Anda di halaman 1dari 2

SUNNAH TASYRI’IYYAH DAN GHAIRU TASYRI’IYYAH

Oleh : Drs. H. M. ZAKARIA, MH

Al-Quran merupakan landasan ideal pedoman hidup manusia,


sedangkan Al-Hadits adalah landasan operasionalnya namun
menempati posisi kedua pedoman hidup setelah Al Quran, keduanya
berfungsi saling menjelaskan sebagai suatu mata rantai yang tidak
dapat dipisahkan yang merupakan suatu kesatuan, karena kedua hal
tersebut sudah merupakan pusaka yang diwariskan oleh Rasulullah
kepada ummatnya sebagai khatamul anbiyaai wal mursaliin.
Sebelumnya kita mencoba memahami bagaimana pengertian
Sunnah dan Sunnat karena Sunnah dan Sunnat lafaznya hampir sama
namun mempunyai pengertian berbeda. Sunnat berhubungan dengan
hukum atas perbuatan mukallaf yang diberi pahala bagi yang
mengerjakannya dan tidak disiksa//tidak berdosa bagi yang
meninggalkannya. Kadangkala juga berarti khitan (pemotongan
kemaluan untuk laki-laki).
Adapun Sunnah seringkali dirangkaikan dengan Sunnah Nabi
yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan raqrirnya (diamnya) Nabi.
Namun terdapat perbedaan pengertian Sunnah dikalangan ahlu Al-Ra’yu
(‘Ulama Ushul) dan ahlu Al-Hadits (‘Ulama Hadits). Ahlu Al-hadits
memberikan pengertian Al-Sunnah yaitu segala perkataan (ucapan),
Perbuatan dan Taqrirnya Nabi baik terjadi sebelum dan sesudah
diangkat menjadi Nabi (Bi’tsa Al-Nabiyyu), misalnya cara nabi makan,
tidur, bercocok tanam, warna kesukaan, memanjangkan jenggot,
beristeri lebih tua 40 tahun umurnya dan sebagainya serta hal-hal yang
berhubungan dengan hukum. Sedangkan Ahlu Al-Ra’yu memberikan
pengertian Al-Sunnah yaitu segala perkataan (ucapan), perbuatan dan
taqrir (diam) nya Nabi yang terjadi setelah diangkat menjadi Nabi
sepanjang yang berhubungan dengan Hukum, misalnya cara Nabi
melaksanakan shalat, ucapan dan taqrir (diam)nya Nabi terhadap suatu
permasalahan hukum dan sebagainya. Namun Ahlu Al-Ra’yu membatasi
tidak semua Sunnah Nabi yang mengandung hukum wajib kita ikuti
karena ada hal-hal yang sifatnya ibadah khususiyah bagi Nabi dan tidak
pantas(haram) kita ikuti misalnya Nabi menikahi lebih dari 4 (empat)
wanita sebagai niat untuk da’wah dalam rangka untuk pengembangan
Islam, Shalat Tahajjud merupakan wajib bagi beliau (Sunnat Muakkad
bagi ummatnya). Sehingga dengan pengertian Sunnah menurut Ahlu Al-
Ra’yu tersebut, segala yang berhubungan hukum merupakan hal yang
harus kita ikuti sesuai dengan tingkatan hukumnya (wajib, Sunnat,
Makruh dan haram). Ahlu Al-Ra’yu berpendapat bahwa perbuatan Nabi
seperti cara tidur, makan, bercocok tanam, memanjangkan jenggot,
warna kesukaan, beristeri lebih tua adalah perbuatan sebagai manusia
biasa tidak termasuk pengertian Al-Sunnah karena bukan merupakan
hukum yang mesti diikuti.
Untuk mengkompromikan kedua pendapat yang berbeda tersebut,
maka disini penulis dapat memberikan solusi/alternatif dengan
memberikan kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa sepanjang yang berhubungan dengan hukum baik dari ucapan,
perbuatan dan taqrirnya Nabi merupakan suatu hal yang harus kita ikuti,
akan tetapi terhadap perbuatan-perbuatan Nabi sebagai manusia biasa
seperti cara makan, tidur, bercocok tanam, warna kesukaan memang
pada dasarnya bukan merupakan Sunnah yang mesti kita ikuti, namun
apabila umatnya melakukan seperti cara nabi tersebut seandainya
diikuti pasti dapat nilai sunnah (berpahala), karena terdapat hikmah
terselubung bagi Nabi meskipun bukan hal yang mesti kita lakukan.
Demikian dapat dipaparkan, semoga uraian singkat ini
bermanfaat bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai