Anda di halaman 1dari 4

Istilah Neo Sufisme lebih netral daripada tasawuf modern tasawuf modern lebih

optimistik. Karena modern kadang kadang berkonotasi positif optimis. Tetapi keduanya
menunjuk kepada kenyataan yang sama yaitu suatu jenis kesufian yang terkait dengan syariah
atau dalam wawasan Ibn Taimiyah, jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran
islam itu sendiri, bagaimana termaktub dalam al-quran dan as-sunnah, dan tetap berada dalam
pengawasan kedua sumber utama ajaran islam itu kemudian ditambah dengan ketentuan
untuk tetap menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara aktif.
Gejala yang dapat disebut sebagai neo sufisme itu cenderung untuk menghidupkan kembali
aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap pfositif kepada dunia. Dalam makna inilah
kaum hambali sperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, sekalipun sangat memusuhi
sufisme popular, mereka adalah kaum neo sufi, menjadi perintis kearah kecenderungan ini.
Khusu pembaruan dibidang tasawuf. Pembaruan yang dialukan Ibn Taimiyah dipandang
sangat mendasar karena berkaitan dengan paradigm dan rancang hubung keilmuan tasawuf
yang bertumpu pada segi-segi ontology, epistemology, aksiologi. Dari keempat aspek itulah,
peneliti akan menyorotinya secara luas, sehingga pada gilirannya dapat diketahui
karakteristik pemikiran tasawuf Ibn Taimiyah juga perbedaan dan kelebihannya dari
pemikiran tasawuf yang ada saat itu serta kemungkinan prediksi relevansinya bagi
pengembangan ilmu tasawuf yang dapat merespon kebutuhan sepiritual masa kini.[1]
Selanjutnya kaum neo sufisme juga mengakui sampai batas tertentu kebenaran klaim sufisme
intelektual bahwa mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran ilahi) kaum
sufi atau ilham intuitif, tetapi menolak klaim mereka seolah-olah takdapat salah (masum)
dengan menekankan bahwa kehandalan kasyf adalah sebanding dengan kebersihan moral dari
kolbu, yang sesungguhnya mepunyai tingkat-tingkat yang tak terhingga.
Neo sufisme menekankan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat
daripada sufisme lama.[2]

B. Sejarah Lahirnya NeoSufisme


Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf klasik sebagai awal lahir istilah neo sufisme, maka
dalam perkembangannya tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal semakin
terasa antara antara lain dipengaruhi berbagai macam corak budaya. Dampak dari hal ini
melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang becorak dengan mateeri dasarnya
berdasar pada Al-Quran dan As-Sunnah, dengan ide pada pembentukan moralitas di back up
ulama moderat pada satu sisi, sedang pada sisi yang lain tasawuf bercorak dengan materi
dasarnya bersumber dari filsafat dengan kecenderungan pada materi hubungan manusia
dengan tuhan.
Kaum sufi tidak tertarik memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih
tertumpu kearah aspek-aspek peribadatan saja. Dalam hal ini, mereka menitikberatkan
perhatian dari aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini diberi gelar sebagai kaum
lahiriah. Maka al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat
dan hakekat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan bahwa
penghayatan keagamaan harus melalui proses berperingkat dan berpadu antara syariah
dengan tasawuf. Sebelum memasuki dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu
memahami syariat, tetapi untuk memahami syariat secara benar dan mendalam harus melalui
proses tarekat.
Neosufisme ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman.
Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tapi telah menjadikan
perbincangan yang luas dalam kalangan para ilmuan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah

memperkenalkan istilah tasawuf modern dalam bukunya tasawuf modern. Namun dalam
karyanya ini tidak ditemui istilah neo sufisme yang dimaksudkan disini.
Keseluruhan isibuku ini terlihat wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf alGhazali kecuali dalam hal uzlah.[3]
Konsep neo-sufisme oleh fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat islam
mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan
kepentingan dunia, serta umat islam harus mampu memformulasikan ajaran islam dalam
kehidupan sosial.
Kebangkitan tasawuf di dunia islam dengan istilah baru yaitu ne-sufisme nampaknya tidak
boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga
adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan
teknologi selaku produk dari era modernism. Modernisme telah dinilai sebagai gagal
memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu manusia telah
kembali kepada nilai-nilai keagamaan karena salah satu fungsi agama adalah memberikan
makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang
semakin parah dalam berbagao aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan
kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah
menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru
termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf baru termasuklah
juga dalam bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporer seperti al-Taftazani
menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidah
pernah lepas dari akar islam.
Ini menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang
sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep syariah. Tasawuf yang
dianut dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang
difahami oleh kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya
(islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif. Menurut mereka, sufisme yang
berkembang belakangan ini, sebagaimana dinyatakan oleh Akbar S Ahmed, pascamodernisme membawa kita kepada kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan
keperluan terhadap toleransi serta perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat
dalam neo sufisme.

C. Karakteristik NeoSufisme
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah refomed sufim yang bermaksud sufisme yang
telah diperbaharui. Pada era kecermelangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan
adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru atau neo
sufisme ini hanya digantikan dengan prinsip-prinsip islam ortodoks.[4]
Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepda pembinaan semua sosial-moral
masyarakat muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat indiidu dan hampir
tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan
neo-sufisme adalah puritanis dan aktiis. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling
berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam
kritalisasi kebangkitan neo-sufisme.
Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl al-Hadith. Mereka ini coba
untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan
islam orthodox terutamanyan motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau

mendekatkan diri kepada Allah SWT.


Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan
yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah islam
dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap
kebersamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan
nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang terresterial dengan kehidupan yang
kosmologis.

D. Perkembangan NeoSufisme
Dalam sejarah perkembangannya, sufisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase,
yakni sufisme awal, sufisme orthodox, sufisme theosofi, dan neo-sufisme.
1. Sufisme awal, sejak dekade akhir abad II H, fase awal ini juga disebut sebagai
ekstime yang merupakan titik awal timbulnya sufisme dalam peradaban islam.
Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar
kehidupan akhirat. Sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasikan duniawi. Dalam masa ini, telah muncul konsep tentang jenjang perjalanan
yang harus ditempuh seorang sufi (al-maqmat), marifat dan perangkat metoodenya
hingga pada derajat fana dan ijtihad.
2. Sufisme Ortodoks, ditandai dengan mulainya unsur-unsur luar islam yang
beraktualitas bahkan sinkretis dengan ajaran sufisme. Pada kurun waktu ini, terjadi
ketegangan antara kaum ortodoks islam dan penganut sufisme awal dengan kaum sufi
berpaham ijtihad. Ternyata ketegangan tersebut terjadi bukan semata karena sufisme
atau perbedaan pemahaman agama, tetapi juga karena telah ditunggangi
kepentingan politik, yakni antara kaum sufi dengan kaum syii. adapun istilah sufisme
ortodoks adalah mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan sufi terdahulu,
yakni para sahabat dan generas sesudahnya dengan tetap mempraktekkan kehidupan
agama yang bersifat lahiriah.
3. Sufisme Theosofi, ditandai dengan masuknya unsur-unsur filsafat kedalam sufisme,
baik yang bersifat metodologis maupun postulat-postulat filsafat Yunani terutama neoPlatonisme(suatu fase pengulangan ajaran yunani yang lama). Agaknya persoalan ini
pula lah yang melatarbelakangi gerakan ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim pada abad VIII
Hijriyah untuk melanjutkan usaha al-Ghazali, walaupun terdapat bebrapa perbedaan.
Ajaran sufisme baru bisa diterima bila itu tidak bertentangan dengan syariat. Gerakan
Ibn Taimiyah ini juga menolak doktrin monism (wahdat al-wujud) Ibn Arabi dan
berbagai praktek-praktek ritual sufisme.
4. Neo-Sufisme, pertama kali digunakan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya islam.
Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi justru
memancing polemik dan diskusi yang luas. Sebelum Rahman, sebtulnya Hamka telah
menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya Tasawuf Modern, tetapi
dalam buku ini tidak ditemui kata neo-sufisme.[5]

IV. KESIMPULAN

Neo sufisme menkankan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat
daripada sufisme lama.
Neo sufisme pertamakali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur
Rahman. Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat
islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat
dan kepentingan dunia, serta umat islam harus mampu memformulasikan ajaran islam dalam
kehidupan sosial.
Noe sufisme ini hanya digantikan dengan prinsip-prinsip islam ortodoks. Neo-sufisme
mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semua sosio-moral masyarakat muslim.
Dalam sejarah perkembangannya, sufisme dapat diklasifikasikan menjadi bebrapa fase, yakni
sufisme awal, sufisme orthodoks, sufisme theosofi, dan neo-sufisme.

DAFTAR PUSTAKA
Pustakamirzan.Blogspot.com/2010/11/neo-sufisme-dan-spiritualitas-masyarakat.html
Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf. 2007. PT. Temprina media Grafika : Surabaya
Sayyid Husein Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. 1985. Pustaka Firdaus : Jakarta
http:/mulkans.wordpress.com
sudirman Tebba. Orientasi sufistik cak nur. 2004. Paramadina : Jakarta
[1]Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf. 2007. PT. Temprina media Grafika : Surabaya.
Hlm. 194
[2]Sudirman Tebba. Orientasi sufistik ca knur. 2004. Paramadina : Jakarta. Hlm. 164
[3]http://mulkans.wordpress.com
[4]Sayyid Husain Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. 1985. Pustaka Firdaus : Jakarta. Hlm.
190
[5]Pustakamirzan.Blogspot.com/2010/11/neo-sufisme-dan-spiritualisasi-masyarakat.html

Anda mungkin juga menyukai