Anda di halaman 1dari 15

UI

2011

KONFLIK KEPENTINGAN DALAM MEDIA MASSA: ETISKAH?


Paper Etika dan Kebijakan Media Kelompok 6
Aulia Dwi Nastiti | Muhammad Rezky Agustyananto

LATAR BELAKANG Dalam suatu sistem masyarakat, media massa memiliki fungsi mendasar sebagai alat pemenuhan kebutuhan sosial dan kepentingan publik akan berbagai informasi. Fungsi sosial ini muncul berdasarkan perspektif teori social responsibility yang memandang bahwa informasi merupakan public goods atau barang publik (McQuail, 2005). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka media sebagai agen penyampai informasi haruslah

menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama dalam menjalankan kegiatan komunikasi massa. Oleh karena itu, dalam industri media massa, satu hal paling utama yang menentukan eksistensi suatu media adalah kepercayaan dari publik (public trust) terhadap media tersebut sehingga media harus menjaga kepercayaan publik sekaligus dapat mempertanggungjawabkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh informasi yang

dipublikasikan (Gordon, et.al, 1999). Dalam hal ini, apa yang dinamakan sebagai kredibilitas merupakan sesuatu yang sangat penting bagi media. Bagi media, kepercayaan publik dan kredibilitas merupakan hal yang sangat penting untuk bisa menjalankan semua fungsi dari media yaitu: pengawasan lingkungan (surveillance), korelasi atau membantu pengambilan kebijakan (correlation), transmisi nilai-nilai budaya (cultural transmission), dan sosialisasi (socialization) (Laswell, 1948). Untuk menjalankan fungsi ini, media membutuhkan kepercayaan publik dan untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, kredibilitas merupakan kuncinya. Media memiliki kewajiban terhadap masyarakat untuk menyajikan suatu informasi yang benar, akurat, objektif dan relevan dengan kepentingan publik. Konsekeuensinya, jurnalis yang bekerja di media haruslah kredibel dalam memproduksi informasi. Kredibilitas ini tidak hanya dibutuhkan dalam diri jurnalis, tetapi juga mencakup para pekerja dalam industri hiburan ataupun komunikasi persuasif, seperti kreatif iklan, copywriter, sineas film, editor, juga praktisi hubungan masyarakat (public relations) (Gordon, et.al, 1999). Idealnya, media menyajikan informasi dengan berorientasi pada kepentingan publik dan terbebas dari kepentingan politik pihak-pihak tertentu dan kepentingan sempit pemilik modal, sehingga pemberitaan dan informasi yang ingin disajikan benar-benar independen dan tidak terdistorsi oleh kepentingan privat yang bertujuan untuk memanipulasi informasi dan opini publik. Akan tetapi kondisi tersebut dinilai utopis dan tidak mungkin terjadi

terlebih lagi di masa globalisasi seperti sekarang di mana media menjadi sebuah organisasi bisnis transnasional (McQuail, 2005). Realitas yang terjadi di lapangan tidak menunjukkan kondisi ideal media sebagai fungsi pemenuhan kebutuhan publik karena masih banyaknya konten media yang mengandung bias kepentingan-kepentingan tertentu. Berita-berita yang tersajikan di media massa seringkali subjektif dan membawa kepentingan pihak tertentu. Berita-berita politik merupakan salah satu kategori yang paling riskan diintervensi oleh kepentingan pihak-pihak lain yang berupaya membentuk pandangan dan sikap politik tertentu pada masyarakat. Bias kepentingan dalam isi media pada dasarnya disebabkan karena isi media dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi. Merujuk pada Shoemaker dan Reese (1996:139) dalam model hierarki faktor pembentuk konten media, isi media dilatarbelakangi oleh lima jenjang faktor determinan yang direpresentasikan dengan lingkaran konsentrik. Lingkaran paling dalam menggambarkan pengaruh individu pekerja media, terkait dnegan ideologi individu tersebut. Lingkaran kedua merepresentasikan jenjang rutinitas media (media routines). Lingkaran ketiga, jenjang organisasi yang menekankan isi media sebagai wujud pengaruh pemilik, tujuan, dan kebijakan organisasi. Pada jenjang keempat, terdapat pengaruh ekstramedia, yang terdiri atas: sumber informasi, sumber pendapatan yaitu pengiklan dan khalayak, institusi sosial seperti kalangan bisnis dan pemerintah, lingkaran ekonomi dan teknologi, serta pasar. Sedangkan jenjang yang kelima adalah ideologi secara umum. Melihat adanya banyak pengaruh dalam isi media tersebut, timbullah wacana dari segi etika mengenai bias kepentingan privat yang tersirat dalam konten media massa. Pembahasan yang banyak muncul terkait dengan sikap individual pekerja media yang juga dipengaruhi oleh tekanan-tekanan tertentu seperti pemilik, pemodal, atau ideologi personal. Kredibilitas jurnalis pun dipertanyakan ketika bersanding dengan dengan hakikat jurnalis yang juga seorang manusia yang take pas dari ebrbagai kepentingan. Dalam hal ini muncullah perdebatan dalam hal etika dan kredibilitas jurnalis: Apakah etis seorang jurnalis menyiratkan kepentingan tertentu dalam isi media? Apakah media tetap kredibel apabila memiliki bias kepentingan tertentu?

PERDEBATAN SEPUTAR KONFLIK KEPENTINGAN Konflik kepentingan pada dasarnya merupakan suatu terminologi untuk menjelaskan mengenai bias-bias kepentingan privat yang muncul dalam konten media massa yang seharusnya mengutamakan kepentingan publik. Perdebatan etik mengenai konflik kepentingan muncul karena didasari oleh adanya praktik-praktik yang dilakukan para pekerja media, khususnya jurnalis, yang diintervensi oleh berbagai kepentingan dalam memproduksi berita sehingga informasi atau berita yang disajikan dianggap tidak lagi ideal untuk memenuhi kebutuhan publik. Dalam perdebatan mengenai masalah konflik kepentingan di dalam media, terdapat perbedaan cara pandang yang cukup besar antara David Gordon yang idealis dan John Michael Kittross yang cenderung lebih pragmatis. Akan tetapi, sebelum beranjak pada poin-poin argumen yang disampaikan oleh masingmasing pandangan, harus dipahami bahwa keduanya sepakat dalam hal menolak konflik kepentingan yang berlangsung secara nyata yang sampai melibatkan praktik-praktik kriminal seperti pemerasan atau prostitusi, untuk berbohong kepada audiens dengan imbalan uang atau hadiah. Bagi keduanya, ini artinya membohongi publik. Keduanya juga sepandangan bahwa pembatasan terhadap praktisi jurnalisme harus diberlakukan tidak hanya pada jurnalis, tetapi juga pada penerbit, manajer, dan pemilik. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa perdebatan yang berlangsung ialah mengenai konflik kepentingan dalam tataran persepsi, yaitu apakah etis seorang jurnalis memasukkan kepentingan privat dalam media massa (Gordon, 1999). KITROSS: Sikap Kompromistis Terhadap perdebatan mengenai kepentingan jurnalis dan praktisi PR yang dimuat dalam media massa, Kitross cenderung bersikap kompromistis dengan berpendapat: Kredibilitas media massa tidak akan hilang apabila praktisi media yang jujur mendapatkan kebebasan untuk melakukan kegiatannya sebagai manusia dan warga negara biasa (Gordon, et.al, 1999:257) Kitross menekankan pendapatnya ini dengan mengajak meninjau kembali apa yang disebut konflik kepentingan. Menurut Kitross, kepentingan primer seorang jurnalis adalah

menginformasikan berita kepada publik sehingga kepentingan publik musti diletakkan pada prioritas. Segala insentif lain, seperti uang, jabatan, relasi, keterkenalan, akan berpotensi membawa jurnalis pada sebuah konflik kepentingan. Sebagai contoh, reporter bisnis yang bertugas di bursa saham memiliki tuga utama untuk menginformasikan kondisi fluktuasi harga di pasar saham. Akan tetapi, apabila jurnalis tersebut ikut bermain saham, membeli atau menjual saham dalam pasar saham tersebut atas nama pribadinya maka hal itu dapat disebut sebagai konflik kepentingan karena perbuatan tersebut tidak etis, bahkan illegal. Akan tetapi, Kitross percaya bahwa seorang professional sejati akan selalu mengedepankan profesionalismenya dibandingkan sikapatau kepentingan pribadi dirinya meski sang jurnalis sendiri kesamaan perasaan atau sikap tertentu terhadap hal yang ia beritakan. Ia percaya bahwa seorang jurnalis yang professional akan selalu bisa menyingkirkan perasaan pribadinya dalam menuliskan berita tentang satu hal tertentu. Tidak hanya jurnalis, pekerjaan seorang editor pun riskan dnegan munculnya konflik kepentingan. Tak dapat dipungkiri bahwa seorang editor bisa jadi tidak sepaham dengan apa yang dituliskan jurnalis, akan tetapi Kitross juga percaya bahwa seorang editor yang professional tidak akan berusaha mengubah perspektif tulisan jurnalisnya, tetapi justru bertugas untuk menguatkan dan menajamkan argumen wartawan agar berita yang disampaikan lebih berkualitas. Argumen Klain Kitross ialah upaya ekstrem dengan cara menutup segala aktivitas personal jurnalis dan menjauhkan jurnalis dari sumber-sumber konflik bukanlah bentuk impartiality, melainkan sebuah ignorance. Ketidaktahuan atau ignorance jurnalis akan subjek yang ditekuninya justru akan merugikan publik karena berimbas pada keterbatasan informasi yang dihasilkan. Apabila seorang jurnalis politik banyak terlibat dan mengetahui aktivitas politik seorang politisi makan akan lebih memungkinkan bagi jurnalis tersebut untuk menghasilkan berita secara lebih komprehensif dan objektif karena memuat berbagai informasi mengenai politisi tersebut. Bagi Kittross, untuk mempertahankan kredibilitas seorang jurnalis atau sebuah media, tak perlu langkah ekstrem dengan cara menjauhkan diri dari hal-hal yang menyeret konflik kepentingan. Langkah yang ditawarkan Kitross untuk menghindari konflik kepentingan ialah dengan mendidik jurnalis menjadi benar-benar professional meskipun mereka terlibat dalam aktivitas kesehariannya. Pada akhirnya, Kitross juga berkesimpulan bahwa apabila seorang

reporeter atau editor menyadari adanya konflik kepentingan yang nyata seperi suap atau kriminalitas, maka hal tersebut harus dihindari. Namun, apabila yang dihadapi adalah kondisi potensial yang dianggap dapat menimbulkan konflik kepentingan, maka seharusnya pekerjaan wartawanlah untuk mengevaluasi dengan menjaga kredibilitas media tempat mereka bekerja. Oleh karena itu, media dan publik juga semestinya mendukung jurnalis tersebut untuk bekerja secara professional. GORDON: Sikap Idealis Berbeda dengan Kitross, Gordon beridiri di posisi yang lebih idealis dalam perdebatan mengenai pemuatan kepentingan pribadi praktisi media dalam konten media massa yang mereka produksi. Gordon berpendapat sebagai berikut: Jurnalis dan pekerja media harus bebas dari segala kepentingan dan aktivitas pribadi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pekerjaan profesional mereka (Gordon, et.al, 1999:261) Gordon memandang bahwa seorang jurnalis harus benar-benar bersih dari kepentingan apapun sehingga apa yang ia tulis atau tampilkan di media tak akan dipengaruhi oleh kepentingannya dan ia bisa benar-benar berdiri objektif dan netral di media. Bahkan, Gordon mengungkapkan bahwa seorang jurnalis seharusnya benar-benar melapaskan diri dari segala aktivitas pribadi yang bisa menciptakan konflik kepentingan dalam kehidupan profesionalnya. Gordon mencontohkan, seorang jurnalis seharusnya tidak boleh terlalu berteman baik dengan pemain-pemain dalam cerita yang ia tulis, misalkan seorang jurnalis tidak boleh berteman terlalu akrab dengan politisi karena setelah tercipta sebuah hubungan yang baik, jurnalis tersebut akan sulit untuk menulis secara objektif tentang sang politisi terebut. Berteman akrab dengan sang politisi memang bisa memberikan seorang jurnalis untuk mengorek informasi pribadi darinya, tetapi apakah ada jaminan bahwa jurnalis itu akan menuliskan secara objektif tentang sang politisi? Gordon percaya bahwa hal tersebut tidak mungkin karena akan ada perasaaan sungkan pada sang politisi tersebut karena bagaimanapun, ia adalah teman si jurnalis.

Inilah yang coba dihindari oleh Gordon. Hal seperti itu merupakan sebuah konflik kepentingan, dan ia percaya bahwa seorang jurnalis tidak boleh melakukan hal tersebut. Menurut dia, konflik kepentingan bisa menyebabkan hancurnya kredibilitas sang jurnalis dan kredibilitas media itu sendiri. Nah, dalam proses melindungi kredibilitas media, sebuah media, menurut Gordon, seharusnya melindungi karyawannya dari pengaruh-pengaruh luar yang bisa mempengaruhi imparsialitas berita si jurnalis. Gordon juga meragukan argument Kittross yang menyebutkan bahwa meski memiliki perasaan atau kepentingan terhadap hal yang ia beritakan, seorang jurnalis atau media akan selalu imparsial dalam memberitakan. MERILL: Komentar terhadap Perdebatan Menurut Merrill, baik Kitross maupun Gordon sebenarnya justru sedikit terjebak dalam beberapa masalah di bidang jurnalisme dan menganggap permsalahan tersebut sebagai bagian dari conflict of interest. Merrill berpendapat bahwa isu yang sebenarnya didebatkan oleh Gordon dan Kitross adalah krdibilitas jurnalisme, bukan konflik kepentingan di media, dan perdebatan tentang kredibilitas jurnalis sebenarnya jauh melebihi konflik kepentingan. Kredibilitas jurnalis memiliki lebih banyak dimensi pro-kontra dan baik Gordon maupun Kitross membawa berbagai dimensi isu kredibilitas dalam perdebatan konflik kepentingan. Meskipun demikian, terkait dengan perdebatan antara Gordon dan Kitross, Merill melihat bahwa Kitross cenderung lebih santai dalam menanggapi kekhawatiran abhwa jurnalis berpotensi terlibat dalam konflik kepentingan, sementara Gordon terlihat lebih khawatir akan segala kemungkinan konflik yang menimpa jurnalis, tetapi keduanya masih jauh dari relevansi terhadap logika legalistik Kantian. Keduanya berusaha bersikap tidak terlalu ketat dalam masalah konflik kepentingan, yang terpenting adalah jurnalis tidak melebihi batasbatas etika tertentu sepeti penyuapan atau kriminalitas. Dalam pandangan Merrill, Kitross mengambil sikap yang bertendensi pada posisis Machiavellian. Kitross seperti berargumen bahwa tugas wartawan adalah mencari dan meliput berita maka mereka harus dibiarkan bebas melakukan aktivitas tersebut. Terlebih lagi, pekerjaan wartawan adalah aktivitas manusia sehingga merek diharapkan untuk menjadi manusia, bukan menjadi sempurna. Pendekatan Kittross yang cenderung kompromistis ini membuatnya menjadi tampak lebih manusiawi dibandingkan Gordon. Namun Kitross

tampak terlalu optimis terhadap kredibilitas jurnalis sementara pada kenyataannya, sangat sulit menemui jurnalis kredibel yang menulis berita secara objektif, bahkan nihil. Baik Gordon maupun Merrill mergaukan bahwa dengan profesionalitas jurnalis, maka permasalahan konflik kepentingan akan selesai dengan sendirinya, seperti yang Kitross katakan. Akan tetapi argumen pesimisme Merrill berbeda dengan Gordon. Merrill menganggap bahwa bahkan dua orang editor atau jurnalis yang sama-sama professional pun memiliki pemikiran yang berbeda tentang konfilk kepentingan. Merrill sendiri juga kurang setuju dnegan sikap Gordon mengenai pembatasan aktivitas publik bagi seorang jurnalis atau pekerja media lainnya. Meskipun Gordon menyatakan diri bukan seorang ekstrimis, sikap Gordon yang cenderung tidak mendukung aktivitas politik seorang jurnalis, bahkan untuk memebrikan suara dalam Pemilu, justru menentang semangat kebebasan dalam masyarakat libertarian. Gordon berasumsi bahwa dengan menghindari potensi konflik kepentingan, maka seorang jurnalis dan media akan mendapatkan kredibilitasnya. Akan tetapi Gordon luput pada satu poin penting bahwa konflik kepentingan hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor yang berkontribusi membangun kredibilitas media dan jurnalis. Pada akhirnya, Merrill berkesimpulan bahwa perdebatan konflik kepentingan mesti dilihat lebih legalistik dari kerangka etika dengan logika Kantian dengan apriori pada sebuah pernyataan: Jangan pernah menerima hadiah dari siapapun yang mungkin akan Anda tulis dalam jurnalisme Anda. KASUS KONFLIK KEPENTINGAN DI INDONESIA Konflik kepentingan di dalam industri media akan sangat terasa ketika sudah menyangkut masalah kepemilikan. Pada umumnya, pemilik media di Indonesia merupakan pengusaha biasa yang memiliki banyak kepentingan baik secara bisnis maupun politis. Di sinilah, konflik kepentingan seperti yang sudah kita bicarakan di awal tadi bisa terjadi dan sangat berbahaya bagi profesionalitas dan independenitas media tersebut. Di Indonesia, kasus yang sangat kentara utamanya adalah kasus media dan kepentingan politik pemiliknya. Kasus ini semakin tersaji secara gamblang di industri media Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, sesuatu yang mungkin agak berbeda dibandingkan industri media bertahun-tahun yang lalu.

Salah satu contoh yang semakin gamblang mengenai konflik kepentingan antara pemilik dan profesionalitas media adalah kini, semakin banyak pemilik media yang berpolitik atau sebaliknya, semakin banyak politisi mempunyai media. Contoh terbaru dan terheboh tentu saja soal bagaimana seorang pemilik perusahaan raksasa media MNC Group, yaitu Hary Tanoesudibjo, tiba-tiba terjun ke dunia politik dengan menjadi Dewan Pakar Partai Nasional Demokrat. Hal ini tentu membuat heboh banyak orang karena di partai yang baru dideklarasikan tersebut, Hary Tanoe akan bergabung dengan pendiri partai Nasdem yang juga seorang politisi kawakan, Surya Paloh, pemilik perusahaan media, Media Group. Kolaborasi dua pemilik media besar di Indonesia ini jelas memberikan semacam ketakutan bagi banyak orang karena bukan tidak mungkin, media-media yang dimiliki Hary Tanoe maupun Surya Paloh akan menjadi corong pergerakan politik para pemiliknya. Ditakutkan, independensi media yang merupakan dasar ideal sebuah media akan tergusur karena adanya kepentingan pemilik yang memiliki kekuatan ekonomi untuk menekan medianya sendiri. Apalagi, MNC Group dan Media Group bukanlah korporasi media yang kecil. Jika Media Group milik Surya Paloh memiliki Media Indonesia dan Metro TV, MNC Group memiliki jaringan media yang lebih besar lagi, mulai dari RCTI, MNC TV, Global TV, Sun TV, Trijaya FM (sekarang Sindo Radio), Koran Seputar Indonesia, Televisi berbayar Indovision, dll. Jaringan media yang begitu besar ini sangat bisa digunakan oleh para pemiliknya untuk membantu elektabilitas Partai Nasional Demokrat, yang baru dideklarasikan pada 26 Juli 2011 lalu. Simak ucapan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat, Rio Capella, yang menyebutkan besarnya jaringan media bisa membantu partainya. Beliau punya banyak sekali media. Ada RCTI, Global TV, MNC TV, Sun TV, Koran Sindo, Sindo Radio (dulu Trijaya FM), kata Rio beberapa waktu lalu. Belum lagi Metro TV. Semua akan sangat membantu, imbuh Rio. Metro TV sendiri bukan media milik Hary Tanoe, melainkan milik Surya Paloh, pendiri organisasi masyarakat Nasional Demokrat yang juga bertindak sebagai penyokong dana Partai Nasdem. (Sumber: Vivanews.com, 9 November 2011) Publik yang membaca pernyataan ini bisa menginterpretasi ucapan Rio Capella di atas dengan pikiran bahwa Partai Nasdem sejak awal memang ingin memanfaatkan kepemilikan Hary Tanoe atas MNC Group yang memiliki begitu banyak media untuk menaikkan

popularitas Nasdem di mata masyarakat. Dengan kata lain, nantinya, akan ada kepentingan politik Hary Tanoe dan Partai Nasdem yang mau tak mau, akan ikut campur dalam kehidupan media MNC Group. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat independensi dan imparsialitas industri media. Contoh di atas merupakan contoh besar bagaimana adanya konflik kepentingan dalam industri media akibat adanya kepentingan pemilik. Kepentingan media, sebagai pihak yang independen dan jauh dari keberpihakan politik akan berkonflik dengan kepentingan pemilik, dalam hal ini Hary Tanoe, yang kini terjun ke dunia politik dan memihak salah satu partai. Meskipun ketua partai Nasional Demokrat, Rio Capella, kemudian menyebutkan bahwa, Metro TV dan MNC Group bukan televisinya NasDem, hubungannya profesional seperti dengan televisi lain (Inilah.com, 21 November 2011), publik akan selalu berpikir bahwa MNC Group dan Metro TV (Media Group) bisa dimanfaatkan oleh kedua konglomerat media tersebut untuk menjadi corong kepentingan politik yang memuluskan jalan kekuasaan. Ketakutan di atas bukannya tanpa alasan. Permasalahan bagaimana media menjadi kendaraan pergerakan politik dan mengakomodasi kepentingan pemiliknya bahkan sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, tepatnya ketika hadir stasiun televisi yang dimiliki oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia politik. Persaingan dua stasiun televisi khusus berita, TV One dan Metro TV, merupakan contoh paling baik yang menggambarkan adanya konflik kepentingan di media massa Indonesia. Seperti yang sudah dituliskan di atas, Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh, mantan politisi Partai Golkar yang kemudian mendirikan Partai Nasional Demokrat. Metro TV, sebagai media milik Surya Paloh, pun dalam kenyataannya tak bisa lepas dari kepentingan pemiliknya. Buktinya, kegiatan Nasional Demokrat (Nasdem), baik sebagai ormas maupun sebagai partai politik, hampir selalu diberitakan di Metro TV. Misalnya saja, ketika Nasdem mendeklarasikan sebuah cabang baru, acara pembukaan cabang baru tersebut hampir pasti ditayangkan langsung ataupun dimasukkan dalam berita di stasiun televisi tersebut. Dan yang pasti, nyaris tak ada acara yang mencoba untuk membahas kritik terhadap Nasdem, baik sebagai ormas maupun partai. Hal ini sudah secara jelas menyiratkan bahwa Metro TV memang digunakan sebagai corong kegiatan politik Surya Paloh.

Hal yang sama juga terjadi di TV One. Sebagai televisi yang dimiliki oleh Bakrie Group (Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar), TV One mau tak mau pasti mengakomodasi kepentingan pemiliknya, baik di dunia politik maupun ekonomi. Contoh yang paling relevan tentu ketika salah satu perusahaan di bawah Bakrie Group, yaitu PT Lapindo Brantas, memiliki masalah besar yaitu Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Televisi ini terhitung jarang memberitakan masalah besar ini, dan selalu menyebut kasus ini sebagai Lumpur Sidoarjo, bukan Lumpur Lapindo. Selain itu, dari sisi pemberitaan, TV One juga selalu berusaha untuk mengambil sudut pandang yang mencitrakan bahwa PT Lapindo dan Bakrie Group sudah menyelesaikan masalah tersebut dan menunaikan segala kewajibannya. Padahal, pada kenyataannya, masalah ini belum selesai dan bahkan masih ada korban-korban yang belum juga dipenuhi hak-haknya oleh PT. Lapindo dan keluarga Bakrie. Berbagai kasus konflik kepentingan di media massa tersebut menunjukkan fakta bahwa media memang tak bisa lepas dari kepentingan tertentu, entah itu merupakan kepentingan pribadi jurnalis, ideology tertentu yang melekat dalam organisasi media tersebut, ataupun kepentingan pemiliknya. Konten media yang penuh bias kepentingan politis pemiliknya tentu menjadi semacam pengkhianatan bagi fungsi utama media yang harus dapat menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama. Akan tetapi, hal tersebut sangatlah sulit dihindari mengingat tidak ada regulasi ataupun kode etik yang emngatur mengenai kepentingan pemilik terhadap isi media yang dihasilkan. Dari sudut pandang regulasi, tidak ada regulasi media yang mengatur bahwa media harus bebas dari intervensi pemilik atau pemisahan antara dewan redaksi dan dewan pemilik. Weweang regulasi untuk menjamin kepentingan publik hanyalah sampai pada taraf mengupayakan pluralisme informasi dengan tidak membiarkan monopoli kepemilikan media. Namun, kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun tidak ada monopoli, diversifikasi kepemilikan sangatlah terbatas mengingat adanya beberapa konglomerasi media besar yang mendominasi industri media di Indonesia. Kentalnya konsentrasi kepemilikan tersebut diperparah dengan kerja sama beberapa konglomerat media terkait dengan kepentingan tertentu, khususnya kepentingan politis, seperti yang ditunjukkan oleh Surya Paloh (Media Grup) dan Hary Tanoesudibjo (Grup MNC). Sayangnya, tidak ada regulasi Ketika hal ini terjadi, yang sebenarnay dirugikan adalh posisi masyarakat sebagai pengonsumsi informasi yang ditayangkan oleh media-media di bawah kedua grup tersebut.

Dari sudut pandang etika, tekanan ataupun ideologi pemilik media pun tidak diatur secara khusus, bahkan tidak ada kode etik yang menyatakan bahwa bias kepentingan pemilik dalam sautu konten media merupakan seuatu yang tidak etis. Ruang lingkup oengaturan etika yang pada dasarnya hanya sebatas di tataran perilaku individu pekerja media, hanya terkait dengan kepribadian dan perilaku jurnalis dalam meliput dan menyiarkan berita. Baik Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan Dewa Pers atau Kode Etik Jurnalis Televisi Indoensia dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) hanya mengatur poin bahwa wartawan tidak boleh mencampuradukkan fakta dan opini, serta wartawan tidak boleh menerima suap. Tentu saja pemberitaan sesuai dengan kepentingan pemilik media tidak dapat dikategorikan sebagai suap terhadap jurnalis. Berita-berita mengenai kepentingan pemilik pun bukan merupakan opini, tetapi lebih kepada fakta yang ditekankan sehingga dapat lebih mempengaruhi sikap publik. Oleh karena itu, bisa jadi pertanyaan bahwa apakah etis bagi seorang jurnalis atau media menyiarkan kepentingan pemiliknya berujung pada jawaban atis apabila dilihat dari sudut pandang kode etik dan regulasi yang mengatur. Namun, sekali lagi, apabila dilihat dari sudut pandang khalayak, intervensi kepentingan pemilik dappat merugikan kepentingan publik untuk memperoleh informasi yang berimbang. Pada pokoknya, tidak adanya poin-poin kode etik maupun regulasi media di Indonesia yang dapat mengatur pembatasan intervensi pemilik media terhadap kegiatan jurnalisme membuat media, yang diharapkan bisa berdiri di tengah dan independen, tak mampu untuk menghindarkan diri dari kepentingan para pemiliknya. DAFTAR PUSTAKA Gordon, A. David dan John Michael Kitross. (1999). Controversies in Media Ethics. United States: Wesley Longman Educational Publishers Inc. McQuail, Dennis. (2005). McQuails Mass Communication Theory (Fifth Edition). London: Sage Publication. Shoemaker, Pamela & Stephen D. Reese. (1996) Mediating the Message: Theories of influence on Mass Media Content. New York: Longman Publishing Group. Burton, Graeme. (2005). Media and Society: Critical Perspective. New Delhi: Rawat Publication

LAMPIRAN Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) Ditetapkan Dewan Pers 1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. 2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi. 3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat. 4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan asusila. 5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. 6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan. 7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

KODE ETIK JURNALISTIK TELEVISI INDONESIA MUKADIMAH Untuk menegakkan martabat, intergeritas dan mutu jurnalis televisi Indonesia, serta bertumpu kepada kepercayaan masyarakat, dengan ini Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI), menetapkan Kode Etik Jurnalis, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh Televisi Indonesia. Jurnalis televisi Indonesia mengumpulkan dan menyajikan berita yang benar dan menarik minat masyarakat serta jujur dan bertanggungjawab. BAB I. KETENTUAN UMUM Pasal 1 Kode Etik Jurnalis Televisi adalah penuntun perilaku jurnalis televisi dalam melaksanakan profesinya.

BAB II. KEPRIBADIAN Pasal 2 Jurnalis televisi Indonesia adalah pribadi yang mandiri dan bebas dari benturan kepentingan, baik yang nyata maupun terselubung. Pasal 3 Jurnalis televisi Indonesia menyajikan berita secara akurat, jujur, dan berimbang, dengan mempertimbangkan hati nurani. Pasal 4 Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apapun berkaitan dengan profesinya.

BAB III. CARA PEMBERITAAN Pasal 5 Dalam menayangkan sumber dan bahan berita secara akurat, jujur dan berimbang, jurnalis televisi Indonesia: 1. Selalu mengevakuasi informasi semata-mata berdasarkan kelayakan berita, menolak sensasi, berita menyesatkan, memutarbalikkan fakta, fitnah, cabul, dan sadis. 2. Tidak menayangkan materi gambar maupun suara yang menyesatkan pemirsa. 3. Tidak merekayasa peristiwa, gambar maupun suara untuk dijadikan berita. 4. Menghindari berita yang memungkinkan benturan yang berkaitan dengan masalah SARA. 5. Menyatakan secara jelas berita-berita yang bersifat fakta, analisis, komentar, dan opini. Tidak mencampur-adukkan berita dengan advertorial. 6. Mencabut atau meralat pada kesempatan pertama setiap pemberitaan yang tidak akurat, dan memberikan kesempatan hak jawab secara proposional bagi pihak yang dirugikan. 7. Menyajikan berita dengan menggunakan bahasa dan gambar yang santun dan patut, serta tidak melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. 8. Menghormati embargo dan off the record

Pasal 6 Jurnalis televisi Indonesia menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Pasal 7

Jurnalis televisi Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila serta kejahatan anak di bawah umur, wajib menyamarkan identitas wajah dan suara tersangka maupun korban. Pasal 8 Jurnalis televisi Indonesia manampuh cara yang tidak tercela untuk mencari bahan berita. Pasal 9 Jurnalis televisi Indonesia hanya menyiarkan bahan berita dari stasiun lain dengan izin. Pasal 10 Jurnalis televisi Indonesia menunjukkan identitas kepada sumber berita jika diperlukan.

BAB IV. SUMBER BERITA Pasal 11 Jurnalis televisi Indonesia menghargai harkat dan martabat serta hak pribadi sumber berita. Pasal 12 Jurnalis televisi Indonesia melindungi sumber berita yang tidak diungkap jati dirinya. Pasal 13 Jurnalis televisi Indonesia memperhatikan kredibilitas dan kompetensi sumber berita.

BAB V. KEKUATAN KODE ETIK Pasal 14 Kode Etik Televisi ini secara moral mengikat setiap jurnalis televisi Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Anda mungkin juga menyukai