diwadahi oleh ilmu politik, dan dalam

reflective inquiry menekankan pada kemampuan untuk mengambil keputusan dalam rangka memecahkan
masalah-masalah kewarganegaraan. Sehingga pendidikan kewarganegaraan dapat didudukkan sebagai
mata pelajaran yang berdiri sendiri, yang memiliki pijakan utama konsep-konsep ilmu politik dengan
salah satu dimensinya adalah pendidikan politik, dan kedua sebagai esensi atau core dari
pembelajaran disiplin ilmu sosial lainnya dalam rangka Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tradisi pengajaran PIPS sebagai pengajaran Ilmu Sosial


1. Pengertian IPS
IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak
akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun
ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for
Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai Social Science Education dan Social Studies. Dengan
kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti:
geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut meliputi : Ilmu Sosial (Social
Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1. Ilmu Sosial (Sicial Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai
berikut: Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan
biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang
mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota
masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.

Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota
masyarakat.
2. Studi Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin
akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social.
Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial
tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak
pendidikan dasar.
3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di
Amerika Serikat adalah Social Studies. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah
komite yaitu Committee of Social Studies yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian
lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial
di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai
berikut: social studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic competence.
Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic study drawing upon such
disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy, political science,
psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and
natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to
make informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic
society in an interdependent world.

Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan
interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari
berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah,
geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4)
bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran
seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
B. Paradigma Pendidikan IPS Indonesia
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran
social studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman
panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam
perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang
antara lain dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS) sejak pertemuan
organisasi tersebut untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang.
Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara
historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama di Indonesia belum ada lembaga
profesionalbidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang
dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana Pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat
muda dan produktivitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan
tahunan dan komunikasi antar anggota secara insidental. Kedua perkembangan kurikulum dan
pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS samapi saat ini sangat terganutng pada
pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan
perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang
Dikbud (Puskur). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS
tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggitanya yang kebetulan dilibatkan dalam
berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies

Curriculum Tas Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat. Oleh karena itu, perkembangan
pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perkembangan kurikulum
dalam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang
relevan dalam bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional
tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut laporan seminar tersebut (Panitia
Seminar Nasional Civic Education, 1972:2, dalam Winataputra, 1978:42) ada istilah yang muncul dan
digunakan secara bertukar-pakai (interchangeable), yakni pengetahuan sosial, studi sosial, dan Ilmu
Pengetahuan Sosial yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah sosial yang dipilih dan
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah
sosial itu dapat dipahami siswa. Dengan demmikian para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan
masalah sosial sehari-hari. Pada saat itu konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah,
tetapi baru dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepkati dalam seminar
tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS.
Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley dalam pertemuan
pertama NCSS tahun 1937 yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi
akademik, pemunculan pengertian IPS dengan mudah diterima dengan sedikit komentar.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun 19721973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini
terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam seminar Civic Education
di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Somantri, Achmad Kosasih Djahir, dan Dedih
Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan kurikulum PPSP FKIP Bandung beberapa
sebagai anggota tim pengembang kurikukum tersebut. Dalam kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan
istilah Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Penggunaan
garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran sosial yang walaupun

tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam kurikulum SD tahun 1968. Dalam kurikulum tersebut
digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup Sejarah Indonesia, Ilmu
Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu,
dalam kurikulum SD PPSP tersebut konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara.
Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi
yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah
Komprehensif yang isinya diwarnai oleh pemikiran Leonard Kenworthy (1970) dengan bukunya
Teaching Social Studies
Sedangkan dalam kurikulum sekolah menengah 4 tahun, digunakan tiga istilah yakni (1) studi
sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran
sosial yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS; (2)
Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum
sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung, 1973a, 1973b).Kurikulum PPSP
tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS,
yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini konsep
pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama
Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial, (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya
digunakan sebagai konsep payung untuk mata pelajaran geografi, sejarah, dan ekonomi; dan (3)
pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus, yang dalam konsep tradisi
citizenship transmission (Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975, yang
memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui kurikulum PPSP. Di dalam
kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila
menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang
mewadahi tradisi citizenship transmission; (2) pendidikan IPS terpadu untuk sekolah dasar; (3)

pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang
manaungi mata pelajaran geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah
yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi
untuk SPG (Dep. P dan K, 1975a; 1975b; 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap
dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan
dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasial. Sedangkan konsep
pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahab yang mendasar.
Di dalam kurikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang
wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran
IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS tepadu di SD kelas III s/d kelas IV; kedua: pendidikan
IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan ketiga:
pendidikan IPS terpisan-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut
Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran
Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; sosioligi di
kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, dan Antropologi
di kelas III Program IPS. Bila disimak dalam perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujud
dalam kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua
konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi citizenship
transmission dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah
Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS
terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
Dalam pembahasannya tentang Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial, Achmad
Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP,

menyinggung sedikit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS
di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada
guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kelas yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru
dari sumber lain; ketidakmutakhiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian
tujuan kognitif yang mengulit-bawang; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari lunaknya
isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan, dominannya latihan perpikir taraf rendah, guru yang
tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu
sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya
reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu
mengembangkan kecerdasan sisiwa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan
sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu pula diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana
dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan
perlunya batasan yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang
pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengorganisasian tema-tema pembelajaran yang
dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan
IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya
merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psikopedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan
guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengirganisasian secara ilmiah dan meta
psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan
profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dari PDIPS.
PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis,
yakni: pertama, PIPS dalam tradisi citizenship transmission dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua, PIPS dalam tradisi social science

dalam bentuk mata pelajaran IPS terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS terkonfederasi untuk SLTP,
dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan
manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dab UU No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Dalam konteks perkembangan pendidikan social studies di Amerika atau Pendidikan IPS di
Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai citizenship education atau
Pendidikan Kewarganegaraan berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses
social studies atau pendidikan IPS, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan
salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran social studies atau pendidikan IPS. Walaupun
demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah
menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk
mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembanngan
konsep dan praksis demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan
yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau untuk Indonesia dikenal dalam label
yang berubah-ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan
Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Menyimak perkembangan social studies secara umum dan pendidikan IPS di Indonesia sampai saat ini
maka perlu adanya reorientasi pendidikan IPS sebagai berikut:
1. Menegaskan kembali visi pendidikan IPS sebagai program pendidikan yang menitikberatkan pada
pengembangan individu siswa sebagai aktor sosial yang mampu mengambil keputusan yang
bernalar dan sebagai warga negara yang cerdas, memiliki komitmen, bertanggung jawab, dan
partisipatif.
2. Menegaskan kembali misi pendidikan IPS untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode ilmuilmu sosial dan bidang keilmuan lain untuk mengembangkan karakter aktor sosial dan warga
negara Indonesia yang cerdas dan baik.

3. Memantapkan kembali tradisi pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang


diwadahi oleh mata pelajaran IPS terpadu dan mata pelajaran IPS terpisah.
4. Menata kembali sarana programatik pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan
(Kurikulum, Satuan Pelajaran, dan Buku Teks) sehingga memungkinkan terciptanya tujuan
pendidikan IPS.
5. Menata kembali sistem pengadaan dan penyegaran guru pendidikan IPS sehingga dapat
dihasilkan calon guru dan guru pendidikan IPS yang profesional.
B. Tradisi PIPS
1. Tujuan PIPS
NCSS (1993) PIPS merupakan studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humanities untuk
mempromosikan kompetensi kewarganegaraan
Tujuan utama PIPS adalah membantu siswa mengembangkan kecakapan untuk membuat
informasi dan mengambil keputusan rasional untuk kebajikan umu sebagai warga negara yang beragam
kebudayaan dan masyarakat demokratis di dalam dunia yang saling ketergantungan
2. Tujuan dilihat dari tradisi PIPS
Barr dkk (1978:18)
a. Tradisi Social Studies Taught as Citizenship Transmission
Suatu modus pembelajaran sosial yang bertujuan untuk mengembangkan warganegara yang baik, yang
ditandai oleh conforms to certain accepted practices, hold particular beliefs, is loyal to certain values,
participates in certain activities, and conforms to norms which are often local in character (Barr dkk,
1978:22). Oleh karena itu, tujuan dari tradisi ini adalah mengembangkan warga negara yang baik sesuai
dengan

b.Tradisi Social Studies Taught as Social Science


Modus pembelajaran social yang juga mengembangkan karakter warga Negara yang baik yang
ditandai oleh penguasaan mode of thinking from social science disciplines; that this mode of thinking is
generalizable; and having learned it he will understand properly, appreciate deeply, infer carefully, and
conclude logically (Barr, dkk, 1978:23-24).
Tradisi ini memusatkan perhatian pada upaya pengembangan karakter warga Negara yang baik,
yang ditandai oleh kemampuannnya dalam melihat dan mengatasi masalah-masalah social dan personal
dengan menggunakan visi dan cara kerja para ilmuwan social nilai dan norma yang telah diterima secara
baku dalam suatu negara.
C. Tradisi PIPS sebagai refleksi inquiri
Modus pembelajaran social yang menekankan pada hal yang juga sama, yakni pengembangan
warga Negara yang baik dengan criteria yang berbeda yaitu dilihat dari kemampuannya to engage in a
continual process of clarifying process their own value structure (Barr, dkk, 1978:27).
Tujuan utama dari tradisi ini adalah pengembangan karakter warga Negara yang baik dengan ciri
pokoknya mampu mengambil keputusan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran
social studies di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki penaglaman panjang dan
reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Seperti karya akademis yang dipublikasikan oleh
National Council for the Social Studies (NCSS).
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973,
yakini dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum
1975 menampilkan empat profil yakni: 1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan
Kewargaan Negara; 2) Pendidikan terpadu untuk Sekolah Dasar; 3) Pendidikan IPS terkonvederansi
untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata pelajaran Geografi,
Sejarah, dan Ekonomi Koperasi; dan 4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran
sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan
IPS terpilah dalam dua arah, yakni: pertama, PIPS untuk dunia persekolah yang pada dasarnya merupakan
penyederhanakan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis
untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS
yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psikopedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relavan, untuk pendidikan profesional
guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.

DAFTAR PUSTAKA

Nadir, dkk., Ilmu Pengetahuan Sosial 1, Surabaya: Amanah Pustaka, 2009


Sapriya, dkk., Pendidikan IPS, Bandung: Laoratorium PKn UPI Press, 2008
-----------, Konsep Dasar IPS, Bandung: UPI Press, 2006
Somantri Muhammad Numan, Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001
Supardan Dadang, Pengantar Ilmu sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Jakarta: Bumi Aksara,
2009

Anda mungkin juga menyukai