Anda di halaman 1dari 17

Komunikasi

Krisis Media Dalam Perspektif Konvergensi Telematika:


Wacana Media untuk Penyempurnaan UU Pers.

A. Pendahuluan

Mungkin akan timbul suatu pertanyaan kenapa kita perlu memperhatikan


penyempurnaan UU Pers dari sudut pandang hukum telematika, karena
terkesan hukum telematika hanya akan lebih banyak mengkaji keberadaan
segala aspek hukum yang terkait dengan perkembangan teknologi
telekomunikasi dan informatika. Tambahan lagi telah banyak pihak yang
sudah terlanjur berkonotasi bahwa lingkup pembicaraan hukum telematika
adalah identik dengan istilah ”cyber law” hukum yang terkait dengan
keberadaan dunia maya ataupun internet. Hal ini tidaklah sepenuhnya
benar, karena jika kita cermati lebih dalam justru karena hasil dari
perkembangan konvergensi telekomunikasi dan informatika itu sendiri maka
belakangan semua orang baru menyadari bahwa telah terlahir suatu media
baru yang bersifat multimedia (teks, suara, gambar/grafis, dan film) yang
pada akhirnya menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk merenungkan
kembali konsepsi hukum tentang informasi dan komunikasi sebagai akar
dasar semua perkembangan itu tanpa harus terkunci kepada pembedaan
karaktersitik setiap media baik cetak maupun elektronik. Keberadaan
jaringan computer global sebagai Jalan Raya Informasi (information
superhighway) telah memudarkan garis batas antara media tradisional
dengan media komunikasi modern. Hal ini akan sangat baik baik disiplin
ilmu hukum itu sendiri agar sistematikanya menjadi lebih tertib dan
konsisten dalam memetakan ketentuan-ketentuan hukum media. Ada
benang merah yang saling terhubung dengan semua media itu, yakni
hukum terhadap informasi dan komunikasi itu sendiri. Bahkan, mungkin
saja di belakang hari semua benang merah tersebut dapat dirajut menjadi
satu kodifikasi hukum media yang mampu mengakomodir semua
karakteristik media yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat
melengkapi perspektif hukum yang selama ini telah berkembang dibenak
masyarakat.

B. Konsepsi Umum dan Analisa Kritis Media

Sebagai langkah pertama, kita perlu mengkaji kembali istilah Media itu
sendiri dan melihat padanannya dengan Pers. Tampaknya sudah menjadi
istilah umum bahwa insan pers sering mengidentikan dirinya sebagai
Media, sementara istilah Pers itu sendiri sepertinya tidak sebangun atau
sepadan dengan istilah Media. Pers mungkin salah satu bagian dari Media
tapi Media itu sendiri tidak identik dengan Pers, karena Pers akan
berkonotasi kepada aktivitas jurnalistik sementara media adalah wujud
penyelenggaraannya sebagai alat sistem komunikasi untuk
mendiseminasikan informasi kepada publik.

Dilihat dari asal usul katanya, Media adalah bentuk jamak dari Medium
yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sesuatu yang berada
ditengah-tengah dan/atau sesuatu yang bersifat netral [Webster Dictionary].
Media juga berarti suatu alat penghantar berkomunikasi. Penekanan dari
kata Media disini adalah keberadaan obyek, jadi pendekatannya haruslah
obyektif bukan subyektif. Sebagai suatu alat maka obyek tentunya tidak
akan dapat bertanggung jawab atau dimintakan pertanggung jawabannya
sendiri sehingga yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya adalah
pihak-pihak yang menyelenggarakan media itu sendiri. Penyelenggara
harus menjaga sifat netralitasnya dan mempertanggung jawabkan efek dari
komunikasi itu kepada publik baik terhadap kepentingan personal maupun
komunal atau bahkan kepada norma masyarakat itu sendiri.

Berbicara tentang Pers, umumnya para pakar komunikasi masa akan


merujuk kepada prinsip dasar Hak Azasi Manusia untuk memperoleh
informasi dari semua saluran komunikasi yang tersedia dan kemerdekaan
mengemukakan pendapat di depan umum. Ada dua hal yang perlu dicatat
disini yakni, kebebasan berekspresi itu sendiri dan tindakan
mengumumkannya kepada publik. Sebagai pembandingnya, banyak orang
yang merujuk kepada First Amendment dalam konstitusi AS dimana
Congress tidak boleh membuat hukum untuk menghalangi pelaksanaan hak
itu.

Amendment 1: Religious and political freedom:


Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or
prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or
of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to
petition the Government for redress of grievances.

Dari uraian kata-kata tersebut, banyak pihak yang mempersepsikannya


sebagai suatu kebebasan yang absolut karena congress yang berwenang
membuat hukum itu sendiri saja bahkan tidak diperkenankan oleh konstitusi
untuk membatasi kebebasan pers. Sementara, hanya segelintir pakar yang
mengemukakan bahwa dalam prakteknya di AS yang perkembangan
hukumnya didominasi oleh Jurisprudensi (Judge make law), kebebasan itu
kini menjadi tidak absolute lagi sebagaimana dipersepsikan oleh kalangan
awam.

Selain akibat multipersepsi atas kata “speech” dan “abridging” itu sendiri,
perbedaan pendapat dikalangan para Jurist (judges and scholars)
sebenarnyaa juga dikarenakan secara historis kata-kata itu memang
merupakan produk politik pada masa itu, dimana ada pertentangan antara
Federalist dengan State. Sehingga, semula kata-kata yang diusulkan
adalah ”No state shall violate…etc” menjadi ”Congress shall make no law…
etc”. Para juris di AS, telah menyadari bahwa legal nature dari kata-kata itu
dengan sendirinya adalah menjadi tidak absolute, sehingga dengan
sendirinya jurisprudensi lah yang menjadi pembimbing atau pedoman
dalam menerapkan ketentuan itu agar menjadi fair bagi semua pihak.
Bahkan untuk menentukan tujuan dan fungsinya saja, hal itu baru lebih
jelas pada saat Justice Brandeis mengemukakan pendapatnya dalam
putusannya pada kasus Whitney vs. California 71 L.Ed.1095, 1105-06
(1927).

Dalam perkembangannya lebih lanjut ternyata freedom of speech dan of the


press diturunkan menjadi “expression” dan “action”. Amendement pertama
jelas melindungi kebebasan berekspresi tetapi tidak selalu untuk
“communicative conduct” sehingga berkembanglah “a hierarchy of
protected communicative conduct” dimana tidak semua hal termasuk dalam
protected speech. Karenanya berkembanglah apa yang dinamakan sebagai
“unprotected class” atau dikenal sebagai “unfree speech” atau komunikasi
yang tidak dilindungi oleh amendemen pertama tersebut, antara lain
meliputi; fighting words, obscenity, publication of state secrets, incitement to
crime, defamation, subliminal communications dan commercial speech.
Demikian pula halnya dengan konsep ‘abridgement’ dimana dalam
perkembangannya “law” sebagai produk congress jelas tidak mengurangi
kewenangan pemerintah untuk memberikan pembatasan dan kejelasan
dalam ”regulation” demi untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri.

Lebih lanjut, pemikiran tentang access to the channels of communication


juga mengakibatkan berkembangnya teori pembedaan atau
pengkategorisasian ruang public (public forum) dan ruang private (private
forum). Walhasil, para juris telah mengembangkan kerangka berpikirnya
untuk melakukan pendekatan prosedural (procedural approaches) dalam
menentukan hal-hal apa saja yang dapat dilindungi berdasarkan
amandemen pertama itu.

Berdasarkan sejarah dan evolusi yang terjadi di AS tersebut, maka


Indonesia sebagai negara yang lebih diwarnai oleh Eropa Kontinental
ketimbang Anglosaxon/Common Law, menjadi tidak haram jika mencoba
memformulasikan pembatasannya dalam produk legislatifnya (UU). Hal ini
adalah karena di Indonesia, UU sebagai produk legislative itulah yang dapat
memberikan pedoman awal bagi perkembangan sistem hukum kita.
Jurisprudensi nyatanya masih belum berfungsi dengan baik di negara kita
untuk memberikan benang merah keadilan dalam perkembangan sistem
hukum nasional.

Jadi, hakikinya adalah sama saja baik di AS maupun di Indonesia bahwa


kebebasan itu memang tidak pernah absolute. Bahkan, secara hukum fisika
saja telah dinyatakan bahwa terhadap suatu aksi tentunya akan terjadi friksi
dan hasilnya mengakibatkan suatu reaksi. Meskipun di angkasa, ternyata
suatu benda juga tidak pernah lepas dari gaya-gaya yang ada di semesta
alam ini. Oleh karena itu, konsep kebebasan tanpa batas jelas akan sangat
menyesatkan dan bertentangan dengan hukum alam dan juga pemikiran
manusia yang sehat.

Selain itu, sesuai dengan perkembangan wacana negara demokratis,


banyak pihak juga akan merujuk kepada pemikiran yang menyatakan
bahwa Pers adalah pilar keempat (fourth estate) dalam negara demokrasi.
Namun, dalam praktek dan perkembangannya, publik Amerika juga melihat
bahwa ini adalah jargon semata karena meskipun pers itu bebas dari
kepentingan pemerintahnya ternyata ia tidak bebas dari kepentingan
komersialnya dan bahkan para pemilik dan/atau penyelenggara media juga
cenderung berselingkuh dengan para politikus dalam menyiarkan suatu
informasi kepada publik. Walhasil, wacana tentang eksistensi kebebasan
media terlanjur disodorkan kepada publik untuk dilegitimasi kehadirannya
tidak lagi sebagai penyaji fakta melainkan juga sebagai pembentuk opini
dan disahkan sebagai industri informasi dengan semangat
komersialismenya.

Idealnya, dalam suatu negara demokratis yang berdasarkan atas hukum,


maka kepentingan hukum masyarakat untuk memperoleh informasi publik
(right to know) adalah menjadi prioritas tertinggi. Hal ini menjadi dasar
legitimasi bagi semua pihak ingin mencari dan menyampaikannya kepada
publik, khususnya kalangan jurnalis yang begitu giat dan gagah berani
berupaya mencari fakta/data, mengolahnya menjadi informasi dan/atau
berita, dan kemudian disampaikannya kepada masyarakat. Lebih jauh lagi,
bahkan hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang diamanatkan oleh hukum
kepada mereka.

Sebagai kompensasinya, dalam rangka memenuhi kepentingan hukum


masyarakat tersebut maka diperlukan suatu perlindungan hukum bagi para
pihak yang jelas-jelas beriktikad baik melaksanakan fungsi itu, khususnya
bagi pihak yang secara professional mencarinya dan menyelenggarakan
media komunikasinya kepada public. Namun pada sisi yang lain, publik juga
perlu mendapatkan perlindungan dari kekotoran ataupun sisi negatif
informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu
ketentuan hukum dalam suatu produk legislatif (UU) sebagai kesepakatan
public untuk melindungi semua pihak yang terkait dengan itu secara adil.
Pada prinsipnya, tanpa terkecuali setiap orang yang bertindak
mengungkapkan informasi untuk kepentingan publik tentunya jelas harus
dilindungi oleh hukum, terlepas apakah ia jurnalis ataupun tidak. Dalam
prakteknya, penerapan hukum itu harus digantungkan kepada Hakim
sebagai pejabat penerap keadilan bagi masyarakat agar sesuai dengan
lingkup kasus yang ada.

Sesuai dengan sejarahnya, Pers yang lahir dari aktivitas jurnalistik


kepentingan hukumnya adalah menginginkan kebebasan untuk
memperoleh data dan mengolahnya menjadi suatu informasi serta berhak
menyampaikannya kembali (freedom of speech) kepada publik sesuai
pendapatnya. Pada satu sisi, sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (Hak
Cipta) telah melindungi keberadaan informasi itu sebagai suatu karya cipta
yang harus dilindungi (protected works) demi kepentingan hak moral dan
hak ekonomis individu si penciptanya dan melindungi
kemerdekaan/kebebasan untuk berekspresi itu sendiri. Namun pada sisi
lain, sesuai dengan perspektif hukum komunikasi, si intelektual tersebut
seharusnya juga memperhatikan efek atau dampak komunikasi tersebut
kepada publik. Oleh karena itu, suatu penyampai informasi selayaknya
harus dapat dimintakan pertanggung jawabnya manakala efek komunikasi
itu ternyata merugikan atau berpengaruh buruk kepada kepentingan hukum
individual manusia (HAM) dan juga kepada norma dan ketertiban
masyarakat (protected communication dan protected community). Jadi
selain adanya apresiasi yang diberikan oleh hukum ia juga harus mampu
mengemban tanggung jawab dari setiap apa yang telah ditimbulkannya.

Singkatnya, penyajian informasi kepada publik diharuskan seobyektif


mungkin meskipun secara naturalianya ia tetap bersifat subyektif karena
sebenarnya terlahir dari ekspresi ide dari seseorang. Perspektifnya
terhadap sesuatu peristiwa tentu akan tetap melekat dalam penyajian
informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, suatu berita tidak dapat
dikatakan obyektif dari awalnya sehingga dengan sendirinya ia tidak bebas
nilai atau tidak bebas dari kepentingan subyektif orang yang
menuliskannya. Disinilah netralitas media menjadi sangat relevan untuk
menjadi suatu persyaratan hukum (requirement of neutrality). Untuk itu
diperlukan suatu standar obyektifitas untuk menentukan apakah ia layak
dikatakan sebagai suatu karya jurnalistik. Perlindungan hukum yang
diberikan kepada si pencari dan penyampai informasi hanyalah ditujukan
bagi setiap pihak yang memang menghargai dan tunduk dengan etika
jurnalistik, bukan kepada pihak-pihak yang ”sembarangan” dalam
menguntai kata-kata.

Dalam rangka memenuhi nilai-nilai obyektifitas itu, sebagai upaya preventif


maka secara prosedural suatu informasi sebelum disampaikan kepada
publik, selayaknya secara internal ia perlu diinteraksikan dengan pihak lain
dan/atau paling tidak yang bersangkutan dapat menjelaskan dan menjamin
bahwa informasi yang diberikannya adalah berdasarkan atas data atau
fakta yang diperolehnya secara halal dan benar serta disajikannya secara
fair. Disinilah suatu penyelenggara media harus dianggap ikut bertanggung
jawab untuk menanggung akibat/dampak penyampaian suatu informasi
kepada publik, karena atas kuasanya informasi itu dikomunikasikan kepada
publik.

Dari pemaparan tersebut di atas, terlihat jelas perbedaan makna antara


Pers dengan Media. Istilah media adalah keberadaan obyek atau alat untuk
berkomunikasi yang harus bersifat netral, sementara Pers adalah kegiatan
jurnalistik yang kaya akan perspektif-perspektif jurnalisme. Tentunya, yang
akan membuat media itu menjadi tidak netral adalah orang yang
menyelenggarakannya. Oleh karena itu, wajarlah jika seorang pakar
komunikasi Prof Abdul Muis mengingatkan kita bahwa ada dua pendekatan
hukum dalam konteks ini yaitu aspek Hukum Media dan aspek Hukum
Komunikasi. Namun, menurut hemat saya akan lebih tepat jika kita
melihatnya dalam satu kesatuan yakni Hukum Komunikasi. Keberadaan
Media sepatutnya adalah bagian yang tidak dipisahkan dari proses
komunikasi itu sendiri karena tidak mungkin terjadi suatu komunikasi antara
si penyampai informasi (originator) dengan si penerima informasi (recipient)
tanpa kehadiran suatu Media. Ringkasnya, kita harus memandang Media
itu sendiri sebagai suatu sistem komunikasi yang terpadu dimana
obyektifitasnya dan netralitasnya akan ditentukan kepada sejauh mana
sistem penyelenggaraannya diselenggarakan dengan baik.

Melengkapi pandangan tersebut, walau bagaimanapun harus diletakkan


pemahaman kepada publik bahwa suatu informasi yang merupakan obyek
komunikasi tersebut jelas tidak akan lepas dari aliran pandangan si
pembuatnya, sehingga pandangan suatu aliran tentunya akan terlihat jelas
dari karakteristik informasi yang disajikannya tersebut. Jika si intelektual
tersebut beraliran kapitalis maka tentunya ia tidak akan menulis tentang
kebaikan aliran sosialis yang berlawanan dengannya, demikian juga
sebaliknya. Demikian juga jika si intelektual tersebut ternyata non religius
maka ia akan menuliskan bahwa ketentuan keagamaan adalah suatu
kemunafikan dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, jelas dirasakan
adanya suatu perang informasi terhadap suatu kepentingan, dan demi
obyektifitas maka semestinya masyarakat tidak boleh langsung percaya
terhadap suatu informasi yang disampaikan oleh satu sumber saja,
melainkan juga perlu melihatnya dari banyak sumber. Kebenaran akan
dapat terlihat dari apa yang lahir ditengah-tengah pertentangan wacana itu
sendiri. Akhirnya, yang menjadi permasalahan disini adalah konflik ideologi
antara informasi yang disajikan dengan ideologis bangsanya. Tidak heran
jika ada sebagian masyarakat yang ternyata malah menjadi bingung atau
bahkan akan marah dengan keberadaan aliran-aliran media itu sendiri.

Lebih lanjut, sesuai dengan perkembangannya maka terbangunlah suatu


mekanisme hukum antara publik dengan medianya, dengan cara
memberikan kewajiban kepada penyelenggara untuk melayani Hak jawab
dan Hak Koreksi dari masyarakat. Namun, hal ini masih dirasakan seperti
terlalu mensimplifikasi efek komunikasi yang ditimbulkan kepada
kepentingan hukum lain. Sekiranya suatu berita yang menghancurkan
nama baik seseorang (character assasination) ternyata berakibat serangan
jantung sehingga meninggalnya seseorang, apakah masih relevan Hak
Jawab dan Hak Koreksi sebagai upaya pemulihan haknya. Tambahan lagi,
dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan bahwa kata-kata bisa lebih
tajam dari pedang, sehingga naturalianya efek dari kata-kata akan selalu
berbekas dalam hati si penerimanya. Dimaafkan atau tidak itu kembali
kepada hak si orang tersebut, yang jelas Hukum tidak dapat memaksakan
seseorang harus menerima maaf dari orang lain. Seorang hakim juga
sepatutnya juga tidak boleh membatasi hak orang lain untuk harus
menjelmakan hak jawab dan hak koreksinya terlebih dahulu, karena hal ini
berarti hakim telah berpihak hanya kepada kepentingan si penyelenggara
media.
Selain itu, dalam hal penerimaan informasi, umumnya informasi pertama
seringkali lebih berbekas ketimbang informasi yang berikutnya. Sehingga
terlepas apakah ia langsung percaya atau tidak percaya, yang jelas secara
informasi telah berdampak kepada sesorang ”the damage has been done”.
Ada suatu ”ruang kerugian” disini yang tidak cukup terjawab hanya dengan
hak jawab dan hak koreksi. Sepatutnya, semakin intelektual seseorang
jelas akan semakin tinggi pula amanat yang harus diembannya untuk
memperhitungkan segala sesuatu yang dapat terjadi dari karya
intelektualnya tersebut. Oleh karena itu, pertanggung jawaban bagi
seseorang ahli komunikasi masa yang berdasarkan keilmuannya
sepatutnya tahu sejauhmana efek dari kata-katanya, jelas juga harus
diimbangi dengan beban sanksi yang relatif lebih berat ketimbang orang
awam. Jika hal ini tidak ada, maka jelaslah bahwa segelintir orang akan
senang mempelintir kata-kata dan mungkin pula akan berakibat timbulnya
mafia dalam media.

C. Internet sebagai Media Komunikasi Baru

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, konvergensi TELEMATIKA


(Telekomunikasi, Media dan Informatika) mau tidak mau telah
mengabsorbsi keberadaan kata Media yang terwujud dalam
penyelenggaraan sistem informasi global. Suatu jaringan sistem informasi
dan komunikasi yang lahir akibat keterpaduan perkembangan teknologi
informasi dan telekomunikasi telah berfungsi sebagaimana sebagaimana
layaknya suatu Media komunikasi masa. Hal mana sebelumnya kurang
begitu disadari karena semula penerapan teknologi informasi adalah untuk
kepentingan personal atau untuk kepentingan internal organisasinya saja.
Demikian juga halnya dengan telekomunikasi yang memang semula
digunakan hanya untuk kepentingan komunikasi antara para pihak, bukan
untuk komunikasi masa. Akhirnya, sekarang kita ternyata tidak dapat
mengatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi akan terlepas dalam
lingkup kajian hukum media modern dewasa ini.

Dengan melihat kepada platform sistem informasi dan komunikasi


elektronik global yang berbasiskan teknologi komputer (computer based
information system), maka ada beberapa hal yang perlu dilihat sehubungan
dengan komputer sebagai alat pengolah informasi dan alat untuk
menyebarkan informasi tersebut. Sistem Komputer pada hakekatnya
mempunyai fungsi-fungsi Input, Proses, Output, Strorage dan
Communication. Ia juga paling tidak terdiri atas 5 komponen penting, yakni;
hardware, software, procedure, brainware dan content dari informasi itu
sendiri. Semua komponen itu harus berkerja dengan baik itu dan saling
terintegrasi agar dapat melakukan fungsi-fungsi sebagaimana yang
diharapkan. Data sebagai input untuk menghasilkan suatu informasi yang
berdayaguna ditentukan oleh kehandalan brainware dalam menciptakan
procedures yang selanjutnya akan dikonkritkan dengan kehadiran software
yang sesuai agar hardware dapat bekerja untuk mengolah dan
menampilkan informasi sebagaimana yang ditentukan atau diharapkan.
Selanjutnya agar ia dapat berkomunikasi dengan komputer yang lain, maka
ia harus satu bahasa dimana pembangunan jaringan kerjanya adalah harus
sesuai dengan protokol komunikasi yang dipakai oleh para pihak, seperti
antara lain Electronic Data Interchange/EDI (proprietary system) dan
Internet protocol (open system). Dan oleh karena sistem tersebut saling
terintegrasi dan terhubung secara online, maka hubungan komunikasinya
menjadi bersifat real-time kesemua anggota dan seakan hadir dimana-
mana secara ”ubiquotus”.

Sesuai dengan karakteristiknya yang elektronik itu, tampaknya keberadaan


suatu sistem informasi sebagai Media berkomunikasi relatif akan lebih
mudah diatur ketimbang Pers. Lihat saja pada kenyataan teknisnya bahwa
semua anggota jaringannya sepakat untuk menggunakan protokol
komunikasi TCP/IP. Semua komputer yang terhubung hanya bisa
terhubung dengan aturan komunikasi yang sama dalam lapisan 4 layers.
Sebagai suatu sistem informasi jelas ia telah ditetapkan sebagai suatu
Media yang netral, sehingga ia dapat ditulisi apa saja oleh pihak pihak yang
berkenan untuk itu. Ia dapat ditentukan akan hidup ataukah akan mati
tergantung kepada arus listriknya. Keberadaan akses informasinya pun
dapat dibatasi atau restriktif berdasarkan otorisasi yang diberikannya dalam
network tersebut. Dalam konteks ini, sepanjang memang ada ”political will”
untuk itu sepatutnya penyelenggara media akan menjadi relatif lebih mudah
untuk diatur.

Ada satu hal yang sangat menarik untuk dilihat dari keberadaan suatu
sistem informasi elektronik sebagai suatu Media yakni keberadaan
informasi sebagai keluarannya adalah ditentukan kepada sejauhmana
sistem security-nya dikembangkan baik secara tehnik, manajemen maupun
hukum. Keterpercayaan terhadap isi akan sangat ditentukan oleh
sejauhmana kehandalan dan validitas pemrosesannya yang tercermin
dalam keberadaan setiap procedures dan juga softwarenya, serta kejelasan
subyek hukum yang bertanggung jawab atasnya. Setelah dapat diyakini
bahwa sistem informasi itu layak dipercaya, barulah kita dapat menyatakan
bahwa jika memang sistem telah berjalan sebagaimana mestinya maka
selayaknya informasinya menjadi layak untuk dipercaya. Dengan
sendirinya, jika data yang dimasukkan adalah salah, maka hasil
keluarannya juga akan menjadi salah ”Garbage In Garbage Out,” bukan
sistemnya lagi yang dipersalahkan (malfunction) melainkan ”human error”
manusianya yang mengerjakan sistem itu. Implikasi hukumnya adalah,
sepanjang sistem telah dibangun dan diselenggarakan dengan baik (best
practices), maka pihak si pengembang dan si penyelenggara berhak
mendapatkan perlindungan hukum berupa pembatasan dalam pertanggung
jawabannya.

Patut juga dicermati bahwa persyaratan security tersebut adalah


berbanding lurus dengan nilai kekuatan pembuktian secara hukum, bahkan
dapat dikatakan bahwa ”no security, no deals”. Hal ini harus menjadi
perhatian utama para pihak, karena teoritisnya Internet memang tidak
didesain sebagai infrastruktur informasi publik yang secured. Justru
kepentingan negara industri itu sendiri lah yang ingin menawarkan dan
menumbuhkan jasa security-nya, baik dalam hal penjualan perangkat keras
maupun software untuk berjalannya computer security maupun
communication security itu sendiri.

Beranalogi dengan hal tersebut, maka jika kita ingin mengatakan Pers
adalah suatu Media harus ada suatu standar kelayakan bagi si
penyelenggara jasa yang mengkelola Media itu. Ia baru layak dikatakan
sebagai suatu Media jika ia telah memenuhi standar tertentu dalam
penyelenggaraannya agar lebih jernih dalam merefleksikan kepentingan
masyarakat bukan kepentingan si penyelenggaranya. Ia juga dapat
membatasi tanggung jawabnya terhadap akibat substansi informasi yang
disampaikannya sepanjang ia telah berupaya sebaik mungkin (best
practices). Bahkan sekiranya ia telah mengemukakan standar prosedur
pengoperasiannya bahwa ia tidak melakukan sensor apapun, tanggung
jawab sepenuhnya justru akan kembali kepada si penulis. Dan pihak yang
merasa berkeberatan dapat langsung seketika itu juga memasukkan
koreksi dan hak jawabnya pada tempat yang sama dengan informasi itu.
Disini, para pembaca akan langsung dapat mencerna bahwa informasi itu
tengah dipersengketakan validitasnya. Dalam konteks ini, tidak sedetikpun
ia akan dirugikan, kecuali atas kelambanannya sendiri dalam merespon
suatu informasi.

Sehubungan dengan itu pula, ada juga satu pelajaran hukum yang
selayaknya dapat kita ambil dari kasus Napster di Amerika. Meskipun
keberadaan situs tersebut sebenarnya hanya sebagai suatu media
komunikasi bagi para anggotanya (peer to peer communication) untuk
saling bertukar koleksi lagu-lagu yang diperolehnya, namun sekiranya ia
bertentangan dengan sistem hukum yang ada khususnya Hak Cipta maka
keberadaannya dapat dihentikan (shut-down). Kesalahannya adalah
memfasilitasi tukar menukar lagu dimana ia mempunyai model bisnis
didalamnya, padahal tanpa harus ia fasilitasi masing-masing orang dapat
berkomunikasi secara langsung. Hal ini berakibat bahwa model bisnis
napster menjadi sebagaimana layaknya tukang tadah di pasar-pasar gelap.
Demi hukum, pengadilan terpaksa harus menghentikannya.

Jika memang Amerika adalah menjadi tolok ukur dalam penegakan


freedom of speech di dunia, saya melihat bahwa demi ”kepentingan
hukum”, harus tetap ada satu kemungkinan bahwa suatu Media dapat
dimungkinkan untuk dihentikan atau ditutup oleh putusan pengadilan jika si
penyelenggara media membuat keberadaan Medianya menjadi
bertentangan dengan hukum yang ada. Dalam negara demokratis, ini
tidaklah salah, karena supremasi hukum adalah hal yang tertinggi, bukan
kepentingan bisnis media itu, dan juga bukan didasarkan atas diskresi
lembaga eksekutif (pemerintah).

Demi menjaga kepentingan semua pihak maka harus dipahami bahwa


sepatutnya asas strict liability juga melekat terhadap informasi itu dan juga
pihak manajemen dari organisasi yang melakukan sistem penyelenggaraan
Media tersebut. Sepertinya bukan lah suatu hal yang berlebihan sekiranya
azas “good governance” juga perlu diterapkan dalam penyelenggaraan
Media, paling tidak si penyelenggara harus mengeluarkan “best effort” nya
untuk menjaga obyektifitas dan netralitas tersebut.

Oleh karena itu, jika Pers ingin dikatakan berfungsi sebagai media, saya
pikir tentunya ia harus berfungsi sebagaimana layaknya sistem informasi
elektronik yang didasarkan atas trustworthy suatu proses. Jika memang
sistem penyelenggaraan media nya yang sudah tidak mau taat hukum,
maka hasil output informasinya tentunya juga akan berhadapan dengan
hukum.

Ringkasnya sesuai dengan paradigma sistem informasi, maka paling tidak


Pers akan terdiri dari komponen (i) content informasi, (ii) Wartawan dan (iii)
prosedur-prosedur dalam Organisasi dan Manajemen Penyelenggara
Media itu sendiri. Dalam hal ini, paling tidak dapat dilihat adanya tiga
lingkup standar agar membuat sistem pers menjadi sehat, yakni (i)
standarisasi brainware/wartawan, (ii) standarisasi karya jurnalistik atau
pemberitaan, dan (iii) standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri. Boleh
jadi sebagai lingkup yang paling luas, standarisasi penyelenggaraan media
itu sendiri akan mencakup kedua lingkup sebelumnya karena ia akan
menentukan standar minimum wartawan yang akan digunakannya dan
bagaimana sistem operasi dan prosedur yang dianutnya dalam
mengemukakan suatu pemberitaan kepada publik. Semakin tinggi standar
yang dianutnya maka semakin tinggi pula validitas pemberitaannya dan
relatif semakin aman pula ia dalam melakukan pertanggung jawaban
hukumnya.

D. Krisis Media Akibat Perilaku Bermasalah dan Kepentingan Bisnis


Media

Ditinjau lebih luas lagi sesuai dengan perspektif ilmu perundang-undangan,


mungkin penyebab kenapa kondisi Pers sekarang ini seperti ini adalah juga
didasari sejauhmana keefektifan aturan main yang ditetapkan dalam UU
Pers. Jika memang mekanismenya adalah sebebas-bebasnya maka insan
pers jadi bertindak sebebasnya. Dan sedikit janggal rasanya bahwa
pemerintah dinihilkan sama sekali dalam proses penerapannya sementara
lembaga pelaksananya Dewan Pers juga tidak mempunyai kekuatan yang
dapat memaksa pihak pers untuk bertindak sebagaimana mestinya. Ia
hanya merupakan wadah untuk penetapan Kode Etik, alternatif
penyelesaian sengketa, serta pengkajian hukum dan kebijakan saja.
Sementara pada sisi yang lain, peranan masyarakat juga belum dapat
dikatakan cerdas menyikapi segala sesuatu dan mampu berpartisipasi aktif
sebagaimana yang diharapkan. Tambahan lagi setiap orang tentunya akan
berpikir ulang untuk berhadapan dengan media. Walhasil, akhirnya dijumpai
terjadinya premanisme dalam pers, terkadang pers menjadi obyek
premanisme namun sering juga ia menjadi subyeknya. Contohnya adalah
penyajian informasi entertainment, dimana pers terkesan memaksa untuk
memperoleh informasi yang berkenaan dengan privasi seseorang. Pers
memang telah begitu galak, bahkan berani masuk ke wilayah-wilayah yang
sebenarnya sudah menyentuh batasan harkat dan privacy seseorang.
Menghambat jalan seseorang untuk berjalan kemobilnya sendiri demi
mendapatkan suatu pemberitaan sudah menjadi pandangan kita sehari-hari
yang kita lihat dalam peliputan pemberitaan di TV.

Sebagaimana layaknya para wakil rakyat dalam fungsi legislative, para


insan pers juga sangat meyakini dirinya adalah bertindak atas aspiratif
rakyat. Namun ada sedikit perbedaan, dimana para wakil rakyat harus
berinventasi untuk meraih simpati dan suara rakyat dalam proses pemilihan
umum sehingga dapat dikatakan legitimate menyampaikan suara rakyat.
Sementara kalangan pers dengan inisiatif sendiri dan dengan dibawah
naungan UU Pers dilegitimasikan sebagai aspiratif rakyat tanpa harus ada
kejelasan standarisasi profesi kewartawanan yang ketat.

Jika kita membaca informasi yang disampaikan dalam beberapa surat


khabar harian yang ternyata berbahasa terlalu berani dalam mengekspose
sex dan kekerasan, dan juga berani memberikan tempat untuk iklan yang
bernada-nada serupa, mungkin masyarakat juga akan menjadi semakin
kebingungan apakah memang hal ini sebenarnya informasi yang
dibutuhkannya ataukah memang hal tersebut yang sebenarnya aspiratif
rakyat. Sex dan kekerasan memang merupakan fakta hidup, dan juga
merupakan informasi yang menarik untuk dibaca, tapi apakah ini aspiratif
rakyat atau memang sengaja dicekoki kepada rakyat.

Dalam prakteknya sekarang ini, ada pers yang telah secara elegan
menyajikan informasi dan ada juga pers yang justru membuat galau dan
resah hati masyarakat. Bagaimana tidak, karena sepertinya memang tidak
ada satu tindakan apapun yang dapat dikenakan kepada sebagian insan
pers tersebut. Siapa yang dapat menyadarkan kalangan pers untuk secara
jernih memandang apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan ini.
Apakah memang ”kemerdekaan pers” diartikan sebagai kebebasan yang
sebebas-bebasnya tanpa batasan normatif. Bahkan akibat pendapat yang
mengatakan bahwa semestinya UU Pers adalah lex specialis dengan
berbagai macam alasan, KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara,
dalam UU Pers ketentuan pidana dirasakan tidak begitu berimbang. Barang
siapa yang menghalangi pers harus dipidana penjara dan denda,
sementara pers hanya dipidana denda saja. Lantas bagaimana halnya
dengan insan pers yang ternyata mengganggu hak orang lain, apakah
memang sudah ada dalam UU Pers ataukah memang hal seperti itu
sepatutnya tidak masuk dalam lingkup UU Pers. Jadi, apakah UU Pers
telah cukup mengatur semua tindak pidana yang mungkin terkait dengan
Pers.

Selain itu, dalam hubungan kerja antara Wartawan sebagai profesi, apakah
ia telah cukup dilindungi karena kenyataannya ia adalah buruh dari suatu
perusahaan pers, dimana status kewartawanannya sangat tergantung oleh
perusahaan itu. Apakah ada sanksi bagi perusahaan pers yang tidak
memberikan bagian sahamnya kepada karyawan dan apakah wartawan
telah mendapatkan bagian yang layak terhadap keuntungan perusahaan.

Seiring dengan era reformasi untuk mengarah kepada perbaikan di segala


bidang, kalangan pers telah memperoleh kelonggaran yang dicita-
citakannya untuk memperoleh informasi namun ternyata bukan
kemerdekaannya dalam arti yang hakiki. Dulu Pers begitu dikekang oleh
pemerintah dan sekarang begitu merdekanya tanpa ada kebutuhan untuk
mendapatkan pembinaan atau pengawasan dari pemerintah lagi. Semua
seakan sepakat bahwa pengawasan pers adalah langsung dari rakyat,
sementara masyrakatnya saja tidak semuanya dapat bernasib baik
mengenyam pendidikan sehingga belum dapat secara kritis mengkontrol
pers. Apalagi dalam kenyataan hidup ini, tak ada orang yang hidup tanpa
salah dan dosa, sementara pers jelas dapat mengkemukakan semua salah
dan dosa seseorang sesuai agenda dan kepentingannya. Sehingga
akankah ada anggota masyarakat biasa yang akan berani berhadapan
dengan pers? Semua tentunya akan berpikir dua kali.

Walhasil sepertinya kita memang harus duduk kembali untuk


membicarakan hal ini, apakah UU Pers memang sudah efektif
menyelesaikan perilaku bermasalah. Dulu pemerintah yang membuat
masalah, sekarang justru Pers sendiri yang sekarang menjadi sumber dari
perilaku bermasalah terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. Sudah
layakkah pers dikatakan sebagai media jika ia tidak menjelmakan upaya
terbaiknya untuk bersifat netral dan obyektif.

Dari berbagai pemaparan di atas, paling tidak kita dapat melihat adanya
krisis dalam dunia media yang mungkin akan mencakup seluruh
komponennya, antara lain;
o Krisis perilaku insan media dalam mencari berita, membuat sumber
ataupun obyek informasi menjadi tidak berharkat atau terganggu privasinya;
o Krisis substansi media, mengungkapkan informasi tanpa etika dan
standar jurnalistik;
o Krisis komitmen untuk menjalankan seluruh fungsi media yang
diamanatkan oleh UU;
o Krisis komitmen untuk cita-cita reformasi, khususnya untuk ikut
memajukan pendidikan, karena tidak ada jamina bahwa semua media telah
menjalankan fungsi pendidikannya dengan baik;
o Krisis standar penyelenggaraan manajemen suatu Media;
o Krisis masyarakatnya yang terkesan kurang begitu kritis dan agresif
dalam menyikapi suatu pemberitaan.
Dipandang dari sisi bisnis, karena informasi adalah suatu komoditi yang
merupakan kebutuhan hidup masyarakat informasi, maka bisnis untuk
menjadi penyedia informasi adalah peluang bisnis yang cukup
menggiurkan. Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman tersendiri bagi
pengharagaan akan nilai-nilai “kemerdekaan pers” terutama nilai-nilai
netralitas dan obyektifitas itu sendiri. Sejauhmana kepentingan pemodal
tidak akan mengendalikan kepentingan media itu sendiri. Padahal sudah
pasti bahwa si Pengurus adalah bertugas untuk menjaga kepentingan si
pemodal yang ingin memperoleh keuntungan dari bisnis itu.

Adalah suatu hal yang sangat lumrah dalam hukum investasi, bahwa
konsekwensi dari adanya suatu investasi adalah adanya kendali dalam
perusahaan itu. Dari sisi pemodal tentunya akan menjadi sangat begitu
indah jika informasi yang disampaikan adalah sesuai dengan
kepentingannya dan dapat menaikkan tiras atau oplahnya di masyarakat
dan memberikan tempat yang cukup ditakuti oleh penyelenggara negara.
Dari sisi si pemilik media mungkin jelas ia merasa berhak untuk bisa
menampilkan dirinya dalam satu halaman penuh dari sekian banyak
halaman yang dikelolanya, tapi demi obyektifitas dan netralitas media,
apakah hal itu dapat dikatakan etis ataukah tidak? Karena walau
bagaimanapun, si penyelenggara media sepatutnya memperlihat upaya
yang semaksimal mungkin untuk tidak memperlihatkan kepentingannya
pribadi dalam media yang dikelolanya itu. Dan jika kita berbicara tentang
etis, apakah pelanggaran terhadap hal itu ada sanksinya dari kalangan
masyarakatnya. Demikian pula jika ada hukumnya apakah ada sanksi
hukumnya? Jika ternyata tidak, saya pikir ini merupakan indikasi ketidak
netralan itu, dan berarti Pers tidak layak untuk disebut Media.

E. Penutup

Sesuai dengan kepentingan publik dalam Negara Demokrasi, maka dalam


lingkup media komunikasi paling tidak terlihat beberapa kepentingan hukum
yang dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut;

Intelektual
(Jurnalis professional) Penyelenggara Media
(Investor/
Pengusaha) Masyarakat
(kolektif) Individual (anggota masyarakat) Penyelenggara Negara
• Karya intelektual
• Obyektifitas Karya jurnalistik
• Kemerdekaan Berekspresi
• Obyektifitas dan Netralitas
• Tanggung jawab penyelenggaraan Media yang baik (good information
governance)
• Tidak menjadi suatu alat yang bertentangan dengan hukum dan perasaan
keadilan serta norma masyarakat
• Mencari profit untuk usaha • Hak mengetahui masyarakat atas sistem
penyelenggaraan negara yang baik
• Hak masyarakat atas ketertiban umum dan perasaan aman
• Hak masyarakat atas peradaban yang sesuai etika dan dinamika
kebudayaan
• Hak atas kebebasan berinformasi dan berkomunikasi
• Hak atas privasi
• Hak untuk tidak menjadi obyek penelitian dan pemberitaan • Kegiatan
yang baik dan bertanggung jawab untuk memberikan kontrol ataupun
feedback kepada pemerintah
• Kewajiban memberikan informasi publik dan kerahasiaan informasi untuk
kepentingan publik.

Setelah mencermati, apakah itu Media, apakah itu Pers dan bagaimana
kelayakannya. Jika memang Pers memang tidak mempunyai suatu
prosedur untuk memperlihatkan kelayakannya, rasanya sulit mengatakan
bahwa Pers adalah suatu media. Patut diacungkan jempol bagi insan Pers
yang sadar akan apa konsekwensi dari penggunaan kata Media itu, dimana
sebagai penyelenggara Media mereka berupaya untuk mengembangkan
sistem operasi dan prosedur didalam manajemen penyelenggaraannya
agar informasi yang disampaikannya terjamin obyetifitasnya dan
validitasnya. Tetapi sangat disayangkan akibat ada sebagian Pers yang
berperilaku buruk dan tak ada mekanisme yang dapat menghentikannya
secara self-regulation-regime atau komunitas pers sekan lepas tanggung
jawab dan tidak dapat memberhentikannya lewat mekanisme komunalnya,
maka Pers sepertinya kurang mendapat simpati rakyat. Akibatnya seorang
idealis pers boleh jadi malah terjerat hukum sementara seorang komersialis
pers malah terlindungi dengan baik. Cukup ironis sekali.

Berkenaan dengan UU Pers yang menjelaskan ada fungsi-fungsi dalam


media, sepatutnya ada mekanisme kontrol yang harus memaksakan
perusahaan pers untuk menjalankan ke semua fungsi media itu. Selain itu,
perlu juga dipikirkan apakah suatu media yang orang-orangnya tidak perduli
dengan hukum dan tidak mau terikat kepada suatu etika jurnalistik akan
dibiarkan terus sehingga membuat kebingungan bagi masyarakat tentang
etika pers dan medianya.

Semua orang tentunya akan sepakat bahwa media masa adalah backbone
dari penyelenggaraan negara yang baik. Sesuai dengan perpesktif fourth
estate yang meletakkan Media setara dengan Pemerintah, maka logikanya
jika memang ada hukum untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan
yang baik, sepatutnya juga ada standar dalam menyelenggarakan sistem
media yang baik. Sehingga akan sangat adil bagi semua pihak, dan refleksi
yang dihasilkan oleh pers untuk demokrasi tentunya juga akan menjadi
semakin jernih dan netral untuk kepentingan kita semua, serta Pers dapat
lebih mencitrakan diri dalam harkat dan martabatnya sebagai honorable
profession ditengah masyarakat.

Jika kita semua memang ingin ada ”trust” oleh masyarakat kepada pelaku
media, jangan biarkan mekanisme itu terjadi tanpa prosedur yang kuat.
Security untuk mendapatkan trust memang harus dibangun dengan cara
best effort, dengan kata lain harus ada standar untuk good information
governance dalam media, hal itulah yang akan dapat membatasi tanggung
jawab bagi segenap insan media. Semuanya ini dikembalikan kepada
kesadaran dan semangat kita semua untuk menyelamatkan karakteristik
bangsa ini di masa depan.

Akhirnya, diharapkan bahwa UU sebagai pedoman sikap tindak Pers dan


Masyarakatnya dapat melindungi kepentingan pada idealis media masa
yang berupaya sekuat mungkin untuk menyajikan informasi yang baik
kepada masyarakat dan juga bisa menghentikan orang-orang dan media
yang tidak bertanggung jawab kepada masyarakat. Mudah-mudahan harkat
dan martabat serta budaya masyarakat tidak terpuruk hanya karena
kepentingan segelintir kapitalis media. Jika memang benar-benar kita ingin
menyelamatkan para idealis media, maka tidak ada kata lain kita harus mau
membuka diri bahwa demi kepentingan hukum harus diperkenankan bahwa
suatu media yang bertentangan dengan hukum harus dapat dihentikan
ataupun ditutup agar tidak mengkontaminasi publik.

Oleh: Edmon Makarim

Sumber: Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi - FHUI

Anda mungkin juga menyukai