Anda di halaman 1dari 39

FILSAFAT IBNU BAJJAH

MAKALAH

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH FILSAFAT UMUM

oleh:

Fikri Fillaili - 1181030057 - 2/IAT/D

ILMU AL-QUR’AN TAFSIR

USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah swt., Sang


Pencipta alam semesta, manusia, kehidupan beserta seperangkat aturan-
aturannya. Semoga seluruh umat manusia senantiasa mematuhi segala perintah-
Nya serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Berkat limpahan rahmat, taufiq,
hidayah dan inayah-Nya, penulis dapat menyusun makalah tentang Filsafat Ibnu
Bajjah.

Lantunan Shalawat serta iringan salam semoga tercurahkan kepada Nabi


Muhammad Rasulullah saw., sang pelita alam, sehingga Islam tersebar luas dan
manusia mengenal Rabb-nya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Filsafat Umum, serta menjadi bahan ajar atau referensi untuk memenuhi
kebutuhan siapapun yang membacanya.

Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tidak terhingga kami sampaikan


kepada semua pihak yang telah membantu, baik langsung maupun tidak langsung
terhadap penyusunan makalah ini. Mudah-mudahan amal baiknya dicatat sebagai
amal shaleh dan diterima di sisi Allah.

Akhirnya kami selaku penyusun makalah hanya bisa berharap, bahwa


dibalik ketidaksempurnaan penyusunan makalah ini dapat ditemukan sesuatu
yang memberikan manfaat bagi penulis, mahasiswa, dan seluruh pembaca. Kami
berharap adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
perbaikan dan penyempurnaan berikutnya. Semoga makalah tentang Filsafat
Ibnu Bajjah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandung, 25 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat Makalah 3
1.5 Metode Penyusunan Makalah 3

BAB II PEMBAHASAN 4

2.1 Biografi Dan Riwayat Hidup Ibnu Bajjah 4


2.2 Karya-Karya Ibnu Bajjah 8
2.3 Antara Filusuf Dan Filsafat Ibnu Bajjah 9
2.4 Pemikiran Ibnu Bajjah 11
Metafisika (Ketuhanan) 12
Materi Dan Bentuk 14
Etika 16
Akal Dan Pengetahuan 17
Akal Dan Makrifat 18
Teori Ittishal 21
Akhlak 22
Jiwa 23
Filsafat Politik 27
Tasawuf 28

BAB III PENUTUPAN 31

3.1 Kesimpulan 31
3.2 Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sekitar permulaan abad 8-M. Islam masuk di Andalusia (Spanyol).


Masuknya Islam telah membuka cakrawala baru dalam sejarah dunia Islam.
Dalam rentang waktu yang selama kurang lebih tujuh setengah abad, ummat
Islam di Andalusia telah mencapai kemajuan yang pesat di berbagai bidang, baik
di bidang ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu
berkembang pesat pada masa itu. Hal ini ditandai dengan banyaknya
bermunculan tokoh-tokoh ilmuwan yang cemerlang di bidangnya masing-masing
dan sampai sekarang, hasil pemikiran mereka menjadi bahan rujukan para
akademisi, baik dari Barat maupun di Timur.

Salah satu kemajuan yang dialami oleh ummat Islam di Andalusia adalah
dalam bidang Filsafat. Tokoh utama dalam sejarah filsafat di Andalusia ialah
Abu Bakr Muhammad Bin Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah.
Salah satu karyanya yang terkenal termuat dalam magnum opumnya yang
berjudul Tadbir Al-Mutawahhid.

Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajjah


dengan “Avempace”. Menurut beberapa literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya
seorang filosof ansich, tetapi juga seorang saintis yang menguasai beberapa
disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, musikus, astronomi, dan
matermatika. Adapun di antara karya-karya Ibn Bajjah yang paling populer, yaitu
adalah Tadbirul Mutawahhid dan Risalatul-Ittishal. Tadbirul-Mutawahhid adalah
sebuah buku tentang moral dan politik yang disusun menurut buku Al-
Madinatul-Fadhilah karya al-Farabi. Sedang Risalatul-Ittishal Ibnu Bajjah
membagi manusia dalam tiga golongan, yaitu: kaum awam (Al-Jumhur), An-
Nudzdzar (kaum khawas atau kaum cendekiawan), dan kaum yang bahagia.

1
Banyak dari masyarakat yang mengatakan bahwa filsafat adalah suatu
kesesatan, kebodohan, membahayakan bagi akidah-akidah agama. Filsuf itu
dianggap sebagai orang-orang yang mengingkari agama, setan berbentuk
manusia, dsb. sehingga dahulu banyak sekali buku-buku filsafat yang dilarang
untuk dibaca, bahkan tak sedikit pula buku-buku filsafat itu dibakar dan
dimusnahkan. Para Filsuf pun dikucilkan, bahkan dipenjarakan dan dihukum
mati. Itu semua mereka lakukan karena mereka belum mengerti dan memahami
bagaimana sejatinya ajaran filsafat serta pemikiran para filsuf itu sendiri.

Namun, tidak semua orang memandang demikian, sebaliknya, ada pula


yang mengatakan bahwa filsafat mengantarkan manusia kepada kebenaran dan
kebahagiaan. Jadi sama dengan agama, hanya melihatnya dari sisi yang
berlainan.

Mana yang benar? Semua tergantung dari pemahaman kita terhadap ajaran
filsafat itu sendiri.

Mempelajari filsafat memang tidak mudah. Perlu pemikiran yang matang


dan berhati-hati dalam pemahamannya. Kalau tidak, maka kita akan tersesat oleh
pemikiran kita sendiri. Memerlukan penalaran yang luar biasa dalam hal ini.

Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang
konsep filsafat dari seorang tokoh Islam ternama yakni “Ibnu Bajjah” yang
semoga akan lebih mudah dipelajari serta dipahami oleh pembaca, karena konsep
filsafat beliau juga didasarkan pada para pendahulunya seperti Aristoteles dan
Al-Ghozali.

Dalam makalah ini juga akan dipaparkan secara gamblang mengenai


riwayat hidup beliau, karya-karya yang dihasilkan beliau semasa hidupnya,
antara filosof dan filsafatnya serta ajaran-ajaran filsafatnya, yang diharapkan
akan sedikit memberikan pencerahan kepada pembaca mengenai ajaran filsafat
dan siapakah sebenarnya tokoh “Ibnu Bajjah”serta ajaran filsafatnya.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Biografi Dan Riwayat Hidup Ibnu Bajjah ?

2. Apa Sajakah Karya Yang Dihasilkan Ibnu Bajjah Semasa Hidupnya ?

3. Bagaimanakah Kaitan Antara Filosof Dan Filsafatnya ?

4. Apa Sajakah Ajaran Filsafatnya ?

1.3 Tujuan

1. Untuk Mengetahui Biografi Dan Riwayat Hidup Ibnu Bajjah

2. Untuk Mengetahui Karya-Karya Yang Dihasilkan Ibnu Bajjah Semasa


Hidupnya

3. Untuk Mengetahui Kaitan Antara Filosof Dan Filsafatnya

4. Untuk Mengetahui Ajaran-Ajaran Filsafatnya.

1.4 Manfaat Makalah

Makalah ini dapat digunakan sebagai Literatur dan Referensi tambahan, juga
sebagai bahan pembelajaran, serta sebagai informasi terhadap siapapun yang
membacanya.

1.5 Metode Penyusunan Makalah

Makalah ini disusun dengan cara penulis mengumpulkan literarur-literarur yang


berkaitan dengan Filsafat Umum.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Dan Riwayat Hidup Ibnu Bajjah

Ibnu Bajjah lahir di Saragossa pada abad ke-11 Masehi atau abad ke-5
Hijriah. Nama aslinya ialah Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya, yamg terkenal
dengan sebutan Ibnu Shaighatau Ibnu Bajjah. 1 Dia berasal dari keluarga Al-
Tujib, sehingga Ibnu Bajjah terkenal terkenal juga dengan sebutan Al-Tujib.

Ibnu Bajjah merupakan filsuf muslim pertama di dunia Islam barat. Ia


muncul pada tiga atau empat dasawarsa pertama pada abad ke-12 di Andalusi
(Spanyol). Beliau terkenal dengan nama julukan Ibnul-Sha-igh (Anak Tukang
Emas), sedangkan di Eropa terkenal dengan nama Avempace. Dia berasal dari
keluarga Al Tujib. Maka ia terkenal dengan sebutan al-Tujibi.

Orang-orang di Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajjah


sebagai “Avempace”, sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Shina,
Ibnu Gaberal, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, masing-masing dengan Avicenna,
Avicebron, Abubacer, dan Averroes.2

Ibnu Bajjah adalah seorang polymath Andalusia abad pertengahan:


tulisannya mencakup karya tentang astronomi, fisika, psikologi, dan musik, serta
logika, filsafat, kedokteran, botani, dan puisi. Ibnu Bajjah berhasil mematangkan
dirinya dengan pengetahuan di kota kelahirannya, Saragossa. Maka ketika pergi
ke Granada, dia telah menjadi seorang sarjana bahasa dan juga sastra Arab serta
menguasai dua belas macam ilmu pengetahuan.

Para ahli sejarah memandangnya sebagai orang yang berpengetahuan luas


dan mahir dalam berbagai ilmu. Tidak terkecuali Fath Ibnu Khaqan, yang
menuduh Ibnu Bajjah sebagai ahli bid’ah dan mengecamnya dengan pedas dalam

1
Drs. Sudarsono, S.H. Filsafat Islam. Hal 75.
2
Drs. Sudarsono, S.H. Filsafat Islam. Hal 75.
4
karyanya Qola’id al-Iqyan, juga mengakui keluasan pengetahuannya, karena
menguasai sastra, tata bahasa dan filsafat kuno.3 Oleh tokoh-tokoh sezamannya
dia telah disejajarkan dengan al-Syaikh al-Rair Ibnu Shina.

Ibnu Bajjah tidak melulu menekuni ilmu dan falsafat, tetapi juga terlibat
politik, khususnya sejak diangkat menjadi wazir di Saragossa oleh Gubernur
Saragossa as-Sahrawi yang berada di kekuasaan Daulah Murabithun. 4 Tapi
ketika Saragossa jatuh ke tangan Al-Fonso I, Raja Aragon pada tahun 512
H/1118.

M, Ibnu Bajjah pindah ke kota Seviolle lewat Valencia, dan di sana


bekerja sebagai Tabib, kemudian dia pergi ke Granada. Pada waktu Saragossa
jatuh ke tangan Raja Al-Fonso I dari Aragon pada tahun 512 H/1118 M., Ibnu
Bajjah terpaksa pindah ke Seville, dimana ia bekerja sebagai seorang dokter
disamping menulis buku, terutama tentang ilmu logika.

Setelah itu, ia pindah ke Kota Granada, dan dari sini ia melanjutkan


pengembaraannya ke Afrika Utara, pusat kerajaan Dinasti Murabithin Barber.
Ketika tiba di Kota Syatibah, ia ditangkap oleh Amir Abu Ishak Ibrahin ibn
Yusuf ibn Tashifin yang menuduhnya sebagai pembawa bid’ah dan termasuk
folongan murtad. Hal ini karena pandangan falsafinya pada waktu itu tidak
diterima oleh masyarakat islam di Maghribi. Tetapi kemudian ia dilepaskan
kembali berkat usaha Ibn Rusydi yang pernah menjadi muridnya.

Setibanya di Syatibah, Ibnu Bajjah dipenjarakan oleh Amir Abu


Ishaq Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasyifin. Sangat boleh jadi karena dituduh
sebagai ahli bid’ah. Tapi menurut Renan, dia dibebaskan, barangkali atas anjuran
muridnya sendiri, bapak filosof Spanyol termasyhur Ibn Rusyd.

3
Mustofa. Filsafat Islam, 2009. Hal 256
4
Amroeni Drajat. Filsafat Islam. Hal 63.

5
Berkat kemampuan dan pengetahuannya yang langka, setibanya di Fez, di
Istana Gubernur Abu Yahya Ibnu Yusuf Ibn Tasyifin, Ibnu Bajjah diangkat
sebagai pejabat tinggi dan memegang jabatan selama 20 tahun. Setelah itu, Ibnu
Bajjah berangkat pula ke Fez, Marokko. Di Kota ini, ia diangkat sebagai wazir
oleh Abu Bakr Yahya ibn Yusuf ibn Tashfin selama 20 tahun. Akhirnya di kota
inilah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada bulan Ramadhan 533 H /
1138 M. Menurut beberapa informasi, kematiannya ini karena diracuni oleh
temannya, seorang dokter yang iri hati terhadap kegeniusannya.

Tidak ada keraguan lagi bahwa filsafat memasuki Spanyol sesudah abad
ke-3 H/ ke-9 M. Sebagian salinan naskah kuno Rasa’il Ikhwan al-Shafa yang
terdapat di Eropa dianggap berasal dari Maslamah ibn Ahmad al-Majriti.
Maslamah adalah seorang ahli matematika besar Spanyol. Dia termasyhur selama
masa pemerintahan Hakam II dan meninggal pada tahun 598 H/1003 M di antara
para pengikutnya, ibn al-Shafa, Zahrawi, Karmani, dan abu Muslim Umar ibn
Ahmad ibn Khaldul berasal dari Seville dan meninggal pada tahun 449 H/1054
M. Karmani, yang nama lengkapnya Abu al-Hakam Amr ibn Abd ar-Rahman ibn
Ahmad ibn Ali, berasal dari Cardova, berkelana ke negeri-negeri Timur dan
belajar ilmu pengobatan dan ilmu hitung di Harran. Sekembalinya ke Spanyol,
dia menetap di Saragossa. Menurut pernyataan Qadhi Sa’id dan Maqarri, dia
merupakan orang pertama yang membawa naskah Rasa’il Ikhwan al-Shafa ke
Spanyol. Karmani meninggal di Saragossa pada tahun 450 H/1063 M.

Tetapi sebenarnya filsafat telah memasuki Spanyol jauh sebelum Rasa’il


Ikhwan al-Shafa diperkenalkan di negeri itu. Muhammad ibn Abdun al-Jabali
pergi ke Timur pada tahun 347 H/952 M, belajar ilmu logika bersama Abu
Sulaiman Muhammad ibn Thahir ibn Bahran al-Sijistani, dan kembali ke Spanyol
pada tahun 360 H/965 M. Barat dan bahwa pada abad ke-4/ke-10 M, ketika
filsafat dan logika dikutuk di Spanyol dan para penganjur ilmu-ilmu ini dihukum
mati, orang awam tidak lagi menyukai ilmu-ilmu ini sampai abad ke-5 H/ke-11
dan 12 M. Inilah sebabnya Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd harus
6
menghadapi hukuman mati, penjara dan kutukan. Hanya sedikit sekali orang pad
amasa itu yang berani berurusan dengan ilmu-ilmu rasional.

Ibnu Bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada teori dan praktik ilmu-
ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi
spekulatif seperti logika, filsafat alam, metafisika, sebagaimana dikatakan De
Boer dalam History of Philosophi in Islam, bahwa dia sesuai dengan al-Farabi
dalam tulisan-tulisannya logika dan secara umum setuju dengannya, bahkan
dengan doktrin fisika dan metafisikanya.

Ibnu Bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya al-Farabi,


dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan dalam karya-karya itu. Dan
dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain. Tidak
seperti al-Farabi, dia berurusan dengan segala masalah hanya berdasarkan nalar
semata. Dia mengagumi filsafat Aristoteles, yang di atasnya dia membangun
sistemnya sendiri. Tetapi dia berkata, untuk memahami lebih dahulu filsafatnya
secara benar. Itulah sebabnya Ibnu Bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas
karyanya Aristoteles. Uraian-uraian ini merupakan bukti yang jelas bahwa ia
mempelajari teks-teks karya Aristoteles dengan sangat teliti. Seperti juga dalam
filsafat Aristoteles, Ibnu Bajjah mendasarkan metafisika dan psikologinya pada
fisika, dan itulah sebabnya mengapa tulisan-tulisannya penuh dengan wacana-
wacana mengenai fisika. Pemikirannya memiliki pengaruh yang jelas pada Ibnu
Rushdi dan Albertus Magnus. Kebanyakan buku dan tulisannya tidak lengkap
(atau teratur baik) karena kematiannya yang cepat. Ia memiliki pengetahuan yang
luas pada kedokteran, Matematika, dan Astronomi. Sumbangan utamanya pada
filsafat Islam ialah gagasannya pada Fenomenologi Jiwa, namun sayangnya tak
lengkap.

Di masa jabatannya, merupakan masa kesulitan dan kekacauan dalam


sejarah Spanyol dan Afrika Barat-laut. Pelanggaran hukum dan kekacauan
melanda seluruh negeri. Musuh-musuh Ibnu Bajjah sudah mencapnya sebagai

7
ahli bid’ah, bahkan beberapa kali berusaha membunuhnya. Tapi semua usaha
mereka gagal. Hingga pada akhirnya Ibnu Zuhr seorang dokter termasyhur pada
masa itu berhasil membunuhnya dengan racun pada bulan Ramadhan tahun 533
H / 1138 M. Beliau dimakamkan di Fez di samping makam Ibn Al-Arabi muda.

2.2 Karya-karya Ibnu Bajjah

Beberapa karya Ibnu Bajjah antara lain :

1. Beberapa risalah dalam, dalam ilmu logika yang sampai sekarang masih
tersimpan di perpustakaan Escurial, Spanyol.

2. Kitab An-Nafs, yang membahas tentang jiwa.

3. Risalah Al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dengan Akal Fa’al.

4. Risalah Al-Wada’, yang membahas tentang penggerak pertama (Tuhan),


manusia, alam, dan kedokteran.

5. Beberapa risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.

6. Risalah Tadbirul Mutawahhid, berisikan akhlak dan politik serta usaha-


usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan
dalam masyarakat negara, yang disebutnya Insan Muwahhid (manusia
penyendiri).

7. Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles,


Al- Farabi, dan Porphyrius.

8. Tardiyyah, berisi tentang syair pujian.

9. Majalah al-Majma’ al-‘Ilm al-‘Arabi

8
Menurut Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip
karangan Ibnu Bajjah. Di antara karangan-karangan itu yang paling penting ialah
risalah Tadbir Al-Mutawhhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang
menjauhi segala macam keburukan-kaburukan masyarakat, yang disebut
Mutawahhid, yang berarti “penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas sehingga
memungkinkan kita dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri
tersebut untuk dapat bertemu dengan akal-akal dan menjadi salah satu unsur
pokok bagi negeri idam-idamnya. 5 Menurut sebagian pendapat menyebutkan
bahwa risalah Tadbir Al-Mutawahhid itu sudah tidak ada, akan tetapi Musa An-
Narbumi telah menganalisis risalah tersebut.

2.3 Antara Filosof dan Filsafat Ibnu Bajjah

Filosof Barat yang pertama kali mempelajari secara mendalam pemikiran


Al-Farabi dan Aristoteles adalah Ibnu Bajjah. Karangan-karangan Ibnu Bajjah
dapat menuntun Ibnu Rusyd untuk mengenal Al-Farabi dan Aristoteles.

Mengenai akal Ibnu Bajjah mengatakan bahwa akal sebagai daya berpikir
adalah sumber semua pekerjaan manusia. Ahli-ahli filsafat umumnya
menganggap bahwa akal serupa dengan jiwa. Roh ada 3 macam, yaitu roh akali
untuk berpikir, roh jiwa untuk menggerakkan, dan roh tabiat untuk merasakan
dan mengindera.6

Ibnu Bajjah menentang pandangan Al-Ghazali mengenai filsafat, akan


tetapi banyak mengomentari filsafat Aristoteles. Ibnu Bajjah berhasil memberi
corak baru filsafat Islam di Barat terutama mengenai teori ma’rifat
dalam Efitologi. Dalam hal ini pandangannya berbeda sama sekali dengan Al-
Ghozali.

5
Drs. Sudarsono, S.H. Filsafat Islam. Hal 76.
6
Drs. Sudarsono, S.H. Filsafat Islam. Hal 76.
9
Menurut Al-Ghozali, ilham merupakan sumber pengetahuan yang paling
penting dan paling dipercaya. Setelah datang Ibnu Bajjah, maka ia menolak teori
tersebut dan menetapkan bahwa seseorang dapat mencapai puncak ma’rifat dan
meleburkan diri pada akal–faal, jika ia telah dapat terlepaskan dari keburukan-
keburukan masyarakat, dan menyendiri serta dapat memakai kekuatan pikirannya
untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu sebesar mungkin, juga dapat
memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya.

Ibnu Bajjah menentang pikiran Al-Ghozali yang menetapkan bahwa akal


pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya. Semua pengetahuan manusia sia-sia
belaka, sebab itu dapat mengantarkan manusia kepada suatu kebenaran. Menurut
Al-Ghozali beribadah (tasawuf) merupakan cara yang paling tepat untuk
mencapai yang benar (ma’rifat).7

Dalam risalah Al-Wada’ Ibnu Bajjah mengatakan bahwa Al-


Ghozali dalam bukunya Al-Munqidzu min ad-Dlalaltelah menempuh jalan
khayali yang remeh, dan dengan demikian ia telah sesat dan menyesatkan orang-
orang yang memasuki fatamorgana dan yang mengira bahwa pintu tasawuf telah
membuka dunia pikiran dan selanjutnya memperlihatkan kebahagiaan-
kebahagiaan ketika melihat alam langit.

Bagi Ibnu Bajjah, tiap-tiap orang mampu menempuh jalan tersebut, dan
tidak ada yang menghambatnya kecuali peremehannya terhadap dirinya sendiri
dan kedudukannya terhadap keburukan-keburukan masyarakat manusia
keseluruhannya bisa mencapai kesempurnaan.

Menurut Ibnu Bajjah, hanya “penyendiri” saja yang dapat mencapai


tingkat akal mustafad, yaitu akal yang sudah menerima pengetahuan dari akal-
faal. Dari segi ini, maka “penyendiri”nya Ibnu Bajjah mirip sekali dengan
“orang bijaksananya”nya Al-Farabi yang dapat berhubungan dengan akal-faal.
Ibnu Bajjah tidak banyak meninggalkan karangan di bidang filsafat alam tetapi
7
Drs. Sudarsono, S.H. Filsafat Islam. Hal 77.
10
pemikiran-pemikirannya banyak mempengaruhi filosof Islam berikutnya, yaitu
Ibnu Rusyd. Pendapat Ibnu Bajjah sejalan dengan Ibnu Thufail mengenai
dominasi akal manusia yang tampak jelas dalam teori etikanya.

2.4 Pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah

Betapa pun sedikitnya informasi mengenai aktivitas kefilsafatan dan


keilmuan yang terjadi di Andalus, abad ke-11 tak pelak telah menjadi saksi atas
munculnya sejumlah ilmuwan yang meletakkan dasar bagi sebuah revolusi
ilmiah dan filosof yang genuine. Dan puncak dari revolusi tersebut ialah
hidupnya kembali Aristotelianisme dan tersebarnya filsafat Yunani-Arab ke
dunia Barat. Ibn Al-Imam, salah seorang murid Ibn Bajjah, telah mentranskripsi
sejumlah besar tulisan Ibn Bajjah ihwal filsafat. Dalam transkripsi itulah dia
membubuhkan sekilas sejarah hidup Ibn Bajjah. Konstribusi Ibn Bajjah pada
filsafat, tulis Ibn Al-Imam, “Sungguh-sungguh mencengangkan (miraculous).”
Sebelum beliau, lanjut Ibn Al-Imam sembari mengutip sebait sajak, “mata seolah
tak pernah melihat matahari terbit di Barat,” maksudnya di Andalusia.

Sejak semula, Ibn Bajjah menempatkan dirinya di tengah arus utama


tradisi Neoplatonik-Peripatetik yang mula-mula diperkenalkan ke alam pikiran
Islam oleh al-Farabi. Bagi Ibn Bajjah, al-Farabi adalah satu-satunya guru logika,
politik, dan metafisika yang berasal dari Timur.13 Filsafat Ibn Bajjah banyak
terpengaruh oleh pemikiran Islam dari kawasan di Timur, seperti Al-Farabi14
dan Ibn Sina15. Hal ini disebabkan kawasan Islam di Timur lebih dahulu
melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat daripada kawasan Islam Barat
(Andalus). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini kita akan menelusuri beberapa
pemikiran Ibn Bajjah.

Ibnu Bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada teori dan praktik ilmu-
ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi
spekulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika, sebagaimana yang
dikatakan De Boer dalam The History of Philosophi in Islam, bahwa dia
11
benar-benar sesuai dengan Al-Farabi dalam tulisan-tulisannya logika dan secara
umum setuju dengannya, bahkan dengan doktrin-doktrin fisika dan
metafisikanya.

Filsafat Ibnu Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari


kawasan di Timur, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Hal ini disebabkan kawasan
islam di Timur lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat dari
kawasan Islam di Barat (Andalus). Untuk lebih jelasnya, dibawah ini kita akan
menelusuri pemikiran filsafatnya.

Ibnu Bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya Al-


Farabi, dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan dalam karya-karya
itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain.
Tidak seperti Al-Farabi, dia berurusan dengan segala masalah hanya berdasarkan
nalar semata. Dia mengagumi filsafat Aristoteles, yang di atasnya dia
membangun sistemnya sendiri. Tapi, dia berkata untuk memahami lebih dulu
filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya Ibnu Bajjah menulis uraian-uraian
sendiri atas karya-karyanya Aristoteles. Uraian-uraian ini merupakan bukti yang
jelas bahwa dia mempelajari teks-teks karya Aristoteles dengan sangat teliti.
Seperti juga dalam filsafat Aristoteles, Ibnu Bajjah mendasarkan metafisika dan
psikologinya pada fisika, dan itulah sebabnya mengapa tulisan-tulisannya penuh
dengan wacana-wacana mengenai fisika.

a) Metafisika (Ketuhanan)

Menarik tesis yang dimunculkan M.M. Syarif, kendatipun - dalam pandangan


De Boer – filsafat fisika, metafisika, dan logika Ibnu Bajjah sejalan dengan Al-
Farabi, namun ia tidaklah menyalin dan menerima semua yang dituturkan Al-
Farabi, tetapi ia telah memberikan sejumlah besar tambahan dalam filsafatnya
dan menggunakan metode-metode penelitian filsafat yang hanya didasarkan pada
nalar semata.

12
Menurut Ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujuudaat) terbagi dua: yang
bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jism (materi) yang
sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan
terhadap yang digerakkan. Gerakan ini digerakkan pula oleh gerakan yang lain,
yang akhir rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak;
dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jism (materi).
Penggerak ini bersifat azali. Gerak jism mustahil timbul dari substansinya sendiri
sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang
infinite (tidak terbatas), yang oleh Ibnu Bajjah disebut dengan ‘aql.

Kesimpulannya, gerakan alam ini – jism yang terbatas – digerakkan oleh ‘aql
(bukan berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak ialah
‘aql, ia menggerakkan alam dan ia sendiri tidak bergerak. ‘Aql inilah yang
disebut dengan Allah (‘aql, ‘aqil’ ma’qul), sebagaimana yang dikemukakan oleh
Al-Farabi dan Ibnu Sina sebelumnya.

Perlu diketahui bahwa para filosof Muslim pada umumnya menyebut Allah
itu adalah ‘aql. Argumen yang mereka majukan ialah Allah Pencipta dan
pengatur alam yang beredar menurut natur rancangan-Nya, mestilah Ia memiliki
daya berpikir. Kemudian dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para
filosof Muslim menyebut Allah adalah Zat yang mempunyai daya berpikir (‘aql),
juga berpikir (‘aqil) dan objek pemikirannya sendiri (ma’qul). Keseluruhannya
adalah zat-Nya yang Esa.

Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Bajjah juga mendasarkan filsafat metafisiknya


pada fisika. Argumen adanya Allah adalah dengan adanya gerakan di alam ini.
Jadi, Allah adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas.

Di sinilah letak kelebihan Ibnu Bajjah walaupun ia berangkat dari filsafat


gerak Aristoteles, namun ia kembali pada ajaran Islam. Dasar filsafat Aristoteles
ialah ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam

13
empiris ini. Kendatipun penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia
masih bersifat empiris.

Uraian di atas dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa Ibnu Bajjah


mempelajari dan memahami filsafat Aristoteles dengan baik karena argumen
yang dimajukannya masih berbau aristotelean. Tampaknya Ibnu Bajjah berupaya
mengislamkan argumen metafisika Aristoteles tersebut. Karena itu, menurutnya,
Allah tidak hanya penggerak, tetapi ia adalah Pencipta dan Pengatur alam.
Namun secara umum uraian Ibnu Bajjah di bidang ini belum begitu mendalam.
Penalaran yang lebih sempurna dalam hal ini akan dapat dilihat dalam filsafat
Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd

b) Materi dan bentuk

Pendapat De Boer: “Ibnu Bajjah memulai deasumsi bahwa materi itu tidak
bisa bereksistensi tanpa adanya bentuk sedangkan bentuk bisa bereksistensi
dengan sendirinya, tanpa harus ada materi”. Tapi pernyataan ini salah. Menurut
Ibnu Bajjah materi dapat bereksistensi harus ada bentuk. Dia berargumen jika
materi berbentuk, maka ia akan berbagi menjadi materi dan bentuk dan begitu
seterusnya. Ibnu Bajjah menyatakan bahwa bentuk pertama merupakan suatu
bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai tidak
mempunyai bentuk.

Aristoteles membuat definisi materi sebagai sesuatu yang menerima


bentuk dan yang alam satu hal bersifat universal. Materinya dalam hal ini
berbeda dari materi Plato yang meskipun dia setuju dengan definisi di atas,
berpendapat bahwa bentuk itu sendiri nyata dan tidak membutuhkan sesuatupun
untuk bisa bereksistensi. Tujuan Aristoteles bukan hanya untuk menyatakan
bahwa materi dan bentuk itu saling bergantung, tapi juga untuk membedakan
antara bentuk khusus sebuah spesies dan bentuk khusus spesies lain. Bentuk
sebuah tanaman itu berbeda, misalnya, dengan bentuk seekor binatang, dan

14
bentuk sebuah benda mati berbeda dengan bentuk sebuah tanaman, dan
seterusnya.

Dalam tulisan-tulisan Ibnu Bajjah, kata bentuk dipakai untuk mencakup


berbagai arti: jiwa, sosok, kekuatan, makna, konsep. Menurut pendapatnya,
bentuk suatu tubuh memiliki tiga tingkatan :

1) Bentuk jiwa umum atau bentuk intelektual

2) Bentuk kejiwaan khusus

3) Bentuk fisik.

Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan sebagai berikut:

Bentuk-bentuk tubuh sirkular hanya memiliki hubungan sirkular dengan


materi, sehingga bentuk-bentuk itu bisa membuat kejelasan materi dan menjadi
sempurna

Kejelasan materi yang bereksistensi dalam materi

Bentuk-bentuk yang bereksistensi dalam indera-indera jiwa-akal sehat,


indera khayali, ingatan, dan sebagainya, dan yang berada di antara bentuk-bentuk
kejiwaan dan kejelasan materi.

Bentuk-bentuk itu yang berkaitan dengan aktif oleh Ibnu Bajjah


dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus. Pembedaan ini dilakukan karena
bentuk kejiwaan umum hanya memiliki satu hubungan dan hubungan itu ialah
dengan yang menerima, sedangkan bentuk-bentuk kejiwaan khusus memiliki dua
hubungan umum dengan yang terasa. Seorang manusia misalnya, ingat akan
bentuk Taj Mahal kalau benda itu berada di depan mata, bentuk ini, selain
memiliki hubungan khusus seperti yang tersebut di atas, juga hubungan dengan
wujud umum yang terasa, sedang banyak orang melihat Taj Mahal.

15
c) Etika

Tindakan manusia menurut Ibnu Bajjah dibagi menjadi dua


yakni: tindakan hewani dan tindakan manusiawi.

Pertama, tindakan hewani, timbul dikarenakan adanya motif naluri atau


hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat maupun jauh. Misalnya
seorang yang terantuk dengan batu, kemudian luka-luka, lalu ia melemparkan
batu itu. Kalau ia melemparkannya karena telah melukainya, maka ini adalah
perbuatan hewani yang didorong oleh naluri hewani yang telah mendiktekan
kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.

Kedua, tindakan manusiawi, timbul dikarenakan adanya pemikiran yang


lurus dan keamanan yang bersih dan tinggi, dan bagian ini disebut “perbuatan-
perbuatan manusia”. 8 Misalnya seperti contoh sebelumnya, seseorang yang
terantuk batu, kemudian luka-luka, lalu ia melemparkannya agar batu itu tidak
mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak
ada sangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka perbuatan itu adalah
pekerjaan kemanusiaan .

Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan
perbuatan itu sendiri melainkan motifnya.

Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, tidak
lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam
keadaan demikianlah segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi
kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia tanpa ada kekurangannya, sebab
kekurangan itu timbul karena ketundukannya pada naluri.

8
Drs. Poerwantana. Hal 190.
16
Pikiran Ibnu Bajjah tersebut nampaknya telah mempengaruhi Kant dengan
teori “wajibnya”-nya (imperatif), meskipun Kant telah menambahkan pikiran-
pikiran baru yang menyebabkan ia maju lebih jauh dari Ibnu Bajjah.

d) Akal dan Pengetahuan

Menurut Ibnu Bajjah, pengetahuan yang benar dapat diperoleh melalui


akal dan akal ini merupakan satu-satunya sarana yang dapat mewujudkan untuk
mencapai kemakmuran dan membangun kepribadiannya.

Ibnu Bajjah juga menandaskan bahwa Tuhan memanifestasikan


pengetahuan dan perbuatan kepada makhluk-makhluk-Nya. Setiap manusia
menerima ini semua sesuai dengan tingkat kesempurnaan eksistensi masing-
masing, akal menerima dari-Nya suatu pengetahuan sesuai dengan kedudukannya
dan lingkungan menerima dari-Nya sesosok dan bentuk fisik sesuai dengan
tingkat dan kedudukan mereka. Melalui akallah manusia mengenal ilmu-ilmu
yang disingkapkan kepadanya oleh Tuhan, hal-hal yang dapat dipahami,
peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di masa lalu. Inilah pengetahuan ghaib
yang diberikan Tuhan kepada hamba-hamba pilihan-Nya dengan melalui
malaikat-malaikat-Nya.

Wawasan yang paling tinggi adalah akal yang berwawasan ruh, dimana ia
merupakan rahmat dari Tuhan. Wawasan yang sempurna dimiliki oleh para Nabi.
Dan pengetahuan yang paling tinggi adalah mengenai Tuhan sendiri dan para
malaikat-Nya, baru kemudian pengetahuan tentang kejadian yang akan terjadi di
alam ini. Selain para Nabi yang memperoleh pengetahuan semacam itu, juga
orang saleh yang meliputi para Wali Tuhan dan para sahabat Nabi. Kemudian
sejumlah orang yang dikaruniai wawasan itu oleh Tuhan.

Menurut Inu Bajjah akal memiliki dua fungsi yaitu memberikan imaji
obyek yang akan diciptakan kepada unsur imajinasi dan memiliki obyek yang
dibuat di luar ruh dengan menggerakkan organ-organ tubuh.

17
Ia mempercayai adanya kemajemukan akal dan mengacu kepada akal
pertama dan kedua. Akal manusia yang paling jauh adalah akal pertama, dan
sebagian akal berasal dari akal pertama itu. Sebagian lain berasal dari akal-akal
lain. Hubungan antara yang diperoleh dan tempat asal akal (akal pertama) yang
diperoleh itu sama dengan hubungan cahaya matahari yang ada di dalam rumah
dengan cahaya yang ada di halaman rumah. Sebab cahaya di halaman rumah
disampaikan oleh partikel-partikel secara langsung berbeda dengan cahaya yang
ada di dalam rumah.

Akal manusia setapak demi setapak mendekati akal pertama dengan :

Meraih pengetahuan yang didasarkan pada bukti, yang dalam hal ini akal
paling tinggi direalisasikan sebagai bentuk.

Memperoleh pengetahuan tanpa mempelajarinya atau berusaha


meraihnya.

Pendekatan melalui cara kedua ini adalah suatu metode yang digunakan
oleh orang-orang sufi khususnya Al-Ghozali, karena metode ini dapat mencapai
suatu pengetahuan tentang Tuhan.

e) Akal dan Ma’rifat

Kedudukan akal dalam pemikiran Ibnu Bajjah adalah sangat mendasar.


Baginya, akal adalah satu-satunya yang memungkinkan manusia mengetahui
segala sesuatu: ma’rifah yang benar dan mutlak, kebahagiaan dan juga nilai-nilai
akhlak hanya dapat diketahui dan diperoleh dengan akal.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jika manusia dapat menggunakan


akalnya dengan baik dan teratur, maka ia tidak saja dapat mengenal hal-hal yang
kecil dan terendah tingkat wujudnya, tapi ia juga dapat menjangkau hal-hal yang
paling ma’nawi yang paling abstrak sekalipun, misalnya perkara-perkara
metafisis Ilahi. Hal ini karena akal memiliki dalam dirinya kekuatan mengetahui,

18
walaupun tidak ada pengaruh rohani dari luar, seperti yang dikatakan oleh para
sufi.

Terdapat tiga jenis akal dan alam ini, yakni akal insani, akal aktif dan akal
kulli. Pada mulanya akal insani merupakan akal potensial, dan karena pengaruh
akal aktif, ia dapat beralih kepada keadaan aktual dengan memiliki berbagai ilmu
dan ma’rifah. Katanya, semua ilmu dan ma’rifah tidak akan hilang karena
kematian manusia, tetapi akan berkumpul pada akal aktif, dan kumpulan ini
semua akan membentuk akal kulli yang kekal di alam ini.

Dari itu, ma’rifah hanya dapat diperoleh dengan akal, tidak dengan jalan
rohani atau kasyf, seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali dan para sufi umumnya.
Ibnu Bajjah membagi ma’rifah dalam tiga martabat:

1. Ma’rifah bentuk-bentuk material (hayulani)

2. Ma’rifah bentuk-bentuk rohani

3. Ma’rifah bentuk-bentuk pemikiran.

Adapun ma’rifah jenis pertama, maka itu diperoleh dengan panca indera
yang menjangkau segala objek inderawi. Sedangkan ma’rifah jenis kedua, maka
itu diperoleh dengan indera bersama (hiss musytarak), lalu dengan khayal. Jenis
pertama merupakan tingkat pertama dari martabat bentuk rohani. Adapun
ma’rifah jenis terakhir, maka itu hanya dapat diperoleh dengan akal. Selagi insan
itu masih kecil, maka ia disebut insan potensial, dan setelah memperoleh daya
berpikir, ia disebut insan aktual. Daya berpikir baru terwujud jika ia telah
memperoleh objek pemikiran yang menimbulkan nafsu penggerak untuk
berpikir. Hanya dengan ini orang disebut manusia.

19
Untuk memperoleh objek pemikiran ada tiga jalan:

1. Cara orang awam,

2. Cara ahli nalar,

3. Cara orang bahagia.

Cara pertama, umumnya dikenal dalam kalangan orang umum, adalah


dimulai dari hal-hal yang parsial lagi inderawi lalu dijadikan sebagai objek
pemikiran. Dalam hal ini termasuk semua jenis keterampilan dan kerja-kerja
praktis. Cara kedua adalah sebaliknya, yakni dimulai dari objek pemikiran atau
teori lalu kepada sesaran penerapan. Dalam cara ini bentuk-bentuk material
masih berperan serta dalam pemikiran. Ditamsilkan seperti matahari yang tampak
dalam air, dan itu adalah bayangnya, bukan sesuatu secara langsung, tidak ada
hubungan sama sekali dengan hal-hal bendawi.

Ma’rifah tertinggi – menurut Ibnu Bajjah – adalah dapat membawa


manusia berhubungan dengan akal aktif. Adapun bagaimana caranya, Ibnu
Bajjah tidak menjelaskannya dalam bentuk tahap terakhir. Tampaknya, yang
dimaksudkan dengan akal aktif adalah “pahala dan nikmat Allah yang diberikan
kepada para hamba yang direlai-Nya”.

Dalam buku Tadbiir al-Mutawahhid, Ibnu Bajjah mengkritik konsep uzlah


tasawuf Al-Ghazali. Pengasingan diri secara total dari masyarakat manusia
bertentangan dengan tabiat manusiawi sebagi makhluk sosial. Bagi Ibnu Bajjah
uzlah yang tepat adalah ‘uzlah falsafi, yakni tetap hidup dan berhubungan dengan
masyarakat, namun ia wajib meninggalkan segala sifat-sifat yang tercela dari
masyarakat dan sanggup mengendalikan diri sehingga tidak terseret ke dalam
perbuatan rendah masyarakat. Penyendiri hanya bergaul dengan para alim saja,
jika tidak ada orang yang alim mesti ‘uzlah total, dalam arti hanya bergaul
dengan masyarakat terbatas pada hal-hal yang tidak dapat dihindari.

20
f) Teori Ittishal

Seperti halnya Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Bajjah percaya bahwa
pengetahuan tidak diperoleh semata-mata melalui indera. Pertimbangan-
pertimbangan universal dan niscaya, isi ilmu yang prediktif dan eksplanasif serta
landasan bagi penalaran apodeiktik (aphodeictic) tentang alam, hanya dapat
dicapai dengan bantuan akal aktif (‘aql faal) intelegensi yang mengatur.

Dalam mengelaborasi “akal aktif”, Ibnu Bajjah memaparkan empat


prinsip tentang proses akal tersebut dapat terbentuk, sebagai berikut:

Pertama, dari hubungan antara sarana dan tujuan. Sarana khususnya


sangat diperlukan bagi tujuan di alam; tetapi di alam gagasan, tujuanlah yang
pertama hadir. Dan gagasan itu biasanya mendahului “badan”, atau tidak akan
ada kepastian yang mengatasi (dan mengarahkan) permainan kejadian dan
kehancuran tak terkendali dan sebagainya. Kedua, dari proses perubahan. Segala
sesuatu menjadi bukan seperti mereka sekarang; mereka tidak menjadi sebab-
sebab, tetapi menjadi seperti sebab-sebab yang menghasilkan perubahan dalam
diri mereka. Dengan demikian, perubahan dikuasai oleh bentuk-bentuk universal.
Akibat-akibat bukan ditimbulkan oleh bntuk partikular khusus, melainkan oleh
sebab dari suatu sifat yang tepat. (oleh karena itu, kesediaan menerima
perubahan, watak-watak dasar sesuatu adalah formal dan universal, bukan
material dan idionsikratik.) ketiga, dari daya imajinasi yang membinmbing
insting binatang. Binatang tidak mencari air minum atau makanan tertentu,
seperti teman mencari teman, atau orang tua mencari keturunan, tetapi makanan
atau air apa pun yang akan memenuhi tabiat dasar mereka. Binatang tidak
mempunyai konsep-konsep universal. Gagasan-gagasan yang menjelma dalam
tingkah laku mereka pasti hadir secara implisit dan objektif bukan eksplisit dan
subjektif. Keempat, dari kerja pikiran itu sendiri. Kita menduga bahwa kita
memahami suatu substansi sepanjang kita dapat menisbahkan predikat-predikat
terhadapnya; tanpa predikat-predikat itu, kita tidak dapat mengetahui apa-apa

21
tentangnya dan kita pun tidak dapat mengatakan bahwa kita benar-benar
memahami.

Teori ini dapat dilihat dari kemungkinan wahyu kenabian dan


pengetahuan khusus orang-orang yang dekat dengan Tuhan, yaitu para wali
[auliya’], yang di antaranya ia sebutkan para sahabat nabi (shahabah). Melalui
interaksi khusus antara akal dan imajinasi, orang-orang itu memperoleh dari
malaikat, yaitu, menurut bahasa para filsuf, mereka memperoleh inteligensi-
inteligensi tak mewujud yang mengatur bola-bola langit, suatu penglihatan hati,
demikian Ibnu Bajjah menyebutnya, yang menggemakan ungkapan Socrates
tentang mata hati.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori Ittishal Ibnu Bajjah, yaitu
tentang hubungan manusia dengan akal aktif. Tujuan teor ini adalah bagaimana
cara mencapai, mengenal, dan mengetahui Tuhan, yaitu dengan cara mengetahui
perbuatan-perbuatan Tuhan – memahami sesuatu melalui gagasan-gagasan
universalnya. Sebab setiap perbuatan ada tujuannya, baik perbuatan manusia
maupun Tuhan – baik bersifat jasmani atau rohani.

g) Akhlak

Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan


manusiawi. Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan keinginanhawa nafsu. Sementara itu, perbuatan
manusiawi adalah perbuatanyang didasarkan atas pertimbangan rasio dan
kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh, perbuatan makan bisa
dikategorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi.
Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan bertujuan untuk memelihara
kehidupan dalam mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh
pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung
pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan

22
hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan
akal (rasio) maka dinamakan perbuatan manusiawi.

Pandangan Ibnu Bajjah di atas sejalan dengan ajaran Islam, yang juga
mendasarkan perbuatan pada motivasi pelakunya. Lebih lanjut, ia menjelaskan
bahwa manusia yang mendasarkan perbuatannya atas iradah yang merdeka dan
akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan.

Manusia, menurut Ibnu Bajjah, apabila perbuatannya dilakukan demi


memuaskan akal semata, perbuatannya ini mirip dengan perbuatan ilahy dari
pada manusiawi. Hal ini merupakan keutamaan karena jiwa telah dapat menekan
keinginan jiwa hewani yang selalu menentangnya. Perbuatan seperti itulah yang
dikehendaki oleh Ibnu Bajjah bagi warga masyarakat yang hidup dalm negara
utama.

Secara ringkas, Ibnu Bajjah membagi tujuan hidup manusia menjadi tiga
tingkat sebagai berikut:

Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan


ini manusia sama derajatnya dengan hewan.

Tujuan rohaniah khusus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Tujuan


ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiyah dan ‘aqliyah.

Tujuan rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran


untuk dapat berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurna
dan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.

h) Jiwa

Menurut Ibnu Bajjah, anggapan yang menyatakan bahwa “materi itu


tidak bisa bereksistensi tanpa adanya bentuk, sedangkan bebtuk bisa
bereksistensi dengan sendiri, tanpa harus ada materi”. Anggapan ini adalah
keliru. Karena materi materi dapat bereksistensi tanpa harus ada bentuk. Ia
23
berpendapat jika materi berbentuk, maka ia akan terbagi menjadi materi dan
bentuk pertama merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi
yang dikatakan sebagai tidak mempunyai bentuk.

Jiwa dianggap sebagai pernyataan pertama dalam tubuh alamiah dan


teratur yang bersifat nutritif (mengandung zat-zat untuk badan) sensitif
(kepekaan) dan imajinatif (rasional).

Nutrisi mempunyai dua tujuan yaitu pertumbuhan dan reproduksi. Hal ini
disebabkan karena setiap makhluk yang fana harus malaksanakan suatu fungsi
khusus demi kedudukannya di alam raya ini. Unsur ini (nutrisi) tidak hanya
menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menjaga tubuh, melainkan
juga menyediakan suatu kelebihan yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan
perkembanagan tubuh. Apabila pertumbuhan itu tercapai, maka kelebihan iitu
digunakan untuk reproduksi pada tubuh yang bersifat reproduktif. Namun unsur
ini berbeda dengan unsur nutritif yang bertindak berdasarkan makanan yang
membuatnya menjadi bagian dari tubuh. Tapi unsur reproduktif adalah akal
aktual yang mengubah suatu jenis potensial menjadi tubuh suatu jenis aktual.
Tubuh-tubuh itu yang tidak produktif bergantung kapada pertumbuhan spontan
untuk melestarikan jenis mereka.

Unsur reproduksi merupakan akhir unsur pertumbuhan dan musnah hanya


pada usia lanjut setelah semuanya lenyap dan yang tinggal hanyalah unsur
nutritif.

Persepsi psikis ada dua yaitu sensasi dan imajinasi, sensasi bersifat
mendahului imajinasi, yang untuknya ia mensuplai materi itu. Pendeknya sensasi
itu merupakan suatu kepastian tubuh yang diaktifkan oleh yang terasa. Karena
gerak itu banyak jumlahnya, maka sensasipun banyak jumlahnya dan karena
yang terasa itu bisa bersifat umum atau khusus, maka sensasipun bisa bersifat
umum atau khusus.

24
Panca indera adalah merupakan lima unsur dari suatu indera tunggal yaitu
akal sehat, dan akal sebagai realisasi penuh tubuh secara keseluruhan dan karena
disebut sebagai jiwa (soul). Unsur ini juga mensuplai materi untuk
unsur imajinasi yang terorganisasi, dan oleh karena itu unsur ini didahului oleh
sensasi yang mensuplai materi kepadanya. Sebab itu sensasi dan imajinasi telah
dianggap sebagai dua jenis persepsi jiwa. Tapi perbedaan keduanya sangat jelas
sepanjang sensasi bersifat khusus dan imajinasi bersifat umum. Unsur imajinatif
berpuncak pada unsur penalaran yang melewatinya orang bisa mengungkapkan
dirinya kepada orang lain dan sekaligus mencapai serta membagi pengetahuan.

Jiwa yang berhasrat itu terdiri atas tiga unsur yaitu :

1. Hasrat imajinatif, yang melaluinya anak keturunan dibesarkan


individu-individu dibawa ke tempat-tempat tinggal mereka dan
memiliki rasa sayang, cinta dan yang semacamnya.

2. Hasrat menengah, yang melaluinya timbul nafsu akan makanan,


perumahan, kesenian, dan ilmu.

3. Hasrat berbicara, yang melaluinya timbul pengajaran, ini merupakan


hasrat khusus yang dimiliki oleh manusia, tidak seperti kedua
hasrat sebelumnya.

Apabila binatang memiliki hasrat menengah yang membuatnya


cenderung mencari makan. Sebagian binatang tidak memiliki keinginan
imajinatif. Keinginan hasrat menengah itu pada dasarnya mendahului hasrat
imajinatif. Suatu hal yang jelas bahwa tiap manusia memiliki dua unsur yang
berhasrat dan yang rasional dan keduanya mendahului yang lainnya.

Jiwa yang berhasrat menghendaki suatu obyek yang kekal. Kehendak ini
disebut kesenangan dan tiadanya kehendak merupakan kejemuan atau kesakitan.
Kehendak bukan merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia. Siapapun yang

25
bertindak sesuatu atas dasar kehendak dianggap telah bertindak atas dasar
kebinatangan. Disini berarti ia melakukan bukan atas dasar gagasan-gagasan.

Manusia dan binatang , bentuk imajiner menengah dan bentuk imajinernya


berbeda, keduanya tidak kekal. Sehingga jiwa yang berhasrat dalam mencapai
kekekalan hanya sebagai gambaran saja. Ia beranggapan untuk mencapai
kekekalan harus melalui kesempurnaan yaitu kekuasaan. Maka timbullah
penguasa lalim, karena dengan keterbatasannya itu. Dengan begitu mereka
menjadi sedih dan menyesal. Tetapi penderitaan ini tidak dialami oleh binatang,
sebab ia tidak memiliki nalar dan jiwa berhasratnya tidak berambisi dan tidak
memiliki kenangan di masa lalunya.

Unsur imajinatif manusia merupakan unsur yang melaluinya manusia


menerima kesan-kesan dari benda-benda yang terasa dan menempatkan kesan-
kesan itu ke dalam imajinasinya, setelah kesan-kesan itu hilang. Unsur itu juga
menyusun obyek-obyek imajinasi yang tak pernah terasa sebelumnya, yang
terkadang juga menyusun yang bukan tunggal, tetapi yang keseluruhan. Pada
taraf akhir imajinasi itu muncullah akal dan unsur rasionalpun mulai berfungsi,
sebagai dalam perbedaan antara manusia dan binatang yang hanya mencari
makan dan memliki organ-organ rasa. Orang dapat mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang madharat. Juga
dalam dirinya didapati hal-hal yang salah. Obyek-obyek inilah yang dalam jiwa
(soul) disebut logis.

Istilah logis berlaku pada obyek-obyek pengetahuan yang secara potensial


dapat diterima dan yang benar-benar bereksistensi dan diungkapkan lewat kata-
kata. Obyek-obyek pengetahuan ini jika dikaitkan dengan obyek-obyrek yang
mereka maksudkan membentuk pengetahuan mereka karena obyek-obyek
pengetahuan itu dikenal lewat dan diakui mereka.

Apabila obyek-obyek itu dipandang sebagaimana yang terserap oleh unsur


imajinatif dan diterapkan pada isi yang berasal dari mereka, maka mereka
26
disebut yang dapat mengerti tapi bila diserap oleh unsur-unsur rasional yang
menyempurnakan mereka dan membawa mereka dari potensialitas kepada
aktualitas, maka mereka disebut pikiran atau akal. Ada berbagai tingkat
pengetahuan dan yang dominan adalah pengetahuan mengenai obyek tertentu. Ini
terutama maujud melalui pencapaian pengertian yang tertentu itu di dalam unsur
imajinatif, secara umum, karena ia tidak bisa dibayangkan secara khusus. Bahkan
kualitas apapun dari obyek itu tidak dapat dilukiskan. Ia dibedakan lewat cara
umum tanpa mengetahui apapun dari kualitas-kualitasnya. Inilah pengetahuan
paling lemah suatu obyek dan merupakan cermin dari binatang. Kalau keadaan
yang tertentu itu bisa diterima dalam unsur imajinatif, maka manusia
mencapai yang tertentu ini dengan wataknya yang terinci yang membantunya
sebagai sesuatu yang sama pada waktu-waktu yang berbeda.

i) Filsafat Politik

Ibnu Bajjah menulis risalah kecil mengenai pemerintahan Dewan Negara


dan pemerintahan Negara-Kota, dalam Tadbir al-Mutawahhid (rezim satu
orang).Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, Ibnu Bajjah sangat menyetujui
politik Al-Farabi. Misalnya, dia menerima pendapat Al-Farabi yang membagi
Negara menjadi Negara yang sempurna dan tidak sempurna. Dia juga dengan Al-
Farabi yang beranggapan bahwa individu yang berbeda dari sebuah bangsa
memiliki watak yang berbeda pula, sebagian dari mereka lebih suka memerintah
dan sebagian yang lain lebih suka diperintah.

Dalam Risalah al-Wada’, Ibnu Bajjah memberikan dua fungsi alternatif


Negara :

Untuk menilai perbuatan rakyat guna membimbing mereka mencapai


tujuan yang mereka inginkan. Fungsi ini paling baik dilaksanakan di dalam
Negara ideal oleh pengusaha yang berdaulat.

27
Fungsi alternatif ini yaitu merancang cara-cara mencapai tujuan-tujuan
tertentu, persis sebagaimana seorang penunggang yang mahir.

Ini merupakan pelaksana-pelaksana Negara yang ideal. Dalam hal sang


penguasa disebut rais (pemimpin). Sang pemimpin menerapkan di Negara itu
suatu sistem tradisional untuk menentukan seluruh tindakan rakyat.

Dalam sistem Al-Farabi dan Ibnu Bajjah, konstitusi harus disusun oleh
Kepala Negara, yang telah disamakan oleh Al-Farabi dengan seorang Nabi atau
Imam. Ibnu Bajjah tidak menyebutkan identitas ini secara terperinci, tapi secara
tidak langsung dia setuju dengan pendapat Al-Farabi ketika dia menyatakan
bahwa manusia takkan mencapai kesempurnaan kecuali lewat yang dibawa oleh
para Rasul dari Tuhan Yang Maha Tinggi (yaitu hukum Tuhan atau syari’ah).
Mereka yang mengikuti petunjuk Tuhan takkan sesat. Oleh karena itu, adalah
terlalu lancang bila mengatakan bahwa dia (Ibnu Bajjah) mengabaikan relevansi
politis hukum Tuhan (syari’ah) dan nilai edukatifnya bagi manusia sebagai warga
Negara.

j) Tasawuf

Renan berpendapat bahwa Ibnu Bajjah memiliki kecenderungan kepada


tasawuf, tapi tentu salah ketika menganggap bahwa Ibnu Bajjah menyerang Al-
Ghozali karena ia menandaskan intuisi dan tasawuf. Sesungguhnya, Ibnu Bajjah
mengagumi Al-Ghozali dan menyatakan bahwa metode Al-Ghozali
memampukan orang memperoleh tentang Tuhan, dan bahwa metode ini
didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi suci.

Ibnu Bajjah menjunjung tinggi para Wali Allah (auliya’ Allah) dan
menempatkan mereka di bawah para Nabi. Menurutnya, sebagian orang dikuasai
oleh keinginan jasmaniyah belaka, mereka berada di tingkat paling bawah, dan

28
sebagian lagi dikuasai oleh spiritualitas kelompok ini sangat langka, dan
termasuk dalam kelompok ini Uwais Al-Qarni dan Ibrahim ibn Adham .9

Ibnu Bajjah hampir menyatakan dirinya sebagai seorang fatalis atas Tuhan
dan aturan-aturan-Nya. Dalam satu risalahnya, dia menyatakan bahwa
seandainya kita berpaling kepada ketetapan Tuhan dan kekuasaan-Nya maka kita
benar-benar memperoleh kadamaian dan kebahagiaan. Segala yang ada berada
dalam pengetahuan-Nya dan hanya Dia yang mampu mendatangkan kebaikan
kepada mereka. Karena Dia mengetahui segala sesuatu secara esensial, maka Dia
memberikan perintah-perintah kepada suatu perantara untuk menemukan suatu
bentuk seperti yang ada dalam pengetahuan-Nya dan kepada penerima bentuk-
bentuk untuk menerima bentuk itu. Inilah yang terjadi pada semua yang ada,
bahkan pada materi yang fana serta akal manusia. Untuk menunjang pandangan-
Nya bahwa Tuhan adalah pencipta utama segala tindakan, Ibnu Bajjah mengacu
pada pandangan Al-Ghozali yang dikatakannya pada bagian akhir dari
karyanya Misykat al Anwar, bahwa prinsip pertama itu menciptakan agen-agaen
dan obyek-obyek tindakan, dan dia selanjutnya mengambil penunjang lain untuk
pandangannya ini dari pengamatan Al-Farabi dalam ‘Ujun Al-Masa’il, bahwa
semuanya berkaitan dengan prinsip pertama sebab Yang Pertama itu merupakan
pencipta mereka. Ibnu Bajjah juga menyatakan bahwa Aristoteles mengatakan
dalam bukunya Physics bahwa agen Pertama adalah agen sebenarnya, dan agen
yang dekat tidak bertindak kecuali lewat Yang Pertama membuat aksi yang dekat
dan obyek tindakan. Yang dekat itu dikenal sebagai agen oleh sebagian orang
hanya dalam masalah-masalah material. Raja yang adil, misalnya pantas
menerima semua adil, meskipun dia jatuh tingkatannya dari dia yang ada di
bawahnya dalam rangkaian agen itu. Siapapun yang menganggap bahwa suatu
tindakan berasal dari agen yang dekat sama saja dengan seekor anjing yang
menggigit sebuah batu yang membenturnya. Tapi penganggapan bahwa tindakan
itu berasal dari agen yang dekat adalah mustahil dalam masalah-masalah yang

9
Mustofa. Filsafat Islam. Hal 270.
29
tidak bersangkut paut dengan materi-materi fisik. Akal yang aktif yang
mengelilingi benda-benda angkasa itu merupakan agen dekat dari hal-hal yang
tak kekal. Tapi dia yang menciptakan akal yang aktif dan benda-benda angkasa
itulah agen kekal yang sejati.

Tuhan menyebabkan keberadaan suatu benda berlanjut tanpa akhir setelah


ketakberadaan fisiknya. Bila suatu yang ada mencapai kesempurnaan, maka dia
tidak akan ada mencapai kesempurnaan, maka dia tidak akan ada lagi dalam
zaman, tapi ada selamanya dalam keterus-menerusan masa (dahr). Ibnu Bajjah
disini mengingatkan kita akan salah satu sabda Nabi
suci: “Janganlah menyalahgunakan dahr karena dahr itu dari Allah”, dengan
penafsiran begitu, perkataan itu mengandung makna bahwa akal manusia itu
kekal. Untuk menunjang penafsiran kata dahr ini, Ibnu Bajjah menyebutkan para
pendahulunya seperti Al-Farabi dan Al-Ghozali.

30
BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Ibnu Bajjah lahir Saragossa pada abad 11 M atau abad V H. Nama asli
beliau adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya , yang terkenal dengan
sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajjah. Di dunia Barat beliau terkenal dengan
sebutan “Avempace”. Beliau berasal dari keluarga Al Tujib, oleh sebab itu beliau
terkenal dengan sebutan Al Tujibi.

Beliau wafat pada bulan Ramadhan tahun 533 H./ 1138 M akibat dibunuh
oleh seorang dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya. Beliau
dimakamkan Fez, di samping makam Ibn al-Arabi muda.

Karya-karya yang banyak dihasilkan beliau semasa hidupnya antara lain :

1. Beberapa risalah dalam, dalam ilmu logika yang sampai sekarang masih
tersimpan di perpustakaan Escurial, Spanyol.

2. Kitab An-Nafs, yang membahas tentang jiwa.

3. Risalah Al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dengan Akal Fa’al.

4. Risalah Al-Wada’.

5. Beberapa risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.

6. Risalah Tadbirul Mutawahhid.

7. Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles,


Al- Farabi, dan Porphyrius.

8. Tardiyyah, berisi tentang syair pujian.

9. Majalah al-Majma’ al-‘Ilm al-‘Arabi

31
Ibnu Bajjah memberi corak baru terhadap filsafat Islam Barat dalam teori
ma’rifat yang berbeda sekali dengan corak yang diberikan oleh Al-Ghozali di
dunia Islam Timur. Beliau banyak mengomentari filsafat Al-Ghozali yang dalam
segi pemikirannya berlawanan sekali dengan pemikiran beliau.

Ajaran-ajaran filsafat beliau antara lain mengenai :

1. Metafisika.
2. Materi dan bentuk.
3. Etika.
4. Akal dan Pengetahuan.
5. Akal dan Makrifat.
6. Teori Ittishal
7. Akhlak.
8. Jiwa
9. Filsafat politik
10. Tasawuf

Di atas telah dijelaskan bahwa salah satu kemajuan yang dialami oleh umat
Islam di Andalusia adalah di bidang filsafat. Islam di Andalusia telah mencatat
satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia
berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan
Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa
Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M). Atas
inisiatif al-Hakam, karya- karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam
jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-
universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Tokoh utama dalam sejarah filsafat Andalusia
adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn
Bajjah. Karyanya yang terkenal termuat dalam magnum opum-nya yang berjudul
Tadbir al-Mutawahhid.
32
Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibn Bajjah dengan
“Avempace”. Menurut beberapa literatur, Ibn Bajjah bukan hanya seorang filosof
ansich, tetapi juga seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu
pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, musikus, dan matermatika.

Hal-hal yang dipikirkan oleh Ibn Bajjah di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut: pertama, masalah metafisika (Ketuhanan) yang pada intinya Allah tidak
hanya penggerak, tetapi ia adalah Pencipta dan Pengatur alam. Kedua, materi dan
bentuk. Menurutnya materi dapat bereksistensi tanpa harus ada bentuk (ash-
shurat). Pernyataan ini menolak asumsi bahwa “materi itu tidak bisa bereksistensi
tanpa ada bentuk, sedangkan bentuk bisa bereksistensi dengan sendirinya, tanpa
harus ada materi.” Ibn Bajjah berargumen jika materi berbentuk, ia akan terbagi
menjadi “materi” dan “bentuk” dan begitu seterusnya.

Ketiga, jiwa. Menurutnya, setiap manusia mempunyai satu jiwa, jiwa ini tidak
mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi
manusia. Keempat, akal dan ma’rifat (pengetahuan). Menurutnya, akal
merupakan bagian terpenting yang dimilliki oleh manusia. Ia berpendapat bahwa
ma’rifat (pengetahuan) yang benar dapat diperoleh lewat akal. Akal ini
merupakan satu-satunya sarana yang melaluinya kita mampu mencapai
kemakmuran dan membangun kepribadian. Kelima, akhlak. Ibn Bajah membagi
perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah
perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan
dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari
pemikiran yang lurus dan kemajuan yang bersih dan tinggi. Bagian ini
disebutnya “perbuatan-perbuatan manusia”.

Keenam, politik (teori pemerintahan). Pandangan politik Ibn Bajjah


dipengaruhi oleh pandangan politik al-Farabi. Perbedaannya hanya terletak pada
penekanannya. Al-Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibn
Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat). Ketujuh, manusia
penyendiri (‘uzlah). ‘Uzlah (penyendirian) yang dikemukakan oleh Ibn Bajjah
33
bukanlah menjauhi manusia, melainkan tetap juga berhubungan dengan
masyarakat. Hanya saja ia harus selalu bisa menguasai dirinya serta hawa
nafsunya dan tidak terbawa oleh arus keburukan-keburukan kehidupan
masyarakat. Kedelapan, teori ittishal, kontak intelektual dengan Tuhan. Ibn
Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak diperoleh semata melalui

indra. Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya, isi ilmu yang


prediktif dan eksplanatif serta landasan bagi penalaran apodeiktik (apho-deictic)
tentang alam, hanya dapat dicapai dengan bantuan Akal Aktif, intelegensi yang
mengatur.

Maka, tidak diragukan lagi bahwa Ibn Bajjah telah menjadi gerbang wacana
filosofis di negeri Andalusia, sebuah kawasan Barat Islam. Ibn Khaldun, ahli
teori sosial besar Arab, menyebut al-Farabi dan Ibn Sina sebagai filosof-filosof
utama Islam di

Timur; Ibn Bajjah dan Ibn Rusyd di Barat. Maimonides juga sangat
mengagumi Ibn Bajjah, yang mengutip komentarnya atas Physics Aristoteles,
dengan mengikuti jejaknya dalam astronomi, epistemologi, dan metafisika jiwa.
Dalam surat terkenalnya kepada penerjemah bahasa Ibrani dari The Guide of
Perplexed yang berbahasa Arab, ia menyebut Ibn Bajjah sebagai seorang filosof
besar dan menaruh semua tulisannya pada peringkat pertama. Namun, Ibn
Thufail mengeluhkan kondisi karya-karya Ibn Bajjah tak tertata dan tak lengkap,
seraya menduga karena tidak pernah bertemu secara pribadi, bahwa keasyikan
duniawi telah menyisakan sedikit waktu Ibn Bajjah untuk filsafat. Meskipun
demikian, Ibn Bajjah telah memberikan sumbangan berupa tiga tema filosofis
pada karya-karya para penerusnya, yaitu Ibn Thufail dan Ibn Rusyd.

34
3.2 Saran

Setelah penulis menyimpulkan makalah di atas, maka penulis


menyarankan agar kita lebih mecari tahu tentang sejarah perjalanan hidup Ibnu
Bajjah, mulai dari riwayat hidup beliau, karya-karya yang dihasilkan beliau
semasa hidupnya, hingga konsep filsafatnya, agar pengetahuan kita terhadap
filsafat bertambah, terutama pengetahuan tmengenai Ibnu Bajjah itu sendiri.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


terdapat kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya, kiranya kritik dan saran yang membangun sangat penulis
butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini ke dapannya.

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, penulis berharap
para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi kesempurnaannya makalah ini dan penulisan makalah-makalah
berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai referensi, juga untuk
menambah ilmu, iman dan ketakwaan, bagi penulis pada khususnya, dan bagi
para pembaca yang budiman pada umumnya.

Akhirul-Kalam, Wassalaamu’Alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuhu.

35
DAFTAR PUSTAKA

Drajat, Amroeni. Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu. Medan:


Erlangga, 2006.

Poerwantana, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 1987.

Nizar, Syamsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta Selatan: Ciputat,


2002.

Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: filosof dan filsafatnya. Jakarta: Raja


Grafindo Persada. 2004.

Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.

Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004.

Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992.

36

Anda mungkin juga menyukai