Anda di halaman 1dari 13

Tugas Take Home Ujian Tengah Semester

2011

Pengantar Sosiologi Media


Aulia Dwi Nastiti | 0906561452

KOMUNIKASI MEDIADEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

1. Pengamatan mengenai keterkaitan antara media dan masyarakat, menurut McQuail (2005), tidak saja dapat dilakukan dengan pendekatan Dominant Paradigm (Paradigma Dominan) tetapi juga dengan pendekatan Critical Paradigm (Paradigma Kritis). Buatlah uraian komparatatif mengenai kedua paradigma tersebut. Uraian anda diharapkan mencakup hal-hal sebagai berikut : (a) pokok-pokok pemikiran konseptual dari masing-masing paradigma termasuk kekurangannya, (b) implikasi metodologis, dan (c) uraian mengenai paradigma yang akan anda terapkan apabila anda akan melakukan penelitian tentang fenomena hubungan antara media dan masyarakat disertai ilustrasi atau contoh.
Kajian media dalam perspektif sosiologis menempatkan media sebagai bagian tak terpishakan dalam masyarakat. Media dipandang sebagai sebuah kesatuan organisasional yang tidak berdiri sendiri di ruang vakum, tetapi selalu berada dalam konteks tertentu, baik itu konteks sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Seiring dengan meluasnya media massa dan dinamikanya dalam masyarakat, berbagai kajian ilmiah mengenai konsep media massa dan masyarakat pun berkembang secara progresif dan mengarah kepada terbentuknya suatu landasan berpikir makro dalam mengkaji media dan keterkaitannya dengan masyarakat. Dasar pemikiran ini pada perkembangannya terdifferensiasi menjadi dua pendekatan atau paradigma yang mengambil sudut pandang berbeda dalam mengkaji media dan masyarakat, yaitu Paradigma Dominan (Dominant Paradigm) dan Paradigma Kritis (Critical Paradigm). Paradigma Dominan dalam Kajian Media Berdasarkan latar belakang historisnya, Paradigma Dominan merupakan pendekatan yang terlebih dahulu berkembang. Lahirnya paradigma ini merupakan implikasi dari betapa masifnya efek yang ditimbulkan media massa pada masa awal perkembangan komunikasi massa. Paradigma ini memandang bahwa media massa memiliki power untuk melakukan komunikasi massa dan membentuk perilaku masyarakat. Keyakinan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan pesat teknologi media massa pada masa Perang Dunia dimana media digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan semangat nasionalisme serta sarana propaganda sekaligus pembentukan opini publik dan mengarahkan tindakan masyarakat. Pasca perang dunia, banyak pakar sosial memanfaatkan media sebagai sarana untuk mengintegrasikan masyarakat dunia di tengah arus industrialisasi dan urbanisasi. Keberadaan media dianggap mampu menciptakan kohesivitas dan persatuan pada masa itu. Akan tetapi, kehadiran media juga membawa pengaruh negatif dalam masyarakat seperti peningkatan angka kriminalitas dan perbuatan amoral serta memicu perilaku individualistis. Paradigma Dominan meyakini bahwa media massa memiliki kekuasaan penuh (powerful) dalam membentuk masyarakat sehingga media dianggap sebagai salah satu permasalahan sosial (McQuail, 2005). Oleh karena itulah, paradigma dominan menempatkan diri di posisi normatif dalam memandang media massa. Prinsipnya, karena media begitu powerful dalam menetuka arah masyarakat, maka media sejatinya merupakan perangkat sosial yang memiliki fungsi sosial seperti pengawasan lingkungan, korelasi sosial, sosialisasi, dan hiburan (Laswell & Wright, 1948), serta integrasi, edukasi, dan pengukuhan norma-norma sosial (Lazarsfeld & Merton, 1978) demi mewujudkan kondisi masyarakat yang ideal. Kondisi ideal masyarakat yang dimaksud merujuk pada tradisi barat, yaitu menekankan pada liberalisasi, demokrasi, pluralism, dan ketertiban umum. Secara filosofis, dasar konseptual paradigma dominan ini berakar dari sosiologi fungsionalisme, kajian psikologi behavioral, dan teori informasi terapan Shannon-Weaver (McQuail, 2005). Laswell (1948) menjadikan konsep fungsionalisme sebagai sebuah framework untuk memformulasikan dimensi fungsional komunikasi massa, yang berarti bahwa komunikasi massa 1

berfungsi untuk membentuk integrasi sosial masyarakat (McQuail, 2005). Paradigma dominan dalam komunikasi massa juga dikembangkan berdasarkan konsep stimulus-respons yang mengungkapkan bahwa segala perilaku manusia merupakan bentuk respon atas stimulus yang datang dari luar dan media merupakan salah satu bentuk stimulus terkuat dalam membentuk perilaku manusia. Selain itu, secara konseptual, paradigma dominan juga meyakini bahwa proses komunikasi manusia dapat dijelaskan secara ilmiah melalui model transmisi linear seperti yang dikemukakan Shannon-Weaver (1949). Paradigma ini meyakini bahwa komunikasi manusia tak ubahnya seperti proses pengiriman sinyal pesan dalam transistor. Berbagai landasan konseptual tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah implikasi metodologis bagi studi komunikasi massa sebagai sebuah proses ilmiah. Dalam hal metodologi, paradigma dominan memiliki prinsip epistemologis bahwa nilai kebenaran ada di luar subjek dan bersifat mutlak. Metodologi penelitian dalam kerangka paradigma dominan pada dasarnya merupakan adopsi dari ilmu alam yang meyakini bahwa kebenaran suatu subjek harus dibuktikan melalui pembuktian matematis yang sifatnya objektif. Oleh karena itu, tipikal riset dalam paradigma dominan banyak didominasi oleh survei, analisis data statistik, dan formulasi kuantitatif. Selain itu, metode behavioralis melalui eksperimen sosial-psikologis dianggap mampu menjelaskan pengaruh dan efektivitas persuasi media dalam membentuk sikap khalayak. Perkembangan metodologi kuantitatif ini merupakan salah satu pondasi yang mengukuhkan akar Paradigma Dominan sebagai kerangka pemikiran yang paling banyak digunakan dalam mengkaji keterkaitan antara media dan masyarakat sehingga akhirnya berkembang pesat. Akan tetapi, sebagai sebuah dasar pemikiran, Paradigma Dominan tetap saja memiliki kelemahan dalam mengkaji keterkaitan antara media massa dan masyarakat, terutama dalam hal efek media dan permasalahan sosial Salah satu bias Paradigma Dominan yang paling banyak dikritik ialah berkaitan dengan model transmisi linear. Rogers (1986) menyatakan bahwa model ini pada dasarnya merupakan salah satu ttitik tolak penting dalam Ilmu Komunikasi dan menggiring perkembangan komunikasi terfokus pada kajian efek komunikasi massa yang sifatnya cenderung satu arah dari media. Suatu riset komunikasi dianggap berhasil apabila dapat merumuskan pengaruh apa yang ditimbulkan suatu konten media terhadap perilaku tertentu manusia. Kebenaran inilah yang pada dasarnya digugat oleh ilmuwan sosial seperti Mead, Cooley, dan Park, yang pada dasarnya berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang tidak berlangsung dalam vakum sosial tetapi selalu berada dalam konteks sehingga tidak dapat digeneralisasi bahwa hasilnya akan selalu sama pada setiap manusia. Paradigma Kritis : Sebuah Alternatif terhadap Paradigma Dominan Paradigma Kritis lahir sebagai penolakan terhadap Paradigma Dominan dengan pemikiran normatif dan mengusung liberalisme sebagai perwujudan kondisi ideal masyarakat. Dari segi kajian media, Paradigma Kritis mengkritik pandangan Paradigma Dominan yang menekankan powerful media dan model komunikasi transmisi linearnya yang dinilai tidak berhasil menjelaskan proses komunikasi antara media dengan khalayak, serta dinamika perkembangan media dalam masyarakat sosial. Paradigma Kritis memandang bahwa model transmisi linear tidak relevan dengan kondisi manusia karena terdapat variabel lain dalam hubungan antara media dan khalayak sehingga media massa tidak bisa dikatakan memiliki pengaruh langsung kepada pembentukan perilaku sosial masyarakat. Secara filosofis, landasan konseptual Paradigma Kritis ialah Tradisi Teori Kritis Sekolah Frankfurt yang banyak mengadopsi pemikiran Marx dan sosialisme (McQuail, 2005). Kontribusi Sekolah Frankfurt terhadap pengembangan Paradigma Kritis ialah meletakkan pondasi berpikir bahwa media merupakan 2

salah satu struktur sosial yang melakukan suatu upaya manipulatif dan opresif. Dalam pandangan Teori Kritis, media bukan adalah realitas yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok penguasa dan digunakan untuk mempertahankan dominasi atau kekuasaannya tersebut (Rogers, 1994). .Argumen-argumen yang mendukung Paradigma Kritis antara lain, berkembangnya ideologi yang lebih kompleks dan menyeluruh yang terkandung dalam konten media. Paradigma Kritis meyakini bahwa teks media pada dasarnya bukan berfungsi sebagai alat integrasi sosial untuk mewujudkan kondisi ideal masyarakat, melainkan sebagai ideological apparatus penguasa untuk mendiseminasikan dan menanamkan ideologi penguasa dalam benak masyarakat (Littlejohn, 2002). Kedua, kesadaran bahwa media berperan sebagai struktur organisasi yang memiliki kepentingan ekonomi-politik karena media merupakan sebuah intitusi yang berupaya mempertahankan dominasi pihak penguasa dengan cara melakukan hegemoni terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi komunikasi, Paradigma Kritis menolak pandangan deterministik yang menganggap bahwa kemajuan peradaban merujuk pada praktik masyarakat modern yang dijalankan oleh negara-negara maju sehingga negara dunia ketiga pun harus mengadopsi modernisasi ala Barat. Paradigma Kritis justru menganggap bahwa modernisasi teknologi komunikasi tak ubahnya seperti imperialisme modern yang berakibat pada dominasi ekonomi-kultural. Ketiga, lahirnya paradigma alternatif ini sejalan dengan pergeseran kajian komunikasi massa ke arah yang lebih kualitatif yang menekankan pada pandangan bahwa segala proses sosial dalam diri manusia pada dasarnya bersifat kontekstual dan subjektif. Paradigma Kritis memahami realitas sebagai realitas semu karena dikontruksi oleh kekuatan sosial, politik dan ekonomi (Wuryanata, 2006). Dari segi metodologi riset sosial, Paradigma Kritis menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya karena realitas merupakan sesuatu yang sifatnya relatif dan kontekstual. Dengan kata lain, dalam paradigma kritis, suatu riset sosial tidak akan bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87). Implikasinya secara metodologis, kajian sosial dalam kerangka Paradigma Kritis mengedepankan metode analisis kualitatif yaitu analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level seperti studi kasus, kajian etnografi, analisis semiotika, atau analisis wacana kritis. Hal ini berarti pula bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170). Dalam hal riset media massa, Paradigma Kritis meyakini teks media bukanlah kopi dari realitas, tetapi lebih merupakan versi atau bentuk baru realitas. Oleh karena itu, untuk memahami realitas yang sebenarnya terjadi, peneliti harus mendekonstruksi pesan yang terkandung dalam media tersebut sesuai dengan konteks sosial yang melatarbelakangi produksi pesan tersebut. Secara esensial, paradigma dominan dan alternatif masing-masing memiliki inti dan sifat yang berbeda. Paradigma alternatif memberikan gambaran proses komunikasi yang lebih menyeluruh sebagai proses berbagai dan ritual, bukan hanya sekedar proses transmisi instrumental (McQuail, 2005). Adapun kritik yang dilontarkan terhadap paradigma kritis ini ialah Rosengren (1983) yang memetakan berbagai teori media dan menyimpulkan bahwa teori- teori media yang ada dapat diklasifikasikan menjadi dua kutub berdasarkan paradigm teori tersebut, yaitu melalui pendekatan subjektif atau objektif, dan perubahan radikal atau regulasi (konservasi terhadap status quo).

Preferensi Personal Paradigma dalam Penelitian Sosial mengenai Relasi Media-Masyarakat Dalam riset sosial untuk meneliti hubungan antara media dan masyarakat, saya akan memilih untuk menggunakan Paradigma Kritis. Tema penelitian yang akan saya ambil ialah mengenai konstruksi sosial terhadap kaum difabel di media massa. Oleh karena itu, level penelitian saya bukanlah masyarakat dalam tataran masif, melainkan kelompok masyarakat, yaitu kaum difabel. Istilah difabel sendiri merupakan singkatan yang berasal dari Bahasa Ingggris,
Different Ability People, yang berarti Orang dengan Kemampuan Berbeda (Masduqi, 2010). Istilah difabel merujuk pada orang-orang yang menyandang keterbatasan secara fisik, atau sering disebut sebagai penyandang cacat. Istilah difabel diperkenalkan karena adanya kesadaran bahwa setiap manusia diciptakan berbeda sehingga keterbatasan fisik tersebut tidak seharusnya dipandang sebagai kecacatan, melainkan perbedaan. Meskipun seharusnya tidak dipandang sebagai orang cacat, di lingkungan sosial masyarakat Indonesia, kalangan difabel atau disable merupakan salah satu kelompok yang hingga saat ini keberadaannya masih termarjinalisasi baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Kalangan difabel seringkali tersingkirkan dari wacana permasalahan sosial dan hak asasi manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kecacatan fisik masih dimaknai sebagai suatu ketidaksempurnaan, sesuatu yang abnormal, bahkan terkadang dipandang sebagai aib yang memalukan. Konstruksi sosial yang cenderung negatif terhadap kaum difabel tersebut terjadi pula di dalam media massa. Apabila dicermati lebih jauh, representasi kaum difabel di media massa Indonesia masih sangat kurang, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas. Artinya, secara jumlah atau intensitas peliputan, wacana mengenai kaum difabel belum menjadi wacana yang jamak diperbincangkan di media. Di sisi lain, dari segi kualitas, teks media pada dasarnya menempatkan kaum difabel dalam posisi subordinat. Upaya marjinalisasi melalui wacana media massa tersebut termanifestasikan dalam struktur pemberitaan yang menggunakan struktur bahasa yang memojokkan kaum difabel, seperti menyebut mereka dengan sebutan orang cacat atau kelompok masyarakat yang perlu kita kasihani. Oleh karena itu, dalam peneltian ini, saya akan menyoroti struktur bahasa dalam pemberitaan kaum difabel dengan menggunakan metode analisis wacana kritis atau critical discourse analysis karena fokus utama analisis wacana kritis ialah mengkaji bagaimana kekuasaan disalahgunakan, serta bagaimana dominasi serta subordinasi dijalankan dan direproduksi melalui teks dalam sebuah konteks sosial politik (Dedy Nur Hidayat, dalam Eriyanto, 2001). Saya memilih untuk melaksanakan penelitian dalam kerangka berpikir Paradigma Kritis karena mengingat tujuan penelitian paradigma kritis yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial (Wuryanata, 2006). Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang, dalam konteks penelitian ini, ketidakseimbangan terwujud dalam dominasi masyarakat normal terhadap kelompok difabel. Selain itu, tujuan penelitian ini juga relevan dengan tujuan paradigma kritis yaitu untuk memutus mata rantai marjinalisasi terhadap kalangan difabel melalui transfromasi paradigma masyarakat menjadi perspektif yang memandang masalah penyandang cacat sebagai masalah sosial yang menyangkut hak asasi manusia untuk memperoleh perlakuan yang sama. Dalam hal subjetiktivitas peneliti, sesuai dengan yang dikatakan Newman (2000) bahwa seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, sebagai seorang peneliti, saya dapat melakukan analisis dengan lebih eksploratif, mendalam, dan relevan dengan konteks sosial yang ada. 4

2. Dalam pembahasannya tentang Media-Cultural Theory, McQuail (2005 : 115) menyebutkan 8 (delapan) tema kajian yaitu : (1) The Question of Quality, (2) Communication Technology Effects, (3) Commodification of culture, (4) Globalization, (5) Policy for cultural diversity, (6) Cultural diversity, (7) Gender and sub-culture, dan (8) Ideology and hegemony. Jelaskan fokus dan cakupan permasalahan yang dikaji dari setiap tema tersebut dan berikan ilustrasi/contohnya dengan mengambil kasus atau peristiwa di Indonesia.
Teori Media-Kultural pada dasasrnya merupakan kajian media massa yang dipandang dari dimensi kulturalis. Pendekatan kulturalis pada dasarnya berfokus pada seluruh aspek produksi, bentuk, dan penerimaan teks media sebagai hasil dari interaksi yang berlangsung di dalam konteks dan diskursus yang mengiringinya (McQuail, 2005). Seperti kita ketahui, kultur merupakan grand concept yang termanifestasikan sebagai pola hidup manusia di hampir segala lini kehidupan. Oleh sebab itu, pendekatan media-kulturalis tidak hanya menekankan pada teks sebagai konten media, tetapi juga memperhatikan konteks dan segala proses yang mengiringi produksi dan resepsi teks media tersebut. McQuail (2005) menjelaskan bahwa dalam perspektif media kulturalis, kajian media massa dibagi menjadi delapan tema yang menjadi pokok pembahasan. Tema pembahasan ini pada dasarnya merupakan isu-isu teoritis dan pertanyaan utama yang menjadi agenda pembahasan Teori Media-Kulturalis. Adapun delapan tema tersebut yaitu: (1) The Question of Quality atau pertanyaan mengenai kualitas mass culture yang dibentuk melalui proses komunikasi massa. Bauman (1972) menjelaskan bahwa latar belakang munculnya budaya massa ialah komunikasi yang dilakukan media massa kepada masyrakat (komunikasi massa). Media massa telah menciptakan suatu budaya yang universal dan distandarisasi oleh media itu sendiri dan hal ini erat kaitannya dengan kepentingan pasar dan supremasi dari institusi yang berkuasa. Karena merupakan budaya yang non-tradisi, non-elite, diproduksi secara masal, populer, komersil, dan homogen, budaya massa memperoleh kritik karena mengancam hilangnya integritas dan kesederhanaan budaya tradisional. Hal ini melahirkan pertanyaan yang cenderung meragukan kualitas budaya massa yang dibentuk media tersebut. Selain itu, dalam tema ini dibahas pula mengenai budaya pop atau popular culture yang secara umum merujuk pada apa yang disukai oleh masyarakat, atau disukai oleh generasi muda pada khususnya. Wacana yang berkembang ialah untuk menempatkan budaya pop kreativitas kultural dan bukan sebagai budaya massal alternatif. Di Indonesia, kualitas budaya massa yang terbentuk melalui proses komunikasi massa dapat dilihat dari maraknya berbagai acara musik dalam negeri seperti Dahsyat, Inbox, Derings, Klik, dan lain-lain. Acara-acara musik tersebut cendrung mengarah pada homogenisasi karena menyajikan musik-musik yang seragam yaitu lagu-lagu pop ataupun pop melayu dengan lirik ringan dan mudah dicerna serta standar format acara yang serupa dengan mendatangkan penonton kawula muda. Budaya massal yang terbentuk akhirnya dipertanyakan kualitasnya karena persepsi umum yang terbentuk ialah bahwa berbagai produk budaya massal yang dihasilkan acara ini cenderung tidak berkualitas dan mendangkalkan substansi musik-musik tradisional Indonesia. (2) Communication Technology Effects. Tema ini menggarisbawahi implikasi kultural yang timbul sebagai konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi. Implikasi kultural yang dimaksud di sini berkaitan dengan pemaknaan manusia terhadap dunia mereka dan lingkungan sosial di sekitarnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan manusia memungkinkan interaksi kultural dilakukan dengan cara-cara yang melampaui batas ruang dan waktu dan tidak 5

seperti sebelumnya yang bergantung pada kontak personal, upacara religius, atau penampilan publik. Pengalaman kultural yang termediasi ini dapat diakses secara virtual oleh siapapun dari latar belakang kultur apapun. Apabila penerimaan yang tidak didasari oleh pengalaman kultural yang sesuai dengan kultur produksi teks media tersebut, yang mungkin terjadi ialah pergeseran dan pendangkalan makna kultur tersebut karena kurangnya pemahaman terhadap konteks kultural yang melatarbelakangi produksi teks tersebut. Efek teknologi komunikasi ini dapat terlihat ketika pada terjadi demonstrasi dan hujatan yang dilakukan oleh massa Indonesia terhadap konten media yang sensitif, seperti misalnya Film Fitna yang beredar lewat situs YouTube. Masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi teks media yang sensitif tersebut biasanya langsung berpikir dan menghujat produsernya karena selalu merujuk pada nilai-nilai dan keyakinan personalnya tanpa konteks kultural di mana film dan karikatur tersebut dibuat. Arus informasi yang begitu cepatnya tersebar melalui teknologi menyebabkan konten yang diterima oleh masyarakat hanyalah substansi material yang berwujud yaitu film tersebut yang memotong-motong ayat Al-Quran untuk menggambarkan justifikasi islam terhadap teorirsme. Teknologi yang menyebarkan film tersebut tidak turut serta menyebarkan pemahaman bahwa film tersebut pada dasarnya dibuat di Belanda sebagai btentuk kekahawatiran kaum ultranasionalis yang merasa terancam secara finansial karena eksistensi kaum imigran Muslim yang dikenal sebagai pekerja keras di negeri perantauan. (3) Commodification of culture atau komodifikasi budaya merupakan pertanyaan tentang bagaimana budaya dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan oleh media. Hal ini berkaitan erat dengan aspek ekonomi-politik media sebagai sebuah industri yang memproduksi produk kultural dan terepresentasikan melalui teks-teks media di dalamnya. Yang menjadi sorotan di sini ialah bagaimana media sebagai sebuah conciousness industry sangat berorientasi pada kepentingan profit dan selera pasar. Melalui kombinasi dengan perkembangan teknologi dan pemasaran masif, komodifikasi budaya itu mengarah pada internasionalisasi dan distribusi sepihak produk budaya tertentu. Contoh komodifikasi budaya yang dapat dilihat di Indonesia antara lain dominasi produk budaya Barat di Indonesia. Film-film Hollywood banyak mendominasi di bisokop Indonesia di mana tersebut tidak hanya membawa plot dan cerita drama, tetapi juga berupaya menginternalisasikan nilai-nilai ke dalam masyarakat Indonesia untuk berkiblat pada budaya Barat sehingga hal-hal yang berbau Barat diminati dan dapat dijual di Indonesia. Penyanyi-penyanyi Barat yang konsernya sangat dinanti oleh masyarakat Indonesia seperti Justin Bieber, Maroon 5, dan lain-lain. Selain itu, fenomena reality show ajang pencarian bakat seperti American Idol, America Got Talents, The Apprentice, dll yang sangat laku di pasaran Indonesia hingga diadopsi ke dalam tayangan-tayangan nasional di Indonesia. (4) Globalization. Cakupan masalah yang dibahas dalam tema ini antara lain berkaitan dengan debat mengenai dampak positif dan negatif, atau konsekuensi sosio-kultural dari kondisi globalisasi yang saat ini sedang berlangsung. Apakah globalisasi akan menggiring dunia pada homogenisasi, diversifikasi, atau hibridisasi? Dapatkah kelompok minoritas mempertahankan identitasnya atau justru ada kelompok-kelompok baru yang akan berkembang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang dikaji dalam lingkup globalisasi. Di Indonesia, globalisasi cenderung menjadikan budaya Indonesia sebagai objek yang terpengaruh oleh budaya luar, bukan sebagai budaya yang mengglobal hingga diterima secara luas di luar Indonesia, seperti halnya budaya Hollywood ataupun budaya Jepang dan Korea yang akhirakhir ini juga menjadi primadona. Globalisasi di Indonesia cenderung mengakibatkan adanya cultural shock karena

adanya gelombang budaya baru yang hadir tanpa diiringi kematangan kultur lokal sebagai antisispasi dan tameng. Contohnya ialah pola hidup konsumtif sudah menjadi pola pergaulan dan gaya hidup para remaja kita yang memuja barang-barang dengan brand internasional yang banyak dikenal melalui majalah-majalah fesyen juga tayangan-tayangan sinetron yang mengadopsi budaya Barat. Fenomena globalisasi yang terjadi di Indonesia menunjukkan fakta bahwa globalisasi mengakibatkan masyarakat Indonesia lebih familiar dan memilih budaya luar. Sehingga argumen yang jamak muncul ialah globalisasi cenderung berdampak negatif terhadap kekayaan kultural budaya Indonesia karena masyarakat Indonesia kini lebih mengenal budaya luar daripada budaya nasional. (5) Cultural identity atau identitas kultural masih sangat terkait dengan globalisasi, dan dapat dikatakan sebagai salah satu implikasinya. Tipikal kultur kontemporer yang sekarang ini banyak diproduksi oleh media-media besar seringkali dikemas dalam muatan global, meskipun dinikmati oleh masyarakat dalam konteks nasional bahkan lokal dengan latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Karena komunikasi melalui bahasa merupakan salah satu hal yang krusial dalam preservasi identitas, maka hal ini dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengancam identitas juga diversitas kultural. Pergeseran identitas kultural akibat suatu produk budaya di Indonesia dapat terlihat melalui maraknya komunitas-komunitas penggemar budaya Korea yang akhir-akhir ini berkembang pesat di Indonesia. Tingginya minat untuk mengkonsumsi berbagai tayangan musik ataupun drama Korea turut menggiring mereka untuk menyukai budaya pop Korea dan secara tak langsung menjadikan mereka berminat untuk mempelajari budaya-budaya Korea lainnya, seperti bahasa percakapan yang sederhana, makanan-makanan khas, baju tradisional, acara kebudayaan Korea. Hal ini dapat terbukti dari maraknya media-media yang saat ini turut menyisipkan konten berita-berita tentang budaya pop Korea, bahasa-bahasa Korea yang jamak digunakan dalam komunitas fans, serta betapa tingginya partisipasi masyarakat Indonesia dalam festival kebudayaan Korea yang diselenggarakan di Indonesia. (6) Policy for cultural diversity. Pertanyaan mengenai kebijakan diversitas kultural muncul menjadi pokok pembahasan utama dalam tema ini sebagai perwujudan upaya antisipasi dari hilangnya identitas kultural dan menjamin kelestarian nilai-nilai diversifikasi kultural dalam konteks masyarakat global seperti sekarang ini. Kebijakan diversitas kultural ini juga muncul sebagai respons atas isu kelompok minoritas yang seringkali mengalami keterpinggiran baik dalam konteks geografis, religius, etnisitas, maupun sosial-ekonomi. Wacana kebijakan diversitas kultural di Indonesia dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang menetapkan kepemilikan saham asing dalam industri media di Indonesia maksimal sebesar dua puluh persen. Hal ini pada dasarnya untuk menjamin dan melindungi diversitas kultural yang telah berakar secara alami dalam lingkungan sosial masyarakat Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa kepemilikan asing yang begitu besar terhadap media dapat mengancam eksistensi dan distribusi produk budaya nasional di media massa. (7) Gender and sub-culture. Gender dan sub-kultur merupakan tema yang seringkali dibahas apabila Teori Media-Kultural ini telah bersinggungan dengan topik marjinalisasi, subordinasi, dan keterpinggiran kelompok-kelompok kultural tertentu. Pembahasan mengenai gender dan subkultur mencakup bagaimana kelompok-kelompok kultural tertentu dikonstruksikan dalam posisi subordinat oleh media massa. Di Indonesia, masih sangat banyak koran dan media massa Koran-koran kuning seperti Pos Kota, Warta Kota, Lampu Hijau, Meteor, dll yang penyampaian beritanya menggunakan bahasabahasa yang memojokkan gender wanita. Sebagai contoh, misalnya headline di koran Rakyat Merdeka, 22 Agustus

2000, yaitu Gadis Bisu Digagahi Tiga Pemuda, di Gubuk Sekitar Pemancingan dengan bahasa berita yang memojokkan martabat perempuan seperti berikut, Gadis buta ini nasibnya sudah jatuh tertimpa tangga karena pemuda yang menggagahi enggan menikahinya dengan alasan ia juga sempat dipakai oleh dua pemuda lainnya (Eriyanto, 2001). Tidak dapat dipungkiri, konstruksi realitas yang dilakukan dan disampaikan dalam media massa di Indonesia hingga saat ini masih belum menunjukkan kesetaraan, baik itu kesetaraan gender maupun kesetaraan bagi kaum marjinal lainnya yang suara dan kepentingannya tidak terakomodasi oleh media massa. (8) Ideology and hegemony. Tema terakhir ini dapat dikatakan sebagai tema yang berada dalam tataran makro karena membahas mengenai aspek ideologis dalam suatu produk kultura atau teks media. Fokus pembahasan tema ini ialah berupaya mengkaji bagaimana ideologi-ideologi tertentu mengarahkan proses produksi suatu budaya, dan diinternalisasikan dalam produk budaya tersebut, kemudian didiseminasikan dalam teks media agar dapat menimbulkan efek-efek tertentu dalam diri penerimanya. Konten-konten yang terdapat dalam teks media tersebut pada dasarnya merepresentasikan ideologi produsen teks agar ideologi itu tertanam dalam benak konsumen sehingga lambat laun terjadi penerimaan terhadap nilai-nilai ideologis yang dibawa teks media tersebut. Dengan kata lain, media berupaya menciptakan hegemoni dengan cara membentuk kesadaran palsu dalam pikiran masyarakat penerima. Tema ideologi dan hegemoni dalam media massa di Indonesia banyak didominasi oleh kajian tentang Westernisasi dan Amerikanisasi karena memang realitas yang ada menunjukkan bahwa hegemoni budaya Amerika masih berakar kuat dalam diri masyarakat Indonesia. Melalui tayangan media, budaya Amerika tersebut diterima, disukai, digunakan, dan bahkan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia. Fenomena yang dapat diamati misalnya tentang bagaimana fastfood seperti McDonalds dam KFC yang sangat dikenal dan digemari dibandingkan Warung Tegal, bagaimana sesorang bisa merasa lebih bangga dan berkelas apabila duduk-duduk di kafe dan meminum kopi Starbucks dibandingkan dengan mengobrol santai di warung kopi. Adanya proses penerimaan dan reproduksi pesan (dengan cara berbangga dan melakukan budaya tersebut sebagai rutinitas) pada dasarnya menunjukkan adanya hegemoni idologi Amerika di Indonesia.

3. Graeme Burton (2009 : 26) dalam bukunya antara lain menjelaskan tentang tekanan-tekanan eksternal terhadap media (Power Pressures). Jelaskan tekanan-tekanan tersebut dan berikan ilustrasi dengan mengambil contoh situasi media di Indonesia.

Kajian komunikasi massa pada dasarnya menempatkan media sebagai objek studi utama. Media, dalam kajian komunikasi massa, dipandang sebagai sebuah institusi yang terintegrasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam masyarakat. Media massa tidak hanya sebagai saluran komunikasi tetapi juga dalam posisinya sebagai institusi ekonomi (bisnis), sosial-budaya, dan politik. Sebagai sebuah institusi, media massa merupakan seperangkat aktivitas dan organisasi media, dengan berbagai aturan operasional formal maupun informal dan syarat-syarat kebijakan yang ditetapkan oleh masyarakat. Terkait dengan power media sebagai institusi, menurut Burton (2005), eksistensi, karakteristik, dan perluasan kekuasaan institusional (institutional power) merupakan sebuah isu tersendiri karena menyangkut proses yang dinamis dan kompleks karena melibatkan berbagai satuan dan institusi lain di luar tubuh media itu sendiri. Dalam pandangan Burton, kekuasaan didefinisikan sebagai sebuah proses dimana sebuah kekuatan dapat diberikan secara luas dari suatu sumber (institusi) yang memberikan suatu perubahan kepada apa yang disorotnya (audiens). Meskipun begitu, Burton (2005) menekankan bahwa media seharusnya tidak dilihat selalu meneyebarkan pengaruh dan memiliki kekuasaan yang powerful. Dalam proses dan aktivitas ritualnya, media juga ditekan dari berbagai macam kepentingan dan luar (power pressures). Burton merumuskan bahwa terdapat enam sumber tekanan eksyernal yang mempengaruhi praktik opersional institusi media, yaitu (1) intervensi politik; (2) hukum; (3) perubahan dan inovasi teknologi; (4) kekuatan pasar; (5) badan regulasi; dan (6) audiens yang memiiliki selera dan respon berbeda terhadap produk media. Penjelasan lebih lanjut mengenai masing-masing tekanan tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Pertama, tekanan akibat intervensi politik dari pemerintah. Pada dasarnya, media dan pemerintah memiliki hubungan yang saling membutuhkan tetapi berorientasi pada kepentingan masing-masing (mutual self-interest). Pemerintah berperan dalam menciptakan regulasi dan hukum, serta melakukan kontrol terhadap arus informasi yang mengalir lewat media. Mekanisme regulasi tersebut secara langsung maupun tidak langsung dikontrol oleh pemerintah. Meskipun begitu, pada dasarnya, pemerintah akan berupaya memperluas akses khalayak terhadap media karena pemerintah menggunakan media sebagai saluran komunikasi politiknya. Pemerintah membutuhkan media untuk menginformasikan kebijakan pemerintahan, menyosialisasikan program kerja, menguji dan mengevaluasi kebijakan, dan yang terutama membentuk citra positif di mata masyarakat. Adanya kepentingan-kepentingan politis pemerintah itulah yang akhirnya turut mempengaruhi bagiamana konten media tersebut terwujud, terutama konten yang terfokus pada pemberitaan mengenai pemerintah. Intervensi politik ini pada akhirnya akan cenderung membatasi independensi media dan mengarahkan media kepada dua kecenderungan, yaitu menjadi media pro-pemerintah atau cenderung menjadi media oposisi yang meng-counter kebijakan pemerintah. Independensi media merupakan hal yang sangat relatif. Dengan demikian, intervensi politik pemerintah dan media cenderung menimbulkan suatu hubungan yang kolusif.

Kedua, tekanan hukum. Hukum sebagai tekanan eksternal yang berkaitan dengan seluruh kebijakan publik, hukum, dan peraturan-peraturan konstitusional yang mempengaruhi struktur media dan kegiatan operasional media. Tujuan pokok adanya hukum dalam serangkaian aktivitas media massa ialah untuk menjamin bahwa kebebasan yang dimiliki media dalam melakukan pemberitaan (freedom of publication) tidak merugikan kepentingan indivodu dan masyarakat. Mekanisme dan prosedur yang terdapat dalam hukum antara lain terdiri dari hukum atau peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh media, dengan isu utama yang diangkat berkaitan dengan pencemaran nama baik individu yang kiranya dapat mengganggu kepentingan publik. Wilayah cakupanaturan-aturan hukum dalam mengatur aktivitas operasional media mencakup tiga hal yaitu, struktur, konten, dan teknologi media (McQuail). Di Indonesia bagaimana aturan hukum menekan aktivitas media massa dapat terlihat perbedaan sebelum dan sesudah adanya Undang-undang Kebebasan Pers No.40 / 1999. Sebelum UU tersebut disahkan dan pers Indonesia masih ada dalam masa Orde Baru, secara struktur, kepemilikan media haruslah diketahui dan dilaksanakan setelah memperoleh izin terbit dari Kementrian Penerangan. Setelah pasca reformasi dan UU tersebut disahkan, terjadilah liberalisasi kepemilikan pers, dengan membebaskan pendirian pers tanpa memerlukan izin dengan birokrasi yang rumit. Ketiga, tekanan yang timbul akibat adanya perubahan dan inovasi teknologi. Adanya perkembangan teknologi secara tidak langsung memberikan tekanan pada suatu insitusi media untuk melakukan ekspansi media dengan tetap mengetengahkan fleksibilitas dan aksesibilitas. Artinya, perkembangan peradaban ke depan menuntut eksistensi suatu media untuk menjadi lebih portabel, aksesibel, tetapi tetap dengan konten yang lengkap dan informatif. Di sisi lain, inovasi dan pekembangan teknologi komunikasi yang berbasis digitalisasi dan aplikasi internet seperti kondisi yang terjadi sekarang ini pada dasarnya akan mengarah pada konvergensi media atau integrasi media dalam berbagai teknologi. Oleh karena itu, dengan adanya tekanan tersebut, suatu institusi media pada akhirnya akan mengarahkan proses produksi media yang konvergen, yaitu media yang multidimensional. Contoh nyata yang dapat dilihat di Indonesia ialah Grup Kompas-Gramedia yang memproduksi media cetak dan media siar dalam wujud online dan offline.Sebagai sebuah instutisi media, Kompas-Gramedia mengembangkan media cetak Kompas, Warta Kota, Koran Tribun, majalah National Geographic, serta buku-buku non-fiksi. Sebgaian besar media cetak tersebut juga memiliki wujud dalam dunia online seperti Kompas berupa e-paper, situs online Kompas.com, juga blog komunitas Kompasiana. Grup Kompas-Gramedia sebenarrnya juga pernah melakukan ekspansi ke media televisi, dengan media TV7. Namun, sekarang ini, kepemilikan TV7 telah berpindah ke institusi lain Grup TransCorp menjadi Trans7. Keempat, tekanan akibat adanya kepentingan pasar. Dalam mekanisme operasional media, kendali pasar merupakan faktor yang penting dalam menyeimbangkan kepentingan media dan pemiliknya dengan kepentingan konsumen dan pihak-pihak pengguna media lainnya (McQuail, 2005). Adanya tekanan pasar dalam kerangka persaingan bebas secara tidak langsung turut menjadikan media sebagai sebuah institusi yang berorientasi pada profit. Kurangnya sumber finansial dapat membatasi media untuk memproduksi informasi, atau bahkan menghentikan operasional media tersebut Hal ini menimbuklkan konsekuensi terhadap konten media yang dihasilkan yang haruslah sesuai dengan selera dan keinginan pasar. Seluruh industri media cenderung kepada bentuk monopoli. Globalisasi dan kebutuhan finansial yang besar dalam pasar struktur pasar yang kompetitif menimbulkan tendensi ke arah konglomerasi media yang lebih besar yang mengarah pada kompetisi

10

yang lebih sedikit dan pilihan yang lebih sedikit pula dan semakin sulit untuk mewujudkan plurality of content on diversity of ownership. Di satu sisi, adanya persaingan bebas dapat membuat media menjadi lebih kompetitif dengan selalu meningkatkan performa kinerjanya, baik dalam hal konten maupun teknis penyajian. Namun, di sisi lain, media menjadi terlalu komersial dan profit-oriented karena pemikiran market-based cenderung berorientasi pada keuntungan dan kebebasan pemilik media dengan menjadikan kebebasan dan kualitas informasi sebagai alasan dan pembenaran (McQuail, 2005:213). Contohnya maraknya sinetron dengan tema-tema seragam di Indonesia, yaitu sinetron dengan tema cinta ala negeri dongeng dengan mengangkat tokoh utama wanita cantiik tetapi miskin yang dicintai oleh pria tampan kaya raya. Selanjutnya seluruh isi plot akan bercerita tentang perjuangan cinta merea dalam menghadapi rintangan yang biasanya timbul dari tokoh antagonis yang wataknya sangat jahat dengan menghalalkan sebaga cara untuk memisahkan tokoh utama dan membuat tokoh utama wanita menjadi pihak yang menderita dan sengsara. Judul sinetron seperti Cinta Fitri, Kemilau Cinta Kamila, Putri yang Ditukar, menjadi tayangan yang akrab menghiasi layar kaca Indonesia setiap harinya karena memang tayangan seperti itulah yang mendatangkan keuntungan paling besar karena laku dijual di pasaran dan biaya produksinya cenderung murah. Kelima, badan regulasi. Badan regulasi dalam hal ini memiliki pengertian yang berbeda dengan regulasi hukum ataupun peraturan-peraturan yang sifatnya konstitusional. Badan regulasi dipahami sebagai badan independen yang berwenang menetapkan serangkaian kode etik dalam aktivitas operasional media. Berdirinya badan regulasi ini berangkat dari pemahaman bahwa informasi dan wacana merupakan public goods dan media, sebagai penyampai informasi dan pembentuk wacana harus dapat memenuhi kepentingan tersebut. Tekanan badan regulasi pada umumnya tidak sekuat tekanan hukum dan pertauran konstitusional karena biasanya sanksi yang dijatuhkan oleh badan regulasi tidak sekeras sanksi hukum. Tekanan yang ditimbulkan oleh badan regulasi ini pun umumnya terbatas dalam hal pengaturan konten media dan tata cara etika professional pekerja media. Contoh badan regulasi di Indonesia misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk media siar dan Dewan Pers Indonesia bagi media cetak. Salah satu tekanan yang diberikan KPI misalnya dengan mengeluarkan Standar Program Siaran (SPS) dan mengeluarkan surat teguran kepada siaran-siaran yang melangkahi standar. Salah satu contoh kasusnya ialah tayangan Empat Mata yang berkali-kali mendapat teguran KPI dan akhirnya diberhentikan siarannya karena menampilkan adegan dengan kata-kata yang vulgar, mengeksploitasi anak, tidak memperhatikan norma kesusilaan, serta tidak mencantumkan klasifikasi acara. Akan tetapi, program tayangan Empat Mata tidak berhenti begitu saja, tetapi tetap melanjutkan format acara yang sama dengan nama berbeda yaitu Bukan Empat Mata. Hal ini disebabkan karena memang posisi tawar badan regulasi yang tidak begitu kuat dalam menekan aktivitas media. Keenam, respons audiens atau khalayak terhadap produk media. Burton (2005) menjelaskan bahwa hubungan antara media dan khalayak selalu berakar pada kepentingan ekonomi media. Media berusaha untuk mendefinisikan khalayak mereka secara objektif dan mengetahui karakteristik khalayak. Dengan demikian, kebutuhan media terhadap khalayak adalah kebutuhan akan konsumen sehingga media akan selalu mengacu pada riset yang mengukur tingkat konsumsi khalayak terhadap produk media mereka (Burton, 2005). Respon audiens terhadap teks media mengakibatkan tekanan dalam hal seleksi konten media apa yang akan disajikan pada khalayak. Pemilihan konten ini melibatkan pertimbangan mengenai selera audiens juga muatan normatif pesan yang disajikan. Contoh tekanan respon audiens misalnya gugatan Tommy Winata

11

kepada Majalah Tempo yang dinilai mencemarkan nama baik dan memfitnah Tommy Winata sebagai pihak yang bersalah dalam kasus pembakaran Pasar Tanah Abang. Pada perkembangan proses gugatan tersbut, pengadilan memenangkan gugatan Tommy Winata sementara Majalah Tempo diwajibkan membayar sejumlah ganti rugi dan mempublikasikan permohonan maaf kepada Tommy Winata disejumlah media massa nasional. Hal ini tentu saja merupakan tekanan tersendiri bagi Majalah Tempo sebagai sebuah institusi untuk lebih memperhatikan etika anonymity sumber berita dalam memuat pemberitaan. .

Daftar Referensi
Baran, S., & Davis, D. (2000). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment and Future. California: Wadsworth. Burton, G. (2005). Media and Society. New Delhi: Rawat Publication. Eriyanto. (2001). Analisis Wacana Kritis : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Hiidayat, D. N. (1999). Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia , Volume (3) April. Masduqi, B. F. (2010 ). Kecacatan : Dari Tragedi Personal Menuju Gerakan Sosial. Jurnal Perempuan , Vol 65 : 17-29. McQuail, D. (2005). McQuail Mass Communication Theory 5th Edition. London: London: SAGE Publication Ltd. Newman, W. L. (1997). Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approach. Boston: Allyn dan Bacon. Rogers, E. M. (1994). A History of Communication Study. New York: The Free Press. Wuryanata, A. E. (2006, Juni 19). Teori Kritis dan Varian Paradigmatis dalam Ilmu Komunikasi . Retrieved April 3, 2011, from Media Criticism : AG Eka Wenats Wuryanata: http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-dan-varian-paradigmatis.html

12

Anda mungkin juga menyukai