Al-Quran merupakan landasan ideal pedoman hidup manusia,
sedangkan Al-Hadits adalah landasan operasionalnya namun menempati posisi kedua pedoman hidup setelah Al Quran, keduanya berfungsi saling menjelaskan sebagai suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan yang merupakan suatu kesatuan, karena kedua hal tersebut sudah merupakan pusaka yang diwariskan oleh Rasulullah kepada ummatnya sebagai khatamul anbiyaai wal mursaliin. Sebelumnya kita mencoba memahami bagaimana pengertian Sunnah dan Sunnat karena Sunnah dan Sunnat lafaznya hampir sama namun mempunyai pengertian berbeda. Sunnat berhubungan dengan hukum atas perbuatan mukallaf yang diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa//tidak berdosa bagi yang meninggalkannya. Kadangkala juga berarti khitan (pemotongan kemaluan untuk laki-laki). Adapun Sunnah seringkali dirangkaikan dengan Sunnah Nabi yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan raqrirnya (diamnya) Nabi. Namun terdapat perbedaan pengertian Sunnah dikalangan ahlu Al-Ra’yu (‘Ulama Ushul) dan ahlu Al-Hadits (‘Ulama Hadits). Ahlu Al-hadits memberikan pengertian Al-Sunnah yaitu segala perkataan (ucapan), Perbuatan dan Taqrirnya Nabi baik terjadi sebelum dan sesudah diangkat menjadi Nabi (Bi’tsa Al-Nabiyyu), misalnya cara nabi makan, tidur, bercocok tanam, warna kesukaan, memanjangkan jenggot, beristeri lebih tua 40 tahun umurnya dan sebagainya serta hal-hal yang berhubungan dengan hukum. Sedangkan Ahlu Al-Ra’yu memberikan pengertian Al-Sunnah yaitu segala perkataan (ucapan), perbuatan dan taqrir (diam) nya Nabi yang terjadi setelah diangkat menjadi Nabi sepanjang yang berhubungan dengan Hukum, misalnya cara Nabi melaksanakan shalat, ucapan dan taqrir (diam)nya Nabi terhadap suatu permasalahan hukum dan sebagainya. Namun Ahlu Al-Ra’yu membatasi tidak semua Sunnah Nabi yang mengandung hukum wajib kita ikuti karena ada hal-hal yang sifatnya ibadah khususiyah bagi Nabi dan tidak pantas(haram) kita ikuti misalnya Nabi menikahi lebih dari 4 (empat) wanita sebagai niat untuk da’wah dalam rangka untuk pengembangan Islam, Shalat Tahajjud merupakan wajib bagi beliau (Sunnat Muakkad bagi ummatnya). Sehingga dengan pengertian Sunnah menurut Ahlu Al- Ra’yu tersebut, segala yang berhubungan hukum merupakan hal yang harus kita ikuti sesuai dengan tingkatan hukumnya (wajib, Sunnat, Makruh dan haram). Ahlu Al-Ra’yu berpendapat bahwa perbuatan Nabi seperti cara tidur, makan, bercocok tanam, memanjangkan jenggot, warna kesukaan, beristeri lebih tua adalah perbuatan sebagai manusia biasa tidak termasuk pengertian Al-Sunnah karena bukan merupakan hukum yang mesti diikuti. Untuk mengkompromikan kedua pendapat yang berbeda tersebut, maka disini penulis dapat memberikan solusi/alternatif dengan memberikan kesimpulan sebagai berikut : Bahwa sepanjang yang berhubungan dengan hukum baik dari ucapan, perbuatan dan taqrirnya Nabi merupakan suatu hal yang harus kita ikuti, akan tetapi terhadap perbuatan-perbuatan Nabi sebagai manusia biasa seperti cara makan, tidur, bercocok tanam, warna kesukaan memang pada dasarnya bukan merupakan Sunnah yang mesti kita ikuti, namun apabila umatnya melakukan seperti cara nabi tersebut seandainya diikuti pasti dapat nilai sunnah (berpahala), karena terdapat hikmah terselubung bagi Nabi meskipun bukan hal yang mesti kita lakukan. Demikian dapat dipaparkan, semoga uraian singkat ini bermanfaat bagi kita semua.