ABSTRAK
Kajian tentang permasalahan kesadaran kolektif lokal dan identitas nasional dalam era
globalisasi sangat relevan diwacanakan. Kenyataan ini seiring dengan berbagai perubahan yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pasca reformasi seiring
timbulnya tuntutan yang berlebihan hampir dalam segala aspek kehidupan. Tuntutan yang demikian
sering memicu permasalahan krusial, sehingga dapat mengancam keutuhan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kearifan lokal merupakan elemen budaya yang harus
digali, dikaji, dan direvitalisasikan karena esensinya begitu penting dalam penguatan fondasi jatidiri
bangsa dalam menghadapi tantangan globalisasi. Pertanyaan yang muncul adalah apakah nilai-nilai
budaya lokal sebagai perekat identitas bangsa masih relevan
rele van untuk direvitalisasi dalam menghadapi
berbagai permasalahan di era kesejagatan ini.
Kata kunci: kearifan lokal, identitas bangsa
AB
A B STR
ST R AC T
The study on the problems of the local collective consciousness and national identity is very
relevant to be discussed in the era of globalization. This fact goes along with the changes that occur
in the life of the society, nation, and state after the reform as the emergence of excessive demands in
almost every aspect of life. Such demands often lead to crucial issues that may threaten the integrity
of the life of society, nation, and state. Local genius is a cultural element that must be explored,
examined, and revitalized because its essence is so important in strengthening the foundations of
national identity to face the challenges of globalization. The question that arises is whether the
values of the local culture as the basis of national identity is still relevant to be revitalized in
dealing with various issues in this globalization era.
K eywords
ywords: local genius, national identity
kelompok etnik bersangkutan (Giddens, bersifat tidak abadi, dapat menyusut, dan
2003). Sehubungan dengan itu, maka tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah.
pemahaman terhadap kebudayaan etnik yang Sementara Poespowardojo (dalam Astra,
kaya akan nilai-nilai kearifan lokal dan 2004:114) secara tegas menyebutkan bahwa
pembahasan terhadap persoalan kesadaran sifat-sifat hakiki kearifan lokal adalah: 1)
kolektif lokal yang merefleksikan identitas mampu bertahan terhadap budaya luar; 2)
suatu kelompok etnik atau bangsa menjadi memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-
sangat relevan diangkat kepermukaan seiring unsur budaya luar; 3) mempunyai
dengan berbagai perubahan yang terjadi kemampuan mengintegrasi unsur-unsur
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. budaya luar ke dalam kebudayaan asli; 4)
mampu mengendalikan; dan 5) mampu
II. KERANGKA KONSEPSUAL DAN memberikan arah pada perkembangan
TEORETIK budaya. Atas dasar itu kearifan lokal dapat
Kebudayaan tradisional menjadi mitos dimaknai sebagai kebijakan manusia dan
sebagai sosok kebudayaan yang arif. Mitos itu komunitas dengan bersandar pada filosofi,
sesungguhnya mengusung kelestarian dan nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang
jagadhita. Namun secara realitas di tengah- melembaga secara tradisional mengelola
tengah gelombang perubahan akibat berbagai sumber daya alam, sumber daya
kapitalisme, modernisme, dan globalisme, hayati, sumber daya manusia, dan sumber
konflik antar budaya tradisional dan budaya daya budaya untuk kelestarian sumber kaya
modern tidak dapat dihindarkan walaupun tersebut bagi kelangsungan hidup
sinergi dan adaptasi unsur tradisional dengan berkelanjutan.
unsur modern merupakan fakta kultural yang Barker (2005:14) mengatakan
tidak terbantahkan. identitas lebih merupakan konstruksi
Secara konsepsual kearifan lokal diskursif, produk wacana-wacana, atau cara-
merupakan bagian dari kebudayaan. Haryati cara tertentu dalam berbicara (regulated ways
Subadio (1986:18-19) mengatakan kearifan of speaking ) tentang dunia. Sebagai
lokal (local genius) secara keseluruhan konstruksi diskursif karena melalui pertuturan
meliputi, bahkan mungkin dapat dianggap dan pertulisan-lah seseorang dan atau
sama dengan cultural identity yang dapat sekelompok orang dapat dikenal dan
diartikan dengan identitas atau keperibadian memperkenalkan jati dirinya. Jati diri sebagai
budaya suatu bangsa. Sementara itu konsep guru, pejabat, pedagang, dokter dan lain-lain
kearifan lokal (local genius) yang dapat disimak dan difahami lewat bahasanya,
dikemukakan oleh Quaritch Wales (dalam lewat tuturan dan tulisannya. Dengan istilah
Astra,2004:112) adalah “....the sum of lain identitas diciptakan dan bukan
cultural characteristic which the vast ditemukan, dan terbentuk dari representasi-
majority of people have in common as a result representasi terutama bahasa.
of their experiences in early life” Maunati (2004:30) menjelaskan
(keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang bahwa penanda-penanda identitas budaya
dimiliki oleh suatu masyarakat/bangsa misalnya bisa berasal dari sebuah kekhasan
sebagai hasil pengalaman mereka di masa yang diyakini ada pada agama, bahasa, dan
lampau). adat pada budaya yang bersangkutan. Namun
Dalam pandangan Mundardjito demikian tumpang tindih dapat terjadi di
(1986:41) bahwa kearifan lokal terbina secara antara kelompok-kelompok etnis yang
Jurnal Bakti Saraswati Vol. 05 No. 01. Maret 2016 ISSN : 2088-2149
bangsa ini dengan mudah dapat dilihat bahwa dilupakan. Namun sering dalam kenyataan
persoalan agama, etnisitas, dan identitas dapat disaksikan adanya tuntutan berlebihan
merupakan isu sensitif yang serting kali dapat baik dalam skala mikro maupun skala makro,
dimanipulasi untuk memicu reaksi-reaksi bahkan tidak jarang menjadi masalah krusial
emosional yang sering kali apabila tidak yang dapat mengancam keutuhan berbangsa
diantisipasi dengan baik berpotensi dan bernegara. Dalam konteks ini kebijakan
menimbulkan hal-hal yang bersifat fatal. pelestarian nilai-nilai kearifan lokal terjebak
pada persoalan politik tanpa aplikasi yang
III. KEARIFAM LOKAL SEBAGAI nyata.
PEREKAT IDENTITAS BANGSA Struktur masyarakat Indonesia yang
Huntington (2003:5-11) meramalkan multi dimensional merupakan suatu kendala
bahwa masa depan politik dunia akan bagi terwujudnya konsep integrasi secara
semakin mengarah kepada benturan antar hoorizontal. Hal ini dapat dilihat dari
kebudayaan, bahkan antar peradaban. Para beberapa karakteristik yang dapat dikenali
ahli meramalkan bahwa dalam era global isu- sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat
isu kebudayaan, agama, etnik, gender, dan majemuk sebagaimana yang telah
cara hidup akan lebih penting daripada isu dikemukakan oleh van den Berghe yakni: (1)
tentang konflik ekonomi yang terjadi pada terjadinya segmentasi ke dalam bentuk
masa industri (Toffler and Toffler, 1996). kelompok yang sering kali memiliki
Kecenderungan yang lain juga muncul seperti kebudayaan atau lebih tepat sub kebudayaan,
adanya semacam penolakan terhadap yang berbeda satu sama lainnya; (2) memiliki
keseragaman yang ditimbulkan oleh struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam
kebudayaan global (kebudayaan asing), lembaga-lembaga yang bersifat non
sehingga muncul hasrat untuk menegaskan komplementer; (3) kurang mengembangkan
keunikan kultur dan bahasa sendiri. Dalam konsesus di antara para anggota masyarakat
kaitan ini kearifan lokal sebagai pusaka tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar;
budaya menempati posisi sentral sebagai (4) secara relatif seringkali terjadi konflik di
inspirasi dalam penguatan jati diri atau antara kelompok yang satu dengan kelompok
identitas kultural. Penguatan jati diri suatu yang lainnya; (5) secara relatif integrasi sosial
kelompok etnik atau bangsa menjadi begitu tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
penting di era globalisasi, dengan harapan ketergantungan di dalam bidang ekonomi;
jangan sampai tercerabut dari akar budaya serta (6) adanya dimensi politik oleh suatu
yang kita warisi dari para pendahulu di kelompok di atas kelompok-kelompok yang
tengah-tengah kecenderungan homogenitas lain.
kebudayaan sebagai akibat dari globalisasi. Patut disyukuri bahwa hubungan antar
Indonesia sebagai negara bangsa yang suku bangsa dan golongan yang ada di
multietnis dan multikultural memang sejak wilayah NKRI ini, belum seburuk seperti di
awal berdirinya mengandung masalah beberapa negara lain, namun potensi
legitimasi kultural. Kesenjangan, terpendam untuk konflik karena masalah
ketidakadilan, kurangnya pemerataan ketegangan antar suku bangsa dan golongan
pembangunan, tirani minoritas yang terjadi di tidak bisa diabaikan demikian saja. Dalam
berbagai wilayah di tanah air dalam kaitan inilah Koentjaraningrat (1980),
kenyataannya telah memicu terjadinya konflik mengemukakan, bahwa dalam rangka
sosial di berbagai wilayah di Indonesia, menganalisis hubungan antara suku bangsa
Jurnal Bakti Saraswati Vol. 05 No. 01. Maret 2016 ISSN : 2088-2149