Anda di halaman 1dari 12

WARTAWAN JADI

PIALANG: ETISKAH?
(Studi Konflik Kepentingan Jurnalis dalam Perspektif Etis)

A u l i a D w i N a s t i t i | 0 9 0 6 5 6 1 4 5 2 -- U A S M a t a K u l i a h E t i k a & K e b i j a k a n M e d i a

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA JANUARI 2012

LATAR BELAKANG
Dalam perspektif social responsibility, media massa memiliki fungsi pokok sebagai alat pemenuhan kebutuhan sosial dan kepentingan publik akan berbagai informasi karena informasi merupakan public goods atau barang publik (McQuail, 2005). Media sebagai agen penyampai informasi haruslah menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama dalam menjalankan kegiatan komunikasi massa. Sebagai entitas yang berfungsi memenuhi kebutuhan publik, suatu media harus menjaga kepercayaan publik sekaligus dapat mempertanggungjawabkan akibat yang ditimbulkan oleh informasi yang dipublikasikan (Gordon, et.al, 1999). Oleh karena itulah, industri media massa dipandang sebagai industri yang mengandalkan kepercayaan publik (public trust) dalam menjaga eksistensi suatu media. Dalam rangka memperoleh kepercayaan publik, kredibilitas media merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan media. Bagi media, kepercayaan publik dan kredibilitas merupakan prasyarat penting untuk dapat menjalankan fungsi media (Laswell, 1948), yaitu: pengawasan (surveillance), membantu pengambilan kebijakan (correlation), transmisi nilai budaya (cultural transmission), dan sosialisasi (socialization). Media memiliki kewajiban terhadap masyarakat untuk menyajikan informasi yang benar, akurat, objektif dan relevan dengan kepentingan publik. Konsekeuensinya, media harus menjamin bahwa sebagai ujung tombak penyampaian informasi, jurnalis harus kredibel dalam memproduksi informasi (Gordon, 1999). Idealnya, media menyajikan informasi dengan berorientasi pada kepentingan publik dan terbebas dari kepentingan pribadi atau kepentingan politis tertentu, sehingga pemberitaan yang ditampilkan kepada publik benar-benar independen dan tidak terdistorsi oleh kepentingan privat yang bertujuan untuk memanipulasi informasi dan opini publik. Akan tetapi, kondisi tersebut dinilai utopis, terlebih lagi di masa globalisasi seperti sekarang di mana media menjadi sebuah organisasi bisnis transnasional (McQuail, 2005). Realitas yang terjadi di lapangan tidak menunjukkan kondisi ideal media sebagai fungsi pemenuhan kebutuhan publik karena masih banyaknya konten media yang mengandung bias kepentingan-kepentingan tertentu. Berita-berita yang tersajikan di media massa seringkali subjektif dan membawa kepentingan pihak tertentu. Berita-berita politik merupakan salah satu kategori yang paling riskan diintervensi oleh kepentingan pihak-pihak lain yang berupaya membentuk pandangan dan sikap politik tertentu pada masyarakat.

Bias kepentingan dalam isi media pada dasarnya disebabkan karena isi media dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi. Merujuk pada Shoemaker dan Reese (1996:139) dalam model hierarki faktor pembentuk konten media, isi media dilatarbelakangi oleh lima jenjang faktor determinan yang direpresentasikan dengan lingkaran konsentrik. Lingkaran paling dalam menggambarkan pengaruh individu pekerja media, terkait dengan ideologi dan kepentingan individu tersebut. Lingkaran kedua merepresentasikan jenjang rutinitas media (media routines). Lingkaran ketiga, jenjang organisasi yang menekankan isi media sebagai wujud pengaruh pemilik, tujuan, dan kebijakan organisasi. Pada jenjang keempat, terdapat pengaruh ekstramedia, yang terdiri atas: sumber informasi, sumber pendapatan yaitu pengiklan dan khalayak, institusi sosial seperti kalangan bisnis dan pemerintah,

lingkaran ekonomi dan teknologi, serta pasar. Sedangkan jenjang yang kelima adalah ideologi secara umum. Melihat adanya banyak pengaruh dalam isi media tersebut, maka bias kepentingan privat dapat berujung pada konflik kepentingan, bahkan berpotensi mempengaruhi konten yang dimuat media tersebut. Konflik kepentingan dalam media massa ini merupakan salah satu fokus wacana dalam etika media, terutama jika terkait dengan sikap individual pekerja

media yang juga dipengaruhi oleh tekanan-tekanan tertentu seperti pemilik, pemodal, atau bahkan kepentingan personal. Salah satu contoh konflik kepentingan di Indonesia yang paling krusial ialah kasus wartawan Bursa Efek Indonesia yang melakukan kegiatan jual-beli saham Krakatau Steel. Dalam kasus yang hangat di akhir tahun 2010 ini, terdapat kontroversi mengenai etika jurnalis jika dihadapkan pada konflik kepentingan pribadi jurnalis tersebut. Kredibilitas jurnalis yang terlibat dalam jual beli saham Karakatu Steel itu pun diragukan ketika bersanding dengan hakikat jurnalis yang juga seorang manusia yang tak lepas dari berbagai kepentingan personal. Dalam hal ini, muncullah perdebatan dalam hal etika dan kredibilitas jurnalis: Apakah etis seorang jurnalis menyiratkan dipengaruhi oleh kepentingan tertentu dalam memproduksi berita? Apakah media tetap dinilai kredibel apabila jurnalisnya memiliki bias kepentingan tertentu? Oleh karena itulah, pertanyaan tersebut penting untuk dikaji lebih jauh dalam kerangka etika dan regulasi media, khususnya individu pekerja media.

DEBAT ETIKA TENTANG KONFLIK KEPENTINGAN


Konflik kepentingan pada dasarnya merupakan suatu terminologi untuk menjelaskan mengenai bias-bias kepentingan privat yang muncul dalam konten media massa yang seharusnya mengutamakan kepentingan publik (Gordon, et.al, 1999). Perdebatan etik mengenai konflik kepentingan muncul karena didasari oleh adanya praktik-praktik yang dilakukan para pekerja media, khususnya jurnalis, yang diintervensi oleh berbagai kepentingan dalam memproduksi berita sehingga informasi atau berita yang disajikan dianggap tidak sesuai dengan kepentingan publik. Dalam perdebatan mengenai masalah konflik kepentingan di dalam media, terdapat perbedaan cara pandang yang cukup besar antara David Gordon yang idealis dan John Michael Kittross yang cenderung lebih pragmatis. Lingkup perdebatan yang berlangsung ialah mengenai konflik kepentingan dalam tataran persepsi, yaitu apakah etis seorang jurnalis memasukkan kepentingan privat dalam media massa (Gordon, 1999). Keduanya sepakat menolak konflik kepentingan yang berlangsung secara nyata yang sampai melibatkan praktik kriminal seperti pemerasan atau prostitusi, dengan imbalan uang atau hadiah karena itu berarti membohongi publik. Kedua pandangan juga sepandangan dalam hal pembatasan terhadap praktisi jurnalisme harus diberlakukan tidak hanya pada jurnalis, tetapi juga pada penerbit, manajer, dan pemilik media tersebut (Gordon, et.al, 1999). Dalam pembahasan mengenai konflik kepentingan pekerja media, Kitross mengambil sikap kompromistis dengan menyatakan pendapat sebagai berikut: Kredibilitas media massa tidak akan hilang apabila praktisi media yang jujur mendapatkan kebebasan untuk melakukan kegiatannya sebagai manusia dan warga negara biasa (Gordon, et.al, 1999:257) Kitross menekankan pendapatnya ini dengan mengajak meninjau kembali apa yang disebut konflik kepentingan. Menurut Kitross, kepentingan primer seorang jurnalis adalah menginformasikan berita kepada publik sehingga kepentingan publik musti diletakkan pada prioritas. Segala insentif lain, seperti uang, jabatan, relasi, keterkenalan, akan berpotensi membawa jurnalis pada sebuah konflik kepentingan. Sebagai contoh, reporter bisnis yang bertugas di bursa saham memiliki tuga utama untuk menginformasikan kondisi fluktuasi harga di pasar saham. Akan tetapi, apabila jurnalis tersebut ikut bermain saham, membeli

atau menjual saham dalam pasar saham tersebut atas nama pribadinya maka hal itu dapat disebut sebagai konflik kepentingan karena perbuatan tersebut tidak etis, bahkan illegal. Akan tetapi, Kitross percaya bahwa seorang professional sejati akan selalu mengedepankan profesionalismenya dibandingkan sikapatau kepentingan pribadi dirinya meski sang jurnalis sendiri kesamaan perasaan atau sikap tertentu terhadap hal yang ia beritakan. Ia percaya bahwa seorang jurnalis yang professional akan selalu bisa menyingkirkan perasaan pribadinya dalam menuliskan berita tentang satu hal tertentu. Tidak hanya jurnalis, pekerjaan seorang editor pun riskan dengan munculnya konflik kepentingan. Tak dapat dipungkiri bahwa seorang editor bisa jadi tidak sepaham dengan apa yang dituliskan jurnalis, akan tetapi Kitross juga percaya bahwa seorang editor yang professional tidak akan berusaha mengubah perspektif tulisan jurnalisnya, tetapi justru bertugas untuk menguatkan dan menajamkan argumen wartawan agar berita yang disampaikan lebih berkualitas. Berbeda dengan Kitross, Gordon berdiri di posisi yang lebih idealis dalam perdebatan mengenai pemuatan kepentingan pribadi praktisi media dalam konten media massa yang mereka produksi. Gordon berpendapat sebagai berikut: Jurnalis dan pekerja media harus bebas dari segala kepentingan dan aktivitas pribadi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pekerjaan profesional mereka (Gordon, et.al, 1999:261) Gordon memandang bahwa seorang jurnalis harus benar-benar bersih dari kepentingan apapun sehingga apa yang ia tulis atau tampilkan di media tak akan dipengaruhi oleh kepentingannya dan ia bisa benar-benar berdiri objektif dan netral di media. Bahkan, Gordon mengungkapkan bahwa seorang jurnalis seharusnya benar-benar melapaskan diri dari segala aktivitas pribadi yang bisa menciptakan konflik kepentingan dalam kehidupan profesionalnya. Gordon mencontohkan, seorang jurnalis seharusnya tidak boleh terlalu berteman baik dengan pemain-pemain dalam cerita yang ia tulis, misalkan seorang jurnalis tidak boleh berteman terlalu akrab dengan politisi karena setelah tercipta sebuah hubungan yang baik, jurnalis tersebut akan sulit untuk menulis secara objektif tentang sang politisi terebut. Berteman akrab dengan sang politisi memang bisa memberikan seorang jurnalis untuk mengorek informasi pribadi darinya, tetapi apakah ada jaminan bahwa jurnalis itu akan

menuliskan secara objektif tentang sang politisi? Gordon percaya bahwa hal tersebut tidak mungkin karena akan ada sikap subjektif pada sang politisi tersebut. Inilah yang coba dihindari oleh Gordon. Hal seperti itu merupakan sebuah konflik kepentingan, dan ia percaya bahwa seorang jurnalis tidak boleh melakukan hal tersebut. Menurut dia, konflik kepentingan bisa menyebabkan hancurnya kredibilitas sang jurnalis dan kredibilitas media itu sendiri. Nah, dalam proses melindungi kredibilitas media, sebuah media, menurut Gordon, seharusnya melindungi karyawannya dari pengaruh-pengaruh luar yang bisa mempengaruhi imparsialitas berita si jurnalis. Gordon juga meragukan argument Kittross yang menyebutkan bahwa meski memiliki perasaan atau kepentingan terhadap hal yang ia beritakan, seorang jurnalis atau media akan selalu imparsial dalam memberitakan. MERILL: Komentar terhadap Perdebatan Menurut Merrill, baik Kitross maupun Gordon sebenarnya justru sedikit terjebak dalam beberapa masalah di bidang jurnalisme dan menganggap permsalahan tersebut sebagai bagian dari conflict of interest. Merrill berpendapat bahwa isu yang sebenarnya didebatkan oleh Gordon dan Kitross adalah krdibilitas jurnalisme, bukan konflik kepentingan di media, dan perdebatan tentang kredibilitas jurnalis sebenarnya jauh melebihi konflik kepentingan. Kredibilitas jurnalis memiliki lebih banyak dimensi pro-kontra dan baik Gordon maupun Kitross membawa berbagai dimensi isu kredibilitas dalam perdebatan konflik kepentingan. Merrill sendiri juga kurang setuju dnegan sikap Gordon mengenai pembatasan aktivitas publik bagi seorang jurnalis atau pekerja media lainnya. Sikap Gordon yang cenderung tidak mendukung aktivitas politik seorang jurnalis, bahkan untuk memberikan suara dalam Pemilu, justru menentang semangat kebebasan masyarakat libertarian. Gordon berasumsi bahwa dengan menghindari potensi konflik kepentingan, maka seorang jurnalis dan media akan mendapatkan kredibilitasnya. Akan tetapi konflik kepentingan hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor yang berkontribusi membangun kredibilitas media dan jurnalis. Pada akhirnya, Merrill berkesimpulan bahwa perdebatan konflik kepentingan mesti dilihat lebih legalistik dari kerangka etika dengan apriori pada sebuah pernyataan: Jangan pernah menerima hadiah dari siapapun yang mungkin akan Anda tulis dalam jurnalisme Anda.

KASUS KONFLIK KEPENTINGAN WARTAWAN PIALANG


Kasus konflik kepentingan wartawan pialang ini merupakan kasus jamak yang terjadi dalam dunia jurnalistik. Di Indonesia, kasus wartawan yang bermain saham ini pernah terjadi pada tahun 1999 ketika seorang wartawan yang mengklaim mewakili juru berita meminta hak khusus membeli saham yang akan diluncurkan. Pada akhir tahun 2010, kasus konflik kepentingan wartawan saham ini kembali mencuat ke publik dan memunculkan wacana debat etika mengenai etika jurnalistik yang berlaku di Indonesia. Kasus kali ini merupakan kasus tuduhan terhadap sekelompok wartawan media nasional yang bertugas di Bursa Efek Indonesia melakukan aktivitas jual-beli saham PT Krakatau Steel secara tidak wajar. Kasus ini melibatkan wartawan dari Kompas, Detik.com, Metro TV, dan Seputar Indonesia melawan PT. Kitacomm, perusahaan yang disewa PT. Krakatau Steel untuk menangani kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat menjelang penawaran saham perdana atau IPO (initial public offering). Tugas Kitacomm antara lain memonitor tulisantulisan media menjelang IPO apakah dapat menstimulus reaksi positif dari pasar. Kasus ini dimulai ketika Henny Lestari, direktur utama Kitacomm, sekaligus Public Relation (PR) mengadu kepada Dewan Pers tentang sejumlah wartawan di bursa efek meminta jatah saham menjelang penawaran perdana saham Krakatau Steel sebanyak 1.500 slot (7.500 lembar) dengan nilai 600 juta lebih tanpa melalui prosedur pembelian normal di pasar modal. Kelompok wartawan itu juga dilaporkan memaksa seorang petinggi perusahaan menyediakan uang Rp 400 juta untuk menutupi pemberitaan miring seputar penawaran saham perdana PT Krakatau Steel itu yang dinilai terlalu murah Menanggapi laporan tersebut, Dewan Pers pun memanggil Reinhard Nainggolan, wartawan Kompas yang dianggap paling bertanggung jawab dalam permintaan jatah saham tersebut. Selain Reinhard, wartawan yang diduga terlibat adalah Indro Bagus Satrio (Detik.com), Leonard Samosir (Metro TV), dan Wisnu Bagus (Koran Seputar Indonesia). Detik.com sudah melakukan klarifikasi internal kepada Indro yang menyatakan bahwa dirinya bersama sejumlah wartawan lain memang melakukan oembelian saham, tetapi melalui prosedur legal dan dengan harga normal serta taka da indikasi pemerasan dan penekanan kepada Krakatau Steel. Adapun Wisnu Bagus, saat kasus mencuat, sudah mengundurkan diri. Sedangkan untuk Leonard, Metro TV meminta waktu untuk mengklarifikasi lebih dulu dan membuka diri untuk menjatuhkan sanksi apabila terbukti bersalah (Tempo, 29 November 2011). 6

Rikard Bagun, pemimpin redaksi Kompas yang mendampingi Reinhard ke Dewan Pers pada 24 November 2010 mengatakan bahwa Kompas sudah melakukan klarifikasi internal dan Reinhard mengatakan bahwa dia tidak mendapatkan katah saham dan tidak ikut dalam proses jual beli tersebut. Di hadapan Dewan Pers sendiri, Reinhard tidak memberikan klarifikasi resmi, tetapi meminta Dewan Pers memberikan bukti bahwa dirinya memang terlibat dalam transaksi saham perdana dan bahwa dirinya melakukan pemerasan. Selanjutnya, pada 1 Desember 2010, Dewan Pers mengeluarkan kesimpulan resmi soal kasus saham itu. Menurut Dewan Pers, Reinhard telah "dengan sengaja berusaha menggunakan kedudukan dan posisinya sebagai jurnalis, jaringannya sebagai jurnalis, untuk meminta diberi kesempatan membeli saham IPO PT. Krakatau Steel". Dewan Pers mengakui belum

mengetahui secara pasti apakah Reinhard pada akhirnya membeli saham IPO PT atau tidak. Namun, yang dinilai sebagai pelanggaran adalah usaha-usaha Reinhard untuk mendapatkan jatah membeli saham Krakatau Steel yang dikategorikan sebagai tindakan yang tidak professional dan melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 yang menyatakan: "Jurnalis Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap". Terkait dengan sanksi, Dewan Pers menyerahkan sepenuhnya kepada manajemen Kompas dan akhirnya Kompas memilih memberhentikan Reinhard. Kasus wartawan bursa efek yang melakukan jual beli saham ini bukanlah berita baru bagi dunia jurnalistik. Hal ini ditegaskan oleh Komar, mantan wartawan yang bertugas di bursa efek kepada Tempo Interaktif (29 November 2011) berikut.
Komar membenarkan kerap terjadi penawaran saham kepada wartawan. "Tujuannya agar wartawan membuat berita baik," ujarnya. Namun, menurut dia, naik-turunnya harga saham di bursa bukan dipengaruhi pemberitaan media, melainkan rumor.

Keputusan Dewan Pers ini akhirnya sempat memunculkan wacana dan diskusi lebih mendalam mengenai kode etik jurnalistik Indonesia yang dinilai masih bias terhadap potensi timbulnya konflik kepentingan dalam diri wartawan, Muncul wacana bahwa apa yang disebut sebagai konflik kepentingan, seperti wartawan yang menulis tentang saham yang ia miliki, belum pernah dimuat dalam aturan baku dan semua masih berpulang pada peraturan internal media masing-masing. Oleh karena itulah, kasus ini merupakan contoh bahwa konflik kepentingan merupakan permasalahan krusial yang harus dikaji secara etis dalam kerangka etika dan regulasi yang berlaku di Indonesia. 7

Dalam kasus Krakatau Steel ini, Dewan Pers memutuskan bahwa Reinhard Nainggolan melakukan pelanggaran etis karena merujuk pada Kode Etik Wartawan Indonesia Pasal 6 yang menuliskan bahwa: "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap". Menurut keterangan Dewan Pers, yang termasuk penyalahgunaan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Berdasarkan rekaman aktivitas yang diperoleh Dewan Pers, Reinhard memang terbukti melakukan lobi dan pencarian informasi mengenai jatah saham perdana Krakatau Steel dengan mengatasnamakan profesinya sebagai wartawan jaringan yang dimilikinya. Dalam kasus ini, Reinhard memang dapat dikatakan telah melanggar kode etik wartawan dengan alasan konflik kepentingan karena potensinya untuk menutupi atau memanipulasi informasi yang berkaitan dengan berita IPO Krakatau Steel yang ditulisnya di Kompas. Namun, perlu dicatat bahwa Dewan Pers belum dapat memastikan bahwa Reinhard memang melakukan aktivitas jual-beli dan memiliki saham Krakatau Steel sehingga tetap etis jika dia menulis berita mengenai IPO Saham Krakatau Steel di Kompas karena tidak ada konflik kepentingan di situ. Jika yang dikhawatirkan adalah potensi timbulnya konflik kepentingan, maka hal yang perlu dilakukan ialah menilai dari hasil konten berita IP Krakatau Steel yang ditulis Reinhard dan disajikan kepada publik. Konflik kepentingan menjadi tidak etis karena informasi akan merugikan publik. Apabila berita yang ditulis Reinhard kepada publik tetap aktual, benar, dan objektif, maka tidaklah menjadi masalah karena public trust tetap terjaga. Sayangnya, inilah yang luput dilakukan Dewan Pers. Dalam nota keberatan yang dilayangkan Reinhard kepada Dewan Pers, diketahui bahwa Dewan Pers tidak pernah membaca dan mengevaluasi dari berita yang ditulis Reinhard sementara di sisi lain, Dewan Pers tidak dapat membuktikan bahwa Reinhard memiliki saham di Krakatau Steel. Vonis pelanggaran etik dijatuhkan berdasarkan bukti-bukti aktivitas yang menunjukkan adanya upaya-upaya Reinhard untuk memperoleh saham perdana Krakatau Steel. Menurut Metta Dharmaputra, yang dikutip dari Tempo Interaktif, salah seorang wartawan finansial, kasus wartawan bursa saham dan aktivitas jual beli saham ini, seharusnya perlu dibedakan antara tiga hal mendasar dalam rangka menetukan apa yang termasuk konflik kepentingan dan menentukan perbuatan mana yang etis atau tidak etis bagi seorang

wartawan bermain saham. Ketiga hal tersebut ialah: mendapat jatah saham, meminta jatah saham, dan pemerasan untuk tujuan mempengaruhi harga. Karena masalah saham seringkali tidak datang dari diri si wartawan, tetapi dari perusahaan sebagai gratifikasi untuk tujuan pemberitaan tertentu. Pada akhirnya, mencuatnya skandal jual beli saham PT Krakatau Steel oleh wartawan bursa efek ini akhirnya turut membuka kembali debat soal definisi conflict of interest (konflik kepentingan) dalam peliputan. Karena dari sudut pandang etika jurnlaistik yang berlaku di Indonesia, ruang lingkup pengaturan etika yang berlaku hanya sebatas di tataran perilaku individu pekerja media, berkaitan dengan kepribadian dan perilaku jurnalis dalam meliput dan menyiarkan berita. Baik Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan Dewa Pers atau Kode Etik Jurnalis Televisi Indoensia dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) hanya mengatur poin bahwa wartawan tidak boleh mencampuradukkan fakta dan opini, wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesi, serta tidak boleh menerima suap. Namun, belum ada ketentuan detail yang menjelaskan apa itu yang disebut menyalahgunakan profesi serta sejauh mana perilaku wartawan dapat disebut sebagai konflik kepentingan. Dalam menentukan apakah etis seorang wartawan bursa efek turut memiliki saham, terdapat perdebatan antara dua pandangan. Pertama, yang menganggap bahwa investasi dan pembelian saham merupakan hak dan kebebasan setiap warga negara, termasuk pula wartawan. Akan tetapi, terkait dengan profesionalitasnya sebagai penyampai informasi bagi publik, aktivitas perdagangan saham yang dilakukan oleh wartawan ini perlu diatur dengan jelas, sejauh mana batasannya, agar tidak mempengaruhi berita dan tulisan yang dihasilkan wartawan tersebut sehingga merugikan publik. Cara ini seperti yang diterapkan oleh kantor berita internasional Bloomberg, yang memang secara khusus meliput berita ekonomi. Menurut Wahyudi, mantan wartawan Blooberg, Bloomberg menilai bahwa tidaklah bijaksana melarang seseorang, termasuk wartawannya, untuk memiliki saham, tetapi mereka ada aturan tegas bahwa setiap wartawan harus secara terbuka mengakui kepemilikan sahamnya dan tidak boleh menulis berita tentang kepemilikan sahamnya (Mediaindependen.com).

Kedua, ialah pandangan yang lebih strict dalam menanggapi aktivitas wartawan peliput bursa saham yang menyatakan bahwa wartawan peliput bursa saham tak boleh melakukan kegiatan transaksi jual-beli saham. Alasannya, potensi konflik kepentingan rentan terjadi apabila wartawan peliput lantai bursa umumnya mendapatkan informasi tentang pergerakan saham lebih cepat ketimbang investor pada umumnya. Bila wartawan peliput bursa turut bermain saham, besar kemungkinan dia akan menyalahgunakan informasi yang dia miliki untuk kepentingan pribadinya. Hal ini seperti yang diterapkan Wall Street yang secara tegas tanpa kompromi melarang wartawan bursa efek memiliki saham. Dalam menentukan sikap atas perdebatan konflik kepentingan ini, penulis berpendapat bahwa sebaiknya perdebatan ini dikembalikan berdasarkan kepentingan publik. Melarang seorang wartawan yang juga berperan sebagai warga negara untuk melakukan aktivitas investasi tentu bukan pilihan yang bijak mengingat hal tersebut merupakan salah satu hak asasi yang menjamin kebebasan berusaha seseorang. Terkait dengan profesionalitas sebagai jurnalis yang menyampaikan informasi pada publik, sejak awal wartawan seharusnya menghindari konflik kepentingan. Etika dan regulasi merupakan kontrol luar untuk memastikan bahwa kepentingan apapun yang dimiliki jurnalis tidak mempengaruhi output berita yang disajikan pada publik. Hal yang terpenting yang harus dilakukan bukan melarang wartawan, tetapi mempertahankan agar kredibilitas tetap terjaga. Mengacu pada paradigma yang diterangkan Kitross, untuk mempertahankan kredibilitas seorang jurnalis atau sebuah media sebenarnya tak perlu langkah ekstrem dengan cara menjauhkan diri dari hal-hal yang menyeret konflik kepentingan. Langkah untuk menghindari konflik kepentingan ialah dengan mendidik jurnalis menjadi benar-benar profesional meskipun mereka terlibat dalam aktivitas kesehariannya. Apabila seorang reporter atau editor menyadari adanya konflik kepentingan yang nyata seperti suap atau kriminalitas, maka hal tersebut harus dihindari. Oleh karena itulah, yang lebih perlu dimaksimalkan adalah fungsi gatekeeping atau roll place dalam internal media itu sendiri untuk menjamin bahwa berita yang dihasilkan tak merugikan publik. Karena upaya ekstrem dengan cara menutup segala aktivitas personal jurnalis dan menjauhkan jurnalis dari sumber-sumber konflik bukanlah bentuk impartiality, melainkan sebuah ignorance. Ketidaktahuan atau ignorance jurnalis akan subjek yang ditekuninya justru akan merugikan publik karena berimbas pada keterbatasan informasi yang dihasilkan.

10

DAFTAR PUSTAKA Burton, Graeme. (2005). Media and Society: Critical Perspective. New Delhi: Rawat Publication Gordon, A. David dan John Michael Kitross. (1999). Controversies in Media Ethics. United States: Wesley Longman Educational Publishers Inc. McQuail, Dennis. (2005). McQuails Mass Communication Theory (Fifth Edition). London: Sage Publication. Shoemaker, Pamela & Stephen D. Reese. (1996) Mediating the Message: Theories of influence on Mass Media Content. New York: Longman Publishing Group. Taufik, Ahmad dan Adek Media Roza. (2010, 29 November). Ketika Wartawan Berlagak Pialang, diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/29/MD/ mbm.20101129.MD135219.id.html pada 10 Januari 2011, Pukul 13.45 Taufik, Ahmad. (2010, 26 Desember). Wartawan, Saham, dan Kontroversinya, diakses dari http://www.ahmadtaufik.com/2011/12/wartawan-saham-dan-kontroversinya.html pada 11 Januari 2011, Pukul 10.32

11

Anda mungkin juga menyukai