Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHUUAN

A. Latar Belakang
Indonesia yang sekarang sedang dilanda krisis multidimensional yang berkepanjangan dengan
posisi, apakah siap atau tidak siap memasuki dunia maya atau sering disebut cyberworld dan
cyberspace, sebagai akibat kemajuan teknologi informasi canggih (information superhighway)
yang merupakan bagian dari system komunikasi dan informasi global di abad 21 dalam
Mellenium III ini tengah menyaksikan suatu fenomena kian meluasnya pengaruh globalisasi di
berbagai sector kehidupan manusia di muka bumi.
Sekarang ini permasalahan media massa atau media pers bukan lagi sekedar masalah
peraturan perundang-undangan dan rambu-rambu etika yang ada (A.Muis, 2001 : 40-41), tetapi
berkaitan dengan masalah terpenting yaitu keberadaan cyberspace dengan globalisasi informasi
dan komunikasi system terbuka yang tidak lagi memperhatikan batas-batas kekuasaan atau
kedaulatan masing-masing Negara. Artinya, undang-undang yang dibuat untuk menetralisasi
pengaruh globalisasi sudah tidak lagi berfungsi, bagi suatu Negara yang belum mempunyai
undang-undang cyberlaw (UU Internet), khususnya Negara Indonesia yang kini belum memiliki
cyberlaw (UU Internet) akan sulit membendung atau memberikan sanksi pelanggaran di bidang
hukum komunikasi. Pada era pemerintahan reformasi yang demokratik dan menganut system
politik terbuka Indonesia berhadapan dengan “kebebasan pers” dan konsistensi pelaksanaan
HAM sesuai dengan UU No. 40/1999 tentang Pers, tambahan Pasal 28 F UUD 45 dan seirama
dengan Pasal 21, Tap XVII/MPR/1999 yang berbunyi sebagai berikut.
“setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menuyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari aspek hukum komunikasi kehumasan?
2. Apa tujuan adanya aspek hukum komuniaksi dalam kehumasan?
3. Bagaimana aspek hukum komunikasi kehumasan?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa pengertian dari hukum komunikasi kehumasan.
2. Mengetahui tujuan adanya aspek hukum komunikasj dalam kehumasan.
3. Memahami apa saja aspek hukum komunikasi dalam kehumasan.

BAB II
PEMBAHASAN

ASPEK HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN


Kode Etik Profesi Kehumasan merupakan “self imposed regulation” dan normatif Etik
menjalankan fungsinya yang memilki kekuatan (power) untuk mempengaruhi atau kemampuan
merekayasa (social engineering) opini publik secara simultan (simultaneity effect) melalui kerja
sama dengan pihak media massa seperti yang dikehendakinya, apakah untuk tujuan baik atau
sebaliknya untuk kepntingan sepihak yang tidak dapat dipertanggung jawaban. Dalam hal ini,
agar tujuan Humas/PR melakukan kampanye, promosi, dan publikasi tersebut menguntungkan
(benefit) semua pihak, maka diperlukan suatu “aturan main” sebagai rambu-rambu atau
pedomannya baik Kode Etik, etika Profesi, maupun aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan
kehumasan yang profesional dan dapat dipertanggaung jawaban.
Kebebasan memperoleh informasi dan system komunikasi Indonesia sekarang lebih bersifat
universal dan terbuka. Artinya, pemerintah memberikan hak-hak perlindungan bagi penerbitan
media pers dan wartawan tertentu dalam menyalurkan informasi atau berita untuk memenuhi
public’s right to know (hak public untuk mengetahui). Akan tetapi sebaliknya, di era keterbukaan
ini banyak pejabat instansi pemerintah pata eksekutif pihak swasta masih belum siap, dan bahkan
melakukan kebijakan menutup akses masyarakat untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan.
Walaupun kini pers nasional memiliki kebebasan, namun tetap mengacu pers bebas
yang bertanggung jawab, dapat diberi makna telah melampaui batas kebebasan berkomunikasi
dan informasi (berita) wajar dan santun yang mengacu pada nilai budaya komunikasi sesuai
dengan kode etik, etika profesi dan aspek hukum komunikasi yang ada. Kode etik jurnalistik
(KEJ) pada dasarnya menguraikan hal-hal yang menyangkut profesi kewartawanan berikut ini :
a. Kepribadian wartawan Indonesia
b. Pertanggungjawaban;
c. Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat
d. Hak jawab dan hak sangkal;
e. Sumber berita
f. Kekuatan kode etik
Dengan demikian, terdapat pertimbangan patut dan tidak patut untuk memberitakan hal-
hal yang menyinggung perasaan kesusilaan, SARA (suku, agama, dan ras), mengenai
kehormatan nama, atau martabat seseorang. Dalam perundang-undangan pers nasional atau
ketentuan internasional mengenai batas-batas yang limitative, terdapat kegiatan pemberitaan pers
sebagai berikut :
· Penghinaan dalam legislative
· Berita hasutan dan kebohongan
· Penghinaan terhadap nilai agama
· Pornografi (dalam bentuk tulisan, gambar dan lisan)
· Keamanan nasional dan ketertiban umum
· Pernyataan yang menghambat jalannya peradilan
· Pelecehan terhadap pengadilan atau jalannya suatu proses siding peradilan

Falsafah Hukum dan Etik


Pakar hukum pers, Prof. Oemar Seno Adji (1991:20)dalam bukunya Etika Profesional
Hukum mengatakan bahwa menelaah hubungan antar kode etik dan hukum didasarkan pada latar
belakang berbagai aliran, yaitu
· Aliran naturrecht, Norma-norma etik dan pelaksanaan dalam konsep hukum yang
diberlakukan adalah secara tidak terpisah-pisah. Dapat saja terjadi, suatu pelanggaran norma etik
akan sama dengan pelanggaran hukum yang berlaku. Atau tidak mengenal antara etik dan
hukum.
· Aliran positivisme, pengembangan di bidang hukum konkret yang dibedakan dengan
pelaksanaan di bidang kode Etik untuk kalangan profesional yang telah memiliki kode etik
bersifat normatif atau formatif yang telah disepakati bersama. Pengecualiannya ialah hal-hal
pelanggaran yang sudah masuk ke kawasan atau prinsip-prinsip yang berlaku. Atau mengakui
adanya pemisah antara hukum dan etik
· Aliran samenual, diakuinya adanya persoalan etik dan sanksi hukum, misalnya dalam
Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Periklanan dan Kode Etik Kehumasan, yaitu berawal dari
suatu “pelecehan” (gambar karikatur atau gurauan dan humor bermasalah) yang kemudian dapat
meningkat menjadi unsur penghinaan yang menyebabkan timbul Delik Pidana, baik berbentuk
penghinaan melaluin tulisan, visual (gambar) atau secara lisan terhadap nama kehormatan dan
martabat seseorang atau lembaga tertentu, termasuk mengenai masalah SARA (suku, agama, ras,
dan antar golongan) dan sebagainya. Atau menganggap adanya titik pertemuan dalam kode etik
professional dengan bidang hukum tertentu, yaitu adanya kesamaan. Artinya, diakui adanya
aspek-aspek yuridis dalam persoalan etik dan sanksi hukum Atau Pelanggaran kode etik profesi
akan langsung dikaitkan dengan hukum yang berlaku.

Hukum Komunikasi Kehumasan


Aspek-aspek hukum komunikasi dalam kegiatan kehumasan, baik dilihat dari hukum
internasional seperti Anglo saxon system maupun eropa continental dengan dua implikasi hukum
penghinaan (defamation) sebagai berikut :
1. The law of libel, yaitu pelanggaran penghinaan atau pelecehanyang bersifat tertulis/tercetak
2. The law of slander, yaitu pelanggaran penghinaan yang bersifat lisan, ucapan, atau
pertanyaan dimuka umum (Ruslan, 1995:111).
Hal tersebut dapat terjadi misalnya seseorang atau pejabat PR/Humas (PR Officer) kadang-
kadang tidak senagaj melemparkan suatu “joke” atau ingin bersenda gurau di hadapan
khalayaknya agar suasana menjadi akrab dan tidak kaku. Akan tetapi, tanpa disadari “lelucon”
tersebut tidak lagi lucu bahkan cencderung melecehkan seseorang. Misalnya; tentang cacat
tubuhnya, etnik atau suku, bahkan menyinggung nilai kesucian suatu agama yang dijadikan
objek leluconnya sehingga ada pihak lain tidak menerimanya. Persoalan sepele dapat menjadi
“lelucon bermasalah” yang dapat dikategorikan untur penghinaan (delik pidana).
Pelanggaran delik pidana dalam kegiatan komunikasi Humas/PR tersebut lebih delik
pengaduan (klacht delict) daripada delik biasa. Artinya, kalau terjadi pelanggaran harus ada yang
merasa dirugikan atau dilecehkan nama baik dan kehormatan pribadinya. Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) , kejahatan terhadap kehormatan diatur dalam Titel XVI, Pasal
310 sampai dengan Pasal 321. Maksud kejahatan di sini menurut istilah hukum AS adalah
“defamation dan belediging” (hukum Belanda) yang artinya penghinaan terhadap kehormatan
(misdrijven tegen de eer) atas seseorang atau suatu lembaga.
Lalu orang barunya, apa itu kehormatan? Prof. Satochid Kartanegara, SH, dalam bahan
Kuliah Hukum Pidana menafsirkan bahwa kehormatan adalah sesuatu yang disandarkan atas
harga diri atau martabat manusia yang bersandar pada tata susila karena kehormatan merupakan
nilai susila manusia.
Penghinaan itu dapat terjadi terhadap orang yang telah meninggal dunia, seprti; seorang artis
sinetron, film, atau bintang iklan. Apabila ”tokohnya” telah meninggal dunia, penayangan
iklannya di berbagai media cetak dan TV atau radio harus segera dihentikan walaupun kontrak
penayangan masih berlangsung. Sedangkan film atau sinetronnya boleh ditayangkan. Karena
penayangan iklan tersebut mengandung unsur ”eksploitasi komersial” dan menjadi kurang etis
terhadap produk yang diiklankannya, maka kalau tidak dihentikan akan terjadi pelanggaran
kehormatan nama baik atasbidang atau tokoh yang telah meninggal dunia tersebut.
Menurut Sistem KUH Pidana, terdapat empat klasifikasi jenis kejahatan yang ditujukan
terhadap kehormatan dalam bentuk murni, yaitu:
Menghina secara lisan (smaad);
Menghina secara tertulis (smaad schrift);
Menfitnah (laster);
Mengina secara ringan (eenvoudige belediging).
Jadi, ditinjau dari Pasal 310 KUH Pidana tersebut, maka dapat dirumuskan antara lain; menista
(smaad) atau menghina secara lisan (slander), dan menista (smaadschrift) atau menghina orang
dengan surat, berita atau barang cetakan (libel).
Perbuatan yang dilarang pada dasarnya adalah “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”(Satochid; 599).
Kata “sengaja” artinya mengeluarkan kata-kata dengansengaja untuk pelanggaran terhadap sutu
kehormatan dan nama baik seseorang atau suatu lembaga. Sedangkan “nama baik” (goede naam)
berarti kehormatan yang diberikan kepada seseorang oleh masyarakat berhubungan dengan
kedudukannya di dalam masyarakat. Dengan perkataan lain, yang bersangkutan adalah orang
yang terpandang di mata masyarakat karena jabatan, status dan ketokohan yang dimilikinya.
Setelah diterangkan di atas tentang pelanggaran atas kehormatan dan nama baik seseorang, maka
perumusan delik Pasal 319, KUHP memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
Terdapat perbuatan dengan sengaja (opzet);
Menyerang atau melanggar kehormatan nama baik orang lain;
Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu dan sepihak;
Mempunyai maksud diketahui oleh umum (publik).

Penghinaan secara tertulis atau tercetak dalam bentuk gambar yang disebarluaskan kepada umum
dapat melalui cara :
Menyebar atau menyiarkan dalam jumlah besar;
Menunjukkan (ten toon stellen) tidak dalam jumlah besar;
Menempelkan di berbagai tempat keramaian.

Dalam kegiatan sehari-hari tugas dan fungsi kehumasan tersebut berisiko ancaman
hukuman pidana jika melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. Perbuatan kesalahan yang sebenarnya dapat dihindarkannya;
b. Perbuatan yang melanggar etika dan hukum;
c. Perbuatan yang telah dilarang;
d. Perbuatan yang berunsur kesengajaan atau kealpaannya;
e. Perbuatan yang menyebabkan ada pihak yang merasa dirugikan;
f. Perbuatan dengan niat tujuan yang tidak baik.
1.Kode Etik Jurnalistik dan Asas-Asasnya
Kode etik jurnalistik berperan untuk membatasi tindakan pers agartidak anarki dan sewenang-
wenang. Walaupun kode etik tersebutmembatasi suatu tindakan pers, para pelanggarnya tidak
dikenakan sanksiyang konkret. Kode etik ini pun juga tidak berlaku untuk semua
kalanganmasyarakat tetapi hanya untuk masyarakat yang mempunyai profesitertentu seperti
wartawan. Kode etik hanya diputuskan oleh pihakorganisasi tertentu dan hanya untuk kalangan
tertentu.

2.Asas-asas Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia

Dalam Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia terdapat 4macam asas, yaitu :
a.ProfesionalitasDalam hal ini Pers wajib memenuhi aspek-aspek profesionalitas yaitu
1.Tidak memutarbalikkan fakta, tidak memfitnah;
2.Berimbang, adil, dan jujur
3.Mengetahui perbedaan kehidupan pribadi dan kepentingan umum;
4.Mengetahui teknis penulisan yang tidak melanggar asas praduga takbersalah serta tidak
merugikan korban kesusilaan
5.Mengetahui kredibilitas narasumber
6.Sopan dan terhormat dalam mencari berita;
7.Tidak melakukan plagiat
8.Meneliti semua kebenaran bahan berita terlebih dahulu;
9.Tanggung jawab moral besar (mencabut sendiri berita yang salahwalaupun tanpa ada
permintaan)

Kode Etik Periklanan


Kode etik periklanan yaitu :
1.Iklan adalah publikasi yang berupa reklame dengan menyewa sesuaturuangan dengan maksud
memperkenalkan sesuatu melalui media pers.
2.Iklan harus bersifat membangun dan bermanfaat serta bebas dariamoral, asosial dan harus
sopan santun.
3.Iklan harus menghormati hak publik.
4.Iklan dapat ditolak apabila :
a.Bersifat tidak jujur dan merugikan.
b.Melanggar hukum.
c.Dapat merusak pergaulan dan martabat seseorang.
d.Dapat merusak kepentingan nasional dan bertentangan denganPancasila.
e.Bertentangan dengan profesi golongan lain.
f.Iklan tersebut bersifat destruktif.
5.Diwajibkan meralat iklan apabila ada kesalahan.
6.Mencabut iklan-iklan yang dipasang oleh pihak yang memberi alamat palsu.
7.Iklan dapat ditolak oleh penerbit apabila dianggap menyalahikebijaksanaan penerbitan pers.
8.Iklan tidak boleh disiarkan tanpa persetujuan.
9.Dalam pemasangan iklan harus melalui Biro iklan dan juga Biro iklan tersebut harus mendapat
pengakuan dari organisasi pers yang bersangkutan.
10.Pengawasan penataan periklanan ini dilakukan oleh dewankehoramatan S.P.S. yang
menentukan sanksi-sanksi yang diperlukan.

Demikian kode etik yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi pelanggaranterhadap hak-hak asasi
manusia.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Seorang PR officer harus memiliki prinsip-prinsip :


a. Tanggung jawab
Seorang PR harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap profesi, hasil dan dampak yang
tampak yaitu:
Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan atau fungsinya artinya keputusan yang diambil
dan hasil dari pekerjaan tersebut harus baik serta dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pada
standar profesi. Tanggung jawab terhadap dampak atau akibat dari tindakan serta pelaksanaan
profesi tersebut terhadap dirinya, rekan kerja dan profesi, organisasi/perusahaan dan masyarakat
umum, serta keputusan atau hasil pekerjaan tersebut dapat memberikan manfaat dan berguna
yang baik bagi dirinya atau pihak lain. Prinsip sebagai profesional harus berbuat yang baik dan
tidak untuk berbuat sesuatu yang merugikan.
Ketidakterikatan (kebebasan) Para profesional memiliki ketidakterikatan atau keberpihakan
dalam menjalankan profesinya tanpa merasa khawatir atau ragu-ragu, tetapi memiliki komitmen
dan bertanggung jawab dalam batas-batas aturan main yang telah ditentukan oleh kode etik
sebagai standard perilaku profesional.
b. Kejujuran
Jujur dan setia serta merasa terhormat pada profesi yang dimilikinya, mengakui akan
kelemahannya dan tidak menyombongkan diri, serta berupaya terus untuk mengembangkan diri
dalam mencapai kesempurnaan bidang keahlian dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan
dan pengalaman.
c. Keadilan
Dalam menjalankan profesinya maka setiap profesional memiliki kewajiban dan tidak
dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap hak atau mengganggu milik orang lain, lembaga
atau organisasi, hingga mencemarkan nama baik bangsa dan negara. Selain itu harus menghargai
hak-hak, menjaga kehormatan nama baik, martabat dan milik bagi pihak lain agar tercipta saling
menghormati dan keadilan secara obyek dalam kehidupan masyarakat.
d. Otonomi
Seorang profesional memiliki kebebasan secara otonomi dalam menjalankan profesinya sesuai
dengan keahlian, pengetahuan dan kemampuannya, organisasi dan departemen yang
dipimpinnya melakukan kegiatan operasional atau kerjasama yang terbebas dari campur tangan
pihak lain. Apapun yang dilakukannya itu adalah merupakan konsekuensi dari tangggung jawab
profesi, kebebasan otonom merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki bagi setiap profesional.

B. Daftar Pustaka

Suranto Aw, Komunikasi Interpersonal, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm.123.


Scott M, Cutlip.Allen H, Center, Glen M, Broom, Effective Public Relations Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2009, hlm 163.
Keith Butterick, Pengantar Pubic Relations Teori dan Praktik, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2014 hlm 89.
RosadyRusan, SH, MM, Manajeme Public Reations dan Media Komunikasi konsepsi dan
apikasi. PT. RajaGrafindo Persada Jakata, 2016, hlm. 342.

Anda mungkin juga menyukai