Anda di halaman 1dari 15

(Studi terhadap Dampak Peliputan Berita Bencana di Jepang dan Indonesia pada Kondisi Sosial Masyarakat) Aninta Ekanila

| Aulia Dwi N | Jordi Farhansyah | Oktina D. Sundari


Tugas Makalah Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Pengantar Jurnalisme

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2012

PENDAHULUAN
Latar Belakang Tidak ada satu tempat pun di bumi ini yang luput dari bencana alam. Apalagi bagi wilayah yang secara georgrafis memang terletak pada daerah rawan bencana alam seperti Indonesia dan Jepang. Indonesia dan Jepang adalah dua dari negara-negara yang rentan mengalami bencana alam karena memiliki karakteristik geografis yang hampir serupa: berbentuk kepulauan, berbatasan dengan samudera, berdekatan dengan benua, dan, berdiri di atas lempeng benua. Indonesia dan Jepang juga sama-sama berada dalam barisan Pacific Ring of Fire (deretan gunung api Pasifik) yang dimulai dari Amerika Latin, Alaska, Jepang, Filipina, Hingga wilayah timur Indonesia (Zulfika, 2011). Kondisi geografis tersebut merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kejadian bencana selain karena faktor keterlibatan manusia yang mengakibatkan minimnya daya dukung lingkungan (Nazaruddin, 2005). Sedangkan sebuah bencana baru dapat dikatakan sebagai bencana alam apabila akibat bencana tersebut ialah murni karena aktivitas alam tanpa adanya keterlibatan manusia. Contoh bencana alam antara lain seperti tsunami, letusan gunung api, dan gempa bumi (Pertiwi, 2011). Tingginya frekuensi bencana alam yang terjadi pada suatu wilayah dapat menjadi salah satu indikator untuk menentukan daerah rawan bencana . Indonesia merupakan daerah rawan bencana dilihat dari beberapa bencana alam besar yang melanda dalam sepuluh tahun terakhir. Pada tanggal 26 Desember 2004, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Pulau Simeulue, dan sebagian Sumatera Utara diterjang gempa berkekuatan 8,9 SR yang disusul dengan tsunami yang mengakibatkan lebih dari seratus ribu korban jiwa (Zulfika, 2011). Pada Maret 2005, gempa kembali terjadi di Pulau Nias yang menewaskan kurang lebih 1000 orang (Arif, 2020: 22). Bencana besar ini selanjutnya disusul dengan gempa berkekuatan 5,9 SR yang berpusat di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 (Arif, 2010: 21). Pada 17 Juli 2006, di wilayah Pangandaran, Jawa Barat, terjadi tsunami yang memakan 395 korban jiwa (www.mbpi.org, 2006). Disusul dengan gempa bumi berkekuatan 7,6 di Padang, Sumatera Barat dan gempa 7,9 SR di Tasikmalaya yang terjadi pada September 2009 (Arif,

1|

2010). Rentetan bencana alam tersebut masih terus terjadi, bahkan hampir bersamaan pada Oktober 2010. Pertama gempa bumi 7,7 SR dan tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada 25 Oktober 2010 (Reuters, 2010) dan Letusan Gunung Merapi di perbatasan DIYJawa Tengah pada tanggal 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010 (Kompas, 2010). Sedangkan di Jepang, pada 11 Maret 2011, terjadi gempa bumi diikuti tsunami yang berpusat di wilayah Sendai dan beberapa wilayah di timur laut Jepang (Reuters, 2011). Bencana alam ini menewaskan 19 ribu korban jiwa serta ribuan korban luka-luka dan berbagai kehilangan lainnya. Untuk wilayah Jepang, gempa bumi dan tsunami ini bukanlah bencana alam yang pertama kali terjadi. Wilayah Jepang telah sering dilanda gempa bumi yang kekuatannya tak begitu besar juga letusan gunung berapi. Meskipun demikian, secara umum, Jepang telah memiliki sistem peringatan bencana dini yang lebih baik dari Indonesia. Warga Jepang pun secara umum telah teredukasi dengan sistem penanggulangan bencana yang lebih baik (Boer, 2006). Dengan demikian, secara umum, bencana alam di Jepang tidak menimbulkan korban jiwa dan kerugian sebanyak yang terjadi di Indonesia Adanya berbagai bencana alam tersebut membuat tersebar luasnya informasi menjadi suatu hal yang krusial bagi daerah rawan bencana seperti Indonesia dan Jepang. Mengingat bahwa saat bencana alam terjadi, biasanya terjadi kelumpuhan sistem informasi dan alat komunikasi, peran media menjadi sangat krusial sebagai sumber informasi dan saluran komunikasi massa Berbagai informasi mengenai peristiwa bencana tersebut seharusnya dapat dijangkau khalayak secara luas melalui media massa. Hal ini seperti dinyatakan Laswell (dalam McQuail, 2005) bahwa salah satu fungsi komunikasi massa ialah surveillance. Artinya, media massa berfungsi memberikan pengawasan atau peringatan atas sesuatu yang mengancam masyarakat luas, dalam kasus ini, informasi mengenai bencana. Tujuannya ialah untuk mengurangi ketidakpastian dan menjawab keresahan masyarakat serta memberikan informasi yang aktual dan faktual. Misalnya, sumber informasi bagi para sanak saudara di wilayah yang tidak terkena bencana, sumber informasi orang hilang, pemicu solidaritas sosial, atau bahkan membantu memulihkan kondisi sosial dan psikis masyarakat yang terkena bencana. Informasi yang disampaikan diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat dan memberitahu sebuah kebenaran sekaligus menjawab pertanyaan.

2|

Di Indonesia, bencana gempa dan tsunami Aceh merupakan momentum luasnya peliputan bencana alam di media massa. Saat itu, hampir semua media nasional dan internasional menurunkan jurnalisnya untuk melakukan liputan langsung, intensif dan interaktif di Aceh. Bahkan ada beberapa media nasional yang memiliki liputan eksklusif, seperti Metro TV dengan rekaman kejadian tsunami yang direkam langsung oleh warga dan ditayangkan secara terus menerus. Tentu masih teringat pula bagaimana Metro TV secara intensif memberitakan bencana tsunami Aceh secara intensif dalam Breaking News hampir sepanjang hari, selama kurang lebih sepanjang dua minggu. Luasnya liputan media massa terhadap bencana di Aceh disebut Nazaruddin (2007: 167) sebagai momentum di mana media di Indonesia benar-benar menampakkan agenda setting dalam peliputan bencana. Bencana besar yang melanda negeri ini juga menjadi momentum untuk menandai praktik jurnalisme bencana sebagai suatu konsep peliputan berita yang cukup baru di Indonesia. Dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia sebagai daerah rawan bencana serta peran media massa yang signifikan dalam menjalankan fungsi surveillance terhadap bencana itulah, praktik jurnalisme peliputan bencana alam di Indonesia menjadi penting untuk dikaji. Permasalahan Sesuai dengan fungsinya sebagai surveillance atau alat pengawasan (Laswell, dalam McQuail, 2005), media massa seharusnya dapat menyajikan berita-berita mengenai bencana yang dapat memberikan gambaran utuh bagi khalayaknya. Peliputan berita bencana menuntut aktualitas atau kesegeraan berita itu untuk ditayangkan, tetapi tetap mewajibkan pemberian data faktual yang akurat. Idealnya, menurut Kovach dan Rosenstiel (2003), prinsip jurnalisme yang pertama ialah mencari kebenaran. Untuk menjalankan fungsi pengawasan, khususnya terhadap bencana, jurnalis seharusnya juga mempertimbangkan cara menyajikan kebenaran agar diterima dengan baik oleh masyarakat dan justru tidak menimbulkan kecemasan. Bagaimana jurnalis mengolah beritanya tergantung dari nilai-nilai yang dibumbuhkannya ke dalam berita tersebut. Akan tetapi, praktik jurnalisme peliputan bencana di Indonesia dinilai masih berorientasi pada nilai drmatisasi berita (Nazaruddin, 2007). Dramatisasi pemberitaan ini tertuang dalam penyajian berita yang hiperbolis dan emosional dengan tujuan menimbulkan efek dramatis bagi khalayaknya, dan tentu meningkatkan nilai jual berita

3|

tersebut. Hal ini bisa dilihat dari tema berita bencana di Indonesia berkutat pada isak tangis, ekspresi sedih, kisah dramatis akibat bencana, atau menonjolkan derita korban dengan dalih menumbuhkan solidaritas sosial (Masduki, 2007). Praktik jurnalisme bencana yang berbeda ditunjukkan oleh media massa di Jepang. Ketika terjadi gempa dan tsunami di Sendai pada Maret 2011 lalu, media massa di Jepang tidak memberitakan peristiwa ini sebagai momen untuk mengurai isak tangis kesedihan. Beritaberita bencana di Jepang justru mengarah pada dorongan untuk kebangkitan warga Jepang. Dalam pemberitaan tentang bencana yang terjadi, jurnalis Jepang sebisa mungkin memenuhi fungsinya untuk memberikan informasi yang aktual dan akurat meskipun jurnalis tersebut juga terkena bencana. Media massa bukannya bersaing untuk menyajikan berita bencana paling eksklusif dan paling dramatis, tetapi saling bekerja sama untuk memediasi warga. Hal ini terjadi pada harian Kobe Shimbun yang rela menumpang dan bekerja sama dengan harian pesaingnya untuk tetap beroperasi dan menyediakan informasi dan menjadi sarana komunikasi dengan daerah yang tidak terkena bencana untuk membantu warga lokal (dalam film dokumenter Kobe Shimbun ni Nanokakan). Media massa berlomba-lomba untuk memberikan semangat dan menampilkan berita yang memberikan dampak positif secara psikologis bagi masyarakat. Sehingga media massa di Jepang berperan besar dalam pemulihan kondisi sosial masyarakat pasca bencana. Tak heran, proses rehabilitasi dan pembangunan setelah gempa Sendai mampu dilakukan dalam waktu relatif singkat. Adanya perbedaan praktik jurnalis dalam meliput bencana alam antara Jepang dan Indonesia tersebut menjadikan adanya perbedaan kondisi sosial masyarakat dalam menerima berita bencana dan berimbas pada pemulihan kondisi sosial masyarakat. Adanya perbedaan ini membuat praktik jurnalisme bencana di Indonesia juga menarik untuk ditelaah dalam kerangka perbandingan dengan praktik jurnalisme bencana di Jepang yang juga sama-sama daerah rawan bencana. Oleh karena itulah, dalam makalah ini, permasalahan yang hendak dijawab penulis dalam makalah ini antara lain: (1) Apa perbedaan nilai-nilai yang terkandung dalam praktik jurnalisme bencana di Indonesia dan di Jepang? (2) Bagaimana perbedaan

implikasi sosial pemberitaan bencana di Indonesia dan di Jepang terhadap pemulihan kondisi masyarakat pasca bencana?

4|

KERANGKA KONSEPTUAL

JURNALISME BENCANA Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai konsep jurnalisme bencana (Pertiwi, 2011; Masduki, 2007; Nazaruddin, 2007; Arif, 2010; Amirudin, 2006), jurnalisme bencana dapat dipahami sebagai pemberitaan media tentang bencana, yang mencakup dua dimensi, yaitu proses produksi berita bencana oleh jurnalis dan hasil berita yang dimuat oleh media massa. Dalam disiplin ilmu jurnalisme, kajian mengenai jurnalisme masih sangat terbatas. Minimnya kajian mengenai jurnalisme bencana bencana menjadikan jurnalisme bencana sebagai konsep yang masih sangat cair dari segi teoritis. Dalam konteks Indonesia, sendiri, konsep jurnalisme bencana mulai dikaji secara luas baru setelah bencana tsunami di Aceh yang mendatangkan pemberitaan media massa secara massif (Nazaruddin, 2007: 167). Oleh karena itu, merujuk pada Nazaruddin (2007), terdapat beberapa landasan etimologis bahwa mengapa jurnalisme bencana dapat diposisikan sebagai genre baru jurnalisme yang sangat penting bagi media-media di Indonesia. Pertama, secara geologis maupun sosiologis Indonesia adalah negeri rentan bencana. Kedua, media massa selalu akan memberitakan setiap peristiwa bencana yang terjadi, bahkan menjadi headline ataupun mengisi waktuwaktu prime-time. Ketiga, masyarakat menggantungkan pengetahuannya tentang bencana kepada informasi yang disajikan media massa. Keempat, bencana selalu diikuti

ketidakpastian dan kesimpangsiuran informasi, yang seringkali menyesatkan, karena itu media massa menjadi tumpuan informasi yang akurat (Nazaruddin, 2007: 165). Dalam kacamata media, bencana adalah suatu peristiwa yang menjadi sumber informasi dengan kandungan nilai berita yang tinggi (Nazaruddin, 2007). Mengutip penelitian Pertiwi (2011:19), terdapat dua faktor utama mengapa media begitu antusias memberitakan bencana. Pertama, bencana biasanya mecptakan situasi tidak pasti (iuncertaity) sehingga menjadikan masyarakat membutuhkan informasi untuk mencari jawaban dan memuaskan keingintahuannya. Kedua, bencana bagi media merupakan peristiva historis yang tidak dapat dilewatkan karena mengandung daya tarik luar biasa dan terjadi tanpa direkayasa.

5|

Meskipun demikian, dalam jurnalisme bencana, terdapat adanya ambivalensi fungsi media. Menurut Yusuf (2006, dalam Pertiwi, 2011: 4), ambivalensi funsgi media dalam pemberitaan bencana ini terjadi ketika media menunjukkan liputan dukacita bencana, tetapi di saat bersamaan juga menjalankan fungsi sukacita yang menunjukkan ketiadaan empati. Menurut Goenawan Mohamad dalam kata sambutannya di buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (Arif, 2010), dalam sebuah bencanalah ujian kemahiran jurnalistik yang sebenanrnya berlangsung. Di depan peristiwa bencana, seorang jurnalis harus mengerahkan segalanya: daya amatnya untuk detail, kemampuannya mengambil jarak dari peristiwa yang tragis agar fakta-fakta tidak tenggelam dalam emosi, dan pada saat yang sama tanpa kehilangan empati (Mohamad, dalam Arif, 2010). Menghadapi ambivalensi dalam pemberitaan bencana tersebut, menurut Aminudin (2007) yang dikutip Pertiwi (2011), terdapat lima prinsip dasar yang harus menjadi rujukan jurnalis dalam meliput peristiwa bencana, antara lain: (1) Akurasi, baik dalam penyebutan latar, jumlah korban, serta pengungkapan posisi dan kondisi terbaru, (2) Human elements, yaitu mengungkapkan cerita manusia seutuhnya dengan memperhatikan psikologi korban dan psikologi masyarakat luas, (3) Suara korban, artinya perspektif korban harus mendapatkan porsi yang lebih luas dibanding perspektif ekonomi, politik, atau primoridialisme, (4) Humanisme, atau memperhatikan aspek kemanusiaan dengan memiliki empati terhadap korban, bukan mengeksploitasi trauma sebagai nilai berita, (5) Sisi lain bencana, yaitu peristiwa yang mungkin luput dari pandangan publik, terutama yang mampu

membangiktkan pemulihan kondisi sosial pasca-bencana, misalnya semangat anak-anak korban bencana untuk tetap bersekolah. Dalam peliputan bencana, juga terdapat fase-fase dalam melakukan proses pemberitaan bencana. Merujuk pada Nazaruddin (2007), fase-fase peliputan dalam pemberitaan bencana dapat terbagi menjadi tiga tahap normatif, yaitu fase pra-bencana, tanggap bencana, dan pasca-bencana. Setiap fase memiliki priode, waktu, topic informasi, dan narasumber yang berbeda. Fase prabencana adalah informasi mengenai pencegahan bencana. Fase tanggap bencana adalah informasi dasar tentang evakuasi dan antisipasi dari bencana. Fase pascabencana adalah terdiri dari periode darurat, recovery, dan rehabilitasi. Informasi pasacbencana antara lain informasi kawasan bencana, bantuan logistik, lokasi pengungsian, jumlah korban, kondisi masyarakat, recovery psikologis, dan kampanye bangkit.

6|

ANALISIS KASUS

Peliputan Bencana di Jepang Pada tanggal 11 Maret 2011, Jepang diguncang gempa 8,9 SR yang disusul dengan gelombang tsunami yang memporak-porandakan negara tersebut. Namun tidak sampai hitungan jam, bahkan kurang dari lima menit, stasiun televisi publik Jepang, NHK (Nippon Hoso Kyokai), sudah dapat menyiarkan secara langsung kejadian tsunami yang menyapu negara tersebut. Aktualitas berita NHK ini membuatnya menjadi rujukan berita dari seluruh media di dunia yang ingin memberitakan bencana tsunami Jepang. Tidak hanya aktual, sebagai stasiun televisi publik, NHK juga memberikan informasi yang akurat dan komprehensif karena langsung menerjunkan jurnalisnya ke lapangan. Hal ini sesuai dengan prinsip pertama dalam peliputan bencana, yaitu prinsip akurasi. Tidak hanya aktual dan akurat, pemberitaan bencana gempa dan tsunami di Jepang juga memperhatikan human elements, yang merupakan prinsip kedua dalam peliputan bencana. Liputan bencana di Jepang memperhatikan aspek psikologis korban maupun warga umum, yaitu tidak menambah traumatic korban juga tidak menakut-nakuti masyarakat umum. Media Jepang berpendirian bahwa berita yang menakuti-nakuti hanya akan membawa kegelisahan pada rakyatnya. Sehingga dalam menyiarkan berita bencana, Jepang lebih banyak memuat nilai-nilai motivasi dan visioner yang akan membangkitkan semangat rakyatnya yang menjadi korban. Nilai-nilai tersebut berupa berita tentang mitigasi bencana atau pidato dari kerajaan atau dari pemerintah yang menghimbau agar rakyat tidak panik. Sebaliknya, pemberitaan bencana justru menggunakan kata-kata yang positif untuk membangkitkan optimisme warga (Film dokumenter Kobe Shimbun ni Nanokakan, 2011). Dari segi bahasa berita, media di Jepang menerapkan kebijakan untuk tidak menggunakan kata-kata hiperbolis seperti korban bergelimpangan, rusak parah dan lainnya yang menimbulkan kesan dramatis. Salah satu contoh liputan bencana yang sangat baik dari segi bahasa adalah liputan yang dilakukan NHK pada tanggal 11 Maret sesaat setelah bencana ketika air tsunami berwarna hitam yang bergerak menyapu berbagai bangunan dan kendaraan. Saat itu juga helikopter dari NHK dengan cepat menayangkan secara live.

7|

Dengan tayangan yang begitu hebat dan sangat menakutkan itu, terlihat jelas bahwa pembawa berita NHK membawakannya dengan tetap tenang tanpa kata-kata yang menakutkan seperti bencana hebat atau situasi yang mematikan. Hal ini menunjukkan nilai Humanisme atau aspek kemanusiaan dalam liputan bencana oleh media Jepang. Suara korban dan sisi lain bencana juga terwakili dalam pemberitaan bencana di Jepang. Dalam film documenter Kobe Shimbun ni Nanokakan (2011) yang mengisahkan perjuangan media saat peliputan bencana gempa dan tsunami di Jepang, dapat diketahui bahwa media Jepang menempatkan informasi mengenai kebutuhan korban sebagai laporan utama untuk memperlancar bantuan logistik dan memetakan kondisi bencana. Selain itu juga diangkat sisi lain bencana yaitu semangat warga untuk melakukan perbaikan dan pembangunan, semangat anak-anak untuk tetap sekolah, juga semangat media itu sendiri untuk mengumpulkan berita. Peristiwa yang mengiringi bencana ini tentu luput dari mata publik yang mungkin hanya terfokus pada bencana. Namun dimuatnya peristiwa kecil tetapi bermakna tersebut dalam media turut membantu penguatan mental masyakarat yang berdampak positif pada percepatan proses rehabilitasi pascabencana. Baiknya proses peliputan bencana oleh NHK dan media Jepang lainnya mengundang decak kagum warga dunia terhadap disaster management yang dilakukan oleh Jepang. Terkait dengan media, Washington Post pernah merilis laporan tentang bagaimana NHK bisa meliput berita secara akurat dan aktual, hampir tanpa jeda waktu sejak benacan itu terjadi. Dari laporan Washington Post (yang dikutip oleh Miaz dalam Harian Singgalang, 1 April 2011), diketahui bahwa kunci peliputan benacana yang baik oleh NHK ialah jurnalis NHK memiliki kesigapan dan profesionalitas yang tinggi. Hal ini juga terbentuk dari iklim sosial Jepang yang disiplin. Salah satu syarat bekerja di kantor berita ini adalah bertempat tinggal maksimal lima kilometer dari kantor agar mudah dihubungi dan dapat segera tiba ketika dibutuhkan. Dalam hal sarana dan prasarana, NHK juga memiliki 14 helikopter dan 67 kendaraan van broadcast yang siap digunakan dalam setiap peliputan. Selain itu 460 kamera diletakan di berbagai wilayah di Jepang. Setiap stasiun berita terintegrasi dengan Emergency Warning System yang dapat memberikan peringatan gempa beberapa detik sebelum gempa terjadi (Miaz, dalam Harian Singgalang, 1 April 2011).

8|

Peliputan Bencana di Indonesia Sama halnya dengan Jepang, Indonesia adalah negara yang kerap dilanda bencana alam. Namun berbeda dengan Jepang, Indonesia dapat dinilai tidak siap dalam menghadapi bencana alam. Baik dalam mitigasi bencana maupun penanggulangannya. Dalam peliputan bencana, Indonesia terbilang cukup aktual untuk menyampaikan informasi, namun tidak siap secara teknis akhirnya berujung pada buruknya kualitas berita. Dalam menyajikan gambar, kantor berita media televisi lebih sering menggunakan gambar yang dikirim masyarakat setempat dengan resolusi rendah (kamera handphone atau handy cam). Media sering mengaitkannya dengan citizen journalism sebagai dalih ketidakmampuan media Indonesia untuk meningkatkan sarana penunjangnya. Kontributor di daerah pun tidak dapat dimanfaatkan dengan baik untuk jurnal siar. Untuk transportasi menuju daerah bencana, para jurnalis kerap memanfaatkan tebengan dari pemerintah. Salah satu lagi kelemahan media Indonesia dalam menyajikan berita adalah akurasi berita. Prinsip pertama dalam peliputan bencana ini cenderung dilalaikan oleh media di Indonesia. Orientasi terhadap rating dan kecepatan tayangnya berita menjadikan informasi di media cednerung tidak dapat dipercaya oleh publik. Bukti dari minimnya akurasi media Indonesia dapat dilihat ketika TV One saat liputan Letusan Gunung Merapi yang dituntut karena salah menyebutkan aliran lumpur sebagai awan panas. Kesalahan ini jauh lebih banyak ditemui di media online. Kecepatan menyampaikan informasi, membuat online news menjadi rujukan pertama audiens, tetapi beritanya terkadang malah terbukti tidak faktual. Bukti permasalahan ini adalah kasus Detik yang mengeluarkan berita terkait tsunami Aceh pada Desember 2004. Berita dari detik.com keluar 15 menit setelah gempa bumi di Aceh. Berita yang keluar pada menit-menit awal ini bersifat meraba-raba karena kurangnya data. Dengan informasi yang minim, Detik memberi judul berita: Gempa Berkekuatan Besar Guncang Medan. Hal ini menimbulkan keresahan karena tidak ada informasi di mana sumber gempa atau lokasi yang sebenarnya dan tidak adanya analisa lanjutan dari kantor berita. Salah satu hal mutlak yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis adalah pengetahuan. Dalam peliputan berita bencana, minimal jurnalis harus mengenali jenis bencana dan daerah bencana. Pengetahuan ini akan memudahkan jurnalis menulis lead berita di surat kabar, menyampaikan breaking news di media siar, atau mengeluarkan berita cepat dan aktual di

9|

online news. Kurangnya pemahaman terjadap daerah bencana inilah yang akhirnya menyebabkan jurnalis sering memberikan interpretasi yang salah dalam menyiarkan berita. Salah satu kasus yang dikutip dalam penelitian Pratiwi (2011) ialah saat bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 ada seorang reporter yang tak memahami Yogyakarta dan kondisi bencana. Ketika hujan abu untuk pertama kalinya mengguyur Sleman hingga Yogyakarta, reporter justru melaporkan awan panas atau wedhus gembel sudah mencapai Jalan Kaliurang Km 6,8. Warga sekitar Kaliurang yang menyaksikan berita ini mulai panik (Tim Relawan Jalin Merapi, 2010: 71). Tim Relawan Jalin Merapi menilai penyebab kesalahan reporter tersebut karena tidak memahami jika semua ruas jalan utama di Yogyakarta dihitung dari Malioboro sebagai titik nol kilometer. Maka, beritanya menjadi tidak jelas, apakah 6,8 km dihitung dari pusat kota atau dari puncak Merapi. Ketiadaan akurasi ini bertentangan Kode Etik Jurnalistik tahun 2006 yang menyebutkan bahwa pers tidak diperbolehkan mengeluarkan berita yang dapat menimbulkan dampak kegelisahan pada khalayak masyarakat terutama di masyarakat di daerah terjadinya bencana. Selain akurasi, prinsip human elements juga menjadi masalah dalam liputan bencana oleh media di Indonesia. Dari sejak bencana di Aceh terjadi, media-media di Indonesia senang menempatkan bencana sebagai sebuah drama. Oleh karena pengemasan berita bencana pun dibuat sedramatis mungkin. Hal ini bisa kita lihat ketia gempa dan tsunami Aceh, Metro TV selalu mengulang-ulang video terjadinya tsunami dan kerusakan massif yang terjadi setelahnya sepanjang hari. Dalam bencana selanjutnya pun, berita dikemas dalam liputan khusus yang diawali dengan video berdurasi sekitar satu menit berlatarkan lagu berirama sendu yang menyiratkan pesan dosa manusia atau kemalangan. Gambar dalam video menunjukkan kesedihan, kepanikan, kehancuran, dan korban-korban yang jatuh dalam bencana tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat untuk menjaga kondisi psikologis korban maupun psikologis masyarakat secara luas. Prinsip kemanusiaan juga menjadi pertanyaan besar pada kinerja media di Indonesia dalam meliput bencana. Jurnalis Indonesia seringkali menyampaikan pertanyaan kepada

narasumber yaitu korban dengan pertanyaan yang kurang pantas. Korban acap kali ditanyai soal perasaannya, kerugiannya, dan diekspos kesedihannya. Pertanyaan semacam ini menunjukkan ketiadaan empati dalam diri jurnalis karena korban seolah-olah merupakan objek fakta yang harus dieksploitasi perasaan sedihnya untuk mengundang simpati publik.

10 |

Perbedaan Implikasi Sosial Peliputan Bencana di Jepang dan Indonesia Berbedanya nilai, sifat, dan entitas dari peliputan bencana di Jepang dan Indonesia ini membuat implikasi sosial yang lahir dari pemberitaan bencana di kedua negara juga berbeda cukup jauh. Jika merujuk pada tahapan normative peliputan bencana yang dikemukakan oleh Nazaruddin (2007), dapat diketahui bahwa peliputan bencana di Jepang dilakukan dalam tiga fase yang sistematis, yaitu tahap pra-bencana ketika media di Jepang secara insentif melakukan pencedrdasan mengenai bencana yang sering terjadi dan bagaimana cara mengantisipasi bencana tersebeut, tahap tanggap bencana menjelang terjadinya bencana, dan tahap pasca-bencana untuk membantu rehabilitasi setelah bencana terjadi. Adanya liputan media dalam tahap pra-bencana ini membuat masyarakat Jepang memiliki kesadaran yang tinggi terhadap bencana. Mereka membangun rumah anti gempa atau ruang anti bencana yang dapat menyelamatkan diri mereka dari bencana. Kedua, fase tanggap bencana. Dengan adanya media yang memiliki early warning system (seperti NHK), media di Jepang dapat menjalankan fungsi pengawasan dan peringatan dini terjadinya bencana dan menyosialisasikannya kepada masyarakat. Informasi tanggap bencana dilengkapi dengan cara-cara dasar evakuasi dan penyelematan diri membuat warga Jepang siap dan tidak panik dalam menghadapi bencana sehingga dapat meminimalisir korban jiwa. Media Jepang juga turut mendampingi sampai tahap pasca-bencana, di mana media secara intens dan tanpa kepanikan melaporkan kondisi aktual dan faktual daerah yang terkena bencana, menghindari laporan berita yang bersifat emosional dan mendramatisir, hingga membantu pemulihan kondisi mental dan rehabilitasi warga. Dampaknya, masyarakat Jepang pun cepat bangkit dari keterpurukan dan kerugian akibat bencana. Pembangunan kembali berjalan dan aktivitas bisa kembali normal dalam waktu kurang dari satu bulan. Berbeda dengan Jepang, jika kita perhatikan lebih jauh, jurnalisme peliputan bencana tidak sistematis seperti di Jepang. Peliputan bencana di Indonesia tidak menganut tiga fase peliputan, yaitu fase pra-bencana, tanggap bencana, dan pasca-bencana (Nazaruddin, 2007). Merujuk pada penelitian Pertiwi (2011: 109), jurnalis sebenarnya memahami konsep jurnalisme bencana dan tiga fase peliputan bencana, tetapi pada praktiknya konsep jurnalisme bencana yang ideal tidak diaplikasikan karena adanya rutinitas media yang membuat jurnalis dapat menerapkan tiga tahapan liputan bencana secara terstruktur. serta

11 |

adanya kepentingan organisasi media yang menyediakan liputan bencana untuk diproduksi sebagai suatu komoditas untuk dijual kepada khalayak selaku konsumen berita. Di Indonesia, informasi prabencana sangat minim mendapatkan porsi pemberitaan di media massa. Menurut hasil penelitian Pertiwi (2011: 109), hal ini terjadi karena fase prabencana tidak menjadi priporotas media dengan alasan sifat bencana yang tidak dapat diprediksi. Hal ini turut menyebabkan masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah rawan bencana kurang memiliki bekal pengetahuan untuk mengantisipasi datangnya bencana. Selain itu seringkali media di Indonesia justru memberitakan informasi pra-bencana saat bencana itu telah terjadi, sehingga hanya berujung pada wacana yang mudah teralihkan. Pada fase tanggap bencana, media-media di Indonesia sebenanrnya telah memberikan laporan tanggap bencana dengan cukup komprehensif. Akan tetapi, kurangnya pengetahuan dan pemahaman jurnalis terhadap kondisi bencana mengakitbatkan info tanggap bencana menjadi kurang akurat. Selain itu, informasi dalam fase tanggap bencana seringkali masih menekankan emosionalitas dan dramatisasi berita dengan kata-kata yang hiperbolis. Ketiga, fase pasca-bencana merupakan fase yang juga sangat minim diuraikan dalam media di Indonesia. Tidak seperti media di Jepang yang melakukan tanggung jawab sosial dengan melakukan pendampingan masyarakat sampai tahap recovery dan rehabilitasi, media di Indonesia sepertinya hanya peduli pada nilai jual bencana yang mengundang kesedihan dan duka mendalam. Praktik jurnalisme bencana di Indonesia yang masih jauh dari ideal tersebut menimbulkan implikasi sosial yang tidak sepele. Berita mengenai keterpurukan bencana bisa berlangsung lebih dari satu bulan. Masyarakat seakan diajak bermanja-manja dengan maraknya dana sumbangan yang beberapa tahun belakangan ini diakomodir juga oleh media. Akibatnya, usaha mitigasi bencana pun jarang dilakukan dan berita-berita yang hadir di televisi maupun surat kabar sering menimbulkan keresahan dan trauma mendalam pada korban. Berita-berita positif seperti rekonstruksi sekolah pasca gempa di Aceh atau keberhasilan swadaya masyarakat menata kehidupan sosialnya kembali di Jogjakarta justru tidak diberitakan media massa. Media seolah hanya hinggap saat bencana datang, memeras air mata dan kesedihan korban, dan jika sudah pulih kesedihan itu, maka media seperti menghilang.

12 |

PENUTUP

Dari pembahasan mengenai peliputan bencana di Indonesia dan di Jepang serta implikasi sosial yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan berikut. 1. Terdapat perbedaan cukup besar antara nilai dan praktik jurnalisme peliputan bencana yang dilakukan media Jepang dan media di Indonesia. Proses liputan bencana di Jpeang dilakukan secara cepat, profesional, dan dalam koridor yang ditentukan sehingga menghasilkan berita bencana yang aktual dan akurat, mengutamakan nilai kemanusiaan, serta menghadirkan sisi positif untuk

membangkitkan optimism masyarakat. Sebaliknya, di Indonesia, praktik jurnalisme peliputan bencana masih dilakukan dengan menekankan pada orientasi profit sehingga berita bencana yang dihasilkan ialah berita-berita yang cepat tetapi kurang akurat, mengekspoloitasi pengalaman traumatik korban, dramatis, emosional, dan justru menunjukkan keterpurukan. 2. Peliputan bencana di Jepang dilakukan secara menyeluruh melalui tiga fase, yaitu fase prabencana, tanggap bencana, dan pascabencana. Praktik jurnalisme bencana yang menyeluruh ini mendatangkan implikasi sosial positif bagi Jepang ketika menghadapi benacan yaitu minimnya korban jiwa dan cepatnya waktu rekonstruksi fisik dan rehabilitasi sosial di lingkungan masyarakat. Sedangkan di Indonesia, fase ini tidak dilakukan secara komprehensi dan sistematis. Dampak sosial yang terjadi ialah gelombang pesimisme dari publik, kecemasan dan trauma warga masyarakat, serta proses pemulihan kondisi sosial masyarakat yang relatif lambat jika dibandingkan dengan Jepang.

13 |

DAFTAR REFERENSI

Tolong dirapiin ya, Nin! Masduki. 2007. Setahun Berita Gempa: Perjuangan Melawan Lupa. Jurnal Media, Jurnalisme dan Budaya Populer halaman 240-244. Pertiwi, Adhika. 2011. Skripsi. Pemahaman Jurnalis Mengenai Konsep Jurnalisme Bencana (Wawancara Lima Jurnalis dari Media Cetak, Media Televisi, dan Media Online). Depok: FISIP, Universitas Indonesia. Zulfika, Teuku Muhammad. 2011. Menuai Bencana Berkelanjutan di Aceh. http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/beritabencana/335-menuai-bencanaberkelanjutan-di-aceh-1 Penerbit Buku Kompas. 2005. Bencana Gempa dan Tsunami, Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Boer, Rizaldi, dkk. 2006. Early Warning Experiences. Jakarta: German-Indonesia Cooperation for Tsunami Early Warning System. Nazaruddin, Muzayin. 2007. Jurnalisme Bencana: Sebuah Tinjauan Etis. Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, April 2007 http://www.reuters.com/article/2010/10/25/quake-indonesia-warningidUSSGE69O0K120101025 Amirudin. 2006. Pendekatan Jurnalisme Bencana. Suara Merdeka, Rabu 26 April 2006.

14 |

Anda mungkin juga menyukai