Anda di halaman 1dari 16

NEO-SUFISME

DAN SPIRITUALITAS MASYARAKAT MODERN


Oleh : Muhibuddin

A. Pendahuluan
Tasawuf atau sufisme, merupakan bagian terpenting dalam sejarah
perkembangan pemikiran Islam, dan dipandang sebagai salah satu disiplin ilmu
tersendiri dalam Islam, sebagaimana halnya Fiqih, Kalam, dan Falsafah.
Bagi sebahagian kalangan Muslimin, sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan
kemodernan. Bahkan, sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin
dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan.
Pandangan ini, yang menempatkan sufisme sebagai ‘tertuduh’, bukanlah sesuatu yang
baru.
Bahkan, sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum
Muhadditsin dan Fuqaha’ memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunnah Nabi,
eksesif, dan spekulatif dalam hal-hal menyangkut Tuhan.
Menurut Fazlur Rahman bahwa awal mulanya sufisme merupakan protes
moral-spiritual terhadap perkembangan-perkembangan tertentu yang bersifat
doktrinal dan politis di dalam ummat Muslim. Pada tahapan selanjutnya, sufisme
berubah menjadi sebuah gerakan agama populer dan dari abad-abad ke-6 dan ke-7
Hijriah (12-13 M) menyatakan dirinya “tidak hanya sebagai sebuah agama di dalam
agama tetapi juga sebagai sebuah agama yang lebih tinggi dari pada agama.
Oposisi ini terus bertahan dari waktu, meski Al Ghazali berhasil merukunkan
syariah dan tasawuf sejak abad 12. Bahkan, kebangkitan modernisme dan reformisme
Islam sejak awal abad 20 menjadikan tasawuf sebagai salah satu sasaran
pembaharuan dan pemurnian Islam. Bagi para pemikir, aktivis modernis, dan
reformis Muslim, kaum Muslim bisa mencapai kemajuan hanya dengan
meninggalkan kepercayaan dan praktik sufistik yang mereka pandang bercampur

1
dengan bid'ah, khurafat, takhayul, dan taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan
tarekat.
Pandangan seperti itu perlu dikaji ulang. Modernitas dan modernisasi tidak
selalu berhasil memenuhi janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin.
Sebaliknya, modernisasi yang diikuti globalisasi juga memunculkan kesulitan baru:
mulai dari meningkatnya gaya hidup materialistik dan hedonistik sampai disorientasi
dan dislokasi sosial, politik, dan budaya.
Karena itulah, banyak dari kalangan pemikir yang kemudian menyuarakan
pesan-pesan sufisme di tengah-tengah dunia yang semakin cenderung kepada
materialistik dan konsumeristik.1
Hal ini merupakan dampak dari pengalaman keagamaan yang lebih intens, lebih
menusuk dalam pencarian nilai dan makna. Dalam perjalanan sejarah spiritualis
muslim, terlihat bahwa transendensi adalah mi’raj spiritual para sufi, karena jalan itu
dirasakan amat mengasikkan.
Dalam suasana transendensi, seorang sufi merasa memasuki kawasan realita
baru, realita yang terbebaskan dari hidup yang penuh kebengisan, kezaliman dan
keserakahan. Dengan memasuki dunia spiritual, seseorang merasakan hidup di alam
cinta, di alam kemenangan. Bagi kelompok ini, realitas spiritual yang dimasuki
bukanlah sesuatu yang semu, tetapi benar–benar suatu realitas yang dapat dinikmati
sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.
Kebangkitan sufisme post-modernisme berkaitan dengan sejumlah faktor
keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan,
sejak 1980-an, terjadi gejala peningkatan attachmen kepada Islam, gejala yang di
Indonesia biasa disebut sebagai 'santrinisasi'. Proses itu dimungkinkan karena
terbentuknya kelas menengah Muslim saat terjadi perubahan politik rezim penguasa
yang lebih rekonsiliatif dan bersahabat terhadap kaum Muslimin dan Islam.
Relatif mapannya keadaan ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya
mendorong mereka, misalnya mengerjakan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, juga
1
Syeikh Fadhlalla Haeri, The Element of Sufism, (Longmead : G.B., 1990), h.

2
mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya
bisa diberikan sufisme, bahkan bentuk spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak
selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.
Karena itulah, gejala sufisme kontemporer di Indonesia dan di dunia Muslim
lain tidak lagi hanya diwakili bentuk tasawuf konvensional, baik tarekat maupun
tasawuf yang diamalkan secara personal-individual. Tetapi, muncul pula bentuk baru
yang mirip dengan apa yang disebut 'new age movement', gerakan (spiritualitas
keagamaan) zaman baru.
Dalam konteks itu, jika secara konvensional, zikir misalnya, dilakukan secara
pribadi dan kelompok di ruang tertutup, kini dilakukan secara massal dan terbuka
dengan liputan TV. Gejala baru ini tidak membuat pengamalan sufisme konvensional
lenyap. Bahkan, sebaliknya, tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan
momentumnya, tidak hanya di kelas menengah, sekaligus juga pada setiap lapisan
masyarakat.

B. Pengertian dan Tokoh-tokoh Neo-Sufisme


Neo-Sufisme (neo-Sufism) pertama kali diperkenalkan oleh pemikir muslim
kontemporer, yakni Fazlur Rahman. Karena itu, pemahaman tentang istilah ini
haruslah dirujuk kepada Fazlur. Menurut Fazlur Rahman selaku penggagas istilah ini,
neo-sufisme adalah "reformed sufism", sufisme yang telah diperbaharui. 2 Kalau pada
era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek yang paling dominan adalah sifat
ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan atau
di-reform dengan prinsip-prinsip Islam orthodoks.
Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosio-moral
masyarakat muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual
dan "hampir" tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu,
karakter keseluruhan neo-sufisme adalah "puritanis dan aktivis". Tokoh atau

2
Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 196-205.

3
kelompok yang paling berperan dalan reformasi sufisme ini, juga yang paling
bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme menurut Fazlur
Rahman adalah kelompok ahlu al-hadits.3 Mereka ini mencoba mengakomodir
sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat direkonsiliasikan dengan Islam
orthodoks, terutama motif moral sufisme dan teknik dzikir atau muraqabah dalam
mendekatkan diri kepada Allah.
Kelihatannya, tujuan neo-sufisme adalah penekanan yang lebih intens (kuat)
pada penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip aqidah Islam, dan penilaian
terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi.
Konsekuensi dari sikap keberagamaan ini adalah terintegrasikannya nilai kehidupan
duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi. atau kehidupan yang terresterial dengan
kehidupan yang kosmologi.
Sikap puritanis (Paham Kemurnian Ajaran) pendukung neo-sufisme
menyebabkan berseberangan dengan paradigma sufisme terdahulu yang mengarahkan
pengikutnya untuk membenci duniawi sehingga mereka pasif, hal ini berlainan
dengan neo-sufisme, yang malahan mendorong dan memotivasi pengikutnya agar
aktif-kreatif dalam kehidupan ini, baik yang bersifat karya-karya praktis maupun
dalam kreativitas intelektual.
Al-Qusyasyi (w. 1071 H), salah seorang tokoh reformasi sufisme dan guru
Abdul Rauf As-Singkili (w. 1105 H) mengarahkan dan menganjurkan kaum
muslimin untuk meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan penggunaan waktu
sebaik-baiknya. Sehingga fungsi kekhalifahan manusia dapat dioptimalkan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan jasmaniyah dan rohaniyah.
Sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat,
tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan amar
ma'ruf nahi munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.4
Menurut Rahman, neo-Sufisme mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada

3
Ibid., h. 194.
4
Wahab Mu'thi, Kritik Ibn Taimiyah terhadapTasawuf, (Disertasi, 1991), h.

4
motif moral dan penerapan metode zikir dan muraqabah (konsentrasi kerohanian)
guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan
doktrin salafi (ortodoks), dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah
yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Melucuti dari ciri dan kandungan ekstatik
dan metafisiknya, dan diganti dengan kandungan yang sesuai dengan Al Quran dan
Sunnah.
Tasawuf model baru ini menekankan dan memperbarui faktor
moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang. Pusat perhatian
neo-sufisme adalah lebih kepada rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim.
Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan
bukan masyarakat5. Sehingga, karakter keseluruhan neo-Sufisme adalah puritan dan
aktivis6. Para pengamalnya tidak mengundurkan diri dari kehidupan dunia, tetapi
sebaliknya melakukan inner detachment untuk mencapai realisasi spiritual yang lebih
maksimal.7
Menurut Nurcholish Madjid, neo-Sufisme cenderung untuk menghidupkan
kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam
makna inilah kaum Hanbali seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah,
sekalipun sangat memusuhi sufisme populer, adalah jelas kaum neo-sufi, malah
menjadi perintis ke arah kecenderungan ini.
Selanjutnya, kaum neo-sufi juga mengakui, sampai batas tertentu, kebenaran
klaim sufisme intelektual mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan
kebenaran Ilahi) kaum Sufi atau ilham intuitif. Bahkan Ibn Taimiyah maupun Ibn
Qayyim sesungguhnya mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. Jadi terjadinya
kasyf dibawa kepada tingkat proses intelektual yang sehat. Lebih jauh lagi, Ibn
Taimiyah dan para pengikutnya menggunakan keseluruhan terminologi kesufian
5
Fazlur Rahman, Revival and Reform, dalam P. M. Holt et.al, The Cambridge History of Islam, 1970, II, h. 637
6
Fazlur Rahman, Islam…, h. 194
7
Azyumardi Azra, Historiograft Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia,
2002), h. 194.

5
-termasuk istilah salik, penempuh jalan keruhanian - dan mencoba memasukkan ke
dalamnya makna moral yang puritan dan etos salafi.8
Berdasarkan kajian Nurcholish Madjid, neo-Sufisme itu dalam
perkembangannya tampil dalam apa yang disebut oleh kelompok Dr. Sa'id Ramadhan
"Al-Ruhaniyah Al-Ijtima'iyah" (spiritualisme sosial) yang ciri-cirinya antara lain:
1. Membaca dan merenungkan makna kitab suci Al-Qur'an;
2. Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Saw. melalui sunnah dan sirah
(biografi) beliau,
3. Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh
Islam yang zuhud;
4. Menjaga, diri dari sikap dan tingkah laku tercela;
5. Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah,
dengan sikap penuh percaya;
6. Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah seperti shalat lima waktu dan
tahajjud.
Dengan demikian, yang paling dipentingkan di sini adalah nilai keseimbangan
(mizan atau tawazun), sehingga menjadi prinsip utama hidup ideal seorang muslim.
Nampaknya gerakan "Neo Sufisme" dituntut untuk melakukan upaya sistematis
demi terkawalnya citra tasawuf yang sejati. Kelihatannya tasawuf semakin dicari
orang, karena diyakini bahwa pola hidup sufistik adalah pilihan terbaik untuk
mengobati penyakit–penyakit sosial yang ditularkan oleh racun "cinta dunia" yang
berlebihan. Adapun tokoh – tokoh utamanya ialah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-
Jauziyah, Dr. Sa'id Ramadhan, di Indonesia: Hamka, dan KH. Achmad Siddieq.

8
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam
Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 94.

6
C. Konsep Neo-Sufisme Falur Rahman
Menurut Fazlur Rahman, spiritulisme itu telah ada semenjak nabi Muhammad
SAW dan ia sebagai penunjang misi kenabian dan kerasulannya. Dalam
perkembangan selanjutnya penanaman taat terhadap hukum Tuhan lama kelamaan
menjadi tahapan khusus interiorisasi dan instrospeksi motif moral. Praktek tersebut
mendapat dorongan kuat dari realitas sosial.
Kehidupan asketisme merupakan awal kehidupan tasawuf yang merupakan
reaksi atau protes spiritual dari keadaan pada waktu itu. Rahman sangat tidak sepakat
dengan model kehidupan para sufi yang mengisolasi terhadap dunia, sinis akan
politik yang akan mengakibatkan pesimisme, dan yang demikian itu bertentangan
dengan Al Quran, sebab yang utama dari Al Quran adalah implementasi actual dari
citra moral secara realistis dalam suatu konteks sosial.
Adalah sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa di antara para sahabat ada yang
mengalami ektase-ektase seperti Abu Yaziz Al Busthami, Ibn 'Arabi, Al Hallaj dan
sebagainya, Namun dalam prakteknya Rahman tidak sependapat dengan pandangan
para tokoh tasawuf falsafi, yang menurutnya mereka telah mengadakan
"penambahan" dalam agama.9 Karena ektase (fana diri) yang dijalani telah
mengakibatkan pengisolasian diri yang dianggap sebagai the ultimate goal atau
perjalanan manusia menuju khaliknya.
Penolakan Fazlur Rahman tersebut berdasarkan pada prilaku Rasulullah saw.,
menurutnya, seandainya ektase (fana diri) dari para sufi itu dianggap sebagai
religious experience (pengalaman agama), maka Rasulullah pun mengalaminya.
Paradigma di atas jika dicermati lebih mendalam, maka sesungguhnya gagasan
Neo-Sufisme Fazlur Rahman tersebut dilatarbelakangi oleh anomaly atau problema
yang dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada abad ke III Hijriah.
Anomaly tersebut antara lain;
Pertama anomaly teologis yang berhubungan dengan pengalaman ekstasik-fana'
dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil dan banyak ditandai oleh pemikiran-
9
Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta; Paramadina, 1996), hal. 34

7
pemikiran spekulatif-metafisik, misalnya hulul, wahdat al-wujud, ittihad dan
sebagainya.
Kedua anomaly non-formalistik yang berhubungan dengan dasar praktek
aplikatif tasawuf yang tidak bersandar pada normativitas Al-quran dan Sunnah, dan
Ketiga, anomaly holistika yang berhubungan dengan aspek aksiologis
(implementasi) tasawuf di mana para sufisme lebih memilih isolasi dari kehidupan
dengan melakukan kontemplasi dan 'uzlah dan tidak mau aktif dalam praktis
kemasyarakatan.
Maka dengan demikian, Neo-Sufisme Fazlur Rahman dengan kerangka
berpikirnya bact to Qur'an and Sunnah yang begitu kuat, akan melahirkan alternative
kehidupan sufistik pada masa sekarang ini sesuai dengan tantangan zaman yang
semakin berkembang.

D. Analisis Perbandingan Dengan Sufi Klasik


Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah populer di kalangan
masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjut dari gaya
keberagaman para zahid dan ‘abid - kesalehan asketisme yang mengelompok di
serambi masjid Madinah.
Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme (zuhud) yang merupakan
bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh
munculnya individu–individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga
perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase
asketisme ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad II hijriah, dan memasuki
abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme.
Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh pergantian
sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid
sudah meningkat pada persoalan bagaimana jiwa yang bersih itu, apa itu moralitas
dan bagaimana pembinaannya, serta perbincangan masalah kerohanian lainnya.
Tindak lanjut dan diskusi ini, bermunculanlah berbagai konsepsi tentang

8
jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-maqomat) serta ciri–ciri
yang dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu (al-hal). Demikian
juga pada periode ini sudah mulai berkembang perbincangan tentang al-Ma'rifat
beserta perangkat metodenya ('uzlah) hingga pada derajat fana’ dan Ittihad.
Bersamaan dengan itu, tampillah para penulis tasawuf terkemuka, seperti al-
Muhasibi (w. 243 H), al-Harraj (w. 277 H) dan al-Junaid al-Bagdadi (w. 297 H) dan
penulis lainnya. Secara konseptual tekstual lahirnya sufisme barulah pada periode ini,
sedangkan sebelumnya hanya berupa pengetahuan perorangan dan atau semacam
langgam keberagamaan. Sejak kurun waktu itu sufisme berkembang terus ke arah
penyempurnaan dan spesifikasi terminologi, seperti konsep intuisi, dzauq dan al-
kasyf.10
Hingga pada abad kedelapan hijriah muncullah suatu gerakan "Noe Sufisme"
yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah di mana sufisme terdahulu itu dituding sebagai
penyebab keterbelakangan umat Islam dalam percaturan kemajuan duniawi. Dari
keseluruhan pemaparan terdahulu telah kelihatan adanya persamaan dan perbedaan
antara sufisme terdahulu dengan neo-sufisme. Yang penting dicatat adalah sebagai
berikut:
a. Kelahiran Sufisme klasik dan kebangkitan Neo-Sufisme nampaknya dimotivasikan
oleh faktor–faktor yang sama, yakni: Gaya kehidupan yang glamour dan
materialistik-konsumeristik, formalisme pemahaman dan pengamalan keagamaan
sebagai imbas dari kegarangan rasionalisme, dan faktor kekerasan perebutan
hegemoni kekuasaan yang merasuki seluruh aspek kehidupan manusia.
b. Kesucian jiwa-rohaniyah, bahwa keduanya sama mendambakan dan menekankan
betapa urgennya kebeningan dan kesucian hati nurani dalam segala aspek
kehidupan umat manusia-aspek tazkiyah an-nafs.

c. Pendekatan esoteris (bersifat rahasia) ; keduanya sama berkeyakinan, bahwa untuk


memahami dan menghayati makna keagamaan harus melalui pendekatan esoteris,
pendekatan pengalaman metafisis atau al-kasyf. Namun dalam hal kemutlakan
10
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taflazani, Madkhal Wa al-Tasmvuf, (Kairo: Daar al-Saqafah, 1974), h. 80-82

9
nilai kebenarannya, terlihat antara keduanya ada perbedaan yang cukup tajam,
kalau sufisme terdahulu meyakini secara mutlak kebenaran yang diperoleh melalui
esoteris-al-kasyf, tetapi neo-sufisme akan meyakini kebenaran itu, apabila sejajar
dengan syariat. Di samping itu, sufisme terdahulu hanya mengakui pendekatan
esoteris satu-satunya yang dapat digunakan dalam rangka penghayatan
keagamaan, tetapi neo-sufisme tetap mengakui terhadap pluralitas pendapat.

d. Dzikrullah dan muraqabah, keduanya sama-sama meyakini betapa pentingnya


masalah ini dalam segala situasi demi tercapainya ridha Allah.

e. Sikap ‘uzlah, kalau sufisme terdahulu menempuh cara hidup ‘uzlah total, maka
neo-sufisme menempuh cara itu hanya sewaktu diperlukan saja sekedar untuk
menyegarkan wawasan melalui muhasabah—introspeksi.

f. Zuhd, askestisme, apabila sufisme terdahulu “membenci” kehidupan duniawi


karena dianggap menghalangi pencapaian tujuan, tetapi sufisme baru, meyakini
kehidupan duniawi ini sangat bermakna dan amat penting. Oleh karena itu,
kehidupan duniawi harus diperjuangkan tetapi harus disesuaikan dengan
kepentingan ukhrawi. Menurut pandangan ini, makna kehidupan duniawi
tergantung pada keterkaitannya dengan nilai ukhrawi yang dihasilkan aktivitas
duniawi itu. Karena mereka berkeyakinan, bahwa neo-sufisme, menjadi satu-
satunya alternatif culture yang dapat meng-counter culler materialistis-
konsumeristis dan hedonisme.

E. Fenomena Spiritualitas Masyarakat Modern


Apabila ditelusuri dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, nampaknya
sufisme yang diajarkan di Indonesia sudah diwarnai oleh tarekat sebagai lembaga
atau paguyuban. Akan tetapi apabila dilihat dari kegemaran para santri generasi awal
mempelajari tasawuf dari buku–buku yang pada umumnya karangan al-Ghazali,

10
ternyata belum dicampuri ajaran tarekat. Dengan mengandalkan fakta–fakta sejarah
itu, barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan, bahwa sebelum munculnya tarekat
sufi sebagai lembaga, sudah lebih dulu berkembang tasawuf, baik yang beraliran al-
Ghazali maupun aliran lainnya. Sedangkan tarekat tasawuf yang melembaga,
nampaknya datang kemudian bersamaan dengan kedatangan penyiar–penyiar yang
berasal dari Gujarat.
Dengan demikian, maka tasawuf yang berkembang pada masa awal itu,
didominasi oleh tasawuf aliran Sunni. Kalau pun ada penganut tasawuf aliran falsafi,
tidak begitu luas dan bahkan mendapat perlawanan dari pengikut Sunni. Karenanya
tanpa ragu Hamka menulis, bahwa tasawuf di Indonesia sejalan dan sedarah daging
dengan mazhab Ahlussunnah wal-Jama'ah.
Dalam perkembangan sufisme di Indonesia, pengaruh al-Ghazali as-Syafi'i
lebih besar daripada pengaruh al-Hallaj dari mazhab Syi'i. Bahkan pada masa
kerajaan Islam Pasai, telah ada orang Indonesia yang mengajar tasawuf di Mekkah,
yakni Syaikh Abu Abdullah Masud bin Abdullah al-Jawi.11
Tasawuf yang tadinya aktivitas independen, telah bergeser kepada bentuk
organisasi atau lembaga yang kemudian disebut tarekat. Dalam tarekat sebagai
pranata keagamaan, peranan guru (syekh, khalifah dan mursyid) sangat dominan.
Sebab, tasawuf yang diajarkan dalam satu tarekat, sangat tergantung pada "khibrah"
(penghayatan, pengamalan dan pengalaman dalam mengajarkan tasawuf) seorang
syeikh tarekat. Demikianlah perkembangan yang nyata dari sufisme di Indonesia,
terkesan sudah diwarnai tarekat sehingga tarekat diidentikkan dengan tasawuf.
Fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa tarekat sudah menjadi suatu
pengajian sehingga membentuk suatu kumpulan (majlis dzikir), misalnya saja majlis
dzikir yang dipimpin oleh ustadz H. Haryono dengan metodenya dan sudah dikenal
oleh masyarakat luas mampu mengobati segala macam penyakit. Begitu juga dengan
ustadz H. Arifin Ilham dengan majelis dzikir Az-Zikranya dan KH. Abdullah
Gymnastiar dengan taushiyahnya mampu membangkitkan jiwa spiritualitas di tengah-
11
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978), h. 217-218.

11
tengah masyarakat modern.
Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, gejala munculnya tasawuf
ke panggung kehidupan keagamaan juga terlihat lebih jelas. media massa sering
melaporkan, bahwa literatur tasawuf termasuk diantaranya buku-buku terlaris
dipasaran. Kehidupan sufistik ini bahkan merambah ke dunia kepenyairan. Terdapat
seniman atau penyair, yang tidak malu-malu lagi meproklamasikan diri sebagai
penyair sufistik.
Kebangkitan tasawuf umumnya dan tarekat khususnya di masa modern ini,
tidak urung lagi menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan para pengkaji sosiologi
agama dan modernisasi. Mengapa dalam situasi di mana kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang kian marak, justru semakin banyak orang tertarik kepada tasawuf?
Apakah ini sekedar gejala eskapisme dalam dunia modern? Kesimpulan singkat yang
diberikan Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000 (1990) sebagaimana yang
dikutif oleh Azyumardi Azra, agaknya menarik untuk dicatat. Menurut mereka, ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak memberikan makna tentang kehidupan. Kebangkitan
agama (termasuk tasawuf) merupakan penolakan yang tegas terhadap kepercayaan
buta kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, tulis keduanya.12
Demikianlah, modernisasi dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih
bermakna kepada manusia. Karena itu tidak heran kalau orang kembali kepada agama
yang memang berfungsi, antara lain, untuk memberikan makna dan tujuan hidup.
Modernisme dan modernisasi, ternyata gagal menyingkirkan agama dari kehidupan
masyarakat. modernisasi memang menciptakan tantangan-tantangan baru terhadap
agama, tetapi sama sekali tidak melumpuhkannya. Yang terjadi justru sebaliknya:
sepanjang menyangkut makna, modernisme dan modernisasi justru menghantarkan
manusia ke jalan buntu.
Dari fenomena tersebut di atas, telah mengantarkan pada kebangkitan tasawuf

12
Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996) h. 295

12
di masa kontemporer saat ini. Hal ini dapat diamati pada terjadinya pendekatan yang
lebih intens antara spiritualitas tasawuf dengan mainline (ide pokok) Islam. Karya-
karya dan manual sufistik yang dihasilkan pemikir sufi kontemporer menunjukkan
terdapatnya usaha-usaha yang kontinyu dan terarah untuk menegaskan bahwa tradisi
sufistik tidak pernah terlepas dari Islam ortodoks.
Kecenderungan perkembangan masyarakat dalam masa pasca-modernisme
seperti di atas mengisyaratkan bahwa Neo-Sufisme akan lebih mempunya prospek
perkembangan yang cerah dan akan semakin berkembang seiring dengan lajunya
perkembangan zaman. Satu keyakinan yang diungkapkan oleh Syaykh Fadhullah
Khayri, sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra yang perlu di dicermati
bahwa pesan-pesan sufisme lebih urgen di dunia yang semakin materialistik dan
konsumeristik.13

13
Ibid, h.296

13
F. Penutup
Demikianlah sejarah menunjukkan, bahwa sufisme tidak pernah tercabut dari
akar keislaman. Maka seirama dengan abad kebangkitan umat Islam, bangkit pula
gerakan spiritualis Islam, yang oleh Fazlur Rahman dinamai "neo-sufisme", sufisme
baru. Secara umum terlihat, bahwa ciri utama neo-sufisme ini adalah, penekanan pada
motif moral melalui penerapan metode zikr dan muraqabah guna "mendekati" Allah.
Bahwa Neo-Sufisme yang telah dikonstruk Fazlur Rahman dapat
dikategorikan sebagai tasawuf model salafi. Sebuah model tasawuf yang secara
epistimologis berdasarkan acuan normatif al-Quran dan al-Sunnah, menjadikan Nabi
dan para salaf al-shalihin sebagai panutan dalam aplikasinya yang tidak berlebih-
lebihan dalam menjalankan proses spiritualisasi ketuhanannya dengan mengeliminir
unsur mistik-metafisik dan asketik dalam tasawuf serta unsur-unsur heterodoks
asing lainnya, dan digantikan dengan doktrin-doktrin yang bernuansa salaf yang
quranik-normatif namun tidak elitis-esklusif. Doktrin ini dimaksudkan untuk
menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial kemasyarakatan.
Hal ini dilakukan karena berbagai anomali atau problem (teologis, normative
dan sosiologis) yang berkembang di tubuh tasawuf kala itu, harus diperbaharui agar
supaya tasawuf sebagai bagian dari keislaman dapat memberikan kontribusi positif-
konstruktif terhadap kehidupan masyarakat muslim dalam berbagai bidang
kehidupannya.
Dalam gerakan neo-sufisme, nampaknya juga tidak bebas dari penyakit
pertentangan pola gerakan dan pola anutan. Setidaknya ada dua warna yang
mengemuka, yaitu: (1) mereka yang tidak mengakui “al kasyf” sebagai hakikat
sufisme. Mereka ini berusaha menghidupkan kembali nilai sufisme yang
dipraktekkan para sahabat nabi, yakni sufisme yang lebih bertumpu pada ‘abid dan
zahid; (2) mereka yang tetap mengakui “kasyf” sebagai intisari sufisme, namun
kualitas kebenarannya harus dilegalisir syariat. Apabila diwawas dari perspektif
berbekal kemafhuman yang empatik, sesungguhnya ide neo sefisme ini melantunkan
nada cinta yang memperpanjang harapan terciptanya kehidupan yang seutuhnya.

14
Unsur dasar yang harus diperhatikan dalam mengaktualisasikan gagasan
Neo-Sufisme dalam konteks kekinian, adalah sifat kehidupan manusia yang
senantiasa berubah. Artinya, konteks kehidupan tasawuf di abad lalu berbeda
dengan konteks kekinian. Karena masyarakat manusia adalah realitas yang
senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masakini harus disikapi
dengan pola yang baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan masa kini harus dengan
memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan dalam kehidupan sosial
merupakan bagian dari kerberagamaan para sufi. Tujuan yang dapat dicapai tetap
sama yaitu Ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan intuitif tetap kemudian
dilebarkan bukan hanya untuk individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk
kesalehan sosial.

Jika ini mampu diaktulisasikan di tengah-tengah kesibukan dunia modern,


maka akan lahir zahid-zahid baru, Ia adalah seorang mukmin, namun sekaligus
seorang profesionalis, wiraswasta, birokrat, teknolog, atau bahkan seorang bankir.
Atas dasar persepsi bahwa zahid tidak berbeda dengan sufi, maka ia dapat
melakukan riadah (latihan ruhani) dalam konteks kesibukannya sebagai orang
modern.

Kelebihan dari sosok praktek ini adalah masing-masing individu mencapai


peningkatan spiritual sehingga memperoleh ketenangan hidup, kedamaian dan
kebahagiaan di sisi Allah SWT, tidak perlu stress karena sikap zahidnya akan
senantiasa membentuk qalbunya untuk tidak terikat dengan dunia, tidak perlu lupa
diri menumpuk kekayaan karena sadar bahwa tujuan utamanya adalah memperoleh
pengalaman fana dan baqa di sisi-Nya.

Sisi lain bahwa pola pengalaman keberadaan Tuhan yang terkait dengan
mengalami pelaksanaan perintah-Nya dalam kehidupan sosial ini akan
membangkitkan semangat sufinya untuk membangun dunia di sekitarnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusairiyah. Kairo, 1330 H.

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawuf. Kairo: Daar al


Saqafah, 1974.

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor


Sejarah. Jakarta: Gramedia, 2002.

Fazlur Rahman, Revival and Reform, dalam P. M. Holt et.al, The Cambridge History
of Islam, 1970.

Fazlur Rahman, Islam, edisi II. Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dun Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
1978.

Ibrahim Basyuni, Nasy-at al-Tasawuf fil Islam. Kairo: Daar a]-Ma'arif, 1969. Lihat
dalam tulisannya (bab pendahuluan) yang bedudul The Element of .Sufism.
Longmead, G.B., 1990.

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradahan: Membangun Makna dan Relevansi


Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

Said Ramadlan, Al-Ruhaniyuh Al-ljtima'iyah fi Al-Islam. Jeneva: al Markaz al


Islam, 1965.

Tulisan al-Kharraj, al-Thariq ila Allah-, Al-Muhasibi, al Ri'ayah 1i Huquq al-


Insan; dan al-Junaidi al-Baghdadi, Dawa' al-Arwah
.
Wahyuni Nafis, Muhammad (Ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam,
Jakarta: Paramadina1996

16

Anda mungkin juga menyukai