Anda di halaman 1dari 27

BAB III

KONSEP ZUHUD DALAM TASAWWUF

A. Pengertian Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik
terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhdan atau
zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan yang artinya kecil atau sedikit.1
Selain itu, menurut definisi yang lain lafadz zahida fi hi wa ‘anhu, zuhdan wazaha datan
artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkannya karena kehinaannya atau karena kekesalan
kepadanya atau untuk membunuhnya. Jika dikatakan zahida fi ad-dunya artinya meninggalkan
hal-hal yang halal dari dunia karena takut hisabnya dan meninggalkan yang haram dari dunia itu
karena takut siksanya.2
Tazahhada artinya menjadi orang zuhud dan ahli ibadah. Az-Zahid adalah ahli ibadah.
Bentuk jamaknya adalah Zuhad. Lafazh az-zahadah fi asy-syai’i kebalikan dari kesenangan
kepadanya, ridha kepada yang sedikit dan jelas kehalalannya, meninggalkan yang lebih dari itu
karena Allah semata. Begitulah pengertian zuhud jika ditilik dari makna kata zahadah.3 Zuhud
secara bahasa berarti ketidaktertarikan hati, dan zāhid berarti orang yang tidak tertarik hatinya.
Hal ini disandarkan pada arti alzāhidīn yang terdapat pada al-Quran.23 Yaitu:

ٍ ‫َو َشرَوْ هُ بِثَ َم ٍن بَ ْخ‬


َ‫س د ََرا ِه َم َم ْعدُو َد ٍة َوكَانُوا فِي ِه ِمنَ ال َّزا ِه ِدين‬
Artinya: Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu
beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf”. (Q.S.
Yusuf: 20)4
Menurut Ibnul Jauzy, zuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari
sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syarat sesuatu yang tidak disukai
haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu. Siapa yang
tidak menyukai sesuatu yang bukan termasuk hal yang disenangi dan dicari jiwanya, tidak
harus disebut orang zuhud. Zuhud bukan sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya
dengan suka rela, ketika badan kuat dan ada kecenderungan hati kepadanya. Akan tetapi yang
dimaksud dengan zuhud ialah meninggalkan dunia didasarkan pengetahuan tentang
kehinaannya jika dibandingkan dengan nilai akhirat. 5 Ibnu Tiamiyah mengatakan bahwa
zuhud adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, entah karena memang tidak ada
manfaatnya atau memang karena keadaannya yang tidak diuatamakan, sebab yang demikian
ini dapat menghilangkan sesuatu yang lebih bermanfaat atau dapat mengancam manfaatnya,
meskipun manfaatnya yang sudah pasti ataupun yang diprediksi. Zuhud di dunia merupakan
kebodohan.6
Di dalam kitab Tharîqul-Hijratain, Ibnu Qayyim membagi zuhud menjadi tiga jenis.7
1. Zuhud dalam hal yang haram, dan pada jenis pertama ini diwajibkan atas setiap orang
muslim.
1
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1.
2
Mohammad Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, Rasail Media Group, Semarang, 2010.
3
Ibid.
4
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Toha Putra, Semarang, 1989), h. 351
5
I mam Ahmad bin Hambal, Zuhud Cahaya Kalbu (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. xv
6
Imam bin Hambal, Zuhud, hlm. xvi.
7
Imam bin Hambal, Zuhud, hlm. xvii.
1
2. Zuhud mustaḥab atau sunat, yang tergantung pada tingkatantingkatannya dalam hukum
sunatnya, dengan memiliki sesuatu yang dihindari, yaitu zuhud dalam hal yang makruh,
mubah, hal yang berlebihan dan melakukan keanekaragaman syahwat yang mubah.
3. Zuhudnya orang-orang yang benar-benar tekun dalam melakukan perjalanan kepada
Allah SWT. Mereka ada dua golongan:
a. Orang yang zuhud di dunia secara keseluruhan. Maksudnya bukanlah melepaskan
dunia ini dari tangan sama sekali dan duduk berdiam diri, akan tetapi yang
dimaksud adalah mengeluaran dunia secara keseluruhan dari hatinya, tidak
menengoknya dan tidak membiarkannya mengendap di dalam hati, meskipun
sebagian dunia itu berada digenggamannya. Sebagaimana zuhudnya Rasullullâh,
Khulafâ‟ur râsyidîn dan Umar bin Abdul Aziz, meskipun mereka memiliki
simpanan harta dunia yang semuanya berada di bawah kekuasaan mereka, justru
hal tersebut semakn menambah kezuhudannya.
b. Zuhud terhadap diri sendiri. Inilah zuhud yang paling berat serta paling sulit.
Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury (w. 760) zuhud di dunia artinya tidak mengumbar
harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Orang
yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia. 8
Ali ibn Abi Thalib (w. 661) sebagaimana dikutip oleh Amin Syukur, menjelaskan bahwa
zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam alQuran, supaya kamu tidak bersedih hati karena apa
yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh dan sombong.9

ٍ ‫لِ َكيْاَل تَأْسَوْ ا َعلَ ٰى َما فَاتَ ُك ْم َواَل تَ ْف َرحُوا بِ َما آتَا ُك ْم ۗ َوهَّللا ُ اَل ي ُِحبُّ ُك َّل ُم ْخت‬
ٍ ‫َال فَ ُخ‬
‫ور‬

Artinya: Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Al-Hadid: 23)10.

Sedangkan Abu al-Wafa al-Taftazani melalui karya Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islām
sebagaimana dikutip oleh Masyitoh Chusnan, memaknai zuhud bukanlah kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman seseorang yang
memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha,
namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunnya dan tidak membuat
mereka mengingkari tuhan.11
Amin Syukur memandang praktik zuhud tidak identik dengan kehidupan miskin. Perilaku
zuhud sudi miskin maupun menjadi milyuner, tapi harta tidak menjadi penghalang dalam
mendekatkan diri pada Tuhan. Juga tidak berarti eksklusif dari dunia, karena Islam tidak
mengajarkan manusia bermalas-malasan, akan tetapi tetap bekerja keras, dan menjadikan dunia
sebagai sawah ladang untuk akhirat.12 Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran:

8
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij al-Salikin baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 1988, Jilid II, h.11
9
Amin Syukur, op.cit., h.53
10
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, op.cit., h. 904
11
Masyitoh Chusnan, Tasawuf Muhammadiyah Menyelam Spiritual Laedership AR. Fakhruddin, Kubah
Ilmu, Jakarta, 2012, h. 109
12
Ibid., h. 73
2
ِ ْ‫ك ۖ َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِي اأْل َر‬
َ ‫ض ۖ ِإ َّن هَّللا‬ َ ‫صيبَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا ۖ َوأَحْ ِس ْن َك َما أَحْ سَنَ هَّللا ُ إِلَ ْي‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِي َما آتَاكَ هَّللا ُ ال َّدا َر اآْل ِخ َرةَ ۖ َواَل تَ ْن‬
ِ َ‫س ن‬
َ‫اَل ي ُِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِدين‬

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashas: 77).13

Dari beberapa pandangan para pakar tentang pengertian zuhud, maka penulis mengambil
suatu simpulan, zuhud adalah meninggalkan apaapa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan
akhirat, mempriotaskan halhal yang mubah yang menimbulkan ketaatan khusus kepada Allah.
Dengan kata lain, adanya keterlibatan manusia dengan hal-hal duniawi yang mubah, tetap bekerja
keras dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan hati dan tidak
membuat seorang zāhid mengingkari Tuhannya. Seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah
dan Abu Wafa al-Taftazani.

B. Dalil-Dalil Zuhud

Pembahasan ini menjelaskan mengenai kaitan antara pembahasan tentang zuhud di dalam
Islam, menyangkut dalilnya dalam Alquran secara sekilas, dalam hadis dan juga pendapat ulama.
Hal ini penting dikemukakan untuk membandingkan antara pemahaman zuhud di dalam perkara
tasawuf dan hadis itu sendiri. Baru kemudian nanti pada bab selanjutnya diteliti kesahihannya
melalui studi kritis sanad dan matannya.
Masalah zuhud sebenarnya disebutkan dalam beberapa ayat dan hadis. Di antara ayat yang
menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Swt.tentang orang mukmin di kalangan
keluarga Fir’aun yang mengatakan:
‫ال الَّ ِذيْ ٰا َمنَ ٰيقَوْ ِم اتَّبِعُوْ ِن أَ ْه ِد ُك ْم َسبِي َْل ال َّرشَا ِد‬
َ َ‫َوق‬
َ ْ ٰ ‫اْل‬
ِ ‫ع ۖ َوإِ َّن ا ِخ َرةَ ِه َي دَا ُر الق َر‬
‫ار‬ ْ ُ ْ ٰ َّ
ٌ ‫ٰيقَوْ ِم إِن َما ه ِذ ِه ال َح ٰيوة ال ُّدنيَا َمتَا‬
“Artinya: Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan
menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya akhirat itulah negeri
yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)
ُ‫ب ْال ُكفَّا َر نَبَاتُهُ ثُ َّم يَ ِهي ُج فَتَ َراهُ ُمصْ فَ ًّرا ثُ َّم يَ ُكون‬ َ ‫ث أَ ْع َج‬ٍ ‫َك َمثَ ِل َغ ْي‬

Artinya: Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian


tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur
(Q.S. al-Hadid: 20).
‫هَّللا‬ ِ ْ‫ك ۖ َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِي اأْل َر‬
‫ض ۖ إِ َّن َ اَل‬ َ ‫صيبَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا ۖ َوأَحْ ِس ْن َك َما أَحْ سَنَ هَّللا ُ إِلَ ْي‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِي َما آتَاكَ هَّللا ُ ال َّدا َر اآْل ِخ َرةَ ۖ َواَل تَ ْن‬
ِ َ‫س ن‬
َ‫يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِدين‬
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
13
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, h. 4
3
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-
Qasas: 77).
ً‫ت غَدا‬ َ َّ‫ك تَ ِعيْشُ أَبَداً َوا ْع َملْ آِل ِخ َرتِكَ كَأَن‬
ُ ْ‫ك تَ ُمو‬ َ َّ‫ا ْع َملْ لِ ُد ْنيَاكَ كَأَن‬
Artinya, “Bekerjalah untuk duniamu seolah akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk
akhiratmu seolah engkau akan mati esok hari.”
Sebenarnya, kajian hadits ini sudah sejak lama dan banyak tersebar, baik secara verbal oleh
para dai kita maupun melalui media-media online dewasa ini. Bahkan, penulis sendiri pertama
kali mendengar keterangan yang benar tentang hadits di atas, yaitu sekitar tahun 2016 dari KH
Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) di sebuah kanal Youtube dalam satu kesempatan. Adalah kitab
Tafsir wa Khawathir al-Imam Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, termasuk karya yang banyak
dirujuk dalam hal ini. Hemat sang faqih, ushuli, juga mufasir kelahiran Mesir ini (1329-1419
H/1911-1998 M), hadits tersebut bukanlah motivasi agama untuk lebih giat mencari bekal
duniawi ketimbang ukhrawi sebagaimana yang banyak dipahami. Justru memotivasi kita agar
jauh lebih memprioritaskan bekal ukhrawi daripada duniawi.
C. Sejarah Pekembangan Zuhud.

Ajaran sufi atau ajaran zuhud pada abad pertama atau pada masa Nabi dan masa sahabat
mempunyai corak akhlaki, yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwa
dan raga dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dengan kata lain, ajaran mereka mengajak kepada
kaum muslimin untuk hidup zuhud sebagaimana yang diajarkan dan diprakekkan oleh Nabi
SAW dan para sahabat besar.14 Al-Taftazani meringkas bahwa ajaran zuhud pada masa ini
mempunyai beberapa karakteristik, diantaranya adalah:
1. Ajaran zuhud berdasarkan ide untuk menjauhi hal-hal duniawi untuk meraih pahala
akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka.
2. Ajaran zuhudnya bersifat praktis dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk
menyusun prinsip-prinsip teoritis atas ajarannya itu.
3. Motivasi lahirnya hidup zuhud ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari
landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
4. Ajaran zuhud yang disampaikan oleh sebagian kaum zahid pada periode terakhir,
khususnya di Khurasan, dan pada masa Rabi‟ah al-Adawiyah ditandai dengan
kedalaman membuat analisis yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf. 48
Kehidupan Rasulullahdan sahabatnya adalah pengejawantahan al-Qur‟an. Praktek zuhud
pada waktu itu bukan isolasi dan sikap eksklusif terhadap dunia, akan tetapi mempunyai
pengertian aktif menggeluti kehidupan dunia, akan tetapi dalam rangka menuju kehidupan
akhirat. Jadi Rasu>lulla>h saw. dan para sahabatnya tidak memisahkan secara dikotomik antara
dua kehidupan dunia dan akhirat, akan tetapi satu sama lain mempunyai hubungan. Dinyatakan
oleh Rasulullah saw, bahwa dunia adalah ladang akhirat.15
Integrasi kehidupan Rasu>lulla>hdan para sahabatnya dapat dilihat dari aktivitas mereka di
dunia ini. Disamping sebagai kepala rumah tangga, ia juga aktif dalam lapangan keagamaan,
sosial, politik, ekonomi, perang, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan rumusan al-
Qur‟antentang zuhud.16
Rasulullah memang menjalankan kehidupan sederhana, sering berpuasa berpuasa hingga
tampak seolah-olah selalu berpuasa, memperbanyak shalat hingga telapak kakinya menjadi
14
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994), hlm. 255.
15
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 147.
16
Ibid.,hlm. 148.
4
bengkak, sering melakukan „uzlah sebelum menerima wahyu, beri‟tikaf di sepuluh hari terakhir
di bulan ramadhan, namun ia juga seseorang yang berjuang menegakkan kebenaran, keadilan,
mendirikan negara di Madinah, menciptakan kehidupan baru yang terjauh dari kesesatan adat
Jahiliyah, menyatukan kabilah-kabilah menjadi umat yang satu, menyelesaikan konflik internal
di antara mereka, menciptakan keadilan sosial di kalangan umat Islam, dan lain sebagainya. 17
Dalam doanya, Rasululla hsering menyetarakan antara kemiskinan, kakafiran, kezaliman,
dan lain sebagainya. Dalam doa-doa itu Rasulullahmenyepadankan antara kemiskinan dengan
kekafiran. Sehingga kedosaan struktur sosial yang mengakibatkan manusia menjadi miskin,
setingkat dengan kedosaan seseorang yang tidak beriman. Memerangi kemisinan setingkat
dengan memerangi kekafiran.52
Sikap-sikap Rasulullah tersebut akhirnya menjadi suri teladan yang baik para sahabat.
Seperti apa yang dilakukan oleh Abu bakar yang tidak menjadikan zuhud sebagai alasan untuk
berdiam diri dan menyaksikan gerakan orang-orang yang keluar dari agama Islam, orang yang
tidak mau membayar zakat, orang yang tidak menciptakan keadilan di kalangan umat Islam. 18
Sama halnya dengan Abu Bakar, „Umar juga tidak menjadikan kezuhudannya sebagai
penghalang untuk memperluas wilayah Islam hingga ke Persia. Di saat sebagian sahabat tergiur
dengan kenikmatan dunia, „Umar tetap menjalani kehidupan yang sederhana dan melaksanakan
nilai keadilan yang ditanamkan oleh Rasu>lulla>h. 19 Selain itu uthman bin affa>n juga
merupakan sosok sahabat baik hati dan peramah. Dia adalah salah satu sahabat yang cukup kaya
dan dengan kekayaannya tersebut, ia bisa menyediakan sejumlah uang untuk menolong orang-
orang yang terlibat dalam kesukaran. Sikapnya terhadap dunia sangatlah baik, ia beranggapan
bahwa harta mempunyai nilai sosial yang harus ditasarufkan untuk kepentingan umum. 20
Yang terakhir adalah sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.dia adalah orang yang sederhana, takwa
dan berpihak kepada fakir miskin. 21 Dia adalah pemimpin kaum miskin dan kaum yang lemah,
pelindung umat Islam dan sekaligus penjaga kehormatan mereka. 57
Dalam sejarah Islam, sebelum lahirnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul gerakan
zuhud. Gerakan zuhud ini timbul pada akhir abad pertama dan permulaan abad kedua hijriah.
Gerakan ini lahir sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari khalifah dan keluarga serta
pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke
Syria, Mesir, Mesopotamia dan Persia.22
Seperti yang telah diuraikan di atas, terdapat perbedaan besar antara hidup sederhana Nabi
Muhammad SAW, para sahabat, serta khulafa’ rasyidin. Muawiyah telah hidup sebagai raja-raja
Roma dan Persia yang bermewah-mewahan. Anaknya Yazid tak memperdulikan ajaran-ajaran
agama. Dalam sejarah dia dikenal sebagai seorang pemabuk. Di antara para khalifah Bani
Umayah hanya Umar bin Abd Aziz yang dikenal sebagai khalifah yang sederhana, takwa, serta
patuh dengan ajaran-ajaran Islam.23

17
M. Subkan Ansari, Tasawuf dan Revolusi Sosial (Kediri: Pustaka Azhar, 2011), hlm. 57.
18
Ibid.
19
Ibid, hlm. 58.
20
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern..., hlm. 41.
21
M. Subkan Ansari, Tasawuf dan Revolusi Sosial ..., hlm. 60. 57Ibid.,hlm.
61.
22
Ibid.,hlm. 243.
23
Ibid.
5
Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah juga demikian, yakni hidup dalam kemewahan. Seperti
al-Amin, anak dari Harun al-Rasyid juga dikenal sebagai anak dari seorang khalifah, kemudian
dikenal sebagai khalifah yang hidup dengan kepribadian yang jauh dari rasa suci. 24
Melihat hal-hal seperti itu, orang-orang yang tidak mau hidup dalam kemewahan dan ingin
mempertahankan hidup sederhana seperti pada Zaman Nabi, sahabat dan khulafa’ Rasyidin.
Mereka mengajak kepada kaum Muslim untuk menghidupkan kembali kehidupan yang telah
dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabat, yang selanjutnya dikenal dengan gerakan hidup zuhud.
Gerakan hidup zuhud ini pada mulanya terlihat di Kufah dan Basrah di Irak. Para zahid kufahlah
yang pertama kali memakai memakai kain wol kasar (suf) sebagai reaksi terhadap pakaian sutra
yang dipakai oleh golongan penguasa dan keluarga Bani Umayah. 25
Dari Basrah dan Kufah, gerakan zuhud ini menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.
Terutama di Khurasan, yang selama paruh kedua abad 2 H/ 8 M menjadi pusat penting kegiatan
politik dan keagamaan. Di Khurasanlah kelompok penumbang dinasti Umayah dan pendiri
kekhalifahan Bani Abbasiyah itu tumbuh.
Di Provinsi terpencil ini, yang pernah menjadi pusat kejayaan budhisme, hidup Ibrahim bin
Adhan, pangeran Balkhan (w. 160 H/777 M), tokoh yang kisah peralihannya kepada kezuhudan
menjadi tema favorit para sufi kemudian; dan seringkali dibandingkan dengan kisah Budha
Gautama. Gerakan hidup zuhud di Khurasan ini kemudian dilanjutkan oleh murid Ibrahim bin
Adhan, yakni Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M).26
Di Basrah sebagai kota yang tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhud mengambil corak
yang lebih ekstrim dari Kufah. Zahid-zahid yang terkenal di sini ialah Hasan al-Bisri (w. 110 H)
dan Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 185 H). Di Madinah lahir Sa‟id bin Musayyab (w. 91 H), Salim
bin Abdullah bin Umar dan Ja’far ash-Shadiq (w. 148). Di Mesir, pada abad pertama dipelopori
oleh Salim bin Atar al-Tajibi (w. 75 H), dan Abdurrahman bin Hujairah (w. 83 H). Sementara
zahid yang menonjol pada abad kedua Hijriah di Mesir ialah al-Lais bin Sa‟ad (w. 175 H), 27 ia
seorang zahid yang kaya tapi dermawan. Dia lahir di Qalqasyandah, Mesir, salah satu kampung
di pesisir Laut Merah.28
Dalam perkembangan selanjutnya gerakan zuhud ini berubah menjadi aliran “mistik”.
Ajaran mistik yang direformulasikan oleh segolongan umat Islam dan disesuaikan dengan ajaran
Islam ini disebut dengan tasawuf. Di dalam tasawuf pengalaman ajaran mistik dijiwai dan
diabdikan bagi pengembangan keruhanian Islam. Menurut para peneliti, sebelum habis abad ke-2
Hijiriah mulai terdengar kata-kata tasawuf. Ahli kebatinan yang pertama kali digelari sufi ialah
Abu Hasyim al-Kufi (w. 150 H)29
Dalam perkembangannya, zuhud yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua
hijriah terdiri dari beberapa aliran:
1. Aliran Madinah
Sejak awal di Madinah telah muncul para zahid. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’an
dan Sunnah dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan ke-zuhudan-nya. Di antara
mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah Al-Jarrah, Abu Dhar Al-Ghiffari, Salman Al-

24
Ibid.
25
Ibid.,hlm. 244.
26
Ibid., hlm 244-245.
27
Syamsun Ni‟am, Tasawuf Studies..., hlm. 119.
28
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf ..., hlm. 246-247.
29
Syamsun Ni‟am, Tasawuf Studies..., hlm. 119.
6
Farisi, Abdullah ibn Mas’ud, Hudhaifah ibn Yaman. Sedangkan dari kalangan Tabi’in antara lain
Sa’ad ibn Al-Musayyad dan Salim ibn Abdullah.30
Aliran Madinah lebih cenderung kepada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin, dan
berpegang teguh pada zuhud serta kerendahan hati. Aliran ini juga begitu terpengaru dengan
perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayah dan prinsip-prinsipnya
tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayah, zuhud pada masa ini bercorak
Islam murni dan konsisten dengan ajaran Islam. 31
2. Aliran Bashrah.
Louis Massiqnon mengemukakan dalam artikelnya “Tashawwuf” dalam Ensiklopedie de
Islam, bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol.
Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kuffah. Orang-orang di Bashrah yang berasal dari
Bani Tamim, terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang
riil. Mereka menyukai yang logis dalam nahwu, hal yang nyata dalam puisi dan kritis dalam
hadis. Mereka penganut ahli sunnah, tetapi cenderung pada aliran Mu‟tazilah dan Qadariyah.
Tokohnya adalah Hasan Al-Basri, Malik ibn Dinar, Fadhl Ar-Raqqasyi, Rabbah ibn Amru Al-
Qisyi, Sahih Al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di Abadan.
Corak yang menonjol dari zahid Bashrah adalah zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Ibn
Taimiyah berkata:”Para sufi pertama-tama muncul di Bashrah. Adapun yang pertama mendirikan
khanaqah para sufi adalah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan
Al-Bisri, para sufi di Bashrah terkenal berlebih-lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut
mereka dan lain-lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota-kota lainnya.” 32
3. Aliran Kufah.
Menurut Louis Massiqnon, aliran Kufah berasal dari Yaman yang bercorak idealis,
menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, image dalam puisi, dan harfiah dalam hadits. Dalam
akidah cenderung pada Syi‟ah dan Rajaiyyah. Tokohnya adalah Rabi‟ ibn Khatsim, Said ibn
Jubair, Thawus ibn Kisan, dan Sufyan Ats-Tsauri.33
4. Aliran Mesir
Aliran Mesir bercorak salafi sebagaimana aliran Madinah. Tokoh zahid Mesir abad pertama
Hijriah antara lain Salim ibn Athar At-Tajibi, Abdurrahman ibn Hujairah, sedangkan zahid yang
menonjol pada abad ke-2 H adalah Al-Laits ibn Sa‟ad. 34
Selain itu zuhud jika dilihat berdasarkan tingkatan dan hukumnya menurut Ibnu Qayyim
dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya adalah:
1. Zuhud dalam hal yang haram, yang hukumnya fardhu ain.35
2. Zuhud dalam hal yang syubhat, tergantung kepada tingkatan-tingkatan syubhat. Jika
syubhat itu lebih kuat, ia lebih dicondongkan kepada hukum wajib, dan jika melemah, ia
dicondongkan kepada sunat.36
3. Zuhud dalam hal-hal yang berlebih, zuhud dalam hal-hal yang dibutuhkan, berupa
perkataan, pandangan, pertanyaan, pertemuan dan lain sebagainya, zuhud di tengah

30
Totok Jumatoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Imu Tasawuf..., hlm. 301.
31
Ibid.
32
Ibid., hlm 301-302.
33
Ibid.
34
Ibid.
35
Imam Ahmad bin Hambal, Zuhud Cahaya Kalbu..., hlm. xvii.
36
Ibid.
7
manusia, zuhud terhadap diri sendiri, sehingga dia menganggap diri sendiri hina karena
Allah.37
4. Zuhud yang menghimpun semua itu, yaitu zuhud dalam perkara selain Allah dan segala
hal yang tidak membuatmu masyqul olehnya. Zuhud yang paling baik ialah
menyembunyikan zuhud itu sendiri dan zuhud yang paling berat ialah zuhud dalam
perkara yang menjadi bagian diri sendiri.38
Ibnu Qayyim juga mengatakan dalam kitab Thariqul-Hijratain, zuhud itu ada tiga macam
yang intinya sebagai berikut:
1. Zuhud yang hukumnya wajib atas setiap orang Muslim, yaitu zuhud dalam hal yang
haram.39
2. Zuhud mustahab atau sunat, yang tergantung pada tingkatan-tingkatannya dalam hukum
sunatnya; dengan menilik sesuatu yang dihindari, yaitu zuhud dalam hal yang makruh,
mubah, hal yang berlebih dan melakukan keanekaragaman syahwat yang mubah. 40
3. Zuhud orang-orang yang masuk ke dunia zuhud ini, yang mereka itu benar-benar tekun
dalam melakukan perjalanan kepada Allah.77
Mereka ada dua golongan:
a. Orang yang zuhud di dunia secara keseluruhan. Maksudnya bukan melepaskan dunia
ini dari tangan sama sekali dan duduk berdiam diri, tapi maksudnya mengeluarkan
dunia itu secara keseluruhan dari hatinya, tidak menengoknya dan tidak
membiarkannya mengendap di dalam hati, meskipun sebagian dunia itu terpegang di
tanganya.41
b. Zuhud terhadap diri sendiri, dan ini merupakan zuhud yang paling berat serta paling
sulit.42

D. Faktor-faktor Munculnya Zuhud

Para intelektual saling berbeda pendapat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi


munculnya zuhud. Harun Nasution (w. 1998) sebagaimana dikutip oleh Amin Syukur, mencatat
ada lima pendapat tentang asal-usul zuhud, yaitu:
1. Dipengaruhi oleh rahib-rahib Kristen.
2. Dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam
rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah
yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
3. Dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh
yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia.
Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwanannya, bahwa untuk pencapaianya orang
harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
4. Pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan
mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman. 43
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Ibid., hlm. xvii-xviii
40
Ibid.,hlm. xvviii 77Ibid.
41
Ibid.
42
Ibid.,hlm. xix.
43
Ibid., h. 5
8
Sedangkan Abu ‘Ala ‘Afifi sebagaimana dikutip Amin Syukur, mencatat empat pendapat
para sarjana tentang faktor atau asal-usul zuhud, yaitu; Pertama, berasal dari atau dipengaruhi
oleh India atau Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh asketisme Nasrani. Ketiga,
berasal dari atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma
menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam.
Untuk faktor keempat ini Abu ‘Ala ‘Afifi sebagaiman dikutip Amin Syukur merinci lebih
jauh menjadi tiga:
Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Quran dan
al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara’, taqwa dan zuhud. Selain itu kedua
sumber tersebut mendorong agar umatnya beribadah, bertingkah laku baik, shalat tahajud,
berpuasa dan sebagainya. Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial politik
dan ekonomi dikalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar ke berbagai negara yang
sudah barang tentu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan
diperolehnya kemakmuran disatu pihak, dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang
menyebarkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah, yang bermula dari al-
fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, Usman ibn Affan. Dengan adanya fenomena sosial
politik seperti itu, ada sebagian masyarakat atau ulama’ yang tidak ingin terlibat dalam
kemewahan dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada, mereka
mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut. Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan
ilmu kalam. Sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengalaman agama Islam. 44
Amin Syukur lebih sependapat bahwa faktor zuhud lebih dipengaruhi oleh faktor ajaran
islam itu sendiri. Berbagai alasan yang dapat dikemukakan bahwa dalam Islam tidak ada sistem
kependetaan (rahbaniyyah), seperti terdapat dalam agama-agama lain. Kesamaan zuhud dengan
rahbaniyyah dan sebagainya dalam Nasrani, serta agama-agama lain tidak berarti Islam
mengambil daripadanya, karena kehidupan semacam zuhud merupakan kecenderungan universal
yang terdapat pada semua agama atau bisa juga dikatakan karena sumber Islam adalah satu,
sekalipun berbeda dalam detailnya.45
Dalam ayat al-Quran Allah menggambarkan sifat-sifat manusia dalam mensikapi dunia
cenderung bersenang-senang dengan wanita, anak dan harta dari jenis emas dan perak, kuda
pilihan, binatang ternak, sawah ladang, yang semua itu merupakan kesenangan dunia, tetapi Allah
Swt adalah tempat kembali yang baik, dan kemudian dipertegas lagi dalam alQuran bahwa
manusia itu sangat menyenangi harta kekayaan. Ayat-ayat tersebut memeberi gambaran
kecenderungan fitri manusia adalah cinta harta, sementara gambaran Tuhan mengenai harta
berpotensi sebagai la’ibun, lahwun, zinah, tafakhur, taka tsur, gurur, fitnah, dan sebagainya,
adalah jawaban Tuhan terhadap orang-orang kafir Quraisy yang mencari dan medambakan
kekekalan di dunia ini.46
Jawaban Tuhan ini seakan-akan menegasikan harapan mereka itu, artinya sangat tidak
mungkin mencari kekekalan di dunia, sebab demikian halnya dunia, kekekalan hanya ada di
akhirat, suatu kehidupan yang sesungguhnya. Hendaknya dunia dikelola secara baik, dan apabila
demikian Allah SWT menjanjikan akan memperoleh balasan yang besar (ajrun ‘azhīm). Hal ini
menunjukan bahwa fitrah manusia memiliki potensi kecenderungan terhadap materi-materi
duniawi, oleh sebab itu sikap zuhud menjadi sebuah keniscayaan. Dan menjadi faktor pemicu
manusia untuk bersikap zuhud terhadap dunia. Zuhud yang akan mengantarkan manusia untuk
44
Ibid., h. 6
45
Amin Syukur, loc. cit.
46
Ibid., h. 10
9
mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya, yakni menggapai ridha Tuhan. Dengan
menjadikannya materi duniawi sebagai sarana (wasilah) menggapai ridha-Nya, bukan menjadikan
materi duniawi sebagai tujuan hidup.
Melihat dari apa yang telah diuraikan oleh para pakar di atas, tentang faktor-faktor zuhud
dengan berbagai ragam perbedaanya, maka secara garis besar faktor-faktor munculnya zuhud
karena adanya ajaran Islam itu sendiri dan ajaran-ajaran non-Islam yang dinisbatkan kepadanya.
Adanya kesamaan ajaran agama lain yang mirip dengan zuhud, karena adanya agama-agama di
dunia ini yang mengajarkan kebaikan, dan hal ini bersifat universal. Lantas, bukan berarti ajaran
agama Islam mengadopsi dari ajaran-jaran tersebut.

E. Landasan Teori

Dalam wacana tasawuf, zuhud dimasukkan dalam pembahasan maqam. Maqam dalam
istilah Arab “maqamat” atau “stages” dan “stasions” dalam istilah Inggris adalah sebuah
posisi-posisi khusus yang “diduduki” oleh orang-orang tertentu untuk berada dekat dengan
Allah. Di dalamnya terdapat jalan yang panjang yang dapat melalui berbagai proses atau
tahapan.47
Buku-buku pengantar tasawuf tidak satupun menyebutkan secara mutlak tentang tingkatan
maqam yang ada. Berikut ini penulis kutipkan beberapa tingkatan maqam yang dikumpulkan
oleh Harun Nasution:
Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi, umpamanya memberikan dalam buku al-Ta’arruf li
Mazhab Ahl al-Tasawwu. Tobat – zuhud – sabar – kefakiran – kerendahan hati – tawakkal –
kerelaan – cinta – ma’rifat. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menyebut dalam al-luma’ : tobat – wara’
– zuhud – kefakiran – sabar – tawakkal – kerelaan hati.
Abu Hamid Al-Ghazali dalam Ihya ‘ulum al-Din memberikan: pembagian pada: tobat –
sabar – kefakiran – zuhud – tawakkal – cinta – ma’rifat – kerelaan. Menurut Abu al-qasim
Abd al-Karim al-Qusyairi,
maqamat itu adalah yang berikut: tobat – wara’ – zuhud – tawakkal – sabar – kerelaan.Dari
beberapa pembagian dan susunan maqam yang disebutkan di atas, yang paling umum dan sering
dirujuk adalah karya Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi yag tersusun dari maqam: tobat – wara’ – zuhud
– kefakiran – sabar – tawakkal – ridla. Masing-masing dari ketujuh maqam ini disoroti dan
diberi arti sesuai dengan cita penyucian hati secara sufi:
1) Maqam Taubat
Taubat adalah upaya pertama pemutusan ikatan keduniaan manusia. Dalam ajaran tasawuf
konsep taubat dikembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Namun yang
membedakan antara taubat dalam syariat biasa dengan maqam taubat dalam tasawuf
diperdalam dan dibedakan antara taubatnya seorang awam dengan taubatnya orang khawas.
Dzu al-Nun al- Misri mengatakan: “taubatnya orang-orang awam adalah taubat dari dosa-
dosa, taubatnya orang khawas adalah dari ghaflah (lalai mengingat tuhan).48
Bagi golongan khawas atau orang yang telah menjadi sufi, yang dipandang dosa adalah

47
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.
124
48
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h.
51.

10
ghaflah. Dengan demikian taubat merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama ke hidup
baru, yaitu selalu ingat kepada Tuhan sepanjang masa.
2. Maqam Wara’
Wara’ adalah meninggalkan segala yang subhat, yaitu menjauhi atau meninggalkan segala
hal yang belum jelas halal dan haramnya. Wara’ adalah salah satu etika Islam yang sangat
penting. Nabi bersabda: “ibadah itu sepuluh suku, sembilan dari padanya mencari halal”. Dan
“hendaklah kamu menjalankan laku wara’ agar kamu menjadi ahli ibadah”. 25
3. Maqam Zuhud
Zuhud adalah keadaan meninggal keduniaan dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi
seseorang harus menjadi zahid, setelah zahid barulah ia menjadi sufi. Aliran ini timbul sebagai
reaksi terhadap hidup mewah dari keluarga raja pada awal abad II hijrah. 26
4. Maqam Fakir
Fakir artinya tidak meminta lebih dari apa yang ada pada dirinya. Tidak meminta rezeki
kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban- kewajiban. Tidak meminta, sungguh pun
tidak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tapi tidak menolak.
Sikap ini mendapat penekanan dalam perilaku sufi. Dalam Alquran (Q.S. 35: 16)
ditampilkan kontras antara manusia yang memerlukan Tuhan dengan Tuhan yang tidak
memerlukan apapun, dan inillah salah satu akar yang mendasari konsep sufi mengenai
kemiskinan.27
5. Maqam Sabar
Sabar yang dimaksud dalam tasawuf adalah mampu menjalankan perintah Allah dan
menjauhi laranganNya. Selain itu mampu pula menerima segala cobaan yang diberikan Allah
kepada dirinya, tetapi tidak menunggu- nunggu datangnya pertolongan dari Allah. 28
6. Maqam Tawakkal
Tawakkal adalah menyerahkan sepenuhnya qadla dan keputusan kepada Allah. Seorang sufi
merasa dalam keadaan tentram jika mendapatkan pemberian berterima kasih jika tidak, tidak
apa-apa, tidak memikirkan hari besok, dan percaya kepada janji Allah.29
7. Maqam Ridla
Ridla adalah tidak berusaha dan tidak menentang ketentuan Allah. Merasa senang menerima
penderitaan sebagaimana merasa senang mendapatkan nikmat. Tidak meminta surga dan tidak
pula minta dijauhkan dari neraka.

F. PENGERTIAN DAN HAKIKAT TASAWWUF

Tasawuf merupakan khazanah ilmu dalam Islam, perkembangan tasawuf membawa


dimensi khusus yang dianggap sebagai cara khas yang ada dalam Islam, tasawuf adalah wasilah
(medium) yang ditempuh oleh seorang mukmin melalui proses upaya dalam rangka
menghakikatkan syariat lewat thariqat untuk mencapai makrifat 49 Menurut Abah Anom, tasawuf
berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. Gaya hidupnya sederhana, tetapi penuh
kesungguhan. Akhlak Rasulullah SAW. tidak bisa dipisahkan dari kemurnian cahaya Al-Quran.
Akhlak Rasulullah SAW itulah titik tolak dan titik perhentian tasawuf Islam.50
Ilmu ini dinamai ilmu tasawuf mengingat secara morfologis (lughah) tasawuf berasal dari
kata shafâ yang berarti bersih, jernih dan suci dari kotoran serta penuh dengan berbagai
49
Jamaluddin Kafie, Tasawuf Kontemporer, Jakarta: Mutiara Al-Amin Prenduan, 2003, hlm.8
50
Asep Salahudin, Abah Anom: Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya, Jakarta:
Penerbit Noura Books, 2013, Hlm. 160,
11
keteladanan dan bagi mereka emas tak lebih berharga daripada tanah lempung. Sedangkan arti
tasawuf secara terminologi diuraikan secara baik oleh Sayyid Nur bin Sayyid Ali, “sebagai
metode pendidikan spritual yang dianggap berada dalam derajat media temporal-transisional,
yang direkam untuk memperkokoh keimanan, mencapai derajat ihsan, mensucikan jiwa
(Tazkiyah Al-Nafs) dan memperbaiki hati (Ishlah Al-Qalb). Sehingga memudahkan seorang
hamba beriman mentaati Allah dan mentaati Rasulullah. Secara ringkas Sa‟id Hawa
mendefinisikan tasawuf sebagai, “berjalan menuju Allah, dijalan yang ditentukan Alla 51h, untuk
Baiquni menyebut kata tasawuf dengan arti suatu ilmu tentang kesucian diri dengan
menetapkan hati dan raga untuk beribadah dan menghubungkan diri kepada Allah SWT, agar
menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). Sementara Nicholson dalam didalam sebuah
makalah Kedudukan Tasawuf Dalam Islam, menyatakan bahwa terdapat lebih dari 78 pengertian
tasawuf yang salah satu diantaranya mengandung arti Al-Shafâ` yang berarti bahwa kegiatan dan
fokus utama perbuatan atau amaliah tasawuf adalah proses mesucikan diri kita sebagai manusia
yang beriman kepada Allah SWT., bebas dari keterikatan pada hal-hal yang menjauhkan manusia
dari Allah Swt.52
Tasawuf adalah nama yang diberikan bagi mistikisme dalam Islam, yang oleh para orientalis
Barat disebut sebagai sufism (sufisme). Kata sufisme dalam literatur barat, khusus dipakai untuk
mistikisme Islam, (Islamic Mysticism) atau mistik yang tumbuh dalam Islam. Sufisme atau
tasawuf (The Mystic Of Islam) tidak dipakai untuk mistikisme yang terdapat dalam agama lain,
Dengan demikian jelas bahwa sufisme telah diakui oleh dunia barat sebagai mistik yang murni
dalam Islam dan diakui telah memiliki sistematika keilmuan tersendiri. Sebagai kesimpulan,
pengertian dari berbagai asal kata dan tradisi tasawuf itu, dalam kamus A.S. Hornby definisi
tasawuf atau mistik, “Mistikisme adalah suatu ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan
tentang hakikat Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau kesadaran spritual yang bebas dari
campur tangan akal dan panca Indra.”53
Selanjutnya pembicaraan seputar tasawuf, akan didapati perselisihan dalam asal penamaan,
hakikat tasawuf, dan sejarah kemunculannya. Ibrahim Basyuni telah memilih empat puluh definisi
tentang tasawuf yang diambil dari rumusan ahli sufi yang diambil pada abad III, meskipun
definisi tersebut demikian banyak, belum didapati sebuah definisi yang mencangkup pengertian
tasawuf secara menyeluruh. Hal ini kata Basyuni disebabkan oleh karena para ahli tasawuf tidak
ada yang memberikan definisi tentang ilmunya sebagaimana filsuf. Ahli tasawuf hanya
menggambarkan tentang suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu
tertentu. Ibrahim Basyuni telah memilih empat puluh definisi tentang tasawuf yang diambil dari
rumusan ahli sufi yang diambil pada abad III, meskipun definisi tersebut demikian banyak, belum
didapati sebuah definisi yang mencangkup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Hal ini kata
Basyuni disebabkan oleh karena para ahli tasawuf tidak ada yang memberikan definisi tentang
ilmunya sebagaimana filsuf. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang suatu keadaan yang
dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu tertentu.54

51
Ahmad Dimyati, Dakwah Personal: Model Dakwah Kaum Naqsanbadiyah, Yogyakarta: Penerbit
Deepublish, 2016, Hlm. 20
52
Rani Anggraini Dewi, Menjadi Manusia Holistik, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2006, Hlm.102
53
Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika Dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Pengalaman
Mistik, Dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti, Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008,
hlm. 272.
54
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2008, hlm. 25
12
Ihsan Ilâhi Zhâhir seorang pakar madzab pemikiran dalam Islam menyebutkan bahwa para
ilmuwan telah berbeda pendapat untuk mencari asal kata dari tasawuf atau sufi. Dengan menukil
dari beberapa pendapat dari para sufi, pendapat-pendapat mengenai asal kata dari sufi adalah; Al-
Shafā` (ketenangan), Shafwa, kemudian juga disebukan dinamakan sufi karena mereka adalah
Shafā` Asrār (bersihnya hati), Shifatullah, Shaff Al-Awwal, Ahlussuffah, Al-Shūf (pakaian wol).
Kemudian menurut Ihsan Ilāhi sufi juga dipanggil dengan nama-nama lain yang berkesesuaian
dengan sifat mereka, Ghurabā`, Siyāĥūn, Syakafatiyyah (gua), Jū‟iyyah, Fuqarā`, Shūfiyyah,
Nūriyyah. Dan inilah nama-nama yang dikenal telah dilekatkan kepada kelompok ini, sedangkan
nama yang kemudian menjadi familiar yaitu dengan nama Shūfiyyah.55
Ibnu Taymiyyah menguatkan asal kata dari sufi, dengan sekaligus memberikan kritik atas
kata-kata tersebut. Al-Shuffah, kata ini kaitkan dengan arti adalah bahwa orang-orang sufi adalah
sekelompok kaum Muslimin yang tinggal disekitar masjid Nabawiy dan mereka bukanlah asli
penduduk Madinah tapi para transmigran (muhājirin) yang menetap disekitar Masjid Nabawi
dikarenakan kemiskinan mereka sehingga mereka menetap disana. Ibnu Taymiyyah mengoreksi
jika kata sufi berasal dari kata shuffah maka yang benar, mereka dinamakan dengan kata
Shuffiyyah. Al-Shafā`, maksud dari kata ini adalah bahwa meraka orang yang tenang dalam
jiwanya dan baik dalam hal-hal yang rahasia. Namun Ibn Taymiyyah juga mengkritik kata ini,
jika asal kata sufi dari kata Al-Shafā` maka yang benar mereka akan dinamakan dengan
shafāiyyah atau shafwiyyah. Al-Shaff, yang dimaksud dengan kata ini sangat banyak, diantaranya
shaff pertama dalam shalat. Ibn Taymiyyah menjelaskan jika yang dimaksud kata sufi dengan
kalimah ini, maka seharusnya kalimat yang dipakai adalah shafiyyah. Al-Shūfah, kalimat ini
muncul dari julukan seseorang yang yang bernama Al-Ghauts Ibn Mur, laki-laki ini dijuluki
dengan AlShūfah karena pada saat itu Al-Ghauts Ibn Mur menjadi pelayan di Kabah sendirian
sehingga dengan itu ia dijuluki manusia dengan AlShūfah. Menurut pandangan Ibn Taymiyyah
kata ini yang tepat yang bisa dijadikan padanan kata untuk kata shūfi.56 Dari sudut pandang
bahasa, tasawuf berasal dari kata shūf yang berarti kain yang terbuat dari kain wol. Pengambilan
definisi ini erat kaitannya dengan pakaian yang lazim dikenakan oleh orang-orang yang
mendalami tasawuf atau kaum sufi . Kain wol yang mereka pakai adalah kain wol kasar, bukan
wol yang halus dan mahal seperti sekarang ini. Pakaian wol ini dulu sebagai simbol
kesederhanaan dan kesahajaan. Dengan pakaian ini kaum sufi mengidentikan diri sebagai
kelompok yang bergaya hidup sederhana.
Secara terminologis, definisi tasawuf bermacam-macam. Setiap ulama dan imam sufi
mengungkapkan definisi tasawuf berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman batin yang mereka
alami masing-masing. Syaikh Markhuf Al-Kurkhi mengungkapkan bahwa tasawuf mengambil
hakikat dan putus asa terhadap apa yang ada ditangan makhluk. Sedangkan imam besar kaum
sufi, yaitu imam Junaid Al-Baghdâdi mengatakan bahwa tasawuf adalah keyakinan bahwa engkau
bersama Allah SWT tanpa penghubung dengan siapapun57 Dan kata tasawuf dapat memiliki
beberapa kemungkinan tentang asal usulnya diantaranya adalah berasal dari kata ibnu sauf yang
sudah dikenal sebelum Islam datang sebagai gelar seorang anak Arab yang saleh, yang selalu
mengasingkan diri dekat Ka‟bah guna mendekatkan diri kepada Tuhannya ia bernama Ghaus bin
Murr. Atau yang yang lain adalah kata tasawuf diambil dari perkataan suffah yang dipergunakan

55
Ihsan Ilâhi Dzâhir, Al-Tashawwuf Al-Mansya` Wa Al-Mashâdir, Pakistan: Idârah Tarjaman Al-
Sunnah, 1406 H, Hlm. 20-36
56
Ahmad Ibn Muhammad Banâni, Mawqifu Al-Imâm Ibn Taymiyyah Min AlTashawwuf wa Al-
Shūfiyyah, Riyadh : Dâr Al-Ilm, 1406 H, Hlm. 67-68.
57
________Majalah Cahaya Nabawi: Memahami Tasawuf, Edisi : 155, Desember 2016, hlm 27-28
13
untuk nama surat ijazah untuk orang naik haji. Bisa juga dimungkinkan berasal dari kata sophia
yang berarti hikmah atau filsafat.58
Untuk lebih jauh Zaki menawarkan kembali sebuat istilah dengan tasawuf Islami, “adalah
mempunyai pengertian membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya
dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai
kepada maqam yang tinggi.”59 Dan untuk inilah Al-Ghazâlî menarik pengertian tasawuf dari hadis
Rasulullah SAW. mengenai agama apa itu agama tentang Islam, Iman dan Ihsan untuk
memberikan kesan tentang tasawuf meruupakan ajaran Islam yang bersumber dari sifat Ihsan jadi
menurut Al-Ghazâlî tasawuf merupakan rukun dalam agama. 60
Pada akhir kesimpulan dalam perbedaan pendapat ini, tidak ada satu pendapat manapun yang
dianggap lebih tepat dari yang lain, maka setiap bagian kata akan digunakan untuk mewakili
eksistensi dari tasawuf. Jika tasawuf yang dimaksud adalah akhlak maka akan mengambil definisi
Al-Shafā`, jika tasawuf adalah zuhud maka akan diambil pengertian Al-Shūf, begitu selanjutnya,
dimana setiap bagian dari kata tasawuf dapat digunakan untuk menunjukan hakikat yang hendak
dibicarakan.

G. Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf

Begitu juga ketika bicara tentang sejarah munculnya tasawuf, sampai kepada
pelembagaannya, terdapat perbedaan pencatatan dan pendapat-pendapat tentang sebab
munculnya. Dalam muqaddimahnya Ibnu Khaldun mengatakan “Ilmu tasawwuf adalah salah satu
diantara ilmu-ilmu syariat yang baru dalam Islam. Asal mulanya ialah amal perbuatan ulama salaf
dari para sahabat, tabiin dan orang-orang sesudah mereka. Dasar tasawuf adalah ialah tekun
beribadah memutuskan jalan selain jalan menuju Allah berpaling dari kemegahan dan kemewahan
terhadap dunia, melepakan diri dari apa yang diinginakan oleh mayoritas manusia berupa
kelezatan harta dan pangkat, serta mengasingkan diri dari makhluk dan berkhalwat untuk
beribadah, yang demikian ini sangat umum dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf. Lalu
ketika manusia mulai condong dan terlena dengan urusan duniawi pada abad kedua dan
setelahnya, nama sufi mulai dikhususkan bagi orang-orang yang tekun beribadah saja.”
Muhammad shadiq Al-Ghumari mengatakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun mengenai
sejarah munculnya tasawuf ini diperkuat oleh pendapat yang disampaikan oleh Al-Kindi dalam
kita Wulât Mishr dalam pembahasan yang terjadi pada tahun 200 Hijriah. Pada waktu itu kota
Iskandariyah muncul sekelompok orang yang bernama sufi, yang menyeru kepada kebaikan.
Dalam pendapat Al-Mas‟udi dalam kitab Murūd Al-Dzahab, AlMas‟udi meriwayatkan dari
Yahya ibn Aktsam bahhwa pada suatu hari Khalifah Makmun sedang duduk di Istana, ketika Ali
ibn Shaleh masuk sambil berkata, “Wahai amirul mukminin ada seorang laki-laki diluar. Dia
memakai pakaian putih yang kasar dan memohon agar bertemu denganmu untuk mendiskusikan
sesuatu. Dan setahuku dia dari kalangan sufi.”
Haji Khalifah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali dinamakan dengan sufi adalah
Abu Hasyim Al-Shūfi yang wafat pada tahun 150 H, “Ketahuilah bahwa kaum muslimin sesudah

58
Safrudin Aziz, Pendidikan Seks Berbasis Terapi Sufistik Bagi LGBT, Penerbit: ernest, 2017, Kendal,
hlm. 147
59
Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, Solo: Penerbit Tiga Serangkai, 2006, cet. 2, Hlm.
3
60
Himawijaya, Mengenal Al-Ghazali For Teens: Keraguan Adalah Keyakinan, Bandung: Dar! Mizan,
2004, hlm. 55-56
14
Rasulullah tidak menamakan orang-orang yang paling utama diantara mereka dengan nama selain
„sahabat‟, sebab ketika itu tidak ada nama yang paling utama diantara mereka dari nama
„sahabat‟. Setelah era sahabat, manusia berselisih dan tingkatan mereka semakin bervariasi.
Orang yang tekun menjalankan agama disebut zāhid (ahli zuhud) atau „ābid (ahli ibadah).
Kemudian muncullah bid‟ah, dan setiap kelompok mengklaim bahwa didalam kelompok
mereka ada orang yang berlaku zuhud. Setelah itu ahli zuhud dari kalangan ahlussunnah yang
senantiasa memelihara hubungan mereka dengan Allah dengan menjaga hati mereka dari
kelalaian, menggunakan istilah tasawuf secara khusus. Istilah ini telah populer dikalangan mereka
sebelum abad kedua hijriah”61
Setelah itu perkembangan tasawuf semakin berkembang, sehingga memunculkan dua cabang
tasawuf yaitu tasawuf Tarikati yang kemudian dikenal dengan nama Tasawuf Ahli Sunnah, dan
Tasawuf Falsafi. Dan ajaran Tasawuf yang dicerna dengan baik oleh seluruh umat Islam di Dunia
adalah Tasawuf Tarikati. Menurut Kamil Mushtafa Al-Syibi bahwa tokoh pertama yang
memperkenalkan sistem tarikat dalam ajaran tasawuf adalah Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad
yang ajarannya menyebar luas di Al-Jazāir, Ghana, dan Indonesia.
Dan corak tasawuf falsafi mulai menemukan momentumnya pada abad ke-3 dan ke-4 dengan
munculnya al-Husain Ibn Manshūr AlHallaj dengan doktrin hululnya. Sehingga pada abad ke-5 H
Imam AlGhazali tampil untuk menentang jenis-jenis tasawuf yang dianggap tidak sesuai dengan
Al-Quran dan Sunnah dalam upaya untuk mengembalikan tasawuf status semula sebagai jalan
zuhud, pendidikan jiwa dan dan pembentukan moral. Dan sejak kemunculan Imam AlGhazali
Tasawuf semakin menyebar di dunia Islam. Akan tetapi bukan berarti orieantasi tasawuf falsafi
pada tataran ide wahdatul wujūd berhenti, pada abad ke-6 H Syaikh Al-Akbar Ibn Al-„Arabi dan
diikuti oleh beberapa tokoh tasawuf lain, menggagas ide aliran wahdat alwujud yang
mengarahkan tasawuf pada kebersatuan terhadap Allah. Kemudian dalam wacana polemik dua
kutub tasawuf tersebut muncullah seorang tokoh tasawuf yang terinspirasi dengan konsep tasawuf
Imam Al-Ghazali yaitu Syaikh Abdul Qadir, dan Syaikh Ahmad Al-Rifā‟i. Dan kemudian
setelahnya masih pada abad ke-6 muncul tokoh tasawuf Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili yang
mencoba untuk menengahi tasawuf Al-Ghazali dengan tasawuf falsafi. 62
Ada paparan menarik yang diungkapkan oleh Hitti, tentang perkembangan ajaran tasawuf,
“Pada mulanya tasawuf berkembang sebagai gaya hidup asketis, lebih khusus lagi kontemplatif,
sebagaimana dipraktekan oleh para pendeta kristen.
Pada abad ke-2 dan seterusnya tasawuf berkembang menjadi gerakan sinkretis menyerap
berbagai elemen dari Kristen, NeoPlatonik, Gnostisisme, dan Budhisme, serta berkembang
melalui tahaptahap mistis, teosofis, dan panteistis. Pakaian wol dipakai diadopsi sebagai pakaian
khas mereka, meniru pendeta kristen yang juga menjadi model penerapan gaya hidup selibat yang
tidak pernah diterapkan sebelumnya oleh kalangan muslim ortodoks.
Praktik meditasi ditempat yang sunyi, dan kebiasaan berjaga malam atau yang semisalnya
menunjukkan adanya pengaruh monastik suriah, kelompok sufi yang berkembang pada abad ke-
13 M mengembangkan konsep relasi antara guru dengan muridnya. Konsep relasi ini erat
hubungannya dengan model relasi antara pendeta dan murid pemula dalam tradisi kristen, juga
serupa dengan aliran-aliran monastik lainnya, meskipun ada hadis kondang yang berbunyi, “tidak
ada kependetaan (rahbaniyyah) dalam Islam”.

61
Abdul Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, Jakarta: Qisthi Press, 2005, Hlm. 12-13.

62
Muhammad Solikhin, Menyatu Diri Dengan Ilahi, Yogyakarta: Narasi, 2010, Hlm. 25-37.
15
Ritual keagamaan dalam tareqat yang disebut dzikr, merupakan satu-satunya ritual dalam
Islam yang rumit dan berbeda dengan praktrik litani dalam kristen. Tradisi-tradisi eskatologis sufi
dengan ajaran antikristusnya menganjurkan bahwa setiap tarekat mesti mendapatkan pengikut-
pengikut baru diantara orang-orang yang baru masuk Islam.
Fenomena semacam itu merupakan gambaran dari bentukbentuk monoteisme yang lebih tua.
Istilah sufi pertama kali dalam literatur arab pada pertengahan abad ke-9 M yang merujuk pada
golongan asketis tertentu. Orang pertama yang mendapatkan julukan sufi adalah seorang ahli
klenik ternama Jābir Ibn Hayyān (w. 776 M) yang mengembangkan ajaran asketiknya sendiri.
Sufi yang sezaman dengannya, Ibrahim Ibn Adham (w. 776 M) dari Balkh bisa dijadikan
sebagai model gerakan asketisme diam yang muncul paling awal. Berkat rangsangan dari ajaran
Kristen dan gagasan Yunani, asketisme Islam berkembang menjadi ajaran mistik mulai abad ke-2
H.
Maka setelah itu tasawuf dianggap sebagai manajemen emosi untuk memurnikan jiwa
manusia, sehingga asketisme memungkinkan manusia untuk mencintai, mengetahui dan bersatu
dengan tuhan. Tetapi sufi pertama dari mazhab mistik, bukan dari mazhab asketik adalah Ma‟rūf
Al-Karkhī dari Baghdad yang meninggal pada tahun 815 M. Pada awalnya ia beragam Kristen,
atau mungkin penganut kaum Saba. Setelah menjadi orang Sufi, ia diyakini sebagai orang yang
terserap dalam mabuk Tuhan, dan dianggap sebagai orang suci atau wali.” 63 Kemudian
ditambahkan menurut Ibn Taymiyyah bahwa kata sufiyyah tidak dikenal pada abad ke-3 H, dan ia
mulai dikenal setelahnya lewat ucapan-ucapan manusia setelahnya seperti Imam Ahmad Ibn
Hambal, Abu Sulaiman Al-Dārāniy dan selain mereka. Dan mereka tidak menetapkan dari mana
sebenarnya asal kata tasawuf atau sufi, namun mereka hanya menyebutkan dibeberapa ungkapan
mereka tentang nama Tasawuf. Dan menurut Ibn Taymiyyah bisa jadi penamaan kelompok ini
dengan nama sufi dikaitkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
shahihnya; "Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah
memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan
pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk
memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk
melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau." (H.R.
Muslim)64
Dalam hadis ini diketahui bahwa memakai pakai wol merupakan tanda dari kemiskinan,
kelemahan dan kesempitan, dalam hal ini orang-orang yang memakai pakaian wol sudah ada pada
masa Nabi SAW. Kemudian dalam hadis riwayat Imam Ahmad juga diutarakan tentang orang-
orang yang menemui Nabi SAW. dalam keadaan miskin dimana mereka memakai pakai dari wol;

“Artinya: Telah menceritakan Abu Burdah bin Abdullah bin Qais dari Bapaknya berkata;
Bapakku berkata; "Kalaulah kamu tahu apa yang ada pada kami sewaktu kami bersama

63
Philip Khuri Hitti, History Of The Arabs, Jakarta: Serambi, 2006, Terjemahan, Hlm. 547-548.
64
Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusairiy An-Naisabūri, Shahīh Muslim, Riyādh: Bait Al-Afkar, 1419 H, Bab
Zakat, No. 4830
16
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam ketika kami tengah tertimpa hujan lebat, tentulah kalian
mengira bau kami adalah (bau) domba sedang kami memakai kain wol."

Pada masa itu pakaian terbaik adalah pakaian yang terbuat dari kapas, maka orang-orang
yang miskin tidak akan sanggup membeli pakaian yang terbuat dari kapas sehingga mereka
memakai pakaian dari kain wol. Kemudian dalam hadis yang lain yang diriwayatkan dari Imam
Muslim dan Ahmad;

Dari Nafi' bin Utbah berkata: Kami bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam dalam
suatu peperangan. Ia berkata: Suatu kaum mendatangi nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam
dari maghrib, mereka mengenakan baju wool, mereka menemui beliau didekat suatu bukit.
Mereka berdiri sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam duduk. Ia (Nafi')
berkata: Hatiku berkata: Datangilah mereka dan berdirilah diantara mereka dan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam agar mereka tidak menyerang beliau lalu aku
berkata: Mungkin beliau berbicara lirih dengan mereka. Aku mendatangi mereka lalu aku
berdiri diantara mereka dan beliau. Aku menghafal empat kalimat dari beliau, aku
menghitungnya dengan tanganku. Beliau bersabda: "Kalian akan memerangi jazirah arab
lalu Allah menaklukkannya, setelah itu Persia lalu Allah menaklukkannya, kemudian kalian
memerangi Romawi lalu

Allah menaklukkannya, selanjutnya kalian memerangi Dajjal lalu Allah menaklukkannya."


Kemudian Nafi' berkata: Hai Jabir, kami tidak berpendapat Dajjal muncul hingga Romawi
ditaklukkan. (H.R. Muslim)65

Inilah hadis-hadis yang menerangkan tentang pakaian wol yang sudah dipakai oleh
manusia-manusia yang hidup pada masa Nabi SAW. dimana mereka dilekatkan dengan
kemiskinan dan kelemahan. Dari hadis-hadis ini menerangkan bahwa kebayakan masyarakat arab
badui yang tinggal diperkampungan-perkampungan yang jauh dari pusat kota mereka memakai
pakaian yang terbuat dari kain wol yang berasal dari bulu-bulu domba dan mereka memakai
pakaian tersebut baik dalam keadaan panas maupun dalam keadaan dingin. Namun setelah itu,
orang-orang yang memakai pakaian wol adalah orang-orang yang hendak menunjukan sifat
zuhud, tawādu‟, menjauhi dari kelezatan dunia. Maka dengan ini Imam Ahmad Ibn Hambal, juga
Ibn Taymiyyah dan para ulama hadis lebih cendrung mengartikan sufi dengan arti shūf (pakaian
65
Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusairiy An-Naisabūri, Shahīh Muslim, Riyādh: Bait AlAfkar, 1419 H, Bab
Fitnah Dan Tanda Kiamat, No. 5161
17
wol). Dan ada hadis lain yang menguatkan pendapat mereka bahwa pakaian wol merupakan
pakaian yang lekat dengan kezuhudan dan ketakwaa, sebuah hadis dari Tirmidzi;

H. Kedudukan Zuhud Dalam Tasawuf

Secara etimologis ulama‟ berbeda pendapat tantang asal-usul kata tasawuf, namun yang paling
tepat tasawuf berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap
kesederhanaan para sufi maupun aspek kesejarahan. 66
Melihat dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan subjektivitas
masing-masing sufi, maka, Ibrahim Basyuni mengklasifikasikan definisi
tasawuf ke dalam tiga varian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, al-bidayah, kedua, al-
mujahadah, dan ketiga, al-mazaqat.67
Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri
manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri
karena di balik yang ada terdapat Realitas Mutlak. Karena itu muncul kesadaran manusia untuk
mendekati-Nya.68
Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas
Mutlak yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan,
maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak
tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas
Mutlak.69
Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan
rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada
sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Tahap ini dapat disebut tahap pengalaman atau penemuan mistik. 70
Dalam rangka untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan
panjang yang berisi station-station yang disebut maqa>mat dalam istilah Arab atau stares dan
station dalam istilsh Inggris. Al-Tusi mendefinisikan maqa>mdengan tingkatan seorang hamba
di hadapan Allah, dalam hal ibadah dan latihan jiwa (mujahadah dan riyadah) yang
dilakukannya. Adapun maqam itu ialah taubah, wara’, zuhud, faqr, sabr, tawakkul dan rida.
Tampaklah di sini bahwa zuhud secara normatif dan doktrinal merupakan salah satu
maqamdalam tasawuf.71
Dalam perkembangannya ternyata tasawuf mengalami kecenderungan yang berbeda-beda
sehingga melahirkan pola-pola tasawuf, sebagaimana dikemukakan Muhammad Mustafa Abu
al-‘Ala ketika mengomentari perkembangan jalan tasawuf dalam al-Munqiz min al-Dalal.

66
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern..., hlm.11.
67
Ibid., hlm. 11-12.
68
Ibid.
69
Ibid.
70
Ibid.
71
Ibid.,hlm. 13-14. 86Ibid.,hlm.
14.
18
Menurutnya terdapat empat jenis macam tasawuf. Pertama , tasawuf Isawi , yakni identifikasi
diri kepada kehidupan Isa a.s., yaitu tasawuf yang lebih menekankan pada latihan rohani melalui
jalan mengurangi makan sedikit demi sedikit. Kedua, tasawuf teoritisatau menurut istilah Abu al-
Wafa disebut tasawuf falsafi, yaitu jenis tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi
mistis dengan visi rasional, dan pengungkapannya menggunakan terminologi filosofis. Ketiga,
tasawuf taqlidi, yaitu corak tasawuf yang yang menyerupai salah satu di antara keduanya, tetapi
tidak mampu mencapai sasaran salah satunya. Keempat, tasawuf Muhammadi, yaitu tasawuf
yang berkiblat kepada tradisi Nabi Muhammad saw. dan dipandang sebagai metode tasawuf
yang paling valid.86
Keempat corak tersebut masing-masing menempatkan zuhud sebagai maqa>makan tetapi
tampilan dan intensitas zuhudnya berbeda-beda. Yang pertama cenderung sampai memaksakan
diri, tidak memenuhi hak-hak jasmani sebagaimana dilakukan oleh Ibrahim Ibn Adham.
Sedangkan yang kedua kezuhudannya lebih menekankan kepada aspek intelektual, bukan
pengambilan jarak secara fisik dengan kehidupan dunia sebagaimana yang dilakukan oleh al-
Farabi. Yang ketiga tidak mempunyai corak yang jelas, tergantung kepada guru yang dianutnya
dan yang keempat mengambil corak moderat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw.72

I. Pemahaman Zuhud di Kalangan Ulama dan Peranannya dalam Konteks Kekinian

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Amin Syukur, tidak boleh
dilepaskan daripada dua perkara. Pertama, zuhud sebagai bahagian yang tak terpisahkan
daripada tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. 66 Apabila
tasawuf diertikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan
sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu maqam menuju tercapainya
“perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti
menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah.
Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia
dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi
kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan
memperbanyak dzikir.”67 Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan
mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang-kadang
pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi
meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat
Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang
seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang
sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di
sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat-sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti
ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. 68
Zuhud di sini bererti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan,
dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-
Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi
merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap
kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu
72
Ibid, hlm. 14-15.
19
tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. 69
Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan.
Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan
Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang
mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-
hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu,
sebagaimana diisyaratkan firman- firman Allah yang berikut: ”Dan begitulah Kami jadikan
kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan.” 70 “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah
kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi.”71 Sementara dalam hadits disabdakan: “Bekerjalah untuk duniamu
seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati
esok hari.”72
Selanjutnya pengertian zuhud menurut ilmu tasawuf, di mana tasawuf itu sendiri
merupakan bagian dari segi pengamalan ibadah dalam Islam, ia merupakan aplikasi dari rukun
ihsan yang bermakna adanya keyakinan akan hubungan langsung seorang manusia dengan
Tuhan-nya (hablun min Allah). Dalam tradisi tasawuf klasik, manusia yang ingin berjumpa
dengan Tuhan maka ia harus melakukan pengembaraan spiritual yang panjang dengan
senantiasa menghilangkan kecintaan terhadap gemerlapnya dunia, yang konon sebagai hijab
yang bisa menghalangi bertemunya manusia dengan Tuhan. Dalam tradisi tasawuf sikap ini
yang kemudian dikenal sebagai zuhud.
Dalam Islam, zuhud mempunyai pengertian khusus. Zuhud bukanlah kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi. Akan tetapi ia adalah hikmah pemahaman yang membuat para
penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap
bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu
mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. 73
Di samping itu zuhud mempunyai makna, hendaklah seseorang menjauhkan diri dari hawa
nafsunya. Dengan kata lain hendaklah dia membebaskan dirinya secara penuh dari segala hal
yang menghalangi kebebasannya.
Dengan demikian zuhud dalam Islam adalah suatu metoda kehidupan yang berusaha
mengurangi nikmat kelezatan hidup, dan berpaling dari keterpesonaan terhadap kelezatan itu.
Sehingga dengan begitu terealisasilah kebebasan manusia, yang tercermin dalam
keterhindarannya dari hawa nafsunya, dengan berdasar kehendaknya sendiri sekalipun ketika itu
dia sebenarnya bisa saja memenuhi hawa nafsunya, misalnya, namun keimanan- nya kepada
Allah, pahala-Nya dan azab-Nya di akhirat, menghalanginya untuk berbuat seperti itu.
Demikian halnya dengan konsepsi beberapa tokoh tentang zuhud, mereka memiliki
konsepsi yang berbeda dalam memandang dan menghadapi dunia serta kemewahannya. Zuhud
dalam pandangan Hasan al-Basyri adalah dunia merupakan tempat kerja bagi orang yang
disertai perasaan tidak senang dan tidak butuh kepadanya, dan dunia merasa bahagia
bersamanya atau dalam menyertainya. Barang siapa menyertainya dengan perasaan ingin
memilikinya, dan mencintainya, dia akan dibuat menderita oleh dunia serta diantarkan pada hal-
hal yang tidak tertanggungkan oleh kesabarannya. 74
Abdul Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan al-Basyri pernah mengatakan: “Aku
pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal dari pada yang
haram”. Dari apa yang disampaikan secara otomatis ia membagi zuhud pada dua tingkatan,
yaitu zuhud terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer, sedangkan
20
yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang yang halal, suatu tingkatan zuhud yang
lebih tinggi dari pada yang sebelumnya. Dan Hasan al-Basyri telah mencapai tingkatan yang
kedua, sebagaimana diekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan
minuman, bahkan dia pernah mengatakan, seandainya menemukan alat yang dapat dipakai
untuk mencegah makan pasti akan dilakukan, katanya: “aku senang makan sekali dapat kenyang
selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air selama- lamanya”. 75
Hasan al-Basyri terkenal berpengetahuan mendalam, terkenal pula keasketisan dan
kerendahan hatinya. Al-Thusi dalam kitabnya, al-Luma’, meriwayatkan, suatu ketika dikatakan
pada Hasan al-Basyri: “Engkau adalah orang yang paling etika! Hal apakah yang paling
bermanfaat, baik untuk masa singkat atau lama?” Jawabannya: “mendalami agama! Sebab itu
arah kalbu orang-orang yang menuntut ilmu, sikap asketis dalam hal duniawi, memperdekat
pada Tuhan semata, dan mengerti apa yang dianugerahkan Allah kepadamu. Di dalamnya
terkandung kesempurnaan iman”.
Di antara pernyataannya yang terkenal adalah: “seorang faqih adalah yang asketis dalam
hal duniawi, yang tahu terhadap dosanya, dan yang selalu beribadah kepada Allah. ”
Pendapatnya tentang zuhud: “dunia adalah tempat kerja bagi orang yang disertai perasaan tidak
senang dan tidak butuh kepadanya, dan dunia merasa bahagia bersamanya atau dalam
menyertainya. Barang siapa menyertainya dengan perasaan ingin memilikinya, dan
mencintainya, dia akan dibuat menderita oleh dunia serta diantarkan pada hal-hal yang tidak
tertanggungkan oleh kesabarannya.”76
Hasan al-Basyri dalam melakukan zuhud hatinya selalu diliputi rasa ketakutan dan
kekhawatiran jangan sampai apa yang dia lakukan tidak mendapatkan perhatian dari Allah swt.
Sikap mental ini yang kemudian dikenal dengan khauf dan raja’.
Khauf menurut Hasan al-Basyri adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah.
Khauf dalam hal ini bermakna takut karena kurang sempurna pengabdiannya, takut dan khawatir
kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu
berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Khauf merupakan aspek yang tidak terpisah dari zuhud. Karena khauf tersebut merupakan
tipe kezuhudan Hasan al-Basyri. Khauf senantiasa meliputi perasaan Hasan al-Basyri, bila ia
duduk seperti tawanan perang yang menjalani sangsi dipukul pundaknya, dan jika disebutkan
kepadanya tentang neraka, sepertinya neraka itu diciptakan untuknya.
Perasaan al-Khauf (takut) baginya merupakan sebuah “hal” (kondisi) dari beberapa ilmu.
Perasaan khauf ini menjadi salah satu maqam (tingkatan) pemberian Allah bagi seorang yang
‘Arif Billah. Allah Swt berfirman, Artinya : “dan barang siapa yang takut saat menghadap
Tuhannya, dia akan memperoleh dua surga. ” (Q. S. ar-Rahman: 46)
Dalam hal ini, Hasan al-Basyri mengaitkan khauf sebagai al-Hal dalam salah satu maqam
untuk mencapai “keyakinan” (al-Yaqin). Allah swt berfirman, Artinya: “dan sembahlah
Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan” (Q. S. al-Hijr: 99)
Untuk mencapai keyakinan ini, harus ditempuh melalui perasaan takut kepada Allah swt.
yaitu dengan mengembangkan sikap mental yang dapat merangsang seseorang melakukan hal-
hal yang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan khauf timbul
karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga ia merasa khawatir
kalau-kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah
Sementara raja’ berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan
nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh. Menurut Hasan al-Basyri
setelah perasaan khauf tertanam dalam hati, maka harus dibarengi dengan pengharapan (raja’).
21
Oleh karena Allah Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang, maka seorang hamba yang taat
merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi. Jiwanya penuh pengharapan akan
mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah,
karena merasa hal itu akan terjadi. Perasaan optimis akan memberi semangat dan gairah
melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu, karena Allah adalah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Demikianlah zuhud dalam pandangan Hasan al-Basyri, akan tetapi di sisi lain terdapat
suatu kondisi yang sangat menarik bahwa zuhud merupakan sikap yang dapat diartikan sebagai
moralitas atau akhlak Islam, yaitu suatu moral yang harus dimiliki oleh umat Islam dalam
memandang dan menghadapi gemerlapnya materi. Yaitu kondisi diri yang tidak tertarik dengan
dunia dan berusaha untuk menjauhinya.
Dari paradigma di atas, pertanyaan yang paling mendasar adalah apa sesungguhnya yang
melatarbelakangi pemikiran Hasan al-Basyri, hingga ia berusaha hati-hati dan menjauhi
kehidupan dunia? Secara sosiologis ternyata apa yang dilakukan oleh Hasan al-Basyri tidak lain
adalah sebagai gerakan protes sosial atas kondisi sosio-historis dan sosio-kultural pada masanya,
yaitu terjadinya ketimpangan-ketimpangan sosial dalam sendi kehidupan masyarakat dan sistem
pemerintahan.
Sementara pada abad XIX dan XX yang dikenal dengan zaman modern, situasi dan
keadaan berbeda dengan kehidupan pada masa sebelum- nya. Kalau pada masa sebelumnya
dunia dipandang sebagai kehidupan yang hina dan harus dijauhi, maka pada masa kini dunia
bukan merupakan suatu yang hina, akan tetapi menjadi sarana untuk meningkatkan ketakwaan
kepada Allah swt.
Fazlur Rahman (1338 H/1919 M.) seorang ulama yang hidup di penghujung abad XX
misalnya, memiliki konsepsi tentang zuhud, bahwa dunia merupakan hal yang sangat penting
bagi kehidupan manusia. Ia sangat menolak adanya pandangan yang negatif dan menjauhkan
diri dari dunia. Baginya dunia merupakan ladang untuk beraktivitas dan sebagai sarana untuk
meningkatkan semangat spiritualitas keagamaan. Konsepsi inilah yang kemudian dikenal
dengan Neo-Sufisme.
Zuhud merupakan salah satu amalan yang mengakar di sebagian kalangan umat Islam.
Mereka mengamalkan karena memahami dan meyakini sebagai bagian dari pengamalan
keagamaan yang absholut. Prilaku zuhud diposisikan sebagai langkah penyucian bathiniah,
dalam upaya membangun cinta kepada Allah swt. dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab itu
zuhud dianggap sebagai maqam (tahapan) mulia menuju Allah swt.
Dalam prakteknya, prilaku zuhud identik dengan kesederhanaan, jauh dari kemilau dunia
dan keindahan materi. Orang yang khusyu dalam dunia zuhud, akan menyucikan dirinya dari
urusan materi dan kepentingan duniawi, melarutkan diri dalam zikir, wirid dan ibadah hablu
min Allah lainnya. Bahkan di antara prilaku zuhud dengan meninggalkan harta dan mengharam-
kan diri dari kenikmatan duniawi.
Rabiatul ‘Adawiyah seorang sufiah mengamalkan kezuhudannya dengan kemiskinan yang
memprihatinkan. Ia tidur di atas tikar yang kumal, berbantalkan batu, dan minum dengan bejana
yang sudah pecah. Dengan kondisi itu, sebuah ucapan Rabi’ah yang terkenal, “Jika Allah
menakdirkan aku dengan kondisi seperti ini, maka tugas yang harus aku lakukan adalah
menerimahnya dengan tawakkal”.
Kisah Rabiatul Adawiyah dengan perilaku zuhudnya, menggambarkan kuatnya hubungan
antara kenyataan yang harus diterima sebagai takdir dengan tawakkal kepada Allah swt. Yang
menjadi pertanyaan, apakah prilaku zuhud adalah pengamalan sunnah Nabi saw al-Muttaba’ah
22
(diikuti) atau hanyalah pelarian atas ketidakberdayaan diri dalam mengatasi problema hidup
dengan kemiskinan dan kepapaannya, yang boleh jadi memang di jalan itu, ia menemukan
ketenangan jiwa. Keadaan hidup Rasulullah saw yang sangat sederhana; tidur beralaskan tikar,
mengganjal perut dengan batu, terpaksa puasa sunnat karena tidak ada yang bisa dimakan,
apakah semuanya itu merupakan cerminan prilaku zuhud dan apakah prilaku Rasulullah saw
tersebut merupakan sunnah fi’liyah yang dengan sendirinya menjadi sunnah yang diiukuti atau
hanyalah keadaan hidup pribadi Rasulullah saw sebagai manusia biasa saja. Inilah yang akan
diteliti dalam penelitian tesis ini nantinya seputar pemahaman hadis terhadap hakikat atau
maknasebenarnya dari zuhud.
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya bahwa kehidupan zuhud merupakan awal
kehidupan tasawuf yang merupakan reaksi atau protes moral spiritual atas kondisi pada waktu
itu,77 yang kemudian membawa sikap isolasi para sufi terhadap dunia, dan sikap sinisme politik
yang menimbulkan pesimisme. Misalnya saja Fazlur Rahman, ia sangat tidak sepakat dengan
pemaknaan zuhud yang demikian, baginya pesimisme dan isolasionisme seperti itu bertentangan
dengan ajaran al-Quran, sebab yang utama dalam al- Quran adalah imlpementasi aktual dari
citra moral secara realistik dalam suatu konteks sosial.78
Konsep zuhud menurut Fazlur Rahman terlihat pada penolakannya terhadap sikap isolasi
terhadap dunia dan menjauh dari kehidupan masyarakat. Menurutnya antara individu dan
masyarakat tidak bisa dipisahkan, tidak ada individu tanpa masyarakat dan sebaliknya. Tujuan
utama al-Quran ialah tegaknya sebuah tatanan sosial yang bermoral, adil dan dapat bertahan di
muka bumi. Konsep takwa hanya memiliki arti dalam sebuah konteks sosial. 79 Pemikiran ini
adalah sikap penentangan terhadap hidup eksklusif yang banyak dilakukan para sufi. Kesucian
seseorang bukan karena keterasingan dari dunia dan proses sosial, tetapi berada dalam gerakan
menciptakan sejarah.
Disamping itu Fazlur Rahman tidak sepakat atas pengalaman ektase para penganut tasawuf
falsafi seperti yang pernah dialami oleh Abu Yazid al- Busthami, Ibn Arabi, al-Hallaj dan
sebagainya. Menurutnya mereka telah melakukan “penambahan” dalam agama. Karena ektase
(fana’ diri) yang dijalaninya telah menyebabkan pengisolasian diri yang dianggap sebagai the
ultimate goal atau perjalanan manusia menuju Khaliknya. Penolakan Rahman tersebut
berdasarkann pada perilaku Rasulullah. Menurutnya, seandainya ekstase diri para sufi itu
dianggap sebagai religious experience (pengalaman agama), maka Rasulullah pun
mengalaminya. Tetapi pengalaman zuhud bukan sebagai titik akhir apalagi mengisolasikan diri
dari kehidupan duniawi, melainkan tampil dalam bentuk social movement atau gerakan sosial.
Sebab kesucian seseorang bukan karena keterasingannya dari dunia dan prosessosial, namun
harus berada di dalamnya dalam bentuk gerakan menciptakan sejarah. Konteks sosial-historis
kemanusiaan, memberikan tanggapan kritis dan pemikiran alternatif untuk keberadaannya
khususnya menghadapi masa depan. Selain itu dikaitkannya dengan berbagai bidang keislaman
seperti teologi, fiqh, politik, dan doktrin-doktrin ortodok Islam secara kontekstual-sosiologis.
Pada dasarnya gerakan zuhud Fazlur Rahman adalah sebuah gerakan moral yang
menandaskan, betapa pentingnya usaha-usaha interiorisasi, pendalaman dan penyucian terhadap
motif moral dan memperjuangkan kepada umat manusia mengenai tanggung jawab yang maha
berat yang dibebankan dalam hidup ini ke atas pundak manusia. Inilah yang sebetulnya model
gerakan yang didukung oleh al-Quran dan al-Hadits Nabi saw.
Dari konsep zuhud tersebut di atas, Fazlur Rahman mencoba menampilkan pemaknaan
yang lain, yaitu zuhud yang cenderung menimbulkan aktivisme dan menanamkan kembali sikap
positif terhadap dunia. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan Neo-Sufisme.
23
Menurut Rahman Neo-sufisme adalah jenis zuhud atau zuhud yang telah diperbaharui, di
mana ciri dan kandungan asketik klasik (benci terhadap dunia) serta metafisisnya (pengalaman
ektase) sudah dihilangkan dan diganti dengan kandungan dari dalil-dalil ortodoksi Islam. 80
Menurutnya lagi bahwa metode zuhud baru ini menekankan dan memperbaharui faktor moral
asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dan menyisihkan ciri-ciri ekstrimis (berlebihan)
dalam tasawuf populer yang dipandang unortodox sufism (menyimpang). Dengan demikian,
pusat perhatian Neo-Sufisme adalah upaya rekonstruksi sosial-moral kaum muslimin. Atau
secara epistimologis konsep zuhud yang berdasarkan pada tiga prisip dasar yaitu (1) mengacu
pada normativitas al-Quran dan al-Sunnah, (2) menjadikan Nabi dan para salaf al- shalihin
sebagai panutan dalam aplikasinya dan (3) berprinsip pada sikap tawazun dalam Islam
(penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam praksis
sosial).
Prinsip inilah yang membedakan dengan konsep zuhud Hasan al- Basyri yang lebih
menekankan kesalehan individual dari pada kesalehan struktural (sosial). Sebagai
konsekuensinya, Rahman menunjukkan keseluruhan karakteristik Neo-Sufisme tidak lain adalah
puritanis dan aktivis. Maka dengan demikian Neo-Sufisme Fazlur Rahman dengan kerangka
pemikiran back to Qur’an and Sunnah yang begitu kuat, akan melahirkan alternatif kehidupan
sufistik di masa sekarang sesuai dengan tantangan zaman yang semakin berkembang.
Hasil pemikiran seseorang senantiasa dipengaruhi oleh latar belakang sosio-kultural begitu
pula pemikiran Hasan al-Basyri dan Fazlur Rahman. Kedua tokoh ini hidup pada abad dan
tempat yang berbeda, Hasan al-Basyri hidup pada abad klasik yaitu pada abad III Hijriyah di
kota Bashrah, di mana pada masa itu terjadi kericuhan dalam system sosial politik dan
morosotnya moral para penguasa Dinasti Umayyah sementara Fazlur Rahman hidup di abad
XIX dan XX di Pakistan dimana pada masa itu adalah masa yang penuh dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta system perekonomian yang semakin maju. Kondisi ini
menggambarkan keadaan di mana sangat dibutuhkannya seorang ulama yang dapat melakukan
protes sosial terhadap system sosial-politik yang ada, menumbuhkan semangat keagamaan,
menguraikan gejolak jiwa terhadap masalah-masalah keduniaan, membangkitkan keyakinan
terhadap akhirat, cinta Allah dan menjadikan kehidupan duniawi sebagai bagian untuk
menggapai kehidupan bahagia yang lebih kekal.
Perbedaan konsep zuhud antara ulama salaf dan khalaf terlihat pada pemahaman berikut.
Bahwa Hasan al-Basyri menyadari akan arti pentingnya hidup menurut ajaran Islam, bahwa
dunia ini tidak kekal dan penuh tipuan. Apalagi dihadapkan pada realitas sosial yang kurang
mencerminkan nilai- nilai keislaman di masanya, di mana pada waktu itu terjadi krisis moralitas
terutama di kalangan penguasa. Oleh karena itu beliau memilih jalan kezuhudan dalam rangka
melaksanakan ajaran agamanya dan menyelamatkan diri dari praktek-praktek atau sesuatu yang
kurang mendukung atau menghalangi untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Sementara Fazlur Rahman memiliki konsepsi bahwa dunia merupakan hal yang sangat
penting bagi kehidupan manusia. Ia sangat menolak adanya pandangan yang negatif dan
menjauhkan diri dari dunia. Baginya dunia merupakan ladang untuk beraktivitas dan
meningkatkan keagamaan.
Tampaknya profil zuhud Hasan al-Basyri ditinjau dari aspek pengamalan ibadah lebih
mementingkan kesalehan individual karena ia berusaha melakukan kontemplasi dan
memisahkan diri dari kehidupan masyarakat. Sementara profil zuhud Fazlur Rahman tidak
semata-mata berakhir pada kesalehan individual melainkan berupaya untuk membangun
kesalehan sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Konsep zuhud ini tidak hanya bermaksud
24
memburu sorga bagi diri sendiri dalam keterasingan, melainkan justru membangun sorga untuk
orang banyak dalam kehidupan sosial. Makna yang dapat diperoleh dari pemahaman ini adalah
alternatif pengembangan tasawuf untuk menghayati keberadaan Tuhan menuju pada
pengamalan perintah-Nya dalam pola tasawuf sosial.
Sedangkan persamaan konsep antara kalangan salaf dan khalaf, ditinjau dari aspek gerakan
moral dan protes, sesungguhnya memiliki tujuan yang sama. Hal ini dapat dilihat pada sikap
Hasan al-Basyri yang tidak sekedar lari dari ralitas sosial yang dihadapi dengan menyendiri
beribadah, tetapi beliau juga gencar melakukan kritikan dan perbaikan sendi-sendi kehidupan
masyarakat, terutama ditujukan terhadap penguasa yang zalim serta sistem kehidupan
masyarakat yang lebih cinta dengan kemegahan dunia untuk kembali menjalankan Islam
sebagaimana mestinya.
Demikian adanya dengan Fazlur Rahman misalnya, ia gencar melakukan perbaikan moral
masyarakat lewat konsep-konsep pemikiranya bahwa dunia bukanlah tujuan utama, akan tetapi
bagaimana dunia dapat dijadikan sebagai batu loncatan menuju kesalehan spiritual sekaligus
sebagai sarana untuk berbagi kasih, menjalin interaksi dan hubungan serta kepekaan sosial
dengan masyarakat.
Munculnya anomali (permasalahan) yang membedakan antara kalangan ulama salaf dan
khalaf perlu dianalisis melalui apakah sebenarnya yang melatar-belakangi pemikiran keduanya.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa akar permasalahan munculnya ekspresi zuhud dan
perjalanan spiritual Hasan al-Basyri, nampaknya dimotivasi oleh tiga faktor, faktor inilah yang
kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakannya yang muncul.
Pertama, adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang
diperagakan oleh umat Islam terutama para pembesar negeri dan para hartawan.
Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum Khawarij
dan polarisasi politik pada masa itu, menyebabkan Hasan al-Basyri terpaksa mengambil sikap
menjauhi kehidupan masyarakat ramai menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari
keterlibatan langsung dalam pertentangan politik, untuk mempertahankan kesalehan dan
ketenangan rohaniah. Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya gerakan Hasan al-
Basyri ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu gerakan yang sengaja
mengambil sikap ‘uzlah yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa. Dalam
pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan
pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam perjuangan duniawi.
Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, Hasan al-
Basyri mencoba membangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan
keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga, nampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan
ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan
moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas
paham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan
terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya.
Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam
agama, Hasan al-Basyri tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas. 81
Sementara konsep zuhud menurut Fazlur Rahman dilatarbelakangi oleh beberapa anomali
atau problemeatika yang dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada abad III H.
Anomali tersebut adalah: Pertama, anomali teologis yang berhubungan dengan pengalaman
ekstasik-fana’ dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil serta banyak ditandai oleh pemikiran-
25
pemikiran spekulatif-metafisis, misalnya hulul, wahdat alwujud, ittihad dan sebagainya. Kedua,
anomali non-formalistik yang berhubungan dengan dasar praktek-aplikatif tasawuf yang tidak
bersandar pada normativitas al-Quran dan al-Sunnah. Ketiga, anomali holistika, yang
berhubungan dengan aspek aksiologis (implementasi) tasawuf dimana para sufisme lebih
memilih sikap isolasi dari kehidupan dengan melakukan kontemplasi dan uzlah dan tidak mau
aktif dalam praksis kemasyarakatan.

26
27

Anda mungkin juga menyukai