Globalisasi
Disusun oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai umat Islam kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan anjuran
agam. Hal yang mendorong kita untuk menilai sifat itu adalah :
(1). Kita adalah pemiliki risalah Islamiyah (global) yang datang untuk seluruh
manusia diseluruh penjuru dunia. Benar bahwa kita suci kita berbhasa Arab.
Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab), tetapi ini
bukan berarti bahwa Islam di tujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan
untuk segenap penduduk bumi.
Keadaan ini tidak lain adalah disebabkan karena minimnya sumber daya manusia
(SDM) dari umat Islam. Sesungguhnya kita sebagai umat Islam memiliki
kekayaan sumber daya manusia cukup, tetapi di lain pihak kita masih miskin
dengan sumber daya manusia, bahkan sampai saat ini kita belum memiliki tenaga-
tenaga yang profesional
2
1.2. Rumusan Masalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Globalisasi
Dr. Jalal Amien, seorang pakar ilmu sosial dan ekonomi mengatakan, bahwa
globalisasi adalah kata yang baru, namun fenomenanya sendiri sudah lama ada.
Dia melanjutkan: kita memahami globalisasi ini sebagai satu peruntuhan yang
maha cepat terhadap jarak yang memisahkan antara masyarakat manusia. Baik
yang berupa transportasi barang-barang, modal, manusia, ilmu pengetahuan,
pemikiran, dan nilai-nilai. Maka dalam pandangan kami, hal ini serupa dengan
munculnya peradaban di masa lalu.1
1
Yusuf Al-Qaradhawi, ISLAM ABAD 21, 2001, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Hal. 215
2
Ibid, hal 216
4
gaya hidup tertentu. Maknanya ialah di samping sebagai sistem ekonomi,
globalisasi juga adalah sebuah ideologi. Sebagian penulis juga menggandengkan
antara globalisasi dengan Amerikanisasi. Yakni mengglobalkan karakter-karakter
yang serba Amerika.3
Globalisasi dalam formatnya yang sekarang ini pada ujungnya hanya akan
menguntungkan Negara-negara kuat dan merugikan Negara-negara lemah. Yang
kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin kian merana. Serta untuk
kepentingan Negara-negara Utara yang kaya dan kerugian bagi Negara-negara
Selatan yang miskin.5
5
berbarengan dengan bangkitnya paham neo-liberalisme di Amerika Serikat pada
masa Presiden Ronald Reagan dan di Inggris pada masa PM Margaret Thatcher.
Secara paksa agenda globalisasi ini diimplementasikan atas negara-negara
berkembang lewat badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Bank Dunia.6
Apakah globalisasi berhasil mewujudkan kemakmuran? Jawabnya iya, jika yang
dimaksud adalah kemakmuran untuk negara-negara Barat. Mereka memang
menikmati kemakmuran yang luar biasa. Tapi, masyarakat di negara-negara Dunia
Ketiga tetap hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Menurut laporan
UNDP tahun 1999, seperlima orang terkaya dari penduduk dunia mengkonsumsi
86 % barang dan jasa dunia. Sebaliknya seperlima penduduk termiskin hanya
mendapatkan 1 persen lebih sedikit barang dan jasa dunia.7
Dari seluruh uraian di atas, terbukti bahwa modernisasi dan globalisasi hanyalah
istilah-istilah kosong yang tidak memberi kontribusi apa pun bagi dunia,
khususnya Dunia Islam, kecuali hanya memberi jalan bagi imperialisme itu
sendiri untuk terus mencengkeram dan mengeksploitasi dunia demi nafsu
serakahnya yang tidak pernah kenyang. Kenyataan ini semakin gamblang terlihat
semenjak lahirnya dominasi tunggal Amerika Serikat pasca runtuhnya Uni Soviet
tahun 1991 dan munculnya agenda anti terorisme yang digalang Amerika Serikat
pasca Tragedi WTC 9/11 tahun 2001.
6
Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru : Peran Negara dalam Pembangunan
(Yogyakarta : Tajidu Press, 2004), hal. 95-98.
7
International Forum on Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (Does
Globalization Help The Poor?), terjemahan oleh A. Widyasmara dan AB Widyanta, (Yogyakata :
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2003).
6
Dr. Yusuf Al-Qardhawi , mengatakan bhawa adanya persamaan antara makna
globalisasi yang dipahami dunia Barat dan globaliasi yang dimaksud dengan
Islam.
Akan tetapi sebenarnya ada perbedaan yang besar antara keduanya, artinya
dipahami oleh Islam mengenai globalisasi adalah sesuatu yang berdsatkan nilai-
nilai penghormatan dan persamaan kepada sekuruh dunia (Al-Isro : 70) bahwa
setiap manusia memiliki hak dan tanggung jwab yang sama dihadapan Allah
SWT.
Berbeda dengan pemahaman Barat mengenai globalisasi yaitu sebagai suatu
keharusan untuk menguasai politik, ekonomi, kebudayaan, sosial masyarakat.
Islam adalah agama global dan universal. Tujuannya adalah menghadirkan risalah
beradaban islam yang sempurna dan menyeluruh, baik secara spirit, akhlak
maupun materi. Didalamnya ada aspek duniawi dan ukhrawi yang saling
melengkapi. Keduanya ada;ah satu kesatuan yang utuh dan integral. Universal
atau globalisasi Islam menyeru semua manusia, tanpa memandang bangsa, suku
bangsa, warna kulit dan deferensiasi lainya. Hal ini di jelaskan Allah Swt dalam
Al-Qur’an.
”Al Qur'aan itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta Alam” (QS. At-
Takwir : 27)
Semenjak abad ke 7, Nabi Muhammad SAW, sudah menerapkan globalisasi
dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya Ketika beliau mengerim utusaan
membawa suart-surat beliau kepada para raja dan para pemimipin di berbagai
negara tetangga. Diantara para raja dan pemimpin itu adalah raja Romawi dan
dan kisra persia.
Dengan demikian, ketika wafat maka seluruh bagsa arab sudah mampu
meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh Beliu. Perlu dipahami bahwa
7
blobalisasi Islam berangkat dari kesatuan antara tatarn konseptual dan tataran
aktual dan ini merupakan salah satu keistimewaan Islam.
Melihat strategi yang dicangkan Barat dalam isu Globalisasi sungguh amat busuk.
Mereka mempunyai agenda terselubung dalam mengkikis habis ajaran Islam yang
di anut bangsa Timur. Penyebaran itu mereka lakukan melalui penyebaran
informasi dengan sistem teknologi modern yang dapat mengirim informasi
keseluruh penjuru dunia.
Melalui jalur ini mereka menguasai publik opini yang tidak jarang berisikan
serangan, hinaan, pelecehan dan hujatan terhadap Islam dan mengesankan agam
Islam sebagai teroris. Perang yang mereka lancarkan bukan hanya perang senjata
namun juga perang agama. Mereka berusaha meracuni dan menodai kesucian
Islam lewat Ediologi sekuler, politik, Ekonomi, sosial budaya, teknologi,
8
komunikasi, keamanan dan sebgainya. Secara berlahan-lahan tapi pasti mereka
menggerogoti Islam dari dalam dan tujuan akhirnya adalah melenyapkan Islam
dari Muka bumi .
Contoh lain dari dari makin merasuknya paham neo liberal ke tubuh ekonomi
Indonesia adalah UU No 7 Tentang Sumber Daya Air (SDA) tahun 2004. UU itu
dalam banyak pasal membuka peluang terjadinya privatisasi sektor air, sekaligus
memungkinkan pengalihan fungsi air secara fundamental dari fungsi publik yang
bersifat sosial menjadi fungsi komoditas yang bersifat komersial. Maka, bersama
dengan berbagai komponen umat Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam
(FUI) pada 29 April 2005 di Jakarta, HTI mengadakan diskusi publik dan demo
besar bertema Menolak Liberalisasi Air dalam UU Sumber Daya Air. FUI sepakat
bahwa UU tersebut harus ditolak dan diganti dengan pengaturan yang sesuai
dengan syariah Islam yang mampu mempertahankan hak dasar rakyat atas air dan
memungkinkan pengelolaan air secara adil.
9
Proses globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan
nilai-nilai agama. Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan
pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai sebuah pandangan yang terdiri dari
berbagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal
ini diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova,
mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik
masyarakat dunia. Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di
dalam proses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu
komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi.
Karena begitu pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, maka perlu
kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama di dalam merespon berbagai
persoalan kemasyarakatan.8
Dengan adanya globalisasi ini telah menimbulkan banyak sekali akibat yang
sangat buruk dan tidak akan mungkin dapat dilupakan oleh sejarah umat manusia.
Mulai dari penghisapan kekayaan alam negara-negara terjajah secara semena-
mena hingga tewasnya jutaan manusia yang tak berdosa akibat ulah negara-negara
8
Bachtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep
Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan, hal. 5
9
Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (terj.), Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, hal. 21-23
10
kapitalis penjajah biadab 8, termasuk tragedi kemanusiaan yang terjadi di Irak saat
ini akibat invasi brutal Amerika Serikat bulan Maret 2003.10
Pembangunan di negara kita juga telah mencapai kemajuan yang demikian pesat,
terutama sejak bergulirnya era reformasi hingga sat ini, karena, seiring dengan itu
Marilah kita umat Islam secara bersama-sama ikut ambil bagian dengan cara aktif,
terutama dalam pembangunan mental spritual, agar umat Isalmv tidak sekedar
maju dalam segi pisik saja, namun juga kokoh mentalnya, tidak mudah terjebak
dalam pemikiran yang rusak.
Tidak sedikit dari orang-orang Islam yang secara berlahan-lahan menjadi lupa
akan tujuan hidupnya, yang senantiasa untuk ibadah, berbalik menjadi malas
ibadah dan lupa akan Tuhan yang telah memberikannya kehidupan. Akkbat
pengaruh modernisasi dan globalisasi banyak manusia khususnya umat Islam
10
Suparman dan Sobirin Malian, Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika, Yogyakarta : UII
Press, 2003, hal. X.
11
yang lupa bahwa sesungguhnya ia diciptakan bukan sekedar ad, namun ada tujuan
mulia yaitu biribadah kepada Allah SWT.
Di zaman sekarang ini, tidak sedikit dari umat slam yang lemah Iman, karena
telah salah kepada dlam menyikapi isu globalisasi, mereka seakan-akan
kedatangan tamu istimewa, tamu pujaan hati yang telah lama di agung-agungkan.
Sehingga di dalam bayangan mereka, globalisasi adalah segala-galanya dan
merupakan puncak dari modernisasi, pada hal ia sesungguhnya adalah tipu daya
dari bangsa Barat belaka yang sengaja menjerat dan akan menjerumuskan umat
Islam. Nasib Islam modern atau globalisasi ini sangat di tentukan oleh sejauh man
kemampuan umat Islam merepon secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah
terjadi di era ini (era globalisasi)11.
Umat manusia telah terbentuk sebagaimana produk industri itu sendiri tidak ada
lagi ke unikan, yang ada hanyalah kekauan yang seragam sehingga secra sadar
atau tidak sadar manusia berlangsun-angsur kehilangan asas kemerdekaanya,
padahal itulah yang dijadikan tumpuan bagi ilmu pengetahuan dan teknologi12
Dengan adanya globalisasi ini membawa dampak positif dan negatif bagi
kepentingan bangsa dan umat Islam. Dampak positif misalnya makin mudahnya
memperoleh informasi dari luar sehingga dapat membantu menemukan alternatif-
alternatif baru dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi. Misalnya,
melalui internet kita dapat menakses informasi-informasi yang dibutuhkan.
Dibidang ekonomi, perdagangan bebas antara negara beraarti makin terbukanya
pasar dunia bagi produk-produk, baik berupa barang atau jasa.
Dalam kaitannya dengan umat Islam di Indonesia , dampak negatif yang paling
nyata adalah terbentuknya nilai-nilai asing yang masuk lewat berbagai cara.
Dengan nilai-nilai agama yang di anut oleh sebagian besar bangsa kita, mengingat
11
Kahmad Dadang, Sosiologi Agama, 2006, Bandung : PT. Remaja Rosadakarya, hal. 304
12
Ibid, hal. 96
12
agama Islam adalah agama yang berdasarkan hukum (syari’ah), maka
pembenturan nilai itu akan sangat terasa di bidang syari’ah ini.
Menghadapi era globalisasi, sikap kaum muslim bisa dikatakan terbagi menjadi
beberapa macam yaitu ;
1. Mengikuti secara mutlak, mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik
globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi adalah sebuah standar
edial yang perlu untuk di tiru. Sikap seperti inilah yang akan
menenggelamkan umat Islam dari peredarannya.
2. mereka yang menolak secara keseluruhan. Golongan ini lah yang
diistilahkan oleh Prof. Dr Yusuf Qaedawi sebagai kelompok ”penakut”.
Mereka takut untuk berhdapan secara langsung dengan peradaban Barat.
Hal ini dinlai tidak ”Fair” karena dianggap lari dari kenyataan yang ada.
Mereka menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi
karena takut terkena debu dan polusi peradaban padahal sejatinya mereka
membutuhkan udara.
3. golongan moderat (berada di tengah-tengah). Golongan inilah yang
menjadi cerminan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa
menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar hanyalah usaha yang
sia-sia belaka dan tidak berguna. Mereka meyakini bahwa Islam adalah
agama yang selaras dengan kemajuan zaman.
Pertanyaan yang selanjutnya yang mengemukan adalah tentang masa depan umat
Islam. Setidaknya ada dua prediksi yaitu :
1. pesimistik, sikap ini muncul karena melihat realita yang ada dalam tubuh
umat Islam sekarang. Dimana untuk ukuran perkembangan sains dan
13
teknologi umat Islam berada dalam posisi yang paling bawah.
Permasalah umat Islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya
kesenjangan sosial, keterbelakangan HAM tealh begitu memperhatinkan
2. optimesme, sikap ini didasari pada pengamatan sejarah, dimana kita
mengukir kejayaan dimasa lampau, dengan sikap ini, mereka meyakini
bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan bergantian diantara
manusia.
Sebagai umat Islam, kita berkewajiban untuk berjuang dan menjunjung tinggi
agama Islam
Ada beberapa tawaran alternatif :
1. mengembalikan keadaan umat Islam yang selama ini ” tertidur”
2. bersikap inklusif terhadap budaya luar, karena sikap mengisolasi diri
adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran Islam. Al-Qur’an surat Al-
Hujarat ayat 13 ” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
. Berpegang teguh pada ajaran Islam sebgai sumber isprirasi peradaban dan
yang terpenting adalah merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari
Globalisasi bagi umat Islam tidak perlu diributkan, diterima ataupun di tolak,
namun yang paling penting dari semua adalah seberapa besat peranan Islam dalam
menata umat manusia menuju tatanan dunia baru yang lebih maju dan beradab.
Bagi kita semua, ada atau tidaknya istilahglobalisasi tidak menjadi masalah yang
penting ajaran Islam sudah benar-benar diterima secara globa, secara manusaiwi
oleh segenap umat manusia, diterapkan dalam kehidupan masing-masing pribadi,
dalam berkeluarga, bertetangga, bermasyrakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagai umat Islam hendaknya nilai modern jangan kita ukur dari moderennya,
pakaiannya, perhisan dan penampilannya namun modern bagi umat Islam adalah
14
modern dari segi pemikiran, tingkah laku, pergaulan, ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan ekinomi.
Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada
dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam
menghadapi globalisasi yaitu :
1. Paradigma Konservatif
13
Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985,
hal. 11-14
15
senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan
menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian
pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan
dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai
dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan
ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.
Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek
hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk
dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari
Alquran dan hadis. Oleh karenanya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi.
Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris
tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis Islam
seperti di atas, menurut Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulan-
kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu
semangat kolektif suatu kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek
moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-
praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke
generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk
melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam
pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini sering pula disebut paradigma
konservatif.
16
mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia tentu saja menyadari
perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat, lalu
mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi
perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami
perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah dilakukan
“nenek moyang” sebab dalam banyak hal, cara itu membuahkan hasil yang
memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentu dan tak teratur sehingga orang nomad
tidak dapat menghindari bencana dengan membuat rencana-rencana cermat, tetapi
terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang terjadi pada dirinya.14
14
William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku
Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003, hal. 11-15
17
Melihat pemahaman tersebut dapat kita mengerti bahwa kelompok ini,
sebagaimana telah penulis jabarkan di atas cenderung memposisikan Islam
sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi
lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam.
2. Paradigma Liberal
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press,
15
18
tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis. Paradigma pemikiran
yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.
19
kebebasan berpikir serta berpendapat. Demikianlah, semua pemikiran derivat ini
akan berlindung di balik induknya: pemikiran "demokrasi."
3. Paradigma Alternatif
Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu
kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat
mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua
20
pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani adanya titik temu
sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam Islam,
meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah
persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis tawarkan adalah
paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan
pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan
persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan
Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam
selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-
masalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya
pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.
21
Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang
antagonistik maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan
paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari
jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal
ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan (moderat). Dalam
melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat menolak pendapat
bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat
sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama
adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara.
Paradigma ini tidak hanya ingin menonjolkan isu seputar konsep "Negara Islam"
dan "Pemberlakuan syariat", tetapi yang paling penting bagaimana substansi dari
nilai dan ajaran agama itu sendiri. Agama adalah sejumlah ajaran moral dan etika
sosial, serta fungsinya mengontrol negara. Paradigma moderat berpandangan,
keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara jangan sampai memandulkan
nilai luhur yang terkandung dalam agama karena agama akan menjadi ajang
politisasi dan kontestasi. Di sisi lain, paradigma moderat mengampanyekan
dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Islam sebagai agama
penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-’alamien) harus
menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna
meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang
digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim.
22
air. Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi
dan khazanah keagamaan yang dimilikinya. Paradigma akan kian sempurna bila
mendapat "ruang publik" yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan
yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan
bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku dan agama, serta kedamaian di
antara pelbagai konflik horizontal yang menyelimuti masyarakat kita belakangan
ini.
23
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan adanya Era Globalisasi ini kita umat Islam terutama harus bisa
menghadapai dan memperkuat iman dan takwa. Kita harus menghadapi perubahan
zaman yang telah kita jalani sekarang ini. Zaman moderen serba mesin yang
mungkin memanjakan kita dalam setiap pekerjaan dan langkah kita.
Menurut kami kita sebagai generasi umat Islam tidak boleh lengah dalam
menghadapi masalah modernisasi dan globalisasi, mari kita membentengi diri kita
dengan ke imanan dan ketakwaan serta akhlatul karimah yang disertai dengan
sumber daya yang kuat, terampil dan di dukung dengan semangat persatuan dan
kebersamaan. Insyaallh kita akan di berikan kekuatan dan kemenangan oleh Allah
Swt dalam membela dan mempertahankan kejayaan agama yang suci.
Kita menyadari bahwa globalisasi adalah tren sekaligus prodak sejarah yang
sedang terjadi dan kita alami. Kita tidak mempunyai kekuatan untuk menolak
apalagi lari dari kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan
gerakan dinamis bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan
kendali serta jati diri.
24
DAFTAR PUSTAKA
Ak-Qardhawi, Yusuf, Islam dan Globalisasi dunia, 2001. Jakarta: CV. Pustaka
Al-Kausar
Hakim Atang Abdul, dkk, Metodelogi Studi Islam, 1999. Bandung : PT. Remaja
Rosdakaraya.
Dadang, Kahmud, Sosiologi Agama, 2006, Bandung : PT. Remaja Rosadakarya
Http: // baradikal. Multiply.com/ journal/item/3
Fakih Mansour, ulumul Qur’an, 1997.
Nata, Abudin, Metode Studi Islam, 2009. Jakarta : Rajawali Pres.
Rozak, Nasrudin, Dienul Islam, 1982. Bandung : PT-Al-Ma’arif
Al-Qaradhawi, Yusuf. ISLAM ABAD 21, 2001, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Winarno, Budi. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru : Peran Negara dalam
Pembangunan, Yogyakarta : Tajidu Press, 2004.
International Forum on Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan
Ketimpangan (Does Globalization Help The Poor?), terjemahan oleh A.
Widyasmara dan AB Widyanta, Yogyakata : Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas. 2003.
Effendi, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi :
Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak
diterbitkan.
Suparman dan Sobirin Malian, Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika,
Yogyakarta : UII Press, 2003.
Mansour, Fakih dalam ulumul Qur’an, 1997.
Nasution, Harun. Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press,
Cet. V, 1985.
Watt, William Montogomery. Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj.
dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka
Setia, Cet. I, 2003.
25
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993.
26