Anda di halaman 1dari 6

BUDAYA SELFIE SEBAGAI INTERAKSI POTRET DIRI

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi, baik
antara satu individu dengan individu lain, individu degan kelompok maupun kelompok
dengan kelompok. Namun seiring perkembangan zaman, manusia mulai memanfaatkan
teknologi sebagai alat komunikasi sehingga pola komunikasi manusia mulai berubah
menjadi pola komunikasi digital. Teknologi selular yang kini dimanfaatkan sebagai alat
untuk berkomunikasi karena sifatnya yang memberikan kemudahan dalam
penggunaannya. Hal ini sebagai akibat dari determinasi teknologi informasi dan
komunikasi yang semakin berkembang. Seperti di katakan dalam buku the guttenberg
galaxy : the making of typographic man tahun 1962, oleh Marshall Mcluhan bahwa dasar
teori determinasi teknologi adalah perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara
berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri, teknologi
membentuk cara berfikir, berprilaku dan bergerak dari satu abad teknologi selanjutnya
didalam kehidupan manusia.
Komunikasi digital pada awalnya merupakan komunikasi yang memanfaatkan
teknologi komunikasi “Handphone” sebagai alat komunikasi yang memudahkan
penggunanya untuk berkomunikasi dalam jarak jauh. Seiring waktu teknologi komunikasi
ini berkembang sehingga memunculkan tools baru yang memberikan kecanggihan lebih.
Selain itu, pembaruan pada teknologi komunikasi, mulailah bermunculan aplikasi yang
memiliki fungsi lebih dari sekedar aplikasi untuk berkomunikasi.
Perpaduan antara kemajuan teknologi komunikasi dan aplikasi-aplikasi inilah yang
kemudian menciptakan budaya baru yang disebut dengan selfie. Pada hakekatnya,
memotret merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengabadikan suatu peristiwa.
Demikian pula seharusnya dengan foto selfie yang merupakan bagian dari aktifitas
memotret. Selfie dilakukan dengan memotret diri sendiri dengan menggunakan alat seperti
smartphone, gadget atau webcame dan kemudian di unggah ke media sosial seperti
instagram. Ketika perkembangan teknologi merasuki semua lini di dalam kehidupan
masyarakat terutama dalam hal komunikasi, “selfie‟ menjadi salah satu fenomena yang
mudah ditemui dalam masyarakat urban. Fenomena selfie saat ini telah menjadi hal yang
wajib dilakukan terutama bagi mereka yang narsis karena foto selfie umumnya merupakan
cara seseorang untuk merekam sebuah momen yang kemudian diperlihatkan kepada orang
lain.
Menurut sejarah pertama kali “Selfie‟ dilakukan oleh seorang yang bernama Robert
Cornelius pada tahun 1839, namun dahulu selfie dikenal dengan nama Self-Potrait, yang
mana diartikan sebagai mengabadikan diri sendiri melalui alat elektronik berupa kamera.
Pada tanggal 28 Agustus 2013 secara resmi kata “selfie‟ dimasukan ke dalam kamus
Oxfords Dictionaries Online karena berdasarkan riset yang dilakukan oleh tim dari Oxfords
Dictionaries kata selfie mengalami peningkatan dalam penggunaanya sebesar 17.000
persen sejak tahun lalu. Sehingga Oxfords Dictonaries menobatkan kata selfie sebagai
Word of the year 2013. (Novian, 2015)
Fenomena selfie semakin popular semenjak adanya aplikasi-aplikasi media sosial
yang mana digunakan sebagai media interaksi dan juga media sharing. Proses presentasi
objek visual memilki untuk membentuk image yang diinginkan kepada orang lain.
Sehingga selfie pada akhirnya memiliki memiliki fungsi lain yaitu sebagai media untuk
menunjukan siapa dan bagaimana dirinya. Seorang psikolog bernama Salma Prabhu yang
dikutip India times, Selasa (10/12/2013), mengatakan selfies atau selfie adalah upaya untuk
menunjukan kepada orang banyak betapa hebatnya dia namun hal tersebut bisa jadi
bertujuan ingin diperhatikan.

2. Kajian Teoritik
2.1.Interaksi Potret Diri
The selfie is a form of relationan positioning between the bodies of the viewed and
viewers in a culture of individualized mobility, where one’s “here” and another’s “there”
are mutually connected butperpetually shifting (Garcia-Montes, Caballero-Munoz, &
Perez-Alvarez, 2006). Secara tidak langsung hal ini menyatakan bahwa selfie merupakan
bentuk interaksi bagaimana pelaku selfie menampilkan dirinya untuk sengaja diperlihatkan
pada orang-orang yang dituju yang mana hal ini berlangsung secara terus menerus dan
timbal terjadi pula timbal balik didalamnya.
Akan tetapi, selfie lebih dari sekedar interaksi dimana pelaku selfie menunjukan potret
dirinya kepada “viewer”. Dikatan bahwa “selfie does more than this: it deploys both the
index as trace and as deixis to foreground the relationship between the image and its
producer because its producer and referent are identical. It says not only “see this, here,
now,” but also “see me showing you me.” It points to the performance of a communicative
action rather than toan object, and is a trace of that performance. Selfie tidak hanya
merujuk pada gambar yang di tampilkan akan tetapi lebih dari itu bagaimana foto itu
dibuat, di produksi kemudian didistribusikan.
Pernyataan lain diungkapkan Theresa M. Senft (2015) dalam jurnalnya yang berjudul
“ what does the selfie says? Investigating a global phenomenon” mengatakan bahwa “ what
precisely is a selfie? First and foremost, a selfie is a photographic object that initiates the
transmission of human felling in the form of a relationship (between photographer and
photographed, between image and filtering software, between viewer and viewed,
individuals circulating images, between users and social software architectures, ect). A
selfie is also practice‒a gesture that can send (and is often intended to send) different
messages to different individuals, communities, and audiences.
2.2.Rekayasa dalam Potret Diri
Erving Goffman berpendapat bahwa diri terbelah antara keinginan untuk bertindak
secara spontan dan keinginan untuk mengikuti harapan sosial. Menurut metafora
dramaturgical, upaya individu untuk mengikuti harapan sosial terbaik dipahami sebagai
dramatis, atau teater, pertunjukan untuk mempresentasikan dirinya. (Wootten & Drew,
1988:83). Teori dramaturgi Goffman, menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak
stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri.
Identitas manusia bisa saja berubah-ubah bergantung dari interaksi dengan orang lain.
Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam
dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah
aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang
lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri” (Little John& Karen A. Foss, 2009: 128).
Dalam konteks selfie di media sosial merupakan sebuah tindakan yang sengaja
dibentuk oleh diri sehingga menciptakan persepsi yang merujuk pada gambar yang di
tampilkan yang mana hal ini menjadi symbol representasi ataupun penggambaran diri.
Sebuah Pandangan tentang konsep diri diungkapan oleh George Herbert Mead yang mana
ia mengungkapkan bahwa konsep diri berasal dari interaksi sosial, memberikan penekanan,
konsep diri terletak pada konsep pengambilan peran orang lain. Hal tersebut juga
menjabarkan bahwa konsep diri merupakan turunan dari konsep diri sosial, karena diri
merupakan sesuatu yang aktif, inovatif yang tidak hanya berproses dalam kehidupan sosial
melainkan menciptakan 18 masyarakat baru yang segalanya tidak dapat diramalkan,
termasuk perilaku, dengan garis bawah bahwa “individu tersebut yang mengontrol
tindakan dan perilakunya, dan mekanisme pengontrolan yang dilakukan terletak pada
makna yang dibuat secara sosial” (Mulyana, 2006:75).
Beberapa hal yang menjadi sebuah keharusan dalam mengkonstruksi diri sebelum
mempresentasikan diri dalam potert diri agar tercipta sebuah kesan yang baik. Pertama,
Penampilan muka (proper front) Diekspresikan secara khusus agar orang lain tahu dengan
jelas si pelaku. Front ini adalah penampilan individual yang menentukan presentasi diri
dan muncul sebelum audience. Hal ini mencakup semua atribut ekspresif yang dibutuhkan
untuk menjalani perannya. Front ini mencakup tiga aspek, yakni setting (furniture,
dekorasi, layout fisik, dan latar belakang yang menyediakan pemandangan yang
menggambarkan kebenaran yang akan ditampilkan), juga personal front (peralatan
ekspresif lain, seperti pakaian, jenis kelamin, ras, usia, pola bicara, mimik muka, sikap
tubuh, dll), selain itu juga appearance, dan manner. Kedua, Keterlibatan dalam perannya
Ini adalah hal wajib yang harus dimiliki individu sebagai aktor. Individu dalam hal ini
harus terlibat penuh dalam peran yang ia mainkan, karena ketika ia terlibat penuh dalam
perannya, maka hal tersebut akan mempermudah dirinya dalam bersungguhsungguh
menghayati peran. Ketiga, Mewujudkan idealisasi harapan orang lain tentang perannya
Sebagai contoh konkret, seorang pengacara haruslah mengetahui tipe perilaku apa yang
diharapkan dari masyarakat yang melihatnya, mengenai peran, dan apa yang seharusnya ia
lakukan, karena hal tersebut akan sangat mempengaruhi orang lain dalam menilai.
Keempat, Mystification, Bahwa kebanyakan peran menuntut pemeliharaan jarak social
tertentu antara actor dan orang lain.
Jelas bahwa konstruksi diri dilakukan dengan tujuan untuk menujukan kesan baik
sesuai dengan apa yang diinginkan. Sehingga identitas pelaku selfie sering kali ditampilkan
tidak sesuai dengan kenyataan, melainkan berdasarkan apa yang diinginkan pelaku selfie
itu sendiri. Artinya bahwa konstruksi identitas dalam foto selfie dimedia sosial dapat
dikatakan bersifat manipulative dan sengaja direkayasa pelaku selfie.
2.3.Presentasi Diri dalam Media Sosial
Menurut dosen studi Pendidikan Psikologi di Universitas Cambridge yaitu Dr. Terri
Apter, kebanyakan orang-orang melakukan selfie karena mereka ingin menunjukkan
kepada orang lain mengenai representasi image atas diri mereka. Image atas diri mereka
dibangun berdasarkan apa yang ingin orang lain lihat dari Anda. Sehingga tidak
mengherankan jika Anda akan memilih hasil selfie yang terbaik karena itulah self-image
yang ingin Anda citrakan ke orang lain.
Ketika mengkaitkan antara media sosial dan presentasi diri, bisa terjadi pandangan
yang cukup kontradiktif. Di satu sisi, presentasi diri yang berakar dari interaksi tatap muka
antar individu memandang presentasi diri melalui media sosial akan menghilangkan
elemen non verbal komunikasi dan konteks terjadinya komunikasi. Sehingga presentasi
diri tidak maksimal di dalam media sosial. Di sisi lain, ketidakhadiran elemen-elemen non
verbal dan konteks bisa dipandang sebagai sebuah kondisi bagi pengguna untuk lebih
mudah mengontrol dan/ atau minimal dalam melakukan presentasi diri. Sehingga ketiadaan
elemen-elemen nonverbal bisa membuat komunikasi tidak berjalan cukup ‘kaya’. Namun,
pada saat yang sama setiap pengguna mendapatkan kesempatan untuk lebih inventif dalam
melakukan presentasi diri (Papacharissi, 2002).
Dalam presentasi diri, media sosial dipandang sebagai perpanjangan diri pengguna.
Seperti yang diutarakan oleh McLuhan (1965) bahwa medium adalah perpanjangan indera
maupun sistem saraf manusia. Pengguna media sosial akan menata media yang dipakai
selayaknya sebuah ‘ruang tamu’, bahkan ‘kamar’, bagi para pengunjungnya. Joseph
Dominick (1999:646) pernah melakukan penelitian mengenai presentasi diri di website
pribadi. Dalam studinya itu, dia mengutip pandangan beberapa pakar mengenai website
pribadi. Rubio memandangnya sebagai sebuah open house dimana pemiliknya tidak
pernah muncul. Erickson membandingkan website tersebut sebagai resume/biodata
informal yang berisi informasi pribadi. Chandler menjuluki website tersebut sebagai
mengiklankan diri sendiri (self-advertisement). Burns mengatakan bahwa website tersebut
sebagai kartu nama di abad ke-21. (Luik, Tanpa tahun)
Hal ini menjadi masuk akal ketika melihat praktek penggunaan media sosial saat ini.
Pengguna akan berupaya untuk memilih foto profil yang sesuai dengan sosok impiannya.
Begitu juga jika melihat dari konten tulisan yang ada di media sosialnya. Jika di media
tertentu seperti Facebook terdapat bagian: “what’s on your mind” (apa yang sedang ada
dipikiranmu) yang memancing pengguna untuk menulis sesuatu. Twitter memiliki bagian:
“what’s happening” (apa yang sedang terjadi) yang membuat pengguna bisa menuangkan
140 karakter untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi. Wordpress menyediakan
berbagai macam tema atau tampilan untuk blog yang bisa dipiliha sesuai dengan penataan
pengguna. Sehingga media sosial merupakan perpanjangan dari diri individu. (Luik, Tanpa
tahun)
3. Kesimpulan
Referensi
• Ratmanto, teguh (2005). Determinasi teknologi dalam komunikasi dan informasi.
Mediator vol.v
• Luik, Jandy E (tanpa tahun). Media Sosial dan Presentasi Diri. UK-Petra: Surabaya
• McLuhan, Marshal. (1965). Understanding Media: the extensions of Man. New York:
McGraw-Hill Book.

Anda mungkin juga menyukai