Anda di halaman 1dari 22

HAKIKAT KEBUDAYAAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Kebudayaan
Daerah
Dosen Pengampu: Mahilda Dea Komalasari, M.Pd

Disusun oleh:
Yogi Dwi Cahya

(13144600245)

Astin Wulandari

(13144600256)

Resti Rachmadani

(13144600260)

Wida Catur Wulandari

(13144600272)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2016
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala rahmat, petunjuk, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini sesuin dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini dapat digunakan sebagai
wahana untuk menambah pengetahuan, dan sebagai referensi tambahan dalam belajar
Hakikat Kebudayaan. Makalah ini dibuat sedemikian rupa agar pembaca dapat dengan
mudah mempelajari dan memahami Hakikat Kebudayaan secara lebih lanjut.
Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
mempersiapkan, melaksanakan, dan menyelesaikan penulisan makalah ini. Segala upaya
telah dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila dalam
makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan.
Tiada gading yang tak retak. Dari peribahasa itu, penulis menyadari makalah ini
memiliki banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisan.
Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang menbangun demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
bagi penulis dan pembaca.

Yogyakarta, 12 Maret
2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A.

Latar Belakang...........................................................................................1

B.

Rumusan Masalah......................................................................................1

C.

Manfaat.......................................................................................................1

D.

Tujuan Penulisan........................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
A.

B.

Pengertian Kebudayaan.............................................................................2
a.

Kebudayaan secara Antropologi...........................................................5

b.

Kebudayaan secara Ontologi.................................................................6

c.

Kebudayaan secara Epistimologi..........................................................8

d.

Kebudayaan secara Aksiologi..............................................................11


Benda-Benda Hasil Kebudayaan.............................................................13

BAB III..................................................................................................................19
PENUTUP.............................................................................................................19
Kesimpulan.......................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

BAB I
PENDAHULUAN

A; Latar Belakang
Apa yang dinamakan kajian budaya saat ini dalam bidang ilmu
sosial, kurang lebih sama dengan apa yang dimaksud dengan cultural
studies, yaitu sebuah pendekatan terhadap kebudayaan yang lahir di
Inggris, yang mendapat bentuk pada akhir 1950-an tetapi kemudian
diresmikan sebagai pusat studi kebudayaan yang dikenal dengan Center
For Contemporary Cultural Studies di Birmingham pada tahun 1964,
dengan direktur pertamanya, Richard Hoggart. Pendekatan terhadap
kebudayaan yang diperkenalkan oleh kelompok ini ternyata memberikan
semacam antitesa terhadap apa yang berlaku pada antropologi budaya.
Beberapa asumsi yang coba ditawarkan oleh kajian budaya (CS),
ternyata mengubah pandangan orang tentang kebudayaan, yang pada
awalnya sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi antropologi. Asumsiasumsi inilah yang kemudian sangat membedakan kajian budaya (CS) dari
ilmu-ilmu lainnya.Sebagai sebuah ilmu tentunya kajian budaya memiliki 3
aspek seperti yang dimiliki oleh ilmu-ilmu lainnya, yaitu aspek ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Sebagai mahasiwa dalam disiplin ilmu kajian
budaya (CS), pemahaman filsafat ilmu dalam disiplin ilmu kajian budaya
(CS) sangatlah penting, terutama pemahaman dari aspek ontologi,
epistemologi dan aksiologi sangat bermanfaat.

B; Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1; Apa itu kebudayaan secara ontology, epistemology, dan aksiologi ?
2; Bagaimana pendapat para ahli tentang pengertian kebudayaan?
3; Apa saja benda-benda yang termasuk hasil kebudayaan?

C; Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
terutama tentang Hakikat Kebudayaan baik penulis maupun pembaca.

D; Tujuan Penulisan
1; Mengetahui pengertian kebudayaan secara ontology, epistemology, dan

aksiologi.
2; Mengetahui pendapat para ahli tentang pengertian kebudayaan.
3; Mengetahui benda-benda yang termasuk hasil kebudayaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A; Pengertian Kebudayaan
Berbicara tentang kebudayaan maka akan timbul beragam pendapat
mengenai pengertian istilahnya. Kebudayaan memang kerap kali tidak
dapat terpisah jauh dari kehidupan umat manusia. Karena dari
kebudayaanlah seorang masyarakat tersebut membentuk pola hidupnya.
Secara etimologi, kebudayaan berasal kata budaya yang dalam
bahasa SansekertaBodhya yang berarti akal budi diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani atau memelihara ladang dan
memelihara hewan ternak. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Mengacu dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan arti
kebudayaan secara etimologi adalah suatu hasil dari budi dan atau daya,
cipta,karya,karsa,pikiran dan adat istiadat manusia yang secara sadar
maupun tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab.
Dikatakan membudaya bila kontinu, konvergen.
Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:

1; Edward B. Taylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya


terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang
sebagai anggota masyarakat.
2; M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi
sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya
merupakan warisan sosial.
3; Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
4;

5;

6;

7;

8;

milik diri manusia dengan belajar.


Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan
pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara
individu maupun kelompok.
William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki
bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh
para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan
dapat di terima oleh semua masyarakat.
Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan
manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang
merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai
rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat
tertib dan damai.
Francis Merill
a; Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi social
b; Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang
sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan melalui
interaksi simbolis.
Bounded et.al

Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan


transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu,
misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan
untuk mengalihkan keyakinan budaya diantara para anggota suatu
masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat
di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem
pendidikan dan semacam itu.
9; Mitchell (Dictionary of Soriblogy)
Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau
aktivitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah
memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara
genetikal.
10; Robert H Lowie

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari


masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma
artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh bukan dari
kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang
di dapat melalui pendidikan formal atau informal.
11; Arkeolog R. Seokmono
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda
ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki
bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para
anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di
terima oleh semua masyarakat. Selain teori yang dikemukakan para ahli
diatas, ada beberapa pengertian kebudayaan sebagai berikut:
a; Kebudayaan secara Antropologi
Banyak yang mengemukakan tentang hakikat kebudayaan, slah
satunya dari ilmu antropologi. Salah satu pengertian pertama tentang
pengertian istilah "kebudayaan" berdasarkan antropologi adalah oleh
Sir Edward Burnett Tylor, antropolog asal Inggris dalam halaman
pertama bukunya yang terbit tahun 1897: "Kebudayaan, atau
peradaban, diambil dalam artinya yang luas dan etnografis, adalah

keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan,


kepercayaan, kesenian, kesusilaan, hukum, adat-istiadat dan
kemampuan dan kebiasaan lain mana pun yang didapati manusia
sebagai anggota masyarakat. Istilah "peradaban" di kemudian hari
diganti definisinya oleh V. Gordon Childe, di mana "kebudayaan"
menjadi istilah perangkum dan "peradaban" menjadi satu jenis khusus
kebudayaan.
Wawasan antropologis tentang "kebudayaan" antara lain
mencerminkan reaksi terhadap wacana sebelumnya di dunia Barat,
yang berdasarkan pada perlawanan antara "budaya" dan "alam", di
mana sejumlah manusia dianggap masih hidup dalam "keadaan
alamiah". Para antropolog menyatakan bahwa kebudayaan justru
merupakan "alam manusia" dan semua manusia memiliki kemampuan
untuk menyusun pengalaman, menterjemahkan penyusunan ini secara
simbolis berkat kemampuan berbicara dan mengajarkan paham
tersebut ke manusia lainnya.
Karena manusia mendapati kebudayaan melalui proses belajar
enculturation dan sosialisasi, orang yang tinggal di tempat yang
berbeda atau keadaan yang berbeda, akan mengembangkan
kebudayaan yang berbeda. Para antropolog juga mengemukakan
bahwa melalui kebudayaan, orang dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya secara non-genetik, sehingga orang yang tinggal di
lingkungan yang berbeda sering akan memiliki kebudayaan yang
berbeda. Teori antropologi terutama berasal dari kesadaran dan minat
akan perselisihan antara segi lokal (kebudayaan tertentu) dan global
(kemanusiaan secara umum, atau jaringan hubungan antara orang di
tempat atau keadaan yang berbeda).
Perkembangan antropologi budaya terjadi dalam konteks akhir
abad ke-19, saat pertanyaan tentang kebudayaan manakah yang
"primitif" dan yang mana yang "beradab", tidak hanya ada dalam
benak Marx dan Freud tapi juga banyak orang lainnya. Kolonialisme
dan prosesnya semakin sering membuat pemikir asal Eropa
berhubungan, secara langsung atau tidak langsung, dengan bangsa lain
yang "primitif". Keadaan yang berbeda antara berbagai kelompok
manusia, yang sebagian memiliki teknologi modern dan maju seperti

mesin dan telegraf, sedangkan sebagian lain tidak memiliki apa-apa


kecuali komunikasi tatap muka dan masih hidup dengan gaya
Paleoliti, menarik perhatian angkatan pertama antropolog budaya.
Sejajar dengan perkembangan antropologi budaya di Amerika
Serikat, di Inggris antropologi sosial, dimana "kesosialan" merupakan
paham inti yang berpusat pada penelitian mengenai kedudukan dan
peranan sosial, kelompok, lembaga dan hubungan antaranya,
berkembang sebagai disiplin akademis. Suatu istilah perangkum, yaitu
antropologi sosial-budaya, mengacu baik ke antropologi budaya
maupun social.
b; Kebudayaan secara Ontologi
Ontologi yang merupakan jawaban terhadap apa yang menjadi
objek sebenarnya (proper object) dari ilmu tersebut, Setiap ilmu harus
mempunyai objek sebenarnya (proper object) yang berwujud objek
material dan objek formal. Objek material adalah fenomena yang
ditelaah oleh ilmu sedangkan objek formal adalah pusat perhatian
dalam penelahaan terhadap fenomena. Tidak bisa disangsikan lagi
bahwa ilmu bisa memiliki objek material yang sama tetapi perbedaan
sudut pandang terhadap objek material yang sama akan menghasilkan
macam ilmu yang berbeda. Secara ontologi, kajian budaya berbeda
hakekatnya.
Aspek ontologi menyangkut fakta, realitas, fenomena empiris
yang menjadi objek telaah suatu ilmu. Aspek ontologi kajian budaya
(cultural

Studies)

adalah

menyangkut kebudayaan

sebagai

fakta/realitas/ fenomena empiris. Konsep budaya dalam cultural


Studies bukanlah seperti didefenisikan dalam kajian lain sebagai
objek keadiluhungna estetis atau sebuah proses perkembangan
estetik, intelektual dan spriritual, melainkan budaya sebagai teks dan
praktik hidup sehari-hari. Aspek-aspek yang menjadi kajian dari
disiplin ilmu Cultural Studies, meliputi apsek politik, ekonomi,

kepercayaan, sturuktur sosial, pendidikan, teknologi, bahasa, seni dan


lain-lain (Pujaastawa, 2013).
Secara lebih spesifik objek telaah kajian budaya (Cultural
Studies) sebagai bagian dari aspek ontology adalah sebagai berikut :
a; Negara dan kebijakan sosial
b; Kontrol sosial
c; Budaya pop
d; Analisis wacana
e; Media massa
f;
g;
h;
i;
j;
k;
l;

Kajian jender
Psikologi sosial
Sosiologi pendidikan
Gerakan sosial
Metode penelitian
Ras dan etnisitas
Politik dan politik mikro (Pujaastawa (2013))

c; Kebudayaan secara Epistimologi


Epistemologis dapat diartikan sebagai teori ilmu. Sebagai cabang
filsafat,

menyelediki asal,

pengetahuan manusia.

sifat,

Epistemologi

metode,
juga disebut

dan

bahasan

sebagai

teori

pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi sebagai teori


pengetahuan, membahas secara mendalam seluruh proses yang
terlihat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan, sebab
pengetahuan didapat melalui

proses tertentu yang

dinamakan metode keilmuan. Jujun S. Sumintri, (1985) dalam


Ginting (2013).
Epistemologis yang mengacu pada metode atau cara bagaimana
objek

tersebut

dikaji

untuk

mendapat

pengetahuan,

Aspek

epistimologis dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai metode yang


berarti cara kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk

10

memahami suatu objek yang dipermasalahkan dan sekaligus


merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Oleh karena itu setiap
cabang

ilmu

pengetahuan

(termasuk

kajian

budaya)

harus

mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek studi ilmu


pengetahuan itu sendiri.kajian budaya adalah sebuah ilmu yang
bersifat interdisipliner, transdisipliner, dan kadang-kadang bahkan
kontra disiplineryang beroperasi dalam tegangan antara berbagai
kecenderungan untuk meliputi sebuah konsesi antropologis yang luas
tentang kebudayaan dan sebuah konsepsi humanis yang semakin
dipersempit tentang kebudayaan
Chris Barker (2005) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki
titik acuan yang tunggal.Selain itu, kajian budaya memang terlahir
dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang
multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan
Eropa kontinental. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai
kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih
longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang
sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis. Sedangkan
teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin kajian
budaya melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab
Frankfurt.Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian,
Hegelian, Marxian, dan Freudian.Sehubungan dengan karakter
akademis, pandangan lain dari Ben Agger membedakan kajian budaya
sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya sebagai mode analisis dan
kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek teori sosial kritis,
yaitu kritik ideologi.
Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam
kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal
metodologi

terhadap

cara

pemaknaan

sebuah

praktik-praktik

kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak

11

suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan


maupun bahasa.
Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan
persoalan metodologi.Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu
wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang
disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality.
Senada dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko, kajian budaya
mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived
experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text (teks)
dan social context (konteks sosial). Jadi, metodologi dalam kajian
budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks
sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi
antara yang hidup, yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik,
tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam dunia
jaman sekarang (modern/kapitalis).
Bagi Saukko, hal yang paling fundamental dalam kajian budaya,
pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari
budaya yang ada (high culture to low culture/popular), kedua, analisis
dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari pertarungan
dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus dipenuhi dalam
memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan
kepedulian pada kesejarahan.
Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian
budaya dan dianggapgood/valid research adalah truthfulness, selfreflexivity, polivocality.

Dan,

menerapkan

sebuah

validitas

dekonstruktif yang biasa digunakan oleh peneliti pascastrukturalis,


yaitu postmodern

excess (Baudrillard), genealogical

historicity (Foucalt),

dan deconstructive

kerangka

yang

bagan

dibuat

12

critique (Derrida).

Saukko

dalam

Pada

bukunya

itu, Truthfullness digambarkan


epistemologi,
disandingkan

metapora,

dengan

tujuan

dengan

paradigma;

penelitian

dan

ontologi,

politik

yang

model triangulasi, prism, material

semiotic dan dialogue.


Self-reflexivity ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori
sosial kritis yang dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis
kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling
bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola
kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya.
Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau
suara) dengan cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan
mudah dapat didukung satu sama lain, meski ini membutuhkan
ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar
memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya.
Paradigma yang digunakan mengambil model triangulasi yang
berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan atau metodemetode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain.
Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi
suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa.Validitas
(keabsahan)

penelitian

dalamCultural

Studies yang

menuju

kebenaran (truth) maka yang dipakai adalah triangulation.


Berbeda dengan antropologi tradisional, cultural studies bertumbuh
dari

berbagai

analisis

tentang

masyarakat

industri

modern.

Metodeloginya bersifat tipikal interpretative dan evaluative, namun


berbeda

dari

humanism

tradisional cultural

studies menolak

persamaan yang dibuat antara kebudayaan dan kebudayaan tinggi


dengan alasan bahwa segala bentuk produksi budaya harus dipelajari
dalam kaitan praktek kebudayaan lainnya dan dalam kaitan dengan
struktur-struktur sosial dan historis.

13

d; Kebudayaan secara Aksiologi


Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari
bahasa Yunani : axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori
tentang nilai. Di jaman modern ini ilmu merupakan sesuatu yang
penting bagi kehidupan

manusia,

karena

dengan

ilmu semua

dalam

filsafat ilmu

kebutuhan manusia dapat terpenuhi.


Aksiologi adalah
pengetahuan
manfaat atau

sebuah

biasanya

istilah yang

digunakan

kegunaan suatu

budaya merupakan istilah yang


bidang ilmu

yang

dalam

untuk

ilmu
menunjuk

menjelaskan asas

pengethuan.

Kajian

kepada salah

satu

bahasa Inggris disebut Cultural

Studies yang pengertiannya dibedakan dengan pengertian Study of


Culture atau kajian tentang kebudayaan. (Barker, 2005).
Aksiologis dalam kajian budaya (Cultural Studies) berhubungan
dengan makna pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia. Secara
kuantitatif ilmu akanterus berkembang, aspek aksiologis suatu ilmu
pengetahuan bersifat pragmatis berhubungan dengan nilai dan manfaat
bagi kemanusiaan. Dengan meminjam istilah ilmu ekonomi, sebagai
suatu produk (identik dengan komoditi) hasil sebuah aktivitas atau
proses ilmiah setiap ilmu pengetahuan pasti memiliki nilai guna
(utility) dan kebergunaan (usefulness). Misalnya handphone adalah
suatu produk iptek.Sebagai handphone, dia memiliki nilai guna
(utility) tersendiri tetapi kebergunaannya (usefulness) hampir tidak ada
di suatu daerah yang tidak dijangkau sinyal telekomunikasi.
Sebagai ilmu, nilai guna yang dimiliki disiplin ini tercermin dalam
tujuan dibangunnya ilmu itu sendiri yakni untuk mencapai kebenaran,
memperoleh

pemahaman,

melakukan penerapan.

14

memberikan

penjelasan,

ataupun

Untuk mengetahui nilai guna dari cultural studies, dapat dilihat dari
perubahan

makna

kata culture.

Pada

awalnya, culture berarti

kecenderungan dalam pertumbuhan alamiah atau proses pendidikan


manusia. Dalam masa industriInggris kata itu kemudian mendapat
beberapa arti yang khas. 1. Kebiasaan berpikir (habbit of mind) yang
terhubung dengan kesempurnaan atau penyempurnaan diri manusia, 2.
Keadaan umum dariperkembangan intelektual suatu masyarakat
secara keseluruhan, 3.Segala sesuatu yang berhubungan dengan
kesenian (general body of arts), 4. Keseluruhan cara hidup, materiil,
intelektual dan spiritual. Kata ini dan pergeseran makna didalamnya
menunjukkan dengan sangat jelas berbagai pergeseran kepentingan
yang

terjadi

karena

pengaruh

dinamika

baru

yang

dibawa

industrialisasi. Dengan kata lain, bahasa adalah tempat yang dapat


merefleksikan konstruksi berbagai kepentingan yang saling bersaing
dalam

masyarakat. Cultural

studies tidak

memberikan

strategi

bagaimana menyelesaikan masalah, tetapi lebih memberi perhatian


kepada munculnya suatu masalah karena tidak disadarinya berbagai
kepentingan yang dikonstruksikan dalam kebudayaan. Karena itu
tugas cultural studies adalah mengungkapkan berbagai kepentingan
tersebut dengan memberi fokus kepada beberapa masalah seperti
peranan kekuasaan dalam kebudayaan, persoalan kebudayaan tinggi
dan rendah dalam kebudayaan, depolitisasi atau politisasi pengertian
keudayaan,

serta

kedudukan

gender

dan

seksualitas

dalam

kebudayaan. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini berjalan


parallel dengan perkembangan yang terjadi dalam post-modernisme,
yang ingin memeriksa kembali ideologisasi kepentingan tertentu
melalui ilmu pengetahuan dan paham-paham kebudayaan dalam
modernisme.
Kajian Budaya (Cultural Studies) sebagai salah satu bidang ilmu
baru di Indonesia, memiliki gagasan tentang keberpihakan atau
membela kepada

pihak atau

15

golongan

tertentu

dengan

mengutamakan sifat partisipatoris, dan hal ini berkaitan dengan asas


manfaat atau aspek aksiologi dari ilmu kajian budaya. Sejalan dengan
itu diharpkan ilmu kajian budaya dapat bernilai guna, yakni
memberdayakan

masyarakat atau

membebaskan manusia dari

penindasan dan marginalisasi (Dhana, I Nyoman, 2013).

B; Benda-Benda Hasil Kebudayaan


Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186187). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma.
Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia
dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga tidak
dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam
pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan
masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang
satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut
sistem. Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata adat dalam bahasa
Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud
kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk
bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat (1979: 187). Wujud
kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial (Koentjaraningrat,
1979: 187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan
aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi
dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan
membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut
disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial
berbentuk kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra
penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan
kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1979: 188). Wujud kebudayaan ini
bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan,
karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat.

16

Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur


kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem
mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan
(Koentjaraningrat, 1979: 203-204). Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut
Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada
pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh
unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali
menjadi lebih kecil.
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut sudah
pasti menjelma dalam tiga wujud kebudayaan. Sebagai contoh
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sistem religi dapat dibagi menjadi
tiga wujud kebudayaan. Dalam wujud kebudayaan yang pertama atau ide
atau gagasan, sistem religi memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi,
roh-roh halus, surga dan neraka, rengkarnasi, dan sebagainya. Lalu sebagai
wujud kebudayaan yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga
mempunyai pola-pola aktifitas atau tindakan seperti upacara atau ritual
baik yang diadakan musiman atau setiap hari. Kemudian sistem religi juga
mempunyai benda-benda yang dianggap suci, sakral, atau religius sebagai
bentuk wujud kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik atau artefak.
Setelah memahami tentang kebudayaan, maka kita tidak akan sulit
untuk mencari contoh dari kebudayaan itu sendiri. Contoh dari
kebudayaan, khususnya di Indonesia ternyata sangatlah berada dekat
dengan kehidupan sehari-hari, misalnya lagu-lagu daerah yang ada
disekitar kita, lagu Angin Mamiri yang berasal dari Sulawesi Selatan,
lagu Ondel-Ondel yang berasal dari Jakarta, alat musik Angklung yang
juga berasal dari Jakarta, upacara adat seperti Sekaten,Makepung ; Balap
Kerbau Masyarakat Bali, Atraksi Debus Banten,Karapan sapi Masyarakat
Madura Jawa Timur, Upacara Kasada Bromo dan masih banyak lagi yang
merupakan contoh dari kebudayaan yang asli dari Indonesia.
Berikut merupakan penjelasan dari beberapa contoh kebudayaan yang
sudah dijelaskan di atas :
a; Makepung
Kalau Madura punya Kerapan Sapi, maka Bali memiliki
Makepung. Dua tradisi yang serupa tapi tak sama, namun menjadi
tontonan unik yang segar sekaligus menghibur. yang dalam bahasa

17

Indonesia berarti berkejar-kejaran, adalah tradisi berupa lomba pacu


kerbau yang telah lama melekat pada masyarakat Bali, khususnya di
Kabupaten Jembrana. Tradisi ini awalnya hanyalah permainan para
petani yang dilakukan di sela-sela kegiatan membajak sawah di
musim panen. Kala itu, mereka saling beradu cepat dengan memacu
kerbau yang dikaitkan pada sebuah gerobak dan dikendalikan oleh
seorang joki. Makin lama, kegiatan yang semula iseng itu pun
berkembang dan makin diminati banyak kalangan. Kini, Makepung
telah menjadi salah satu atraksi budaya yang paling menarik dan
banyak ditonton oleh wisatawan termasuk para turis asing. Tak hanya
itu, lomba pacu kerbau inipun telah menjadi agenda tahunan wisata di
Bali dan dikelola secara professional. Sekarang ini, Makepung tidak
hanya diikuti oleh kalangan petani saja.
b; Debus
Atraksi yang sangat berbahaya yang biasa kita kenal dengan
sebutan Debus, Konon kesenian bela diri debus berasal dari daerah al
Madad. Semakin lama seni bela diri ini makin berkembang dan
tumbuh besar disemua kalangan masyarakat banten sebagai seni
hiburan untuk masyarakat. Inti pertunjukan masih sangat kental
gerakan silat atau beladiri dan penggunaan senjata. Kesenian debus
banten ini banyak menggunakan dan memfokuskan di kekebalan
seseorang pemain terhadap serangan benda tajam, dan semacam
senjata tajam ini disebut dengan debus.Kesenian ini tumbuh dan
berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, bersamaan dengan
berkembangnya agama islam di Banten. Pada awalnya kesenian ini
mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama, namun pada masa
penjajahan belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung
Tirtayasa. Seni beladiri ini digunakan untuk membangkitkan semangat
pejuang dan rakyat banten melawan penjajahan yang dilakukan
belanda. Karena pada saat itu kekuatan sangat tidak berimbang,
belanda yang mempunyai senjata yang sangat lengkap dan
canggih. Terus mendesak pejuang dan rakyat banten, satu satunya
senjata yang mereka punya tidak lain adalah warisan leluhur yaitu seni
beladiri debus.
c; Kasada Bromo

18

Upacara Kasada bromo dilakukan oleh masyarakat Tengger yang


bermukim di Gunung Bromo Jawa Timur, mereka melakukan ritual ini
untuk mengangkat seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Agar
mereka dapat diangkat oleh para tetua adat, mereka harus bisa
mengamalkan dan menghafal mantera mantera. Beberapa hari
sebelum Upacara Kasada bromo dimulai, mereka mengerjakan sesaji
sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo.
Pada malam ke 14 bulan Kasada Masyarakat tengger berbondong
bondong dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai
macam hasil pertanian dan ternak. Lalu mereka membawanya ke Pura
dan sambil menunggu Dukun sepuh yang dihormati datang mereka
kembali menghafal dan melafalkan mantera, tepat tengah malam
diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat dipoten lautan pasir
gunung bromo. Bagi masyarakat Tengger, peranan Dukun adalah
sangat penting. Karena mereka bertugas memimpin acara acara
ritual, perkawinan dll.
Sebelum lulus mereka diwajibkan lulus ujian dengan cara
menghafal dan lancar dalam membaca mantra mantra. Setelah
Upacara selesai, ongkek ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki
gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam
kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek
moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan
penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari
datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah
gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang
dilempar.Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah
buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau
terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian
yang melimpah.
d; Kapak Perimbas
Kapak ini terbuat dari batu, tidak mempunyai tangkai, digunakan
dengan cara menggengam. Dipakai untuk menguliti binatang,
memotong kayu, dan memecahkan tulang hewan buruan. Kapak
perimbas banyak ditemukan di daerah-daerah di Indonesia, termasuk
dalam Kebudayaan Pacitan.

19

Kapak perimbas dan kapak genggam dibuat dan digunakan oleh jenis
manusia
purbaPithecantropus.

e; Alat-alat Serpih (Flakes)

Alat-alat serpih terbuat dari pecahan-pecahan batu kecil, digunakan


sebagai perangkat penusuk, pemotong daging, dan pisau. Alat-alat
serpih banyak ditemukan di daerah Sangiran, Sragen, Jawa Tengah,
masih termasuk Kebudayaan Ngandong.

g; Kesenian batik

20

Kesenian batik merupakan seni membuat motif desain berupa


gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu
kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Batik yang
merupakan budaya asli bangsa Indonesia adalah salah satu kekayaan
budaya bangsa yang harus dilestarikan dan dikembangkan terus
menerus yang menyimpan berbagai kearifan yang mengakar secara
substansial dari sisi ornamentasi keselarasan, proses pembuatannya,
hingga cara mengapresiasikannya, keunikan, motif, serta corak yang
dihasilkan dari batik-batik di berbagai daerah merupakan kekuatan
yang sangat luar biasa khususnya bagi kekayaan seni budaya
Indonesia dan belum ada di negara manapun yang memiliki kekayaan
rancangan motif yang unik pada batik seperti yang dimiliki bangsa
Indonesia.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kebudayaan cesara etimologi yaitu suatu hasil dari budi dan atau
daya, cipta,karya,karsa,pikiran dan adat istiadat manusia yang secara sadar
maupun tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab.
Ada beberapa ilmu yang mempelajari hakikat kebudayaan antara
lain, kebudayaan secara ontologi, epistimologi, dak aksiologi.
Benda-benda yang termasuk dalam kebudayaan antara lain
Mekapung, Kasada Bromo, Kapak Perimbas, Alat-alat Serpih (Flakes),
dan Kesenian Batik.

21

DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
2005. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta
http://rahmatsuraya3.blogspot.co.id/2013/10/kajian-budaya-cultural-studiesdalam.html diakses pada tanggal 12 Maret 2016, pukul 13.47
http://shadrynur.blogspot.co.id/2013/01/antropologi-definisis-kebudayaan.html
diakses pada tanggal 12 Maret 2016, pukul 13.50
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya diakses pada tanggal 12 Maret 2016,
pukul 14.12
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/2006-2-00920-JP-bab%202.pdf.
Diakses pada tanggal 12 Maret 2016, Pukul 14.30

22

Anda mungkin juga menyukai