Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH METODOLOGI STUDY ISLAM ISLAM DALAM DUNIA KONTEMPORER

DI SUSUN OLEH : M.GANJAR SINSINK DI SUSUN OLEH : MAYA PRATIWI .S AKMALUDIN SINSIN WILDA

STAI KHEZ MUTTAQIEN TAHUN AKADEMIK 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Islam adalah agama yang diwahyukan oleh Allah SWT untuk manusia melalui Nabi SAW, yang menunjukkan manusia menuju keselamatan. Islam selalu berkembang pesat dari zaman ke zaman, perkembangan itu tidak hampa dengan budaya yang dibawa di dalamnya, seperti kaligrafi, lantunan syair, dan lain sebagainya. Sampai saat ini pun masih ada budaya yang dibawa oleh Islam. Hal itu masih umum, di Indonesia, Islam pada zaman dahulu berkembang dengan budaya yang tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan Rasulullah SAW, seperti menyembelih kerbau ketika ada keluarga yang meninggal, selametan, dan lain sebagainya. Budaya tersebut ada yang masih bertahan dan ada juga yang sudah punah, artinya tidak dilakukan lagi oleh masyarakat pada masa kini. Seiring berkembangnya zaman, maka berkembang pula lah ilmu pengetahuan, sehingga membuat kita yang asalnya tidak tahu menjadi tahu. Oleh karena itu, pemikiran pun harus berkembang, sebagai umat Rasulullah SAW, haruslah bersumber pada Al-Quran, As-Sunnah, dan ijtihad. Jika tidak sesuai dengan itu, maka perbuatan kita disebut bidah dan setiap bidah itu sesat. Tentunya setiap umat tidak ingin sesat bukian? Melainkan ingin sekali selamat dunia dan akhirat. Dari latar belakang tersebut, penulis akan menyajikan makalah pada mata kuliah Metodologi Studi Islam yang berjudul ISLAM DAN DUNIA KONTEMPORER 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, penulis dapat merumuskan masalah antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimana Islam dan tradisi di Indonesia sekarang? 2. Bagaimana reaksi pemikiran Islam terhadap globalisasi? 3. Bagaimana reaksi pemikiran tradisionalis, modernis, revivalis-fundamentalis, dan transformatif? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah yang berjudul ISLAM DAN DUNIA KONTEMPORER, antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana Islam dan tradisi di Indonesia sekarang. 2. Untuk mengetahui bagaimana reaksi pemikiran Islam terhadap globalisasi. 3. Untuk mengetahui bagaimana reaksi pemikiran tradisionalis, modernis, revivalisfundamentalis, dan transformatif.

BAB II ISLAM DAN DUNIA KONTEMPORER 2.1 Islam dan tradisi di Indonesia sekarang 010: 191). Padahal ketidaksepa Dunia kontemporer Islam atau dunia pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern Islam telah ada di Indonesia sejak adanya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu di Aceh yang dikenal dengan kerajaan Samudera Pasai. Meskipun Islam telah lama kita ketahui dan anut, tetapi pengamalan agamanya masih sinkretik,yaitu masih bercampur dengan budaya lokal. Muhammad Abduh, salah seorang pembahru dari Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya mengemukakan ide-ide pembaruan antara lain dengan cara menghilangkan bidah yang terdapat dalam ajaran Islam, kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sifat dualism (dalam bidang pendidikan). Sementara itu Sayid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, dalam Abuddin Nata (378-380) berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Al-Quran tidak bertentangan, karena keduanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad. Yang menjadi persoalan adalah apakah budaya yang dilakukan oleh para pendahulu kita sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya atau tidak, seperti budaya slametan yang berhubungan dengan kelahiran, contoh: tingkeban, brokokan, pasaran, pitonan, telonan, selapanan, dan taunan (Cliford Geerta dalam Atang dan Mubarok, 2010: 190). Selain itu masih banyak lagi budaya yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yang faktanya hingga sekarang masih terdapat masyarakat Islam yang mengamalkan budaya tersebut. Meskipun zaman sudah modern,tetapi sebagian dari mereka enggan melepaskan budaya leluhur mereka. Karena mereka menganggap bahwa budaya itu harus tetap dilestarikan, meskipun banyak lembaga yang tidak sepakat dengan pengamalan budaya tersebut. Contoh: Muhammadiyah dan Persis, yang berusaha melakukan pembaruan dengan melepaskan umat dari pengaruh-pengaruh non-Islam, akan tetapi gerakan ini mendapat tantangan dari kalangan Nahdliyyin yang tetap pada pendiriannya dalam melestarikan kebudayaan leluhur mereka (Atang dan Mubarok, 2katan Muhammadiyah dan Persis bukan semata-mata ingin menghancurkan para pelestari budaya leluhur, melainkan untuk menyempurnakan amalan Islam yang sesungguhnya, yang telah dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, Nabi seluruh alam. Sebenarnya

Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk melakukan aqiqah, jika lahirnya anak dari pernikahan suami dan istri, dan itu pun hukumnya sunnah, dilaksanakan ketika bayi berusia tujuh hari dari kelahirannya, untuk bayi laki-laki aqiqahnya menyembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi perempuan aqiqahnya dengan menyembelih seekor saja. Tapi yang menjadi pertanyaan mengapa para pendahulu kita mengadakan budaya slametan kelahiran anak yang begitu banyak sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Padahal Nabi SAW menganjurakan hanya satu kali slametan, yaitu aqiqah. Terlihatlah bahwa Islam menganugerahkan kemudahan pada penganutnya. dan Jepang, yang amat maju di bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuannya di zaman sekarang ini. Sungguh umat Islam sekarang sudah tidak peduli dan merasa puas dengan kejayaan yang pernah diraih oleh umat Islam terdahulu, seharusnya kita rebut kembali kejayaan iptek itu, bukan hanya menggunakan tetapi harus bisa menciptakan. Di Jepang, seorang murid SD sudah bisa merakit komputer, sedangkan kita hanya user computer saja, bahkan ada sebagian yang belum mampu Akan tetapi kebudayaan leluhur tersebut bisa dilestarikan, apabila forumnya bertujuan untuk shodaqoh dan bukan atas dasr kepercayaan pada hal-hal yang mistis, misalkan: wah jika tidak melakukan tingkeban, brokokan, pasaran, dan pitonan nanti sang bayi akan diganggu oleh lelembut niiiih. Yang akhirnya memaksa untuk menerapkan budaya itu meskipun keadaan ekonomi keluarga itu minimum. Padahal amalan yang terbaik ketika hamil adalah sholat, membaca dan mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran pun sudah cukup. Jika dikaji lebih mendalam, Al-Quran sangat berpengaruh besar dalam perkembangan janin. Dengan adanya pertikaian amalan budaya ini, maka lahirlah dua kaum, yaitu kaum tua yang cenderung statis, tidak mau mengalami perubahan dalam suatu ajaran. Menurut Howard M. Federspiel dalam Atang dan Mubarok (2010: 192-193) kaum tua meyakini bahwa kebenaran yang dilakukan dalam ajaran-ajaran ulama besar zaman klasik dan zaman pertengahan tidak berubah, sehingga kebenarannya tidak perlu dikaji ulang, mereka menuduh bahwa orang-orang yang menentang mereka adalah orang kafir dan terkutuk, dan mereka yang tertuduh adalah kaum muda. Jadi sudah jelas bahwa kaum muda adalah kaum yang mendukung perubahan radikal dalam pemikiran dan praktik di nusantara. 2.2 Reaksi Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi Di zaman globalisasi dan modern saat ini, bangsa Indonesia belum menjadi bangsa yang maju melainkan masih berstatus bangsa berkembang, dan ternyata mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Umat Islam pada zaman dahulu mengalami kejayaan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bahkan mengerajai pengetahuan seluruh dunia, termasuk Amerika mengoperasikannya. Adanya globalisasai menyebabkan zaman semakin maju, dan pemikiran Islam pun mengalami kemajuan juga untuk mengikuti kemajuan zaman yang pada dasarnya tidak keluar dari sumber hukum Islam. Menurut Jamal al-Din al-Afghani, orang Persia, dan Muh.Abduh, tokoh reformis dari Mesir dalam Muslim Abdurrahman (1995: 63), menganggap bahwa faktor utama keterbelakangan umat Islam menghadapi bangsa barat ialah karena sejak abad ke-9, pintu ijtihad

telah ditutup oleh para ulama, inilah yang membuat terhentinya kesempatan untuk menggali AlQuran dan Sunnah, disamping itu umat Islam lalai melestarikan beberapa bidang ilmu pengetahuan yang berguna.

2.2.1

Tradisionalis

Pemikiran tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat islam adalah ketentuan dan rencana tuhan. Sebagai makhluk, kita dapat tidak mengetahui gambaran besar tentang skenario tuhan, dari perjalanan panjang umat manusia. (Mansour Fakih dalam Ulumul Quran, 1997: 11) Cara berpikir tradisionalis ini bersandar pada aliran Ahlus Sunah Wal jamaah. Bahwa manusia harus menerima ketentuan dan rencana Tuhan yang telah dibentuk sebelumnya. 2.2.2 Modernis

Pemikiran modernis beranggapan bahwa keterbelakangan umat islam lebih banyak disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya, atau teologi mereka. Sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan-perubahan karena paham-paham atau institusi-institusi lain dinilai tidak relevan. Pandangan ini merujuk pada pemikiran muktazilah, yaitu manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri. Artinya asumsi dasar mereka bahwa keterbelakangan umat islam berasal dari diri mereka sendiri. 2.2.3 Revivalis-Fundamentalis

Menurut revivalis, umat islam terbelakang karena mereka menggunakan ideologi lain atau isme sebagai dasar pijakan daripada menggunakan Al-quran sebagai acuan dasar. Di samping itu, mereka juga memandang isme lain, seperti marxisme, kapitalisme, dan zionisme sebagai ancaman, karena bagi mereka isme merupakan salah satu agenda Barat konsep nonislami yang di paksakan pada masyarakat muslim. Mereka menolak kapitalisme dan globalisasi karena keduanya di nilai berakar pada paham liberalisme. (Mansour Fakih dalam Ulumul Quran dalam Atang dan Mubarok (2010: 197). 2.2.4 Transformatif

Mereka (penggagas transformatif) percaya bahwa keterbelakangan umat islam disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan kultur. Agenda mereka adalah melakukan transformasi terhadap hal-hal yang mengakibatkan keterbelakangan umat islam dan melakukan perubahan-perunahan yang dapat membawa kemajuan bagi umat islam dalam berbagai bidang. Mereka lebih cenderung melakukan transformasi sosial. Menurut mereka agama islam adalah agama pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasi sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil. .2.5 2Jaringan Islam Liberal

Jaringan Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan beberapa landasan khusus. Jaringan Islam Liberal juga bisa diartikan sebagai forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad. Prinsip yang dianut oleh Jaringan Islam Liberal yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Jaringan Islam Liberal percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Jaringan Islam Liberal memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "liberal". Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami membentuk Jaringan Islam Liberal. Sejarah. Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan permurnian, kembali kepada al-Quran dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syiah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.

Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wachid. (Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton. Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama. Islam liberal prospek tantangannya Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsurunsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopansantun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."

Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan gambaran teokrasi yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah kesan adanya perang dingin yang terlihat. Juga dalam dunia akademik, umat Islam dianggap mencurahkan perhatian kepada pemahaman keagamaan yang radikal. Hal itu terlihat pada karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti; Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage). Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa Islam belum diberi kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat Islam dihadapkan pada sebuah tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana tafsir kontekstual itu masih menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang Muslim Pakistan, misalnya, pernah menulis: "Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal ... Mengapa Islam harus dimodernkan? Bukankah kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna, universal, serta berlaku setiap waktu?" Dalam kajian historis, di kalangan umat Islam memang terdapat pemahaman-pemahaman yang beraneka ragam. Di antara variasi pemahaman itu adalah adanya sebuah tradisi yang disuarakan dengan konsisten sehingga paralel dengan liberalisme di dunia Barat. Para penerjemah tradisi ini mengekspresikan kejengkelannya, karena posisi mereka pada umumnya "masih diacuhkan" oleh para sarjana dan media massa Barat yang lebih tertarik pada sensasionalisme wacana kaum ekstrimis-fundamentalis. Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang orientalisme. Sebenarnya tradisi--yang disebut sebagai Islam Liberal--ini sangat menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hakhak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal. Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity). Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis. Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik. Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaanpertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan? Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di

Eropa dianggap tidak banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat! Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasangagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran. Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme Islam kontemporer. Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modernis ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati, Zia-ul Haq, dan kalangan-kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian pada gagasan pembebasan, layak juga diperhatikan. Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk

membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan nonMuslim. Dan tidaklah layak bagi orang Mukmin laki-laki maupun bagi orang Mukmin perempuan, jika Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata. (Q.s. al-Ahzab [33]: 36) Sunday, August 22, 2010 SEKULARISME DAN UMAT ISLAM Saat ini sekularisme di Dunia Islam bukanlah suatu perkara yang asing lagi. Dapat dikatakan bahawa sekularisme kini telah menjadi bahagian dari anggota atau bahkan menjadi tubuh badan umat islam. Ibarat sang virus yang menyerang seluruh tubuh manusia sehingga menjelma menjadi susuk tubuh yang baru; bak manusia yang bertukar rupa kepada seekor raksasa yang besar dan mengerikan sehingga sukar dikenali keaslian rupa yang sebenar. Beginilah keadaan umat islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangannya sudah menyebar dan membelit-belit seluruh sendi umat sehingga seluruh kehidupan terkesan dengan cengkaman sekularisme. Akibatnya umat tidak menyedarinya lagi bahkan terus-menerus membela sekular untuk kekal di dalam anggota badan umat islam. Rantai Sekularisme Pandangan sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (Fashl addin an alhayah). Menurut Nasiwan (2003). Sekularisme di bidang politik ditandai dengan 3 hal iaitu: (1) Pemisahan pemerintahan dari ideology keagamaan dan struktur eklesiatik; (2) Ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam bidang social dan ekonomi, yang semula ditangani oleh struktur keagamaan; (3) Penilaian atas budaya politik ditekankan pada alas an dan tujuan keduniaan yang tidak transeden. Tahun yang dianggap sebagai benih kemunculan sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu mengakhiri perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan di Eropah. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoriti politik Paus dan Gereja Katolik Rome(Pappe 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan sendi kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebgai wakil tuhan. Anggapannya adalah Negara itu sendirilah yang paling tahu keperluan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan kehidupannya. Sementara itu, tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja sahaja.

Awalnya sekularisme memang hanya berbicara hubungan antara agama dan Negara. Namun dalam perkembangannya, semangat sekularisme tumbuh dan berbiak ke segala aliran pemikiran kaum intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar sekaligus sumber inspirasi ke segenap aliran pemikiran, iaitu: 1. Bidang aqidah. Semangat sekularisme ternyata telah mendorong munculnya liberalisme dalam berfikir di segala bidang. Kaum intelektual barat ternyata ingin sepenuhnya membuang segala yang berbau doktrin agama (Altwajri 1997). Mereka sepenuhnya ingin mengembalikan segala sesuatu pada kekuatan aqal manusia; termasuk melakukan reorentasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat manusia, hidup dan keberadaan alam semesta ini (Persoalan aqidah). Altwajri memberikan contoh penentangan para pemikir barat terhadap pemahaman keagamaan yang paling fundamental di bidang aqidah iaitu munculnya pelbagai aliran pemikiran seperti pemikiran marxisme, eksistensalisme, Darwinisme, freudalisme dan sebagainya. Pandangan pemikiran inilah akhirnya membentuk pemahaman baru berkaitan dengan hakikat manusia, alam semesta dan kehidupan ini, yang berbeza secara diameter dengan pemahaman keagamaan yang ada. Mereka mengingkari adanya pencipta sekaligus menafikan misi utama pencipta menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Mereka lebih suka menggunakan logiknya sendiri dan kemudian menjadi kaedah-kaedah falsafah yang disusun dengan rapi. 2.Pemerintahan dibidang Bidang ini Niccola Machiavelli dianggap sebagai pelopor pemikiran moden, Dia beranggapan bahawa nilai-nilai tertinggi adalah berhubungan dengan kehidupan dunia yang dikecilkan menjadi nilai kemasyuran, kemegahan dan kekuasaan. Agama hanya diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan kerana nilai-nilai agama itu sendiri (Nasiwan, 2003). Disamping itu muncul pula para pemikir demokrasi seperti John Locke, Montesquieu dan lain-lain yang mempunyai pandangan bahawa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan konstitusional yang mampu membahagi dan membatasi kekuasaan sementara dari majoriti, yang melindungi kebebasan segenap individu-individu rakyatnya. Pandangan ini kemudian melahirkan tradisi pemikiran politik liberal iaitu sistem politik yang melindungi kebebasan individu dan kelompok yang didalamnya terdapat ruang bagi masyarakat sivil dan ruang persendirian yang bebas dan terlepas dari kawalan Negara (Widodo 2004). Konsep demokrasi itu kemudian dirumuskan dengan sangat sederhana dan mudah oleh Presiden Amerika Syarikat Abraham Lincoln dalam pidatonya tahun 1863 sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Roberts & Lovecy, 1984). 3. Bidang Ekonomi Adam Smith merupakan tokoh sekular tersohor dalam bidang ekonomi, dia menyusun pandangan ekonominya berangkat dari pandangan terhadap hakikat manusia. Smith memandang bahawa manusia memiliki sifat serakah, egois dan mementingkan diri sendiri. Smith menganggap bahawa sifat-sifat manusia ini tidak negatif tetapi justeru teramat positif kerana dapat memacu pertumbuhan ekonomi Negara secara keseluruhan. Smith berpendapat sifat egois manusia ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merosakkan masyarakat sepanjang

persaingan bebas. Setiap orang yang menginginkan laba dalam jangka panjang (ertinya serakah), tidak akan menaikkan harga di atas tingkat harga pasar (Deliarnov, 1997) 4. Bidang Pengamalan agama Prinsip sekular yang terkenal dalam bidang ini iaitu pluralisme agama yang memimliki tiga sendi utama (audi, 2002) iaitu (1) prinsip kebebasan, iaitu Negara wajib membenarkan pengamalan agama apapun (dalam batas-batas tertentu) (2) prinsip kesetaraan iaitu Negara tidak boleh memberikan pilihan suatu agama tertentu atas pihak lain (3) Prinsip neutraliti iaitu Negara tidak boleh suka atau tidak suka pada agama. Dari ketiga-tiga prinsip ini munculah pandangan bahawa semua agama harus dipandang sama, memilikimkedudukan yang sama namun hanya dalam lingkungan individu-individu sahaja. 5.Bidang Sosiologi Di bidang ini muncul pemikir besarnya seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan sebagainya. Sosiologi ingin memahami bagaimana masyarakat dapat berfungsi dan mengapa orang-orang mahu mengawal masyarakat. Sosiologi juga harus dapat menjelaskanperubahan sosial dan tempat individu di dalamnya (Osborne & Loon 1999). Dari Sosiologi inilah diharapkan peranan manusia dalam melakukan cubaan sosial dapat lebih mudah dan berleluasa untuk dilakukan diantara seharusnya pasrah dengan apa yang dianggap oleh agamawan sebagai ketentuan-ketentuan Tuhan. 6. Bidang Pendidikan Dalam bidang ini kerangk keilmuan yang berkembang di Barat mengacu sepenuhnya pada prinsip-prinsip sekularisme. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari kategori falsafah yang mereka kembangkan yang mencakupi tiga asas utama perbahasan (Suriasumantri, 1987): Falsafah ilmu yaitu perbahasan falsafah yang mengkaji persoalan benar dan salah; falsafah etika, perbahasan falsafah yang mengkaji persoalan baik dan buruk; Falsafah estetika, perbahasan falsafah yang mengkaji persoalan indah dan hodoh . Berdasarkan 3 prinsip ini pendidikan mengacu kepada prinsip falsafah barat adalah memandang bahawa sumber ilmu pengetahuan hanya diperolehi daripada aqal manusia semata. Sementara agama hanya berada dalam perbahasan lingkungan moral dan hanya layak untuk berbicara baik atau buruk (etika) dan bukan perbahasan ilmiah iaitu salah dan benar. Dengan prinsip ini pandangan dasar sekular berkembang dan kukuh dalam diri setiap individu sehingga tidak terbantah di dalam masyarakat. Justeru umat islam memiliki standard junjungan yang baru dalam berfikir berbanding standard-standard yang bersumber al-quran dan as-sunnah. Umat islam lebih mengukur segala kebaikan berdasarkan prinsip demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), pasar bebas, pluralisme, kesetaraan dan lain-lain pandangan yang bertentangan dengan Islam. Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari

pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Tujuan dan argumen yang mendukung sekularisme beragam. Dalam Laisisme Eropa, diusulkan bahwa sekularisme adalah gerakan menuju modernisasi dan menjauh dari nilai-nilai keagamaan tradisional. Tipe sekularisme ini, pada tingkat sosial dan filsafat seringkali terjadi selagi masih memelihara gereja negara yang resmi, atau dukungan kenegaraan lainnya terhadap agama. Sekularisme Di Negara Negara Umat Islam Contoh proses sekularisasi yang paling nyata adalah Negara Turki. Sejak kejatuhan Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924. Bekas pusat pemerintahan islam tersebut (Turki) terjadi proses sekularisasi yang mengiris hati kaum muslimin. Sejak dihapuskan sistem kekhilafahan pada tanggal 3 Mac 1924, janatan syariah dan wakaf dihapuskan. Setelahn itu giliran jabatan syaikhul Islam dihapuskan dan semua sekolah keagamaan ditutup. Tindakan radikal ini telah memancing kemarahan sebahagian kaum muslimin. Munculah perlawanan kurdi pada februari 1925 dipimpin oleh syaikh Said. Namun perlawanan ini dapat dipadamkan oleh rejim kapitalis. Untuk mempertahnakan posisinya dan untuk mempermudahkan usahanya mengubah Turki menjadi bahagian tak terpisah dari peradaban barat. Pada tahun 1927 Udang-undang Darurat untuk memelihara ketertiban diperbaharui dan diberlakukan sejak tahun 1929. Pada September 1925 rejim kemalis mengeluarkan sebuah keputusan yang berisikan larangan memakai pakaian agama oleh orang yang tidak memegang jabatan keagamaan. Semua pegawai sivil diwajibkan memakai stelan barat dan topi. Pada bulan sebelumnya, November 1925 rejim kemalis juga sudah mengeluarkan keputusan mengenai kewajipan bagi laki-laki untu memakai topi, sedangkan memakai turbus adalah suatu kejahatan. Penanggalan Gregorian dipergunakan pada bulan Desimber 1925. Mustapha Kemal menyerang pemakaian tudung oleh wanita. Komuniti ahli hukum mengambil undang-undang sivil swiss untuk memenuhi keperluan hukum di Turki dan bentuk lengkap undang-undang sivil Turki diputuskan oleh dewan Nasional Agung pada tanggal 17 Februari 1926 dan mulai berlaku pada tanggal 4 Oktober 1926. Undangundang sivil ini digunakan untuk menggantikan undang-undang sivil dari syariah. Poligami dilarang. Perkahwinan wanita muslim dengan lelaki kafir dibenarkan. Semua orang yang sudah dewas diberi hak untuk mengubah agama mereka apabila mereka kehendaki. Undang-undang diputuskan oleh Dewan Nasional Agong pada 3 November 1928 menjadikan penggunaan tulisan latin bagi bangsa Turki adalah suatu kewajipan. Yang lebih mengerikan lagi adalah keputusan yang dikeluarkan pemerintah Turki pada 1932 untuk menggantikan azan dengan bahasa Turki. Keputusan ini disiarkan oleh Ketua Urusan Agama. Azan Versi Turki ini dipersiapkan secara khusus oleh himpunan Linguistik dan melodinya dipersetujui oleh konsevertifn Muzik Nasional, Ankara. Pada tahun 1933, dikeluarkan suatu

keputusan yang menayatakan bahawa azan dengan bahasa arab adalah suatu kesalahan. Keputusan ini membuatkan kemarahan besar rakyat Turki. Setidaknya, gambaran sekularisasi di Turki Membuka mata kita untuk meneropong proses sekularisasi di Negara-negara umat Islam yang lain. Tidak jauh bezanya dengan Turki. Hukum-hukum umum islam seperti hukuman jenayah, pendidikan, sosial, ekonomi dan lain-lain telah dihapuskan dalam hukum Negara. Meskipun terda[at sebahagian Negara umat Islam yang mengamalkan hudud contohnya, mereka masih menggunakan peraturan-peraturan model Barat. Setelah sekularisasi di Negara-negara umat Islam, kaum muslimin ternyata tidak lebih maju dan bangkit. Mereka terus-menerus mengalami kemunduran dan kelemahan. Keberagaman meraka hanya direleksikan dalam wilayah individual. Dari segi politik mereka dikuasai dan tidak berdaya dengan kekuatan kafir. Pendek kata sekularisme merupakan sumber kahancuran dan kelemahan kaum muslimin. Tidak hanya disitu sekulrisme-kapitalisme menyeret manusia kelubang kehancuran yang sangat mengerikan. Khatimah Wahai kaum muslimim ! sesungguhnya inilah hakikat sekularisme yang dianut bahkan menjadi tunjang pemikiran umat islam dikala mengurusi dan mengatur kehidupan mereka. Sekularisme kini telah menjadi raksasa yang mengganas memadam apa-apa pemikiran yang dipimpin oleh Islam sehingga tidak sedikitpun peluang diberikan untuk islam kembali menjadi tunjang pemikiran umat. Apalagi umat islam tersangat riang dengan tatacara hidup sekularistik . Sebaliknya mereka justeru sangat bimbang dan takut jika negara diatur dengan syariat islam. Mereka gerun dan ragu syariat islam adalah pilihan yang tidak tepat untuk keadaan masyarakat nasional dan internasional saat ini yang semakin maju, moden, plural dan majmuk. Mereka takut bayang-bayangnya sendiri dimana munculnya syariat islam akan menimbulkan konflik pelanggaran HAM dan mengganggu keharmoniaan yang selama ini telah terbina dengan baik kononya. Inilah kejayaan hakiki barat untuk memadam islam sebagai sebuah pengaruh yang kuat di mana sekularisme menjadi sebuah kesesatan yang tersembunyi ditengah-tengah umat islam dengan mencengkam dan terus mencengkam pemikiran umat islam sehingga tidak mampu melihat masa depan hakiki mereka sendiri dan terus bertuhan dengan Negara pelapor sekularisme iaitu Amerika Syarikat.

BAB III 3.1 Simpulan Seiring berkembangnya zaman, Islam pun turut berkembang, disebabkan adanya pemikiran Islam terhadap globalisasi, diantara pemikiran Islam yaitu: tradisionalis, modernis, revivalisfundamentalis, dan transformatif. Yang masing-masin memiliki pemikiran dan tujuan yang berbeda. Sebagai manusia yang telah dianugerahi akal oleh sang pencipta, patutlah menjadikan akal yang selalu berfikir dan tidak kaku. Apalagi sebagai umat Islam harus pintar dan cerdas mengamalkan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. http://media.isnet.org/islam/gapai/IslamLiberal.html http://islamicreform.blogspot.com/ http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Feuerbach_Ludwig.jpg http://hisham-khilafah03031924.blogspot.com/2010/08/sekularisme-dan-umat-islam.html

Anda mungkin juga menyukai