Anda di halaman 1dari 14

AL QAWAID AL-ASASIYAH

Raihan Habibi Irawan (05030522041)

Perbandingan Madzhab Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

(raihanhabibiirawan@gmail.com)

Abstrak

Artikel ini membahas tentang qawa’idul al-asasiyah, didalam artikel ini menjelaskan dasar-
dasar induk fikih secara rinci termasuk perngertian juga penjelasan mendetai tentang lima
qawa’idul asasiyah. Pada umumnya terdapat dua landasan yang menjadi dasar untuk
memperoleh hukum fikih, yaitu qawa’idul fiqhiyyah dan qawaid ushuliyyah, kaidah menjadi
patokan atau penentu dalam menetapkan hukum islam, adanya qawaidul fiqhiyyah sebagai
sarana untuk mengelompokkan hukum furu. Kaidah asasiyah melupakan kaidah yang paling
dasar dalam hukum islam, dan menjadi asas bagi hukum-hukum fikih. Jika didalam hukum
positif yang menjadi dasarnya adalah Pancasila dan UUD, maka di dalam hukum Islam
qawaidul asasiyah yang menempati posisi tersebut. Dengan adanya kaidah-kaidah fikih
tersebut dapat membantu dan memudahkan dalam menetapkan,mengelompokkan dan
mengembangkan hukum islam di era moderen yang semakin berkembang .

Kata kunci: Hukum islam, qawa’idul fiqhiyyah, qawa’idul asasiyah, fikih

PENDAHULUAN

Yang menjadi topik perbincangan dalam hukum islam tidak hanya persoalan fikih
yang sudah matang hukum-hukumnya (istinbath) menggunakan rumusan yang disebut ushul
fikih. Terdapat satu ilmu yang sangat penting dan di perlukan dalam menetapkan hukum-
hukum islam terutama di era moderen ini, ilmu itu adalah al-qawaid al-fiqhiyyah atau dalam
Bahasa indonesianya kaidah-kaidah fikih. Yang menjadi keunikan yaitu ilmu ini hadir setelah
adanya ilmu fikih yang menerangkan hukum-hukum islam yang sudah jelas dan dapat
diaplikasikan di kehidupan, ilmu fikih tersebut diperoleh dari ulama mujtahid hukum islam.

Adanya ilmu qawa’id menjadi ilmu yang membantu dalam mendalami dan
mengamati hukum atas permasalahan yang sedang sering terjadi di era moderen dan
berkembang di masyarakat. Kaidah-kaidah yang di kembangkan tidaklah merupakan hal yang
mudah, pengembangan kaidah-kaidah fikih tersebut sudah melalui jalan proses yang lama
oleh pakar-pakar ilmu fikih. Ilmu qawaid al fiqhiyyah sampai saat ini sangat besar daampak
manfaatnya. Ilmu qawa’idul al-fikhiyyah ini pertama kali di bahas oleh seorang pemimpin
yang notabennya seorang ulama yang Bernama Izzuddin bin Abdul Aziz bin Abdus Salam
kaidah pertama yang mengawali kaidah-kaidah fikih lainnya yaitu kaidah yang berbunyi
“mengutamakan kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan”.1

Ulama-ulama mujtahid mengambil hukum-hukum fikih dari Al-Quran dan Hadits,


dengan berlandaskan dari dua dasar yaitu Qawa’idul fikhiyyah dan kaidah ushuliyah fikih).
Kaidah adalah patokan dalam menentukan dan mengembangkan hukum-hukum islam. kaidah
ushuliyyah merupakan kaidah yang mendalami dan memahami dalil-dalil yang memiliki
hubungan dengan pengambilan aturan hukum, yang di dapatkan dari mendalami dan
memahami makna, dari dalil-dalil tersebut secara Bahasa dan tafsirnya.

Qawa’id fikhiyyah adalah penetapan hukum yang berhubungan dengan kebenaran


(fakta) dan entitasnnya. Adanya kaidah fikhiiyah sangat membantu dan memudahkan dalam
menyelesaikan permasalah-permasalahan hukum yang terjadi di zaman yang terus
berkembang ini, maka perlu kita memahami bahwasannya penting untuk kita mempelajari
qawa’id al-fikhiyyah, dan juga haruslah kita mengerti mengenai rumusan disiplin ilmu ini,
dikarenakan kaidah-kaidah ini merupakan asas dari hukum-hukum Islam. mayoritas dari
kaum muslimin tidak mempelajari mengenai hal ini sehingga tidak banyak dari umat muslim
yang memahami tentang dasar-dasar dari hukum islam.2

Pada pembahsan ini ushul fikih merupakan suatu ilmu yang membahas mengenai
dasar-dasar hukum secara garis besar, membahas mengenai hal-hal yang di perlukan oleh
pakar fikih dalam menentukan hukum-hukum furu, contohnya hukum asal perintah wajib,
hukum asal larangan adalah haram. Sedangkan qawa’id fikhiyyah merupakan
pengelompokan dari hukum-hukum fikih yang memiliki banyak pembagian pembagian
kedalam satu tempat , yaitu kaidah yang mencakup seluruh permasalahan hukum fikih.
Dr.T.M Hasbi As Shiddieqy mengatakan bahwasannya tidak dapat dibantah dalam berijtihad

1
Abdul Muiz, “Landasan dan Fungsi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika Hukum Islam,” Journal for
islamic Studies 3, no. 1 (2020): 104.
2
Moh Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam (Bandung: PT. Liventurindo, 2020), 115.
perlu ada yang namanya kaidah-kaidah umum sebagai patokan dan pedoman dalam
menentukan dan menetapkan hukum.3

Pengertian Qawaidul Asasiyah

Qawaa’idul asasiyah merupakan kata yang berasal dari Bahasa arab, qawa’idul
asasasiyah sendiri terdiri dari dua kata yaitu qawa’id dan asasiyah, kata qawa’id itu sendiri
merupakan bentuk jama’ dari kata qaidah, secara Bahasa arti dari qaidah yaitu dasar atau
pondasi. Sehingga arti dari qawa’id adalah dasar-dasar landasan dari segala sesuatu. Pondasi
tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu ada pondasi yang bersifat bisa dilihat dan ada
juga pondasi yang bersifat ma’nawi, abstrak tidak dapat di lihat.

Secara istilah al-taftazani memberikan pengertian bahwa qaidah merupakan suatu


hukum dasar yang menjadi patokan, memiliki sifat universal (umum) dan dapat diaplikasikan
oleh setiap bagian-bagiannya, yang mana dengan adanya kaidah ini kita dapat mengenali
permasalahan-permasalahan dari bagian juz’i.

Dr. Ahmad asy-Syafi’I mendefinisikan bahwa kaidah adalah:

‫القضايا الكلية التي يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزنيات كثيرة‬

“hukum yang bersifat universal yang diikuti oleh bagian-bagian hukum juz’I yang lain”.4

Asasiyah dapat diartikan sebagai mentahan dari kaidah-kaidah yang sudah terbentuk,
sama dengan kaidah makna dari kata asasiyah adalah dasar (pondasi) akan tetapi
perbedaannya adalah kaidah merupakan rumusan dari asas yang sudah menjadi bentuk
hukum yakni aturan-aturan yang sudah memiliki kejelasan dan sudah pasti dan asas
merupakan inti atau awal dari kaidah-kaidah yang sudah ada. Dari definisi diatas dapat
didefinisikan bahwasannya qawaidul asasiyah adalah kaidah-kaidah fikih induk, yang
merupakan dasar (patokan) dari kaidah kaidah lainnya.

Dalam qawaidul fiqhiyyah masih terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai


jumlah dari kaidah-kaidah fikih induk (Qawa’idul asasiyah). Imam AS-suyuti mengatakan
bahwa jumlah kaidah fikih induk dikembalikan pada pembahasan dalam madzhab Imam asy-
Syafi’I yang bertotal empat kaidah hukum. Syeikh izzudin mengatakan bahwasannya semua
permasalahan dan persoalan dapat merujuk kembali pada kepada i’tibar al-mashalih. Dalam

3
As’ad Syamsul Abidin, “Mengenal 5 Kaidah Dalam Hukum Islam,” 2022, https://aktual.com/mengenal-5-
kaidah-pokok-dalam-hukum-fiqih/.
4
Moh Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam, 116.
perkara kuantitas qawa’idul asasiyah ini ulama bersepakat bahwasannya kaidah fikih ini
berjumlah lima proposisi.5

A. ِ ‫ِإنَّ َما اَأل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬


‫ األ ُمو ُر بِمقاص ِد هَا‬/ ‫ت‬

Artinya:” segala suatu perkara tergantung pada niat/ tujuan dari pelakunya”

Pengertian kaidah ini adalah semua hubungan yang terjadi baik antara manusia
(hamba) dengan tuhannya ataupun sosialisasi antar manusia itu tergantung pada apa yang
diniatkan dan tujuan yang di maksud, dengan kata lain apapun yang kita lakukan dapat dinilai
dari niat dan tujuannya.

Contoh pengaplikasian kaidah yang pertama: apabila terdapat seseorang yang


mengatakan saya hibahkan bangunan ini, akan tetapi dia meminta bayaran atas bangunan
itu,maka dapat dilihat bahwasannya niat dari pelaku bukan untuk menghibahkan akan tetapi
untuk jual beli, sehingga akad tersebut tidak bernilai sebagai akad hibah akan tetapi akad jual
beli(transaksi).6

Menurut ulama syafi’iyah arti dari niat yaitu, adanya keinginan untuk melalakukan
suatu tindakan dan perbuatan dan di barengi dengan pelaksanaanya. Dari pernyataan tersebut
dapat di pahami bahwasannya dalam melakukan sesuatu harus berbarengan dengan niatnya,
contoh pada saat melakukan shalat, niat yang menjadi rukun shalat dilakukan berbarengan
dengan gerakan shalat yang pertama yaitu pada saat takbir awal shalat. Niat dapat menjadi
penentu kualitas dan nilai dari suatu tindakan, apakah perbuatan yang di lakukan bertujuan
untuk beribadah kepada allah SWT atau perbuatan tersebut hanya bertujuan untuk memenuhi
hawa nafsu dan kepentingan duniawi. Dapat diambil contoh dalam bersedekah, apabila ketika
bersedekah itu berniat karena allah dan rasulnya maka itu halal dilakukan, akan tetapi apabila
niatnya untuk ria agar dipuji orang maka itu haram dilakukan.7

Inti dari niat sendiri bertujuan dan berfungsi untuk memberikan perbedaan antara
kegiatan yang berhubungan dengan pencipta (ibadah) dengan kegiatan adat dan juga pada
kegiatan umum yang dilakukan. Adanya niat juga menjadi penjelas dari perbuatan yang
dilakukan, sebagai penentuan perincian dan pengkhususan, contohnya: ketika berwudhu

5
Duski Ibrahim, Al-Qawaid Al-fiqhiyyah, 1 (Palembang: NoerFikri, 2019), 41.
6
Gustani, “5 Kaidah Fikih Pokok dan Contoh Penerapannya dalam Muamalah,” 2020,
https://www.gustani.id/2020/05/5-kaidah-fikih-pokok-dan-contoh.html.
7
Ali Geno Berutu, “Qawa’id Fiqhiyyah Asasiyah,” preprint (Open Sciennce Framwork, 14 2019), 398.
berniat hanya untuk membersihkan anggota badan sehingga ketika akan melakukan shalat
harus berwudhu kembbali dengan niat untuk beribadah.

Dengan adanya niat ini juga dapat membedakan antara orang yang menahan lapar
untuk menunaikan ibadah puasa dan orang yang menahan lapar dengan tujuan untuk berdiet
ataupun karena bertujuan untuk meminimalisir kemungkinan terkena penyakit. Juga apabila
memberikan sebagian harta untuk fakir miskin dengan tujuan menunaikan zakat akan berbeda
dengan memberikan sebagian harta yang dimiliki tanpa niat, memberikan sebagian harta
dengan niat ibadah akan bernilai ibadah dan memberikan sebagian harta tanpa adanya niat
akan bernilai hanya sebagai kegiatan sosialisasi antar manusia. dengan adanya niat dapat
membedakan makna dari di lakukannya penyembelihan hewan, apakah penyembelihan hanya
bertujuan untuk dijadikan lauk pauk di rumah atau tujuan penyembelihan betuan untuk
menunaikan qurban.

Dengan niat ini juga dapat membedakan yang wajib dan yang sunnah, berwudhu,
shalat berpuasa dan ibadah yang lainnya ada yang merupakan sunnah dan ada yang wajib,
cara membedakan hal tersebut hanya dengan niat. Begitu juga pada bertayamum, yang
membedakan antara tayamum untuk berwudhu dan tayamum untuk menghilangkan hadas
besar (mandi wajib) adalah niatnya.8 landasan dari qawa’id asasasiyah yang pertama
berdasarkan nash Al-quran dan hadish, contohnya dalam firman allah:

‫هّٰللا‬
َ ‫اب ال ُّد ْنيَا نُْؤ تِ ٖه ِم ْنهَ ۚا َو َم ْن ي ُِّر ْد ثَ َو‬
‫اب ااْل ٰ ِخ َر ِة‬ َ ‫س اَ ْن تَ ُموْ تَ اِاَّل بِاِ ْذ ِن ِ ِك ٰتبًا ُّمَؤ َّجاًل َو َم ْن ي ُِّر ْد ثَ َو‬ ٍ ‫َو َما َكانَ لِنَ ْف‬
َ‫نُْؤ تِ ٖه ِم ْنهَا َو َسنَجْ ِزى• ال ٰ ّش ِك ِر ْين‬

Artinya: “semua yang bernyawa tidak akan di cabut nyawanya (mati) kecuali atas izin dari
allah SWT, sebagai ketetapan yang sudah di tentukan kapan akan terjadinya (waktunya),
barang siapa myang menghendaki perkara dunia, maka akan kami berikan perkara dunia itu,
dan barang siapa yang menghendaki perkara akhirat maka akan kami berikan perkara akhirat
itu dan kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur. ”(Q. 3.
Ali-‘Imran: 145)

Contoh yang kedua dalam firman allah:

َ ِ‫ص ْينَ لَهُ ال ِّد ْينَ ۙە ُحنَفَ ۤا َء َويُقِ ْي ُموا• الص َّٰلوةَ َويُْؤ تُوا• ال َّز ٰكوةَ َو ٰذل‬
‫ك ِديْنُ ْالقَيِّ َم ۗ ِة‬ ‫هّٰللا‬
ِ ِ‫َو َمٓا اُ ِمر ُْٓوا اِاَّل لِيَ ْعبُدُوا َ ُم ْخل‬

8
Ibrahim, Al-Qawaid Al-fiqhiyyah, 45.
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.”(Q. 98 al-Bayiyinah:5)

Hadist yang menjadi dasar dari qawaid asasiyah terdapat pada hadist yang berbunyi:

َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬


ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ال‬
 ‫ْت َرسُوْ َل هللاِ صلى هللا عليه‬ ِ ‫ص ُع َم َر ْب ِن ْالخَطَّا‬
ِ ‫ب َر‬ ٍ ‫ع َْن َأ ِمي ِْر ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َأبِ ْي َح ْف‬
ُ‫َت ِهجْ َرتُهُ ِإلَى هللاِ َو َرسُوْ لِه فَ ِهجْ َرتُه‬ ْ ‫ فَ َم ْن َكان‬. ‫ت َوِإنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِرٍئ َما نَ َوى‬ ِ ‫ ِإنَّ َما اَْأل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬: ‫وسلم يَقُوْ ُل‬
‫ص ْيبُهَا َأوْ ا ْم َرَأ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا فَ ِهجْ َرتُهُ ِإلَى َما هَا َج َر ِإلَ ْي ِه‬
ِ ُ‫َت ِهجْ َرتُهُ لِ ُد ْنيَا ي‬ ْ ‫ َو َمن َكان‬،‫ِإلَى هللاِ َو َرسُوْ لِ ِه‬

Artinya:“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata:
Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap 
perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas)
berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan
keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya.
Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”. 9

Kaidah tersebut dapat menjadi rujukan dari persoalan fikih mengenai ibadah dan
muamalah, dalam persoalan ibadah beberapa persoalannya yaitu mensucikan diri seperti
wudhu, tayamum, mandi wajib menghilagkan hadas besar, kemudian juga persoalan shalat
baik sunnah ataupun yang wajib, juga segala suatu yang berhubungan dengan shalat lainnya,
puasa baik yang sunnah ataupun yang wajib, zakat kemudian juga termasuk persoalan haji
dan umrah, bersedekah, i’tikaf dan persoalan ibadah lainnya. Dalam persoalan muamalah
yaitu segala suatu yang berhubungan dengan bab mu’amalah yaitu munakahat, transaksi-
transaksi, jual beli, jinayar, peradilan dan persoaln muamalah lainnya. Semua persoalan yang
disebutkan pada dasarnya akan merujuk kepadah kaidah yang pertama diatas .

Semua amalan yang dilakukan itu bergantuk pada niatnya perkara yang bernilai
mubah bisa menjadi berpahala apabila diniatkan karena allah, yang menjadi titik penilaian
adalah niat dari seseorang yang melakukan perbuatan dan amalan (kegiatan) yang dilakukan
harus termasuk dalam amalan-amalan yang diperbolehkan untuk dilakukan. Apabila niatnya
baik tapi tindakan yang dilakukan tidak di perbolehkan tetap saja nilainya itu melanggar
aturan dan tidak dapat di benarkan kecuali suatu hal-hal tertentu yang sudah dibahas secara
9
Muhammad Al-utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin (Jakarta: PTDARUL FALAH, 2005), 4.
mendalam dan sudah dibenarkan oleh hukum. Dapat dijadikan contoh, misalnya dalam
masalah berbohong pada umumnya berbohong merupakan tindakan yang di larag oleh hukum
akan tetapi ada saat-saat tertentu yang di berikan keringanan dan di perbolehkan untuk
berbohong dalam berperang (ketika di inrogasi musuh) dan juga berbohong untuk
menghindari pertikaian. Dengan demikian melakukan perampokan bank dengan niatan untuk
dibagikan kepada fakir miskin merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dan melanggar
hukum, dalam menjalani hubungan sosial harus dengan niat yang baik,cara yang baik dan
tujuannya merupakan kebaikan.10

Dari qawaid asasiyah yang pertama, dikembangkanlah menjadi beberapa kaidah


lanjutannya (cabang), yang mengembangkannya adalah Hasbi Ashsiddiqy, kaidah tersebut
biasa di sebut kaidah syarah. Qawaid yang menjadi terusan dari kaidah yang pertama
contohnya yaitu kaidah yang berbunyi:

‫ال ثواب إالبالنية‬

Artinya: tidak akan berpahala kecuali dengan adanya niat

Kaidah ini berhubugan dengan suatu tindakan, tindakan atau perbuatan yang tidak
disertakan niat dari orang yang melakukannya , tidak dapat dinilai baik dan buruknya, dan
perbuatannya tidak akan dianggap (tidak di sah kan). Pada prihal ini perbuatan baik yang
dilakukan tanpa adanya tujuan atau niat dari orang yang melakukannya tidak akan bernilai
pahala, sampai adanya niat yang baik dan benar.11

Penjelaan ini memberikan pernyataan bahwasannya niat merupakan hal yang sangat
penting, ulama fiqh berpendapat “sah nya suatu perbuatan dalam beribadah di tentukan
dengan niat” ibadah-ibadah wajib dalam agama islam memerlukan niat sebagai rukun dari
kegiatan tersebut, misalnya, shalat, puasa, berwudhu, haji, tayamum dan ibadah yang lainnya.
Meski masih terdapat perbedaan ulama dalam masalah tersebut contohnya niat dalam
berwudhu, imam syafi’i dan imam maliki setuju bahwasannya niat menjadi rukun wudhu,
imam hanafi menganggap niat dalam berwudhu sebagai sunnah mu’akad dan imam hambali
menganggapnya syarah sah berwudhu.

B. ‫ك‬ َّ ‫اليَقِيْنُ اَل يُزَا ُل بِال‬


ّ ‫ش‬

Artinya: wujud keyakinan tidak akan hilang dengan adanya keraguan

10
Ibrahim, Al-Qawaid Al-fiqhiyyah, 46.
11
Moh Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam (Bandung: PT.Liventurindo, 2020), 122.
Makna dari kaidah ini adalah perkara yang sudah meyakinkan tidak dapat jatuh dan
goyah oleh perkara yang masih mengandung keraguan didalamnya, perkara yang meragukan
dapat merubah perkara yang meyakinkan dengan syarat berubah menjadi suatu perkara yang
meyakinkan.

Kata yakin merupakan suatu hal yang sudah jelas kepastiannya, dengan dasar sudah
dilakukan pengecekan dan dengan dasar bukti dalil yang sudah jelas. Kemudian ragu-ragu
memiliki makna suatu hal yang tidak dapat dipastikan statusnya, yang berada di antara benar
dan salah, yang dari keduanya tidak dapat lebih tinggi dari satu sama lain, tidak adanya
kejelasan mengenai benar dan salahnya.12

Mengutip dari keyakinan syeikh abdul majid bahwasannnya, adanya bentuk keraguan
berarti segala sesuatu yang belum dapat ditentukan keberadaannya dan ketidak adaannya, dan
dalam konteks yang belum diketahui itu tidak dapat dibedakan apakah perkara itu benar dan
tidaknya, kedua hal itu tidak ada yang lebih unggul dari satunya.13

Contoh pengaplikasian kaidah yang kedua: apabila seseorang sudah memiliki wudhu
melaksanakan shalat, ketika akan memulai shalat terlintas keraguan apakah dia sudah
berhadast sehingga harus mengulang wudhunya. Dari kaidah ini yang dapat diambil adalah
keyakinan yang pertama bahwasannya sudah memiliki wudhu, dan keraguan berhadast
tersebut tidak dapat mengalahkan keyakinan.

landasan dari qawa’id asasasiyah yang kedua berdasarkan hadish nabi yaitu:

‫ ال يخرج من المسجد حتى يسمع صوتا أو‬، ‫اذا وجد أحدكم في بقيه شيئا ما شكل عنه أخرج منه شئ أم ال‬
‫يجد ريع‬

Artinya: “Apabila terdapat diantara kalian yang mendapatkan adanya suatu di dalam
perutnya, kemudian dengan itu terjadi permasalahan apakah yang dirasakan di dalam perut
itu sudah keluar atau belum, maka janganlah keluar dari masjid hingga ia mendenggar suara
atau mendapatkan baunya” (HR. Muslim).

Adanya hadist ini menjelaskan apabila seseorang yang sudah memiliki wudhu
kemudian dia shalat dan didalam shalatnya timbullah keraguan apakah sesuatu yang ada
didalam perutnya (kentut) sudah keluar atau belum, perihal masalah ini orang tersebut masih

12
As’ad Syamsull Abidin, “Mengenal 5 Kaidah Pokok dalam Hukum Fiqih,” 2022, https://aktual.com/mengenal-
5-kaidah-pokok-dalam-hukum-fiqih/.
13
Moh Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam, 124.
diaggap memiliki wudhu, disebabkan oleh karena keyakianan yang awal adalah sudah
berwudhu kemudian timbul keraguan apakah sudah keluar angin atau belum, sehingga yang
menjadi patokan adalah keyakinan yang awal bukan keraguan yang timbul setelahnya, hingga
muncul tanda-tanda yang merubah keraguan tersenut menjadi suatu yang meyakinkan.

Juga diperkuat dengan adanya hadist nabi yang berbunyi:

َ‫ك َو ْليَ ْب ِن َعلَى َما ا ْستَ ْيقَن‬ ْ


ِ ‫صلَّى ثَالَثًا َأ ْم َأرْ بَعًا فَ ْليَط َر‬
َّ ‫ح• ال َّش‬ َ ‫ك َأ َح ُد ُك ْم فِى‬
َ ‫صالَتِ ِه فَلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬ َّ ‫ِإ َذا َش‬

Artinya: “Apabila seseorang diantara kamu timbul keraguan di dalam shalatnya, sehingga dia
tidak dapat memastikan berapa rakaat shalat yang sudah dikerjakan tiga atau empat rakaat,
maka dari itu hendaknya membuang(menghilangkan) yang menjadi keraguan, dan
mantapkanlah yang sudah diyakini”(HR. Muslim)

Dari kaidah dasar yang kedua ini timbullah kaidah-kaidah lainjutannya, salah satu kaidah
yang berlandaskan dari kaidah kedua tersebut yaitu:

‫األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التخريم‬

Artinya:”hukum dasar segala sesuatu perkara yaitu boleh, hingga timbul adanya suatu aturan
atau dalil yang mengharamkannya”.

C. ُ ِ‫شقَّةُ ت َْجل‬
ِ ‫ب التَّ ْي‬
‫س ْي َر‬ َ ‫اَ ْل َم‬

Artinya:” Suatu kesulitan akan mendatangkan kemudahan”

Ma’na dari kaidah tersebut adalah apabila terjadi kesulita sehingga menjadi sulit
sesuatu hal untuk dilakukan, maka agar perkara itu bisa diselesaikan timbullah kemudahan
ataupun keringanan, dengan beberapa ketentuan dan dengan alasan yang jelas.

Contohnya dalam shalat, apabila terdapat seseorang yang ingin melaksanakan shalat,
akan tetapi terdapat uzur yang menghalanginya sehingga dia tidak dapat bersuci
menggunakan air maka dia diberikan keringanan sehingga dia dapat bersuci dengan cara
bertayamum, dan ketika melaksanankan shalat dia tidak dapat melakukannya dengan berdiri
maka lakukanlah dalam keadaan dudukn apabila tidak bisa melakukannya dengan keadaan
duduk maka lakukanlah shalat dengan keadaan berbaring, apabila masih sulit untuk dilakukan
maka boleh melaksakannya dengan kedipan mata.14

14
As’ad Syamsul Abidin, “5 Kaidah Hukum Fikih.”
Alasan-alasan yang dapat menjadi keringanan adalah, berpergian (safar), sakit
(maridun), terpaksa (al-ikrah), lupa (an-nisyan), kebodohan, tidak mampu, dan kesulitan pada
umumnya. Macam-macam keringanan yaitu, takhfif-isqath (kemudahan yang bentuknya
penguguran), takhfif-tanqish (kemudahan yang bentuknya pengurangan), takhfif-ibdal
(kemudahan yang bentuknya penggatian), takhfif-taqdim (kemudahan yang mendahulukan
perkara yang tiba waktunya), takhfif-ta`khir (kemudahan yang wujudnya mengakhirkan suatu
yang sudah masuk waktunya), takhfif-tarkhish, takhfif-takhyir (kemudahan yang bentuknya
berupa perubahan. Dari kaidah yang ketiga ini muncullah kaidah lain, salah satunya yaitu
kaidah yang berbunyi:

•‫لرخص ال تناط بالمعاصي‬

Artinya:”keringanan-keringanan (rukhshah) itu tidak bisa dihubungkan dengan kemaksiatan”.

Pada dasarnya adanya keringanan dari suatu yang kita lakukan, adalah upaya agar kita
masih bisa melaksanakan suatu kegiatan tersebut. Kesulitan yang kita rasakan memberikan
keringanan terhadap perkara-perkara yang terganggu oleh kesulitan yang kita alami.15

D. ‫الض َر ُر يُزَا ُل‬


َ

Artinya:”kemudaratan harus ditiadakan

Kaidah ini memberikan penjelasan bahwa, bahaya itu hendaklah untuk ditiadakan.
Makna dari darurat sendiri yaitu suatu keadaan berbahaya yang menimpa manusia, apabila
dibiarkan akan tidak akan ada seorangpun yang dapat menggantikan posisinya, pada
persoalanan ini yang dimaksud oleh Sebagian ulama adalah bahaya yang dapat
menghilangkan nyawa atau pun anggota tubuh sehingga tidap digantikan oleh orang lain.16

Contoh penerapan dari kaidah ersebut yaitu, ketika seseorang kelaparan dan tidak
menjumpai makanan kecuali di sana hanya terdapat seekor babi, disebabkan oleh keadaanya
yang sangat mendesak dan berhubungan dengan nyawa, sehingga babi yang awalnya haram
di perbolehkan untuk dimakan dengan syarat tidak melewati batas. Kaidah ini berlandaskan
dari nash Al-Quran dan hadits nabi Muhammad Saw. Dalil yang pertama yaitu firman Allah
Swt yang berbunyi:

15
Ibrahim, Al-Qawaid Al-fiqhiyyah, 76.
16
Ali Geno Berutu, “Qawa’id Fiqhiyyah Asasiyah,” 8.
‫اغ َّواَل عَا ٍد فَٓاَل اِ ْث َم َعلَ ْي ِه‬ ‫هّٰللا‬
ٍ َ‫اِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َ•م َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا اُ ِه َّل بِ ٖه لِ َغي ِْر ِ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغي َْر ب‬
‫اِ َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬

Artinya:” Sesungguhnya dia (Allah) hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging
babi dan hewan yang disembelih dengan mengucapkan nama selain Allah. Akan tetapi
barang siapa yang terpaksa memakannya bukan harena kenginan diri sendiri dan juga bukan
karena melewati batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah maha pengampun maha
penyayang”. (Qs Al-Baqarah:173)

Dalil yang merupakan dari hadits nabi yaitu hadits yang berbunyi:

‫ال ضرر والضرار‬

Artinya:”tidak boleh mengadakan kemudaratan dan tidak membalas dengan kemudaratan”.

Adanya kaidah tersebut sangat membantu dalam mengembangkan hukum Islam,


kaidah ini memiliki peranan yang sangat penting dalam peningkatan dan pengelolaan
ahkamul Islam, terlebih lagi dalam menghilangkan kemudaratan yang terjadi di masyarakat.
Dari kaidah tersebut lahirlah kaidah lain yang salah satunya yaitu:

•‫الضرورة تبيح المحظورات‬

Artinya:”kebutuhan itu mebolehkan perkara yang dilarang”.

Kaidah ini memiliki makna bahwasannya perkara-perkara yang awalnya dilarang


(diharamkan) dapat berubah menjadi suatu yang diperbolehkan disebabkan oleh kepentingan
yang urgen dan sangat mendesak.17

E. ‫ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

Artinya:” Adat (kebiasaan) dapat dipertimbangkan untuk menjadi suatu hukum”

Adat adalah suatu hal yang sudah terjadi atau dilakukan berulangkali oleh manusia
ataupun sudah dilakukan oleh suatu golongan sehingga itu menjadi kebiasaan dan menjadi
budaya bagi orang-orang tersebut, adat biasanya dilakukan secara turun temurun oleh sebab
itu, perkara tersebut akan diterima dan dibenarkan oleh pikiran. Suatu kebiasaan akan
menjadi hujjah (patokan) apabila dapat menghadirkan kemaslahatan, memberikan
kemanfaatan, dan tidak bertentangan dengan syariat. Kebiasaan yang membawa keburukan,
kerusakan, kemaksiatan dan tidak memiliki manfaat tidak dapat di sebut adat walaupun sudah
17
Ibrahim, Al-Qawaid Al-fiqhiyyah, 82.
biasa dilakukan, bahkan sudah tidak merasa bahwasannya itu perbuatan yang salah dan
merukan suatu pekerjaan yang apabila dilakukan akan berdosa, contohnya berjudi, riba,
mencuri dan sabung ayam.

Makna dari kaidah ini adalah kebiasaan (adat) dapat menjadi sebuah hukum pada
suatu keadaan. Dengan syarat kebiasaan yang dilakukan merupakan hal-hal yang
mengandung kemanfaatan, diterima oleh akal sehat dan tidak bertentangan dengan syariah. 18
Dalil yang menjadi landasan dari kaidah di atas adalah nash Al-Quran dan hadist nabi. dalil
yang pertama merupakan firman Allah yang berbunyi:

‫ْض َمٓا َءاتَ ْيتُ ُموه َُّن ِإٓاَّل َأن‬ ۟ ۟ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
۟ ُ‫وا اَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم َأن تَرث‬
ِ ‫ضلُوه َُّن لِت َْذهَبُوا بِبَع‬ ُ ‫وا ٱلنِّ َسٓا َء كَرْ هًا ۖ َواَل تَ ْع‬ ِ َ
•۟ ‫ى َأن تَ ْك َره‬
‫ُوا َش ْيـًٔا َويَجْ َع َل ٱهَّلل ُ فِي ِه خَ ْيرًا‬ ِ ‫يَْأتِينَ بِ ٰفَ ِح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوعَا ِشرُوه َُّن بِ ْٱل َم ْعر‬
•ٰٓ ‫ُوف ۚ فَِإن َك ِر ْهتُ ُموه َُّن فَ َع َس‬
‫َكثِيرًا‬

Artinya:” Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs An-Nisa’: 19)

Landasan yang diambil dari hadits nabi yang berbunyi:

‫ما رأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

Artinya:” suatu yang dianggap baik oleh umat muslim maka baik juga di sisi Allah”.

Dari hadits diatas maka perbuatan yang baik dan sudah menjadi kebiasaan dan tidak
bertentangan dengan syariat-syariat Allah maka dapat dijadikan hukum. Pada umumnya
adanya tradisi dan adat menjadi peranan penting dalam membentuk dan mengembangkan
aturan hukum Islam. adat istiadat setempat menjadi suatu patokan dalam membentuk sebuah
hukum, atas peranan adat istiadat masyarakat ini juga timbul berbagai aliran hukum.

Dari kaidah yang kelima muncul kaidah lainnya salah satunya yang berbunyi:

‫كل ما وردبه الشرع مطلقا والضابط له فيه والاللغة يرجع فيه إلى الغرف‬

18
As’ad Syamsul Abidin, “5 Kaidah Hukum Fikih.”
Artinya:” setiap aturan yang dating dari hukum syara’ secara mutlak dan dalam syara’ tidak
dijelaskan Batasan-batasannya juga tidak ada penjelasan batasannya dalam aturan Bahasa,
maka ketentuannya dikembalikan pada kebiasaan masyarakat (‘urf).19

KESIMPULAN

Qawa’id asasiyah merupakan induk dari berbagai macam bagian-bagian kaidah,


adanya kaidah-kaidah fikih ini bukan merupakan suatu hal yang ada dengan sendirinya akan
tetapi adanya kaidah ini merupakan hasil dari ijtihad para ulama. Dengan mempelajari dan
memahami akan membantu kita dalam mengetahui dasar-dasar dari ilmu fikih dan akan
membantu dalam menyelesaikan permasalahan permasalahan dalam fikih. Adanya kaidah
asasiyah menjadi patokan dalam membentuk dan mengembangkan kaidah-kaidah yang lebih
menjurus kepada permasalahan-permasalahn yang terjadi.

Dengan mengetahui dasar-dasar dari kaidah-kaidah hukum fikih akan mempermudah


dalam menetapkan hukum-hukum fikih dari permasalan yang sedang dihadapi. Dengan
mengetahui dan memhami konsep dasar dai kaidah-kaidah hukum islam akan membantu
dalam menguasai dan memahami hukum-hukum Islam. dengan adanya kaidah induk ini
membantu menjaga dan menstabilkan serta menguasai perkara-perkara yang di perdebatkan
oleh ulama. Dengan adanya kaidah asasiyah dapat dijadikan sebagai patokan dalam
mengelompokkan kaidah-kaidah juz’I lainnya.

19
Ibrahim, Al-Qawaid Al-fiqhiyyah, 93.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muiz. “Landasan dan Fungsi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Dalam Problematika Hukum
Islam.” Journal for islamic Studies 3, no. 1 (2020).
Ahsanuddin Jauhari, Moh. Filsafat Hukum Islam. Bandung: PT.Liventurindo, 2020.
Ali Geno Berutu. “Qawa’id Fiqhiyyah Asasiyah.” Preprint. Open Sciennce Framwork, 14
2019.
Al-utsaimin, Muhammad. Syarah Riyadhus Shalihin. Jakarta: PTDARUL FALAH, 2005.
As’ad Syamsul Abidin. “Mengenal 5 Kaidah Dalam Hukum Islam,” 2022.
https://aktual.com/mengenal-5-kaidah-pokok-dalam-hukum-fiqih/.
Gustani. “5 Kaidah Fikih Pokok dan Contoh Penerapannya dalam Muamalah,” 2020.
https://www.gustani.id/2020/05/5-kaidah-fikih-pokok-dan-contoh.html.
Ibrahim, Duski. Al-Qawaid Al-fiqhiyyah. 1. Palembang: NoerFikri, 2019.
Moh Ahsanuddin Jauhari. Filsafat Hukum Islam. Bandung: PT. Liventurindo, 2020.
Syamsull Abidin, As’ad. “Mengenal 5 Kaidah Pokok dalam Hukum Fiqih,” 2022.
https://aktual.com/mengenal-5-kaidah-pokok-dalam-hukum-fiqih/.

Anda mungkin juga menyukai