A. Pendahuluan
Sebagai langkah pertama, kita perlu mengkaji kembali istilah Media itu
sendiri dan melihat padanannya dengan Pers. Tampaknya sudah menjadi
istilah umum bahwa insan pers sering mengidentikan dirinya sebagai
Media, sementara istilah Pers itu sendiri sepertinya tidak sebangun atau
sepadan dengan istilah Media. Pers mungkin salah satu bagian dari Media
tapi Media itu sendiri tidak identik dengan Pers, karena Pers akan
berkonotasi kepada aktivitas jurnalistik sementara media adalah wujud
penyelenggaraannya sebagai alat sistem komunikasi untuk
mendiseminasikan informasi kepada publik.
Dilihat dari asal usul katanya, Media adalah bentuk jamak dari Medium
yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sesuatu yang berada
ditengah-tengah dan/atau sesuatu yang bersifat netral [Webster Dictionary].
Media juga berarti suatu alat penghantar berkomunikasi. Penekanan dari
kata Media disini adalah keberadaan obyek, jadi pendekatannya haruslah
obyektif bukan subyektif. Sebagai suatu alat maka obyek tentunya tidak
akan dapat bertanggung jawab atau dimintakan pertanggung jawabannya
sendiri sehingga yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya adalah
pihak-pihak yang menyelenggarakan media itu sendiri. Penyelenggara
harus menjaga sifat netralitasnya dan mempertanggung jawabkan efek dari
komunikasi itu kepada publik baik terhadap kepentingan personal maupun
komunal atau bahkan kepada norma masyarakat itu sendiri.
Selain akibat multipersepsi atas kata “speech” dan “abridging” itu sendiri,
perbedaan pendapat dikalangan para Jurist (judges and scholars)
sebenarnyaa juga dikarenakan secara historis kata-kata itu memang
merupakan produk politik pada masa itu, dimana ada pertentangan antara
Federalist dengan State. Sehingga, semula kata-kata yang diusulkan
adalah ”No state shall violate…etc” menjadi ”Congress shall make no law…
etc”. Para juris di AS, telah menyadari bahwa legal nature dari kata-kata itu
dengan sendirinya adalah menjadi tidak absolute, sehingga dengan
sendirinya jurisprudensi lah yang menjadi pembimbing atau pedoman
dalam menerapkan ketentuan itu agar menjadi fair bagi semua pihak.
Bahkan untuk menentukan tujuan dan fungsinya saja, hal itu baru lebih
jelas pada saat Justice Brandeis mengemukakan pendapatnya dalam
putusannya pada kasus Whitney vs. California 71 L.Ed.1095, 1105-06
(1927).
Ada satu hal yang sangat menarik untuk dilihat dari keberadaan suatu
sistem informasi elektronik sebagai suatu Media yakni keberadaan
informasi sebagai keluarannya adalah ditentukan kepada sejauhmana
sistem security-nya dikembangkan baik secara tehnik, manajemen maupun
hukum. Keterpercayaan terhadap isi akan sangat ditentukan oleh
sejauhmana kehandalan dan validitas pemrosesannya yang tercermin
dalam keberadaan setiap procedures dan juga softwarenya, serta kejelasan
subyek hukum yang bertanggung jawab atasnya. Setelah dapat diyakini
bahwa sistem informasi itu layak dipercaya, barulah kita dapat menyatakan
bahwa jika memang sistem telah berjalan sebagaimana mestinya maka
selayaknya informasinya menjadi layak untuk dipercaya. Dengan
sendirinya, jika data yang dimasukkan adalah salah, maka hasil
keluarannya juga akan menjadi salah ”Garbage In Garbage Out,” bukan
sistemnya lagi yang dipersalahkan (malfunction) melainkan ”human error”
manusianya yang mengerjakan sistem itu. Implikasi hukumnya adalah,
sepanjang sistem telah dibangun dan diselenggarakan dengan baik (best
practices), maka pihak si pengembang dan si penyelenggara berhak
mendapatkan perlindungan hukum berupa pembatasan dalam pertanggung
jawabannya.
Beranalogi dengan hal tersebut, maka jika kita ingin mengatakan Pers
adalah suatu Media harus ada suatu standar kelayakan bagi si
penyelenggara jasa yang mengkelola Media itu. Ia baru layak dikatakan
sebagai suatu Media jika ia telah memenuhi standar tertentu dalam
penyelenggaraannya agar lebih jernih dalam merefleksikan kepentingan
masyarakat bukan kepentingan si penyelenggaranya. Ia juga dapat
membatasi tanggung jawabnya terhadap akibat substansi informasi yang
disampaikannya sepanjang ia telah berupaya sebaik mungkin (best
practices). Bahkan sekiranya ia telah mengemukakan standar prosedur
pengoperasiannya bahwa ia tidak melakukan sensor apapun, tanggung
jawab sepenuhnya justru akan kembali kepada si penulis. Dan pihak yang
merasa berkeberatan dapat langsung seketika itu juga memasukkan
koreksi dan hak jawabnya pada tempat yang sama dengan informasi itu.
Disini, para pembaca akan langsung dapat mencerna bahwa informasi itu
tengah dipersengketakan validitasnya. Dalam konteks ini, tidak sedetikpun
ia akan dirugikan, kecuali atas kelambanannya sendiri dalam merespon
suatu informasi.
Sehubungan dengan itu pula, ada juga satu pelajaran hukum yang
selayaknya dapat kita ambil dari kasus Napster di Amerika. Meskipun
keberadaan situs tersebut sebenarnya hanya sebagai suatu media
komunikasi bagi para anggotanya (peer to peer communication) untuk
saling bertukar koleksi lagu-lagu yang diperolehnya, namun sekiranya ia
bertentangan dengan sistem hukum yang ada khususnya Hak Cipta maka
keberadaannya dapat dihentikan (shut-down). Kesalahannya adalah
memfasilitasi tukar menukar lagu dimana ia mempunyai model bisnis
didalamnya, padahal tanpa harus ia fasilitasi masing-masing orang dapat
berkomunikasi secara langsung. Hal ini berakibat bahwa model bisnis
napster menjadi sebagaimana layaknya tukang tadah di pasar-pasar gelap.
Demi hukum, pengadilan terpaksa harus menghentikannya.
Oleh karena itu, jika Pers ingin dikatakan berfungsi sebagai media, saya
pikir tentunya ia harus berfungsi sebagaimana layaknya sistem informasi
elektronik yang didasarkan atas trustworthy suatu proses. Jika memang
sistem penyelenggaraan media nya yang sudah tidak mau taat hukum,
maka hasil output informasinya tentunya juga akan berhadapan dengan
hukum.
Dalam prakteknya sekarang ini, ada pers yang telah secara elegan
menyajikan informasi dan ada juga pers yang justru membuat galau dan
resah hati masyarakat. Bagaimana tidak, karena sepertinya memang tidak
ada satu tindakan apapun yang dapat dikenakan kepada sebagian insan
pers tersebut. Siapa yang dapat menyadarkan kalangan pers untuk secara
jernih memandang apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan ini.
Apakah memang ”kemerdekaan pers” diartikan sebagai kebebasan yang
sebebas-bebasnya tanpa batasan normatif. Bahkan akibat pendapat yang
mengatakan bahwa semestinya UU Pers adalah lex specialis dengan
berbagai macam alasan, KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara,
dalam UU Pers ketentuan pidana dirasakan tidak begitu berimbang. Barang
siapa yang menghalangi pers harus dipidana penjara dan denda,
sementara pers hanya dipidana denda saja. Lantas bagaimana halnya
dengan insan pers yang ternyata mengganggu hak orang lain, apakah
memang sudah ada dalam UU Pers ataukah memang hal seperti itu
sepatutnya tidak masuk dalam lingkup UU Pers. Jadi, apakah UU Pers
telah cukup mengatur semua tindak pidana yang mungkin terkait dengan
Pers.
Selain itu, dalam hubungan kerja antara Wartawan sebagai profesi, apakah
ia telah cukup dilindungi karena kenyataannya ia adalah buruh dari suatu
perusahaan pers, dimana status kewartawanannya sangat tergantung oleh
perusahaan itu. Apakah ada sanksi bagi perusahaan pers yang tidak
memberikan bagian sahamnya kepada karyawan dan apakah wartawan
telah mendapatkan bagian yang layak terhadap keuntungan perusahaan.
Dari berbagai pemaparan di atas, paling tidak kita dapat melihat adanya
krisis dalam dunia media yang mungkin akan mencakup seluruh
komponennya, antara lain;
o Krisis perilaku insan media dalam mencari berita, membuat sumber
ataupun obyek informasi menjadi tidak berharkat atau terganggu privasinya;
o Krisis substansi media, mengungkapkan informasi tanpa etika dan
standar jurnalistik;
o Krisis komitmen untuk menjalankan seluruh fungsi media yang
diamanatkan oleh UU;
o Krisis komitmen untuk cita-cita reformasi, khususnya untuk ikut
memajukan pendidikan, karena tidak ada jamina bahwa semua media telah
menjalankan fungsi pendidikannya dengan baik;
o Krisis standar penyelenggaraan manajemen suatu Media;
o Krisis masyarakatnya yang terkesan kurang begitu kritis dan agresif
dalam menyikapi suatu pemberitaan.
Dipandang dari sisi bisnis, karena informasi adalah suatu komoditi yang
merupakan kebutuhan hidup masyarakat informasi, maka bisnis untuk
menjadi penyedia informasi adalah peluang bisnis yang cukup
menggiurkan. Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman tersendiri bagi
pengharagaan akan nilai-nilai “kemerdekaan pers” terutama nilai-nilai
netralitas dan obyektifitas itu sendiri. Sejauhmana kepentingan pemodal
tidak akan mengendalikan kepentingan media itu sendiri. Padahal sudah
pasti bahwa si Pengurus adalah bertugas untuk menjaga kepentingan si
pemodal yang ingin memperoleh keuntungan dari bisnis itu.
Adalah suatu hal yang sangat lumrah dalam hukum investasi, bahwa
konsekwensi dari adanya suatu investasi adalah adanya kendali dalam
perusahaan itu. Dari sisi pemodal tentunya akan menjadi sangat begitu
indah jika informasi yang disampaikan adalah sesuai dengan
kepentingannya dan dapat menaikkan tiras atau oplahnya di masyarakat
dan memberikan tempat yang cukup ditakuti oleh penyelenggara negara.
Dari sisi si pemilik media mungkin jelas ia merasa berhak untuk bisa
menampilkan dirinya dalam satu halaman penuh dari sekian banyak
halaman yang dikelolanya, tapi demi obyektifitas dan netralitas media,
apakah hal itu dapat dikatakan etis ataukah tidak? Karena walau
bagaimanapun, si penyelenggara media sepatutnya memperlihat upaya
yang semaksimal mungkin untuk tidak memperlihatkan kepentingannya
pribadi dalam media yang dikelolanya itu. Dan jika kita berbicara tentang
etis, apakah pelanggaran terhadap hal itu ada sanksinya dari kalangan
masyarakatnya. Demikian pula jika ada hukumnya apakah ada sanksi
hukumnya? Jika ternyata tidak, saya pikir ini merupakan indikasi ketidak
netralan itu, dan berarti Pers tidak layak untuk disebut Media.
E. Penutup
Intelektual
(Jurnalis professional) Penyelenggara Media
(Investor/
Pengusaha) Masyarakat
(kolektif) Individual (anggota masyarakat) Penyelenggara Negara
• Karya intelektual
• Obyektifitas Karya jurnalistik
• Kemerdekaan Berekspresi
• Obyektifitas dan Netralitas
• Tanggung jawab penyelenggaraan Media yang baik (good information
governance)
• Tidak menjadi suatu alat yang bertentangan dengan hukum dan perasaan
keadilan serta norma masyarakat
• Mencari profit untuk usaha • Hak mengetahui masyarakat atas sistem
penyelenggaraan negara yang baik
• Hak masyarakat atas ketertiban umum dan perasaan aman
• Hak masyarakat atas peradaban yang sesuai etika dan dinamika
kebudayaan
• Hak atas kebebasan berinformasi dan berkomunikasi
• Hak atas privasi
• Hak untuk tidak menjadi obyek penelitian dan pemberitaan • Kegiatan
yang baik dan bertanggung jawab untuk memberikan kontrol ataupun
feedback kepada pemerintah
• Kewajiban memberikan informasi publik dan kerahasiaan informasi untuk
kepentingan publik.
Setelah mencermati, apakah itu Media, apakah itu Pers dan bagaimana
kelayakannya. Jika memang Pers memang tidak mempunyai suatu
prosedur untuk memperlihatkan kelayakannya, rasanya sulit mengatakan
bahwa Pers adalah suatu media. Patut diacungkan jempol bagi insan Pers
yang sadar akan apa konsekwensi dari penggunaan kata Media itu, dimana
sebagai penyelenggara Media mereka berupaya untuk mengembangkan
sistem operasi dan prosedur didalam manajemen penyelenggaraannya
agar informasi yang disampaikannya terjamin obyetifitasnya dan
validitasnya. Tetapi sangat disayangkan akibat ada sebagian Pers yang
berperilaku buruk dan tak ada mekanisme yang dapat menghentikannya
secara self-regulation-regime atau komunitas pers sekan lepas tanggung
jawab dan tidak dapat memberhentikannya lewat mekanisme komunalnya,
maka Pers sepertinya kurang mendapat simpati rakyat. Akibatnya seorang
idealis pers boleh jadi malah terjerat hukum sementara seorang komersialis
pers malah terlindungi dengan baik. Cukup ironis sekali.
Semua orang tentunya akan sepakat bahwa media masa adalah backbone
dari penyelenggaraan negara yang baik. Sesuai dengan perpesktif fourth
estate yang meletakkan Media setara dengan Pemerintah, maka logikanya
jika memang ada hukum untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan
yang baik, sepatutnya juga ada standar dalam menyelenggarakan sistem
media yang baik. Sehingga akan sangat adil bagi semua pihak, dan refleksi
yang dihasilkan oleh pers untuk demokrasi tentunya juga akan menjadi
semakin jernih dan netral untuk kepentingan kita semua, serta Pers dapat
lebih mencitrakan diri dalam harkat dan martabatnya sebagai honorable
profession ditengah masyarakat.
Jika kita semua memang ingin ada ”trust” oleh masyarakat kepada pelaku
media, jangan biarkan mekanisme itu terjadi tanpa prosedur yang kuat.
Security untuk mendapatkan trust memang harus dibangun dengan cara
best effort, dengan kata lain harus ada standar untuk good information
governance dalam media, hal itulah yang akan dapat membatasi tanggung
jawab bagi segenap insan media. Semuanya ini dikembalikan kepada
kesadaran dan semangat kita semua untuk menyelamatkan karakteristik
bangsa ini di masa depan.