Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH FASE-FASE PERKEMBANGAN ILMU SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI

Disusun Oleh: Eka Desi Rahayu 1011080053 Feri Mustapa 1011080019 Satya Fattah Ibrahim 1011080008 Septio Mauliana 1011080045

IAIN RADEN INTAN LAMPUNG


FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2010 - 2011

LATAR BELAKANG MASALAH


Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat mengalami perubahan sosial yang sangat cepat , maju dan memperlihatkan gejala desintergratif. Perubahan sosial yang cepat itu meliputi berbagai bidang kehidupan, dan merupakan masalah bagi semua institusi sosial seperti: industry, agama, perekonomian, pemerintahan, keluarga, perkumpulan-perkumpulan dan pendidikan. Masalah sosial dalam masyarakat itu juga dirasakan oleh dunia pendidikan. Masalah pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah, dan pendidikan dalam masyarakat merupakan refleksi masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Gejala-gejala seperti penderitaan rakyat, kegelisahan sosial, dan desintegrasi sosial (konflik) antar ras konflik politik, konflik antar golongan agama, pemogokan perang, dan sebagainya merupakan gejala umum yang terdapat pada berbagai masyarakat. Krisis yang kita alami sekarang adalah krisis dalam hubungan antar manusia, tata sosial, dan krisis dalam hal kepercayaan. Masyarakat pada hakikatnya merupakan sistem hubungan antara satu dengan yang lain. Tiap masyarakat mengalami perubahan dan kontinuitas (kelangsungan), intergrasi dan desintegrasi, kerjasama dan konflik. Dasar ikatan masyarakat ialah adanya kepentingan dan nilai-nilai umum yang diterima oleh anggota-anggotanya. Program yang berlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat dan menyebabkan berkurangnya kesetiaan terhadap nilai umum itu. Jika hal itu terjadi, masyarakat jelas akan mengalami desintegrasi. Menurut R. Linton, nilai-nilai dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi 2 golongan, yaiut: nilai-nilai inti (universal) dan nilai-nilai periphery (alternatives). Universal itu sifatnya kuat, integrated, stabil, dan diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat, bahkan menjadi dasar daripada tata sosial masyarakat. Sedangkan alternatif sifatnya tidak stabil, kurang integrated dan hanya diterima oleh sebagian anggota masyarakat. Dasar alternatives ialah adanya kekhususankekhususan pada individu. Apabila masyarakat berubah cepat, maka alternatives tumbuh banyak, hal itu dapat mengabulkan universals, isi nilai-nilai inti itu menjadi berkurang. Akibatnya kebudayaan sosial kehilangan pola dan kesatuannya. Tanpa adanya ide-ide dan kebiasaan bersama yang meluas di kalangan masyarakat, anggota-anggota masyarakat tidak akan bertindak sebagai kesatuan dalam menghadapi stimuli, mereka tidak dapat bekerja sama secara efektif.

TINJAUAN TEORI
Fase-fase perkembangan ilmu sosiologi
Auguste comte yang pertama-tama memakai istilah sosiologi adalah orang pertama yang membedakan antara ruang lingkup dan isi sosiologi dari ruang lingkup dan isi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Ia menyusun suatu sistematika dari filsafat sejarah dalam kerangka tahap-tahap pemikiran yang berbeda-beda. Menurut Auguste Comte ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masingmasing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya, Yaitu: 1 I. Fase pertama (Tahap Teologi atau Fiktif)

Adalah suatu tahap dimana manusia menafsirkan gejala-gejala disekelilingnya secara teologis yaitu dengan kekuatan yang dikendalaikan roh, dewa-dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Penafsiran ini penting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memusuhinya dan untuk melindungi dirinya dari faktor-faktor yang tidak terduga timbulnya. II. Fase kedua (Tahap Metafisika)

Fase ini merupakan fase perkembangan dari tahap pertama. Pada fase ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Di sini manusia terikat oleh cita-cita tanpa verifikasi. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita berkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukumhukum alam yang seragam. III. Fase ketiga

Pada fase ketiga ini merupakan tugas ilmu pengetahuan positif. Dikatakan demikian, karena merupakan tahap akhir dari perkembangan manusia. Ilmu pengetahuan positif ialah ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkrit tanpa ada halangan dari pertimbanganpertimbangan lainnya. Dalam arti bahwa di dalam memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan yaitu dengan jalan mengukur isinya yang positif serta sejauh mana ilmu tadi dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.
1

Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006. h. 30

Gagasan tentang adanya 3 tahap oleh Aguste Comte ini walau merupakan suatu fiksi akan tetapi hal ini memberikan penerangan terhadap pikiran manusia, serta psikologis merupakan suatu perkembangan yang penting. Ketiga tahap tersebut dapat memenuhi pikiran manusia pada saat yang bersamaan, dimana kadangkadang timbul pertentangan-pertentangan tersebut seringkali tidak disadari oleh manusia, sehingga timbul ketidak serasian. Apakah yang sebenarnya dimaksudkan oleh Auguste Comte dengan ilmu pengetahuan positif, dan dimanakah letak sosiologinya? Menurut Auguste Comte, suatu ilmu pengetahuan bersifat positif, apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkret, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap pelbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu tadi dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Hierarki atau tingkatan ilmu-ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalitas dan penambahan kompleksitasnya adalah: a. b. c. d. e. f. Matematika Astronomi Fisika Ilmu kimia Biologi Sosiologi

Hal yang menonjol dari sistematika Comte adalah penilaianannya terhadap sosiologi, yang merupakan ilmu pengetahuan paling kompleks, dan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang akan berkembang denga pesat sekali. Sosiologi merupakan studi positif tentang hukum-hukum dasar dari gejala sosial. Kemudian Comte membedakan antara sosiologi Statis dengan Dinamis. Sosiologi Statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar dari adanya masyarakat. Studi ini merupakan semacam anatomi sosial yang mempelajari aksiaksi dan reaksi timbal balik dari sistem-sistem sosial. Sosiologi Dinamis merupakan teori tentang perkembangan dalam arti pembangunan. Ilmu pengetahuan ini menggambarkan cara-cara pokok dalam mana perkembangan manusia terjadi dari tingkat intelegensia yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.2

Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006. H. 31

Fase-fase perkembangan ilmu Antropologi


I. Fase pertama (Sebelum 1800).

Suku-suku bangsa penduduk pribumi afrika, asia dan amerika mulai didatangi oleh orang Eropa Barat sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, dan lambat laun dalam suatu proses yang berlangsung kira-kira 4 abad lamanya, berbagi daerah di muka bumi mulai terkena pengaruh Negara-negara Eropa Barat. Bersama dengan perkembangan itu mulai terkumpul suatu himpunan besar dari buku-buku kisah perjalanan, laporan, dan sebagainya dari buah tangan para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan. Dalam buku-buku itu termuat suatu himpunan besar dari pengetahuan berupa deskripsi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan cirri-ciri fisik dari beraneka warna suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania (Kepulauan di Lautan Teduh) dan suku-suku bangsa Indian, penduduk pribumi Amerika. Bahan-bahan deskripsi itu amat menarik perhatian orang Eropa karena semuanya itu tentu sangat berbeda dari adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan cirri-ciri fisik bangsa-bangsa Eropa Barat. Bahan pengetahun tersebut disebut bahan etnografi, atau deskripsi tentang bangsa-bangsa (dari kata ethos=bangsa). Deskripsi-deskripsi tadi biasanya tidak teliti/detail, seringkali bersifat kabur, dan kebanyakan hanya memperhatikan hal-hal yang dalam mata orang Eropa tampak aneh saja, walaupun ada pula karangan-karangan yang lebih baik dan lebih teliti sifatnya.3 Karena keanehannya, bahan etnografi tadi menarik perhatian kalangan terpelajar di Eropa barat sejak abad ke-18. Kemudian dalam pandangan orang eropa timbul tiga macam sikap yang bertentangan terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan orang-orang Indian di Amerika tadi yaitu: 1) Sebagian orang eropa memndang akan sifat keburikan dari bangsa-bangsa jauh tadi itu, dan mengatakan bahwa mereka manusia liar, turunan iblis dan sebagainya. Dengan demikian timbul istilah-istilah seperti savages, primitives, yang dipakai orang eropa untuk menyebut bangsa-bangsa tadi. 2) Sebagian orang eropa memandang akan sifat-sifat baik dari bangsa-bangsa jauh tadi, dan mengatakan bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah contoh dari masyarakat yang masih murni, yang belum kemasukan kejahatan dan keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsabangsa Eropa Barat awktu itu. 3) Sebagian orang Eropa tertarik pada adat-istiadat yang aneh, dan mulai mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa diu
3

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 1-3

Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika Pribumi. Kumpulan0kumpulan pribadi tadi ada yang dihimpun menjadi satu, supaya dapat dilihat oleh umum dengan demikian timbul museum-museum pertama tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa.

II.

Fase kedua (Kira-Kira Pertengahan Abad ke-19).

Integrasi yang sungguh-sungguh baru timbul pada pertengahan abad ke-19, waktu timbul karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi tersebut berdasarkan cara berfikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berpikir itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat dalam satu jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi. Bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang tertinggi itu adalah bentuk-bentuk seperti apa yang hidup di Eropa Barat itu. Semua bentuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa, yang oleh orang Eropa disebut primitive, dianggap sebagai contoh-contoh dari tingkat kebudayaan manusia zaman dulu. Berdasarkan rangka cara berfikir tersebut, maka semua bangsa di dunia dapat digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi itu. Dengan timbulnya beberapa karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang beraneka warna kebudayaan di seluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat evolusi yang tertentu, maka timbullah ilmu antropologi. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam fase perkembangannya yang ke-II ini ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal, dengan tujuan untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitive dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. 4 III. Fase ketiga (Permulaan Abad ke-20).

Pada permulaan abad ke-20, sebagian besar dari Negara-negara penjajah di Eropa masing-masing berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaannya di daerahdaerah jajahan di luar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya tadi, yang wktu itu berhadapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah di luar Eropa, maka ilmu antropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa itu menjadi sangat penting. Bersangkutan erat dengan itu dikembangkan pendirian bahwa mempelajari bangsa-bangsa itu pada umumnya

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 3-4

masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti masyarakat bangsabangsa Eropa. Suatu ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti yang teruari di atas itu, terutama berkembang di Negara inggris sebagai Negara penjajah yang utama, tetapi juga di hampir semua Negara kolonial lainnya. Ilmu antropologi di Amerika Serikat, yang bukan Negara kolonial, tetapi yang mengalami berbagai masalah yang berhubungan dengan suku-suku bangsa Indian penduduk pribumi Benua Amerika, kemudian terpengaruh oleh ilmu antropologi yang baru tadi. Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan bertujuan untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar eropa guna kepentingan pemerintah colonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks. 5 IV. Fase keempat (Sesudah Kira-Kira 1930).

Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa perkembangan yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Kecuali itu kita lihat adanya dua perubahan dunia: 1. Timbulnya antipati terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II, 2. Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitive (bangsa-bangsa asli terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah Perang Dunia II memang hampir tidak ada lagi di muka bumi ini. Proses-proses tersebut menyebabkan bahwa ilmu antropologi seolah-olah kehilangan lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang baru. Adapun warisan dari fase-fase perkembangan semula, yaitu yang pertama, kedua dan ketiga, berupa bahan etnografi dan banyak metode ilmiah, tentu tidak dibuang demikian saja, melainkan dipakai sebagai landasan bagi perkembangannya yang baru. Perkembangan itu terjadi di universitas-universitas di Amerika Serikat, tetapi menjadi umum di Negara-negara lain juga setelah tahun 1951, ketika 60 orang tokoh ahli antropologi dari berbagai Negara di Amerika dan Eropa (termasuk Uni Soviet), mengadakan suatu symposium internasional untuk meninjau dan merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang baru itu.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 4-5

Perhatian tidak hanya tertuju pada penduduk daerah pedesaan di luar benua Eropa, tetapi juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan di Eropa (seperti sukusuku bangsa Soami, Flam, Lapa, Albania, Irlandia, penduduk Pegunungan Sierra dan lain-lain. Mengenai tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam fase perkembangannya yang keempat ini dibagi dua, yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktisnya. Tujuan akademikalnya adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya. Karena di dalam praktek ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat suku-bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu. 6

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 5-6

PEMBAHASAN
ANALISIS
Fase Sosologi

Ada tiga tahapan perkembangan sosiologi, pada fase pertama bahwa segala hal yang terjadi adalah bentuk kekuatan dari roh-roh, dewa-dewa dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka beranggapan bahwa semua gejala tersebut terjadi atas kehendak sesembahan mereka. Untuk fase kedua manusia beranggapan bahwa setiap gejala ada kekuatan,dan ada manusia terikat oleh cita-cita yang tanpa didasari dengan penelitian terlebih dahulu. Oleh karena itu adanya kepercayaan bahwa cita-cita terkait oleh kenyataan. Sedangkan pada fase terakhir adalah

perkembangan manusia, di dalam perkembangan ini mncul ilmu pengetahuan positif . ilmu tersebut memusatkan perhatian pada gejala yang nyata. Ilmu ini mengungkap kebenaran yang positif.

Fase Antropologi

Pada fase pertama orang eropa barat mulai mendatangi penduduk pribumi Afrika, Asia, dan Amerika sejak akhir abad ke-15 dan awal ke-16. orang eropa barat mengatakan bahwa penduduk Afrika, Asia adalah orang-orang liar atau belum tersentuh pembaharuan dan orang-orang eropa barat tertarik tertarik pada kebudayaan /adat istadat yang aneh dan mengumpulkan benda-benda kebudayaan dan mengumpulkanya di museum. Kemudian pada fase kedua mulai timbul ilmu pengetahuan yang berawal dari pemikiran orang eropa yang menganggap bahwa bangsa yang diluar eropa adalah primitive.dan dari pola berfikir itu dapat memunculkan tingkatan evolusi dunia. Dengan timbulnya beberapa karangan sekitar than 1860, yang mengklasifikasikan beraneka kebudayaan di seluruh Indonesia, dalam tingkatan evolusi it maka timbulah ilmu antropologi yang bersifat akademikal. Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi satu ilmu yang praktis dan bertujuan mempelajari masyarakat dan kebudayaan bangsa diluar eropa, guna kepentingan colonial dan untuk mendapat suatu pengertian tentang

masyarakat masa kini. Dan fase ke empat kira-kira terjadi pada 1930an.pada fase ni sosiologi mengalami masa perkembangan yang paling luas, baikm mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode imiahmya. Mengenai tujuanya, ilmu antropologi yang baru dalam fase perkembanganya yang keempat ini dibagi dua, yaitu tujuan akademikalnya dan tujuan praktisnya. Tujuan akademikalnya adalah mencapai pengertian tentang mahluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaanya. Karena di dalam praktek ilmu antropolgi biasanya mempelajari masyarakat suku-bangsa, maka tujuan praktsnya adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.

10

KESIMPULAN
Sejarah perkembangan Sosiologi dibagi menjadi 3 tahap atau fase yaitu: Fase pertama atau disebut juga dengan Tahap Teologi atau Fiktif dimana manusia menafsirkan suatu gejala-gejala yang terjadi di sekelilingnya dan semua hal itu ada kaitannya dengan dewa-dewa, roh, dan Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan kepercayaannya. Fase kedua atau disebut juga dengan Tahap Metafisika yaitu manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala yang terjadi di masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Fase ketiga yaitu fase atau tahap yang terakhir dari perkembangan ilmu sosiologi. Dalam tahap ini tugas ilmu pengetahuan positif menjadi peran utama. Ilmu pengetahuan positif ialah ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkrit tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Di dalam memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan yaitu dengan jalan mengukur isinya yang positif serta sejauh mana ilmu tadi dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.

Sejarah Perkembangan Antropologi dibagi menjadi 4 tahap atau fase yaitu: Fase pertama, kira-kira sebelum tahun 1800. Suku-suku bangsa penduduk pribumi afrika, asia dan amerika mulai didatangi oleh orang Eropa Barat sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Bersama dengan perkembangan itu mulai terkumpul suatu himpunan besar dari buku-buku kisah perjalanan, laporan, dan sebagainya dari buah tangan para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan yang kemudian dibentuk sebuah etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa. Fase kedua, Kira-kira Pertengahan Abad ke-19. Dalam fase perkembangan yang ke-II ini ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal, dengan tujuan untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitive dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Fase ketiga, kira-kira pada permulaan Abad ke-20. Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan bertujuan untuk
11

mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar eropa guna kepentingan pemerintah colonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks. Fase keempat, kira-kira sesudah 1930. Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa perkembangan yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Ilmu antropologi yang baru dalam fase perkembangannya yang keempat ini dibagi dua, yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktisnya. Tujuan akademikalnya adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya. Sedangkan tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.

12

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 2002, Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 2005, Jakarta: Rineka Cipta. Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006.

13

Anda mungkin juga menyukai