Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS KEJADIAN BENCANA

DARI SEGI PENANGGULANGAN KEGAWATDARURATAN BENCANA

GEMPA PIDIE JAYA TAHUN 2016

Di susun Oleh: Kelompok 2

1. Aulia Safitri 20010007


2. Hayatun Nupus 20010011
3. Natasya Salsabila 20010041
4. Putri Sauzan Afra 20010008
5. Sekar Larasati 20010005

Dosen Pengampu : Ns. Tuti Sahara, M. Kep

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

STIKES MEDIKA NURUL ISLAM SIGLI

2023
BAB I

KEJADIAN BENCANA

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan daerah rawan bencana, ditandai dengan peristiwa
bencana yang melanda di berbagai wilayah. Bencana merupakan suatu
kejadian yang tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan manusia, baik sebagai
individu maupun masyarakat. Bencana dapat disebabkan oleh faktor alam
(gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah longsor, angin ribut)
dan faktor non alam seperti akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia.
(Henita, 2014). Bencana gempa dan tsunami pernah terjadi pada tahun 1797,
1891, 1907 dan 2004. Kejadian tsunami 26 Desember 2004 mengakibatkan
126.915 jiwa meninggal, 37.063 jiwa hilang (TDRMC, 2011)Bencana alam
tersebut membuat Pemerintah sebagai penyelenggaraan negara mengeluarkan
Undang-Undang no 24 tahun 2007 mengenai penanggulangan bencana.
Dalam pasal 5 UndangUndang no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana disebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana
merupakan tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Triutomo,
2011).
Khusus dalam hal bencana yang disebabkan oleh gempa bumi, misalnya,
sebagai gambaran hasil penelitian dan kajian beberapa pakar, menunjukkan
bahwa selama 25 tahun kejadian gempa di Indonesia, korban bencana lebih
diakibatkan oleh kerusakan
Gempa bumi memang sulit diprediksi kapan akan terjadi. Yang bisa
lakukan adalah dengan mengetahui indikasi sebelum kejadian gempa terjadi.
Indikasi ini dapat diketahui melalui sistem peringatan dini “early warning
sistem”. Melalui indikasi ini, paling tidak telah mempersiapkan diri untuk
menghadapi kemungkinan terburuknya. Dengan mengetahui indikasinya pula
akan bijak menentukan bagaimana cara menghadapinya (Bukhari, 2014).

2
Sebagai daerah rawan bencana, pemerintah Indonesia mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab dalam mengantisipasi terjadinya bencana
sebelum atau setelah terjadinya bencana yakni mitigasi bencana, tanggap
darurat dan rehabilitasi rekonstruksi. Dari ketiga tahapan periode tersebut
mitigasi diartikan sebagai upaya untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana. Kedua periode tanggap darurat diartikan sebagai
kecepatan dalam pemberian bantuan saat terjadi bencana di suatu wilayah.
Ketiga rehabilitasirekonstruksi yaitu membangun kembali kawasan yang
rusak akibat bencana dengan memperhatikan penataan ruang berbasis mitigasi
bencana. Adanya ketentuan untuk melaksanakan mitigasi bencana, sebagai
Instansi yang berwenang melaksanakan pengendalian bencana secara nasional
adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB berwenang
merumuskan konsep kebijakan penanggulangan bencana nasional, memantau,
dan mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
(Fakhriyani, 2011).
Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal ini
harus lebih aktif. Upaya pemerintah dalam menanggulangi korban bencana
gempa bumi dapat dilakukan melalui tanggap darurat, mitigasi bencana, dan
rekonstruksi, baik rekonstruksi bangunan maupun rekontruksi pkisis bagi
korban bencana gempa bumi. Namun permasalahan gempa bumi tidak hanya
masalahpemerintah saja, tapi juga masalah semua individu. Maka pemahaman
tentang gempa bumi mutlak diperlukan bagi siapa saja agar korban dapat
diminimalisasi. Selama ini kesiapan masyarakat terhadap bencana gempa
bumi sangat minim. (Andi, 2013).
Pada tanggal 7 Desember 2016 telah terjadi gempa bumi dengan kekuatan
6.5 Mw yang epicenternya berada di 5.281ºN dan 96.108ºE (Sumber USGS)
dengan kedalaman pusat gempabumi diperkirakan berada di sekitar 8.7 km.
Gempa bumi tersebut dirasakan hingga ke Banda Aceh, Medan dan beberapa
kota lainnya di sebelah utara Pulau Sumatera. Sampai dengan sore tanggal 7

3
Desember 2016, jumlah korban jiwa tercatat 102 meninggal dunia, 650 jiwa
luka berat/ringan (Umar, 2016)
Pulau Sumatra yang secara geografis terletak di ujung barat dari Indonesia
merupakan salah satu daerah dengan aktivitas kegempaan yang sangat besar.
Sesar aktif Sumatra Fault membujur sepanjang Bukit Barisan dan
membentang dari Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat sampai ke Teluk
Semangka Lampung, sehingga wilayah Aceh memiliki tingkat seismisitas
tinggi yang terancam oleh bencana alam gempa bumi. Gempa bumi terjadi di
Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh pada hari Rabu, 7 Desember 2016,
pukul 05:03:36 WIB dengan magnitudo 6.5 Mw dan kedalaman 15 km. Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merilis bahwa gempa
tersebut terjadi pada koordinat 5.250 LU dan 96.240 BT. Berdasarkan hasil
analisis peta tingkat guncangan menunjukkan bahwa dampak gempa bumi
berupa guncangan kuat yang terjadi didaerah Busugan, Meukobrawang,
Pangwabaroh, Maukorumpuet, Panteraja, Angkieng, dan Pohroh (BMKG,
2016).
Kabupaten Pidie Jaya merupakah salah satu kabupaten yang rawan
bencana di Provinsi Aceh. Kondisi geografis yang sebagian besar terdiri atas
kawasan pesisir dan pegunungan api aktif membuat Kabupaten Pidie Jaya
memiliki risiko tinggi terjadi bencana gempa bumi, letusan gunung api,
tsunami, dan banjir (PemkabPidieJaya, 2020).
Bahkan terdapat Great Sumatran Fault yang membentang dari Lampung
hingga Laut Andaman yang menimbulkan aktivitas tektonik yang berbahaya
(Zainal, Marwan, Yanis, & Muksin, 2020). Pada 7 Desember tahun 2016,
terjadi gempa bumi yang berpusat di Kabupaten Pidie Jaya yang
mengakibatkan ratusan orang meninggal dan ribuan masyarakat terdampak
bencana (Handipa, 2021). Kondisi dan kenyataan ini menuntut Pemerintah
Kabupaten Pidie Jaya untuk meningkatkan kapasitasnya dalam kegiatan
penanggulangan bencana, sehingga dapat bmencegah munculnya korban dan

4
kerugian yang lebih besar. Sebaliknya, jika tidak ditindaklanjuti dengan baik,
maka dapat menimbulkan hilangnya rasa aman, nyaman, damai, tentram dan
tertib pada masyarakat yang merupakan indikator keamanan nasional
(Darmono, 2010). Sehingga, secara langsung bencana dapat mengganggu
keamanan nasional suatu negara.Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah
suatu upaya untuk mengurangi dampak akibat bencana baik yang disebabkan
oleh manusia maupun oleh alam (Susanti, Dewi, & Sunarimahingsih, 2018).
Penekanan utama pada pengurangan risiko bencana adalah dengan
mengelola kerentanan dan kapasitas manusianya (Maarif, 2012). Hal ini
sejalan dengan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030
yang mengutamakan upaya pengurangan risiko bencana dengan fokus pada
aspek manusianya, yaitu pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas
(Aitsi-Selmi, Egawa, Sasaki, Wannous, & Murray, 2015). Kerugian-kerugian
akibat gempa yang ditanggung oleh masyarakat, tidak hanya menyangkut
kerugian materi, rumah, fisik, harta benda, aset-aset, pekerjaan, serta
kehilangan anggota keluarga dan family, melainkan juga kerugian psikologis
yang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk proses pemulihannya.
Peristiwa tersebut dapat menciptakan trauma tersendiri bagi masyarakat
Kabupaten Pidie Jaya khususnya yang terkena dampak langsung dari musibah
gempa. Trauma tersebut akibat kehilangan keluarga, rumah dan
hartamenimbulkan problem psikologis berupa kesedihan, keputusasaan,
depresi dan kebingungan.
Bukan hal yang aneh jika akhirnya bencana gempa bumi di Pidie Jaya
meninggalkan goncangan kejiwaan yang tidak mudah dihilangkan, berpotensi
memunculkan gejala-gejala psikologik seperti stres yang dikenalsebagai
sindrom pasca trauma (post traumatic stress disorder). Gempa tersebut
mengingatkan warga kepada peristiwa gempa bumi dan gelombang tsunami
12 tahun lalu (2004). Meski tidak berdampak tsunami, namun gempa itu
cukup membuat warga sangat panik dan berhamburan keluar rumah.Musibah

5
memang membawa derita pada korbannya, baik derita fisik maupun psikis.
Bagi yang selamat derita fisik dapat menimbulkan cacat ringan hingga yang
berat. Sedangkan derita batin dapat menimbulkan goncangan jiwa dari yang
paling ringan hingga yang paling berat. Berdasarkan pendekatan psikosomatik,
sebenarnya derita fisik dan derita batin tidak dapat dipisahkan. Keduanya akan
saling mempengaruhi, namun dalam kenyataannya, derita batin lebih
mendominasi karena langsung berhubungan dengan perasaan.
Korban musibah lazimnya mengalami kekosongan jiwa. Putus asa atau
pasrah karena merasa kehilangan tempat bergantung (Jalaluddin, 2007: 171-
172).Menurut Bufka dan Barlow sebagaimana dikutip oleh Budiarto Eko
Kusumo (2009: 55) menjelaskan bahwa gangguan stress atau trauma
merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami
suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang
mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang,
perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh,
penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti: gempa bumi,
tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat
jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan
mengalami gangguan jiwa atau stres.

6
BAB II

2.1.Pengertian Gempa
Gempa bumi adalah suatu getaran atau pergerakan yang terjadi di
permukaan bumi akibat adanya pelepasan energi secara tiba-tiba pada
permukaan bumi yang menyebabkan gelombang seismik. Gempa bumi juga
dapat diartikan sebagi peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi
dalam bumi yang secara tiba-tiba ditandai dengan patahnya lapisan batuan
pada kerak bumi.Hingga saat ini gempa bumi belum bisa diprediksi
menggunakan berbagai macam teknologi. Namun kekuatan gempa bumi dapat
diukur menggunakan Seismometer, sedangkan skala yang digunakan untuk
mengukur kekuatan gempa bumi adalah Skala Richter.
Gempa bumi dengan skla Richter dibawah 3 biasanya tidak dapat
dirasakan, namun besar gempa bumi yang mencapai sekitar 7 skala richter
dapat dipastikan dapat menimbulkan potensi kerusakan yang serius.
Berikut ini ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang
pengertian gempa bumi menurut ahli, antara lain :
Menurut Bayong (2006:12), gempa bumi adalah suatu gerakan atau getaran
yang terjadi pada kulit bumi yang dihasilkan dari tenaga endogen. Tenaga
endogen merupakan tenaga atau kekuatan perut bumi yang terjadi karena
adanya perubahan pada kulit bumi.
Menurut Howel dan Mulyo (2004), gempa bumi adalah suatu getaran
ataupun serentetan getaran yang terjadi dari kulit bumi yang memiliki sifat
sementara (tidak abadi) yang kemudian getaran tersebut menyebar ke segala
arah.

7
2.2.Penanganan Bencana Gempa
1. Penanganan pra gempa
a. Pengurangan risiko bencana (PRB) atau Disaster Risk Reduction
(DRR) adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, menilai,
dan mengurangi risiko bencana (Twigg & Lavell, 2006). Susanti
(2018:4) menambahkan bahwa PRB adalah suatu upaya
untukmengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Tujuan
utama upaya ini adalah meningkatkan kapasitas stakeholders yang
terlibat dalam PRB serta pemberdayaan masyarakat yang tinggal di
daerah rawan bencana (Djalante & Garschagen, 2017).
Kabupaten Pidie Jaya yang sebagian besar terdiri atas kawasan
pesisir dan gunung api aktif mengakibatkan kabupaten ini memiliki
tingkat risiko bencana tinggi (Pemkab-PidieJaya, 2020). Untuk
menghadapi permasalahan tersebut diperlukan integrasi PRB ke dalam
kebijakan pembangunan Kabupaten Pidie Jaya yang berkelanjutan
dalam rangka pengembangan dan penguatan institusi PRB di
Kabupaten Pidie Jaya, sehingga semua pihak dapat memberikan
kontribusinya secara optimal untuk membangun masyarakat tangguh
bencana (Djalante & Garschagen, 2017). Hal tersebut sesuai dengan 4
prioritas Sendai Framework yang menjadi poin utama dalam strategi
PRB dalam pembangunan wilayah dan peningkatan kapasitas (Aitsi-
Selmi et al., 2015), yaitu 1) Pemahaman risiko bencana, 2) Penguatan
tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana, 3) Investasi
publik dan swasta dalam PRB untuk ketangguhan, 4)Peningkatan
kesiapsiagaan menghadapi bencana untuk mendapatkan respon yang
efektif dan “Pembangunan Kembali yang Lebih Baik” dalam
pemulihan, rehabilitas dan rekonstruksi

8
2. Penanganan Pasca gempa oleh pemerintah:
a. Pada tahap tanggap darurat penanganan yang dilakukan adalah evakuasi
korban baik yangmasih dapat diselamatkan maupun mereka yang telah
meninggal. Dalam pelaksanaan tahap tanggap darurat yakni pembersihan
sampah dan puing telah dikerahkan peralatan berat. Saat ini, di Banda
Aceh terdapat 521 dump truck, 147 excavator, 40 bulldozer, 34 loader dan
7 grader. Sedangkan di Meulaboh terdapat 163 dump truck, 50 excavator,
18 bulldozer, 6 loader, 3 graderdan 6 trado. Selain itu, dikerahkan teknisi
dan operator peralatan dengan perlengkapan Mobil Service Repair, 894
orang tenaga pembersih yang akan ditambah menjadi 2.000 orang serta
293 orang di Meulaboh dan sekitarnya. Beberapa peralatan tambahan lain
berupa pompa air; alat bor air tanah, penyemprot airt tekanan tinggi juga
telah dikerahkan ke NAD. Terkait pembiayaan seluruh tahapan (belum
termasuk perumahan), untuk pelaksanaan untuk tahap tanggap darurat
perlu Rp 826 miliar, untuk tahap rehabilitasi diperkirakan butuh Rp 1,328
triliun, sedangkan untuk tahap rekonstruksi diperkirakan menelan dana Rp
5,541 tiliun. Dengan demikian biaya keseluruhan penanganan pasca
bencana di provinsi NAD dan Sumatra Utara adalah Rp 7,695triliun
b. Tahap rehabilitasi adalah upaya perbaikan infrastruktur PU agar dapat
berfungsi kembali paling tidak minimal agar dapatmendukung kegiatan
ekonomi dan sosial masyarakat. Tahap rehabilitasi dilakukan pada
kawasan yang terkena bencana maupun yang tidak terkena bencana.
Tahap rehabilitasi pada bidang prasarana permukiman akan segera
dilakukan identifikasi kondisi bangunan pasca bencana agar dapat
menggunakan kembali bangunan pemerintahan dan fasilitas umum. Pada
bidang prasarana air bersih dan sanitasi lingkungan, kerusakan IPA Banda
Aceh telah selesai diperbaiki dengan bantuan teknisi dari PDAM Medan
dan Palyja sehingga IPA sudah dapatberfungsi dengan kapasitas produksi
435 liter per detik dan kapasitas distribusi250 liter per detik. Sedangkan

9
kerusakan IPA di Meulaboh terjadi pada intake dan sedang dalam
perbaikan. Dalam bidang prasarana sumber daya air dengan
memfungsikan kembali Provinsi NAD sebagai provinsi penghasil pangan
dengan dilaksanakan rehabilitasi jaringan irigasi, sungai dan bangunan
sungai dan bangunan pantai.
c. Tahap rekonstruksi merupakan tahap pemulihan total seluruh infrastruktur
Pembangunan Umum untuk pemulihan kegiatan ekonomi dan sosial
masyarakat NAD dan Sumatra Utara. Upaya tersebut dilakukan pada
tahun 2005 sampai 2009. Pada tahap ini diperlukan perencanaan tata ruang
dengan memperhitungkan aspek fisik, lingkungan, ekonomi serta sosial
budaya masyarakat. Pada tahap Rekonstruksi akan dilakukan peninjauan
kembali Rencana Tata Ruang Wilayah bagi kabupaten/kota yang terkena
bencana. Tata ruang harus berlandaskan studi kesesuaian lahan yang telah
memperhitungkan aspek fisik dan lingkungan baik sebagai potensi
maupun kendala pengembangan.

3. Penanganan Sesudah Gempa Bumi


Setelah gempa yang dapat kita lakukan :
1. Waspadai gempa susulan
2. Cek informasi tentang keadaan setelah gempa
3. Jauhi area yang hancur dan kembali kerumah jika keadaan sudah aman.
4. Waspadal benda-benda yang dapat mencederai kita
5. Apabila jaringan listrik ada yang rusak segera matikan listrik rumah
6. Apabila keadaan sudah aman segera berikan pertolongan kepada korban
yang terjebak ataupun korban luka

10
DAFTAR PUSTAKA

Andi. (2013). Implementasi Pendidikan Mitigasi Bencana Gempa Bumi. Surakarta:


UM

Bappenas. (2009). Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana. Diakses dari
https://www.bappenas.go.id/files/5113/5022/6066/versibahasaindonesia__200811221
75120__826__0.pdf

Indyah H. (2015). Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana (Studi


Deskriptif tentang Penanggulangan Bencana Letudan Gunung Kelud di Kecamtan
Ngancar Kabupaten Kediri). Jurnal: Kebujakan dan Manajemen Publik Vol 3 Nomer
2 diakses dari http://journal.unair.ac.id/downloadfullpapers-kmpbdf7cee63afull.pdf

Pemernekes RI. (2006). Pedoman Umum Mitigasi Bencana. Jakarta: Mentri dalam
Negeridiaksesdarihttp://www.gitews.org/tsunamikit/en/E6/further_resources/national
_level/peraturan_menteri/Permendagri%20332006_Pedoman%20Umum%20Mitigasi
%20Bencana.pdf

Umar. (2016). Kaji Cepat Universitas Syiah Kuala Terhadap Gempa Bumi 6.5MW
Tanggal 7 Desember 2016 Di Sekitar Pidie Jaya-Aceh. Banda Aceh: Unsyiah diakses
darihttp://gempa.unsyiah.ac.id/wpcontent/uploads/2016/12/HasilKajiCepatUnsyiah-
Gempa-Pijay-07-Des-201

11

Anda mungkin juga menyukai