Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

KEPERAWATAN BENCANA
“PERENCANAAN PENANGGULANGAN BENCANA PADA
POPULASI RENTAN (GANGGUAN MENTAL) DENGAN
PENDEKATAN INTERDISPIPLIN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SIMPANG EMPAT TANAH BUMBU”

Dosen Pembimbing: Tika Sari Dewy, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh Kelompok 2:


Puput Melati NIM: 11 14 18 0614
Sari Narulita NIM: 11 14 18 0615
Sukma Novianti NIM: 11 14 18 0616
Fika Fitriani NIM: 11 14 18 0620
Rizki Suprian Parabi NIM: 11 14 18 0628

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES DARUL AZHAR BATULICIN
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah Negara Republik Indonesia secara geografis terletak pada
wilayah yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor,
gempa bumi, letusan gunung merapi, tsunami, banjir dan lain-lain. Disamping
bencana alam, akibat dari hasil pembangunan dan adanya sosiokultural yang
multidimensi. Indonesia juga rawan terhadap bencana non alam maupun sosial
seperti kerusuhan sosial maupun politik, kecelakan transportasi, kecelakan
industri dan kejadian luar biasa akibat wabah penyakit menular (BNPB, 2018)
Indonesia mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dengan bencana
yang bervariasi. Pada umumnya bencana alam meliputi gempa bumi, tsunami,
letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan, wabah
penyakit manusia, penyakit tanaman atau ternak, hama tanaman, kecelakaan
industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir, dan pencemaran bahan kimia.
Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat
perebutan sumber daya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik. (Perka
4, 2017).
Selama tahun 2019 dari bulan Januari sampai Juni terdapat 1.830 kejadian
bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuat
rekapitulasi berbagai peristiwa bencana di Indonesia, data yang dikumpulkan
terlihat bahwa jumlah bencana pada 2019 mencapai 1.830 peristiwa. 506 bencana
banjir, 522 longsor, banjir dan tanah longsor 5 kejadian, 696 puting beliung, 78
kebakaran hutan dan lahan, 13 gempa, 4 gunung meletus, dan 6 gelombang
pasang dan abrasi. Dampak yang ditimbulkan bencana telah menyebabkan 409
orang meninggal dunia dan hilang, 856,088 jiwa mengungsi dan menderita,
22.599 unit rumah rusak dimana 3.448 rusak berat, 3.322 rusak sedang, 15.829
rusak ringan, rumah terendam sebanyak 141.925 unit dan 338 unit fasilitas umum
rusak (BNPB, 2019).
Bencana alam adalah kejadian sangat ditakuti di muka bumi karena
bencana alam umumnya menimbulkan dampak yang sangat besar seperti
kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana, banyak korban jiwa dan
rusaknya sumber daya alam. Untuk meminimalisir dampak bencana tersebut kita
perlu memahami manajemen bencana yang baik. Manajemen bencana adalah
suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meingkatkan kualitas langkah-
langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi bencana serta pembentukan atau penetapan tujuan
bersama dan nilai bersama untuk mendorong pihak-pihak yang terlibat utuk
menyusun rencana dan menghadapi baik bencana potensial maupun aktual.
Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit saja.
Tetapi pelayanan keperawatan juga sangat dibutuhkan dalam situasi
tanggap bencana. Kemampuan tanggap bencana juga sangat dibutuhkan oleh
perawat pada saat keadaan darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat
untuk bisa terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Peran perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap
darurat bencana dalam fase prehospital dan hospital, hinggga tahap recovery.
American public health association telah melakukan pertemuan pada tahun 2006
yang mana mendapatkan hasil bahwa diperlukan kesiapan dari tenaga kesehatan
dalam menghadapi kejadian luar biasa melalui pendidikan bencana kepada
masyarakat yang menjadi prioritas dalam kurikulum
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana perencanaan,penanggulangan, bencana pada populasi rentan gangguan
mental ?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Bagaimana perencanaan,penanggulangan, bencana
pada populasi rentan gangguan mental
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Aplikasi Pengelolaan Penanggulangan Bencana
Dengan Pendekatan Komprehensif
2. Untuk mengetahui Pengurangan Resiko, Pencegahan Penyakit dan
Promosi Kesehatan
3. Untuk mengetahui Komunikasi dan Penyebaran Informasi
4. Untuk mengetahui Perawatan Psikososial dan Spiritual Korban Bencana
5. Untuk mengetahui Perawatan Populasi Rentan Sakit Mental
6. Untuk mengetahui Perlindungan Dan Perawatan Bagi Petugas Dan
Cargiver
7. Untuk mengetahui Kerjasama Tim Inter Dan Multidisiplin
8. Untuk mengetahui Pemberdayaan Masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aplikasi Pengelolaan Penanggulangan Bencana Dengan Pendekatan


Komprehensif
A. Pengertian Bencana dan Manajemen Bencana
Bencana alam, dipandang sebagai peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Jika ditinjau dari
penyebabnya dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: bencana alam
geologis, klimatologis, dan ekstra-terestrial. Bencana alam geologis
adalah bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya dari dalam bumi.
Sedangkan bencana alam klimatologis adalah bencana alam yang
disebabkan oleh perubahan iklim, suhu atau cuaca. Bencana alam ekstra-
terestrial yaitu bencana alam yang disebabkan oleh gaya atau energi dari
luar bumi, bencana alam geologis dan klimatologis yang sering
berdampak terhadap manusia.
B. Konsep Manajemen Bencana
Dalam Konsep manajeman bencana, kegiatan manajemen
bencana merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi
terkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan memerlukan
pendekatan yang bersifat multi-disiplin. Peraturan perundang-undangan
yang dijadikan acuan pun melingkup peraturan perundang-undangan
lintas sektor. Dengan kalimat lain, sesungguhnya kegiatan manajemen
bencana dilaksanakan oleh sektor-sektor, sedangkan kegiatan dari
lembaga kebencanaan sebagian besar adalah mengkoordinasikan
kegiatan yang dilakukan oleh sektor.
Berbagai pihak yang terlibat dalam manajemen bencana harus
saling bekerjasama dan menyamakan persepsi tentang bencana dan
manajemen bencana melalui sebuah sistem atau aturan main yang
disepakati taiu sistem manajemen bencana. Melalui manajemen bencana
pula program atau kegiatan dilaksanakan pada tiap kuadran atau siklus
atau bidang erja oleh para pemangku kepentingan secara komprehensif
dan terus-menerus. Pelaksanan kegiatan secara 6 periodi atau sebagai
reaksi atau respon terhadap kejadian bencana akan menjadi sia-sia
karena bencana akan terus terjadi secara berulang. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa, manajemen bencana sebagai seluruh kegiatan yang
meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada
sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dilakukan oleh semua
elemen, pemerintah, masyarakat sipil, dan kalangan bisnis-korporasi
untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi penderitaan manusia,
memberi informasi kepada masyarakat dan pihak berwenang mengenai
risiko, dan mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan
kehilangan sumber ekonomis.
Terkait dengan manajemen bencana, proses respon terhadap
bencana Tim Sar DMC DD membaginya menjadi 2 tahap. Yang pertama
adalah Siklus Tanggap Darurat dan Siklus Recovery.
1. Siklus Tanggap Darurat
Pada siklus tanggap darurat bencana adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Tahapan pelaksanaan pada fase tanggap darurat tim DMC
Dompet Dhuafa, meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat
terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; penentuan
status keadaan darurat bencana; penyelamatan dan evakuasi
masyarakat terkena bencana; pemenuhan kebutuhan dasar;
perlindungan terhadap kelompok rentan; dan pemulihan dengan
segera prasarana dan sarana vital.
2. Siklus Recovery
Pada siklus Recovery kegiatan meliputi rehabilitasi dan
rekonstruksi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua
aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan
dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Rekonstruksi
adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
Mengacu kepada tiga hal yang mutlak dilakukan dama
manajeman bencana, Tim Sar DMC DD juga melakukan proses
penanggulangan pra bencana. Pra bencana yang dilakukan mencakup
kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini
dengan melakukan pendekatan komprehensif pada setiap fase:
1. Pencegahan (prevension); upaya untuk menghilangkan atau
mengurangi kemungkinan timbulnya suatu ancaman. Misalnya :
pembuatan bendungan untuk menghindari terjadinya banjir,
biopori, penanaman tanaman keras di lereng bukit untuk
menghindari banjir dsb. Namun perlu disadari bahwa
pencegahan tidak bisa 100% efektif terhadap sebagian besar
bencana.
2. Mitigasi (mitigation); yaitu upaya yang dilakukan untuk
mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman. Misalnya :
penataan kembali lahan desa agar terjadinya banjir tidak
menimbulkan kerugian besar.
3. Planning/Response/Ricovery
Planning merupakan persiapan rencana untuk bertindak
ketika terjadi(atau kemungkinan akan terjadi) bencana.
Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-
kebutuhan dalam keadaan darurat danidentifikasi atas sumber
daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Perencanaan ini dapat mengurangi dampak buruk dari suatu
ancaman.
Elemen pentimg dalam fase preparedness disini adalah
mitigasi yaitu usahausaha yang dilakukan untuk mencegah,
mengurangi dan meminimalkan berbagai elemen yang
berpotensi menimbulkan bahaya. Dalam hal sosialisasi siaga
bencana, dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, bahkan sampai ke masyarakat atau
kawasan yang rawan bencana. Indonesia merupakan negeri
rawan bencana sehingga perlu dibentuk bangsa yang mampu
merespons bencana dengan benar.
Saat bencana (tanggap darurat) adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan.
Meliputi kegiatan:
1. Penyelamatan dan evakuasi korban maupun harta benda,
2. Pemenuhan kebutuhan dasar.
3. Perlindungan.
4. Pengurusan pengungsi.
5. Penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Sebuah fase respon/tanggap bencana yang efektif
bergantung kepada pengkajian setelah bencana, kewaspadaan
situasi, komunikasi, kolaborasi dan koordinai serta elemen
kontrol dan pemberi perintah. Sebagai contoh bila ada kejadian
bencana di sebuah daerah, pemerintah lokal dapat menghubungi
sistem bencana pusat (BNPB). Sistem pusat kemudian akan
mengaktifkan sumber-sumber daya yang ada di tingkat pusat.
Lebih lanjut model ini mangasumsikan bahwa fleksibilitas pada
setiap level adalah kunci utama dalam penanganan bencana.
Tahap recovery merupakan kesempatan untuk
meningkatkan pencegahan dan meningkatkan kesiapsiagaan ,
sehingga mengurangi potensi konsekuensi kejadian bencana
yang lain (WHO, 2013).
Recovery merupakan proses pemulihan kondisi
masyarakat yang terkena bencana dengan memfungsikan
kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Ada
beberapa perbedaan pendapat mengenai tahap pemulihan ini,
sebagian mengatakan bahwa tahap pemulihan (recovery) terdiri
dari rehabilitasi dan rekontruksi baik dari fisik, psikologis dan
komunitas (PNPM, 2008).
Di tingkat pemerintah pusat elemen keberlanjutan
mungkin termasuk kemampuan untuk menyediakan tempat
penampungan bagi korban bencana dalam setiap upaya
pemulihan berkepanjangan . Ditingkat masyarakat, rehabilitasi
termasuk proyek pemulihan jangka panjang yang dirancang
untuk membangun kembali infrastruktur masyarakat atau
pengembalian kegiatan usaha dan kerja seperti sebelum bencana
(Beaton,2008).
2.2. Pengurangan Resiko, Pencegahan Penyakit dan Promosi Kesehatan
A. Tahap pengurangan Resiko
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pra
bencana, tanggapdar urat,dan pasca bencana.
1. Tahap Pra bencana; yang terbagi menjadi saat tidak terjadi bencana
dan potensi terjadi bencana dilakukan kegiatan perencanaan
penggulangan bencana, pengurangan resikobencana, pencegahan,
pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis
resiko benca na,penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan
pelatihan,serta penentuan persyaratan stand ar teknis
penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini, dan
mitigasi bencana)
2. Tahap Tanggap Darurat; kegiatannya mencakup pengkajian terhadap
lokasi, kerusakan,dan sumber daya; penentuan status keadaan
darurat; penyelamatan dan evakuasi korban; pemenuhan kebutuhan
dasar (air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial, dan penampungan tempat hunian);
perlindungan kelompok rentan (prioritas bagi kelompok rentan) serta
pemulihan prasarana dan sarana vital.
3. Tahap Pasca Bencana; mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan
daerah bencana, prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan
rumah,sosial psikologis,pelayanan kesehatan,rekonsilia sidan
resolusi konflik,sosial,ekonomi dan budaya,keamanan dan
ketertiban,fungsi pemerintahan dan pelayanan public) dan
rekontruksi pembangunan, pembangkitan, dan p eningkatan berba
gai sarana dan prasarana termasuk fungsi pelayanan public).
Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam
tiga kegiatan utama, yaitu:
1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap
darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan
search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan,
padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting
karena apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal
dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Sedikit sekali
pemerintah bersama masyarakat maupun swasta memikirkan tentang
langkah-langkah atau kegiatankegiatan apa yang perlu dilakukan
didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak
bencana.
Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat
kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan,
terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan
pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah
bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana
biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan
tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya
bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang
harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat
guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi.
Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan
kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan
kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang
perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan
dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak
hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan
juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau
depresi.
B. Pencegahan Penyakit
Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka
penanggulangan bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek
medis dan aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus
melakukan koordinasi dan kloaborasi dengan sector dan program terkait.
Berikut ini merupakan ruang lingkup bidang pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan, terutama saat tanggap darurat dan pasca
bencana.
1. Sanitasi darurat. Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan
air bersih dan jamban :kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan
limbah sesuai standard. Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi
ini akan meningkatkan resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector. Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak
ramah, maka kemungkinan terdapat nyamuk dan vector lain disekitar
pengungsi. Ini termasuk timbunann sampah dan genagan air yang
memungkinkan tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan
pengendalian vector terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk
spraying, atau fogging, larvasiding, maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit. Bila dari laporan pos pos kesehatan
diketahui terdapat peningkatan kasus penyakit, terutama yang
berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian melalui intensifikasi
penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor resikonya.
Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas. Pengungsi pada umumnya rentan terhadap
penyakit, terutama orang tua, ibu hamil, bayi dan balita. Bagi bayi
dan balita perlu imunisasi campak bila dalam catatan program
daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak. Jenis
imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat
seperti yang dilakukan untuk mencegah kolera.
5. Surveilanse Epidemologi. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh
informasi epidemologi penyakit potensi KLB dan faktor resiko.atas
informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian penyakit,
pengendalian vector, dan pemberian imunisasi, informasi
epidemologi yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilens
epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.
Menurut DepKes RI (2006) manajemen siklus penanggulangan
bencana terdiri dari:
a. Impact (saat terjadi bencana)
b. Acute Response (tanggap darurat)
c. Recovery (pemulihan)
d. Development (pembangunan)
e. Prevention (pencegahan)
f. Mitigation (Mitigasi)
C. Promosi Kesehatan
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang
dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta
mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi
dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
1. Mitigasi pasif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara
lain:
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan
b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d. Pembuatan brosur/leaflet/poster
e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
f. Pengkajian / analisis risiko bencana
g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
1. Mitigasi aktif
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif
antara lain:
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya,
larangan memasuki daerah rawan bencana dsb.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan
lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke
daerah yang lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur
evakuasi jika terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan
tahan gempa dan sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang
bersifat nonstruktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan)
dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana).

2.3. Komunikasi dan Penyebaran Informasi


A. Konsep Komunikasi Bencana
Istilah komunikasi bencana belum menjadi konsep popular dalam
bidang komunikasi maupun bidang kebencanaan. Menurut Frank Dance
(dalam Littlejohn, 2006: 7), salah satu aspek penting di dalam
komunikasi adalah konsep reduksi ketidakpastian. Komunikasi itu
sendiri muncul karena adanya kebutuhan untuk mengurangi
ketidakpastian, supaya dapat bertindak secara efektif demi melindungi
atau memperkuat ego yang bersangkutan dalam berinteraksi secara
indivuidual maupun kelompok.
Komunikasi dalam bencana tidak saja dibutuhkan dalam kondisi
darurat bencana, tapi juga penting pada saat dan pra bencana.
Sebagaimana dikatakan bahwa komunikasi adalah cara terbaik untuk
kesuksesan mitigasi bencana, persiapan, respon, dan pemulihan situasi
pada saat bencana. Kemampuan untuk mengkomunikasikan pesanpesan
tentang bencana kepada publik, pemerintah, media dan pemuka
pendapat dapat mengurangi resiko, menyelamatkan kehidupan dan
dampak dari bencana.

B. Landasan Utama dalam Membangun Komunikasi Bencana


Menurut Haddow dan Haddow (2008: 2) terdapat 5 landasan utama
dalam membangun komunikasi bencana yang efektif yaitu:
1. Costumer Focus, yaitu memahami in-formasi apa yang dibutuhkan
oleh pelanggan dalam hal ini masyarakat dan relawan. Harus
dibangun mekanisme komunikasi yang menjamin informasi
disampaikan dengan tepat dan akurat.
2. Leadership commitment, pemimpin yang berperan dalamtanggap
darurat harus memiliki komitmen untuk melakukan komunikasi
efektif dan terlibat aktif dalam proses komunikasi.
3. Situational awareness, komunikasi efek-tif didasari oleh
pengumpulan, analisis dan diseminasi informasi yang terkendali
terkait bencana. Prinsip komunikasi efek-tif seperti transparansi dan
dapat di-percaya menjadi kunci.
4. Media partnership, media seperti televisi, surat kabar, radio, dan
lainnya adalah media yang sangat penting untuk menyampaikan
informasi secara tepat kepada publik. Kerjasama dengan media
menyangkut kesepahaman tentang kebu-tuhan media dengan tim
yang terlatih un-tuk berkerjasama dengan media untuk-mendapatkan
informasi dan menyebar-kannya kepada publik.
Secara lebih luas, selain lembaga yang menangani bencana
(BNPB), keterlibatan stakeholder seperti media, industri, politisi dan
berbagai komponen masyarakat/ lembaganya menjadi sangat penting.
Sedemikan penting agar keterlibatan mereka terutama pada peristiwa
bencana dan juga pada mitigasi, tahap pemulihan, tidak digunakan
sebagai ajang pencitraan – yang akhirnya menjadikan bencana dan
korban bencana sebagai obyek semata, namun justru secara substansial
memang membantu korban bencana dan meminimalisasi resiko yang
ada/ yang akan terjadi.

C. Macam-macam Penyebaran Informasi Kebencanaan


Macam macam penyebaran informasi kebencanaan :
1. Penyebaran informasi dan peringatan oleh BMKG
BMKG menggunakan beragam saluran komunikasi untuk
memastikan peringatan menjangkau sebanyak mungkin
orang,memastikan bahwa peringatan tersampaikan,dan
mengantisipasi kegagalan jalur komunikasi.BMKG menggunakan 5
saluran berikut untuk menyebarkan informasi dan peringatan :
a) Short message service atau SMS
b) Email
c) Fax
d) Warning receiver system atau WRS
e) Web
WRS mengirim informasi melalui web server di BMKG ke semua
komputer client wrs yang terdaftar misalnya computer otoritas
daerah, stasiun TV dan radio TNI dan Polri.pengguna WS di daerah
terpencil terhubung dengan BMKG melalui internet atau digital
video broadcasting atau DVB yang menggantikan radio internet atau
ranet.
2. Penyebaran peringatan olehstasiun TV dan radio
Stasiun TV dan radio di daerah dan pusat memiliki akses langsung
ke masyarakat dan mampu menyiapkan peringatan ancaman bencana
dalam waktu yang sangat singkat.keduanya stasiun TV dan radio
wajib menghentikan program yang sedang berlangsung untuk segera
menyiapkan peringatan ancaman bahaya.media meneruskan pesan
peringatan dari BMKG tanpa melakukan penyesuaian apapun stasiun
TV menyayangkan peringatan ditandai dengan terdengarnya nada
tinggi selama kurang lebih 30 detik untuk menarik perhatian pemirsa
sebelum peringatan ditayangkan pada layar.setelah itu peringatan
akan tetap ditayangkan dalam bentuk teks berjalan atau running text
di bawah layar.Stasiun TV dan radio juga menyiarkan peringatan ini
dalam Breaking News namun untuk Breaking News penyiarannya
membutuhkan persiapan beberapa menit.Stasiun TV dan radio di
daerah dapat menyiarkan peringatan yang diterima langsung dari
BMKG sekaligus berperan sebagai Stasiun penyebaran peringatan
untuk otoritas daerah.
3. Penyebaran di daerah: memberi arahan ke masyarakat
Penyebaran informasi dari otoritas daerah ke masyarakat secara
cepat dan langsung adalah kunci untuk menjangkau sebanyak
mungkin orang dalam waktu singkat.Penggunaan beragam cara
penyampaian pesan penting dilakukan untuk mengantisipasi
kegagalan atau tidak berfungsinya salah satu saluran akibat bencana
alam.Komunikasi radio, via very high frequency atau VHF atau
Stasiun Radio frequency modulation/ FM terbukti paling
andal.Sirine dan pengeras suara yang dikendalikan jarak jauh juga
baik untuk penyebaran informasi secara langsung kepada masyarakat
namun membutuhkan cadangan daya untuk mengoperasikannya
sementara jaringan telepon seluler seringkali tidak berfungsi dan
tidak cukup baik untuk dijadikan satu-satunya solusi penyampaian
peringatan ke masyarakat. Keberhasilan sistem penyebaran di daerah
tidak hanya tergantung pada solusi teknologi masyarakat juga harus
diinformasikan tentang cara-cara mendapatkan informasi Jauh
sebelum keadaan darurat terjadi
2.4. Perawatan Psikososial dan Spiritual Korban Bencana
A. Pemulihan Korban Pasca Bencana
Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah.
Pengalaman traumatis karena bencana telah menggoncangkan dan
melemahkan pertahanan individu dalam menghadapi tantangan dan
kesulitan hidup seharihari. Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik dan
mental, aspek kepribadian masing-masing korban tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung
memiliki masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan
mendadak sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban
yang dihadapi oleh para korban tersebut dapat mengubah pandangan
mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka.
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita
yang mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi
sampai depresi semuanya bermuara pada kemampuan individu dalam
memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala tersebut
adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini
tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat
untuk mengatasi masalah yang dialami.
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk
dibicarakan. Konsep coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental
maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau
meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan.
Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu
berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat
dari masalah yang sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan.
Namun, semua bermuara pada perubahan kognitif maupun perilaku guna
memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan
mendekat kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan
baik lainnya. Pengalaman tersebut menjadikan mereka semakin dekat
kepada Tuhan. Idealnya, mereka harus memaknai bencana sebagai
sebuah musibah, bukan petaka atau azab. Bencana gempa ditafsirkan
sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia yang telah lama
berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu, sebagai sebuah musibah,
bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah menjadi
sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.
Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan
menjadikan mereka senantiasa hidup dalam nuansa keimanan kepada
Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya dalam kehidupan ini
sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas dan
konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat
dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram.
Perasaan itu akan menjadikannya kuat dalam menghadapi segala
persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas musibah yang
menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang
ditemui pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan
baru. Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalanya.
Bencana bisa diubah menjadi suatu pengalaman positif yang memiliki
makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi
makna atas pengalaman hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi
untuk memberikan makna luar biasa kepada realitas kehidupan, agama
akan mampu mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan
tulus atas musibah yang terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan
individu untuk memaknai kembali hidupnya dengan membuat
perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi setelah mengalami
musibah untuk mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.
Robert A. Emmons (2000) mengungkapkan bahwa spiritualitas
bermanfaat dalam upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan
dalam kehidupan. Spiritualitas dapat memprioritas-ulangkan tujuan-
tujuan (reprioritization of goals). Terlebih lagi, pribadi yang spiritual
lebih mudah menyesuaikan diri pada saat menangani kejadian-kejadian
traumatis. Mereka pun lebih bisa menemukan makna dalam krisis
traumatis dan memperoleh panduan untuk memutuskan hal-hal tepat apa
saja yang harus dilakukan.
B. Terapi Psiko-Spiritual
Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia
dilahirkan, manusia memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis,
sosial, dan spiritual. Menurut Hanna Djumhana Bastaman (1995), untuk
dapat memahami manusia seutuhnya, baik dalam keadaan sehat maupun
sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi memandang
manusia sebagai makhluk bio-psikososial (jasmani, psikologis, dan
sosial), melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual
(jasmani, psikologis, sosial, dan spiritual).
Secara eksplisit, Ralph L. Piedmont (2001) memandang
spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational
trait); kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan
memilih beragam tingkah laku individu. Sementara itu, Susan Folkman,
dkk (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian dalam diri
seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap
dalam pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya
dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order).
Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi
menyebutkan bahwa kekuatan psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat
dikembangkan melalui olah spiritual yang dilakukan melalui beberapa
tahapan.
1. Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi,
seseorang dapat memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada
dalam kondisi terpusat serta tercerahkan. Melalui konsentrasi pula,
seseorang belajar dan berlatih untuk menguasai dirinya.
2. Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran.
Artinya, setelah seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi,
maka ia harus berani mengungkapkan hasil konsentrasi tersebut
dalam ungkapanungkapan yang sederhana melalui kekuatan pikiran.
Kekuatan pikiran ini nantinya akan mempengaruhi kekuatan
perasaan yang dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya perasaan adalah
ruh pemikiran, sebagaimana ucapan adalah ruh suatu tindakan.
Karena itu, konsentrasi merupakan hal penting untuk
mengembangkan kekuatan psikis seseorang.
3. Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang
harus memiliki kekuatan tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang
yang sehat umumnya memiliki pernafasan dan sirkulasi darah yang
teratur dan lancar, sehingga memberikan efek bagi kemampuan
mengekspresikan dirinya.
4. Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam
berpikir. Artinya, seseorang yang terbiasa mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir, seperti khawatir, cemas,
takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya kekuatan
dalam mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada
kata-kata yang diungkapkan oleh seorang pegiat pelatihan
manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata
beliau, “Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu
adalah awal dari perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari
kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal dari karaktermu.
Karaktermu adalah takdirmu.”
5. Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya
digunakan untuk bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan
psikis yang dimiliki seseorang harus ditunda sebelum betul-betul
terkumpul dan berkembang melimpah. Saat itulah kekuatan psikis
mampu dimanfaatkan untuk menolong diri sendiri maupun orang
lain. Kekuatan psikis yang timbul dari energi spiritual bagaikan mata
air yang tercurah, melimpah secara konstan dan stabil. Karna itu,
tinggal pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan kemauan
seseorang untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi
energi yang bersifat menyembuhkan (terapeutik).
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping
with Stress” yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values
beberapa tahun lalu, menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas
bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya dalam mengatasi
masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas
bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas
bisa melibatkan sesuatu di luar sumbersumber yang nyata atau mencari
terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan di dalam
hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi
spiritualitas para korban pasca-bencana. ada hubungan positif yang
sangat signifikan antara spiritualitas dengan proactive coping pada
korban bencana . Semakin tinggi tingkat spiritualitas, semakin baik pula
proactive coping yang dilakukan oleh korban. Konsep proactive coping
diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan
kepercayaan yang relatif terus menerus ada pada setiap individu. Di
mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu
keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu
memperbaiki diri dan lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan
penyadaran diri (self awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra
diri (self identification), dan tahapan pengembangan diri (self
development).
a. Pada fase penyadaran diri (self awareness),
Para korban akan melalui proses pensucian diri dari bekasan atau
halhal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran diri,
penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak
hakikat persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para
korban. Pun menjelaskan hikmah atau rahasia dari setiap peristiwa
tersebut.
b. Pada fase Pengenalan Diri (self identification),
Para korban akan dibimbing kepada pengenalan hakikat diri secara
praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan
moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-
potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, berbagai
potensi itu perlu segera dimunculkan. Kemudian mengelola potensi
diri yang menonjol tersebut agar terus berkembang dan dicoba untuk
diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang menyebutkan,
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal
Tuhannya.”
c. Pada fase pengembangan diri (self development),
Para korban akan didampingi dan difasilitasi untuk tidak hanya sehat
fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental
terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk
menghadapi masalah yang terjadi, dan merasakan secara positif
kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun kesehatan spiritual
mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang,
mengandalkan Tuhan (The Higher Power), merasakan kedamaian,
dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang
tulus atas musibah yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi
ini dapat pula mengurangi kesedihan dan tekanan psikologis, serta
membantu para korban dalam menemukan makna yang positif.
2.5. Perawatan Populasi Rentan Sakit Mental
A. Definisi Sakit Mental
Gangguan jiwa atau gangguan mental menurut Depkes RI (2010)
adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya
gangguan pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada
individu dan hambatan dalam melaksanakan peran social.
Sedangkan menurut (Maramis, 2010), gangguan jiwa adalah
gangguan alam: cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi
(affective), tindakan (psychomotor). Dimana para pengidap gangguan
jiwa merupakan penyandang disabilitas atau cacat mental.
Seperti halnya manusia pada umumnya, ketika terjadi suatu
bencana akan timbul beberapa kejadian atau situasi baik psikologis
maupun mental yang dialami oleh korban, termasuk juga penyandang
gangguan jiwa seperti kepanikan yang luar biasa.
Di dalam UU no 24 tahun 2007 tersebut telah disebutkan bahwa
dalam penanggulangan bencana saat tanggap darurat terdapat
perlindungan terhadap kelompok rentan dilakukan dengan memberikan
prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan
tersebut antara lain bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang
mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lanjut usia
B. Perawatan Bencana Kelompok Rentan Pada Gangguan Mental
1. Pra Bencana
a. Bantuan Evakuasi: Saat bencana terjadi, penyandang gangguan
mental membutuhkan waktu yang lama untuk mengevakuasi
diri, supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan untuk
melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan
lainlain perlu diberitahukan kepada penyandang gangguan
mental dan penolong evakuasi.
b. Mengikutsertakan dengan PRB: partisipasi penyandang dalam
pendidikan pengurangan resiko bencana (PRB).
c. Memberikan penyandang gangguan mental terhadap materi ajar
atau belajar PRB
2. Saat Bencana
a. Melakukan evakuasi bagi penyandang gangguan mental untuk
menjauh dari lokasi bencana
b. Mengevakuasi penyandang gangguan mental yang ditinggal
oleh keluarganya saat terjadi bencana
c. Menampung dipengungsian
d. Membawa korban ke rumah sakit
e. Melakukan pendataan dan penilaian
f. Memberikan konseling
3. Pasca Bencana
a. Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir
trauma
b. Kebutuhan Rumah Tangga: Air minum, makanan, sanitasi, air
bersih dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus/jamban),
alatalat untuk memasak, pakaian, selimut dan tempat tidur, dan
permukiman sementara.
c. Kebutuhan Kesehatan: Kebutuhan kesehatan umum seperti
perlengkapan medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga medis,
pos kesehatan dan perawatan kejiwaan.
d. Kemanan Wilayah: Kebutuhan ketentraman dan stabilitas
seperti keamanan wilayah
e. Kebutuhan Air: Kebutuhan sanitasi air dan tempat pengelolaan
limbah dan sampah
f. Sarana dan Prasarana: Kebutuhan sarana dan prasarana yang
mendesak seperti air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi
bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar,
penerangan atau listrik, sekolah sementara, alat
angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat
pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
C. Sumber Daya Yang Tersedia Dilingkungan Untuk Kebutuhan
Kelompok Rentan
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok rentan saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun
jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam
penanganan bencana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja
yang tersedia di lingkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi,
diantaranya:
1. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk
area yang rentan terhadap kejadian bencana.
2. Kesiapan rumah sakit atau fasilitas kesehatan menerima korban
bencana dari kelompok rentan baik itu dari segi fasilitas maupun
ketenagaan seperti: beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir,
tempat tidur untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan,
fasilitas perawatan pasien dengan penyakit kronis, dsb
3. Adanya symbol-symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh
individu-individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana,
jalur evakuasi, lokasi pengungsian dll.
4. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang
khusus menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan
mengidentifikasi dini kondisi depresi pasca bencana pada kelompok
tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat diberikan untuk
merawat mereka.
5. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non
pemerintah (NGO) yang membantu korban bencana terutama
kelompok-kelompok rentan seperti: agensi perlindungan anak dan
perempuan, agency pelacakan keluarga korban bencana ( tracking
centre), dll.
6. Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian
yang berisi informasi-informasi tentang bagaimana perencanaan
kegawat daruratan dan bencana pada kelompok-kelompok dengan
kebutuhan khusus dan beresiko.

2.6. Perlindungan Dan Perawatan Bagi Petugas Dan Cargiver


Istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa berarti
perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda
dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti
perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. Hakekatnya
setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Dengan
demikian hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan
dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum.
Secara umum perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum ketika
subjek hukum yang bersangkutan bersinggungan dengan peristiwa hukum.
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi
hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan
hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk
yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak
tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.
Dalam Penelitian yang ditulis oleh M. Fakih, S.H., M.S, di Fakultas
Hukum UGM, yang berjudul “Aspek Keperdataan Dalam Pelaksanaan
Tugas Tenaga Keperawatan Di Bidang Pelayanan Kesehatan Di Propinsi
Lampung". Dalam pernyataaanya menyebutkan bahwa “Mengingat perawat
sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di
masyarakat, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor HK.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Pasal 8 ayat (3) Permenkes menyebutkan praktik keperawatan
meliputi pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif,
preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan
tindakan keperawatan komplementer. dari pasal tersebut menunjukkan
aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri (independent) berdasar pada
ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tugas utama adalah merawat (care)
dengan cara memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan
kebutuhan fisiologis dan psikologis pasien.
Hingga saat ini perjanjian keperawatan atau informed consent
keperawatan belum diatur secara tertulis dan baru mengatur informed
consent tindakan kedokteran sebagaimana diatur dalam Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga tindakan medik yang dilakukan perawat
pada prinsipnya berdasar delegasi secara tertulis dari dokter. Kecuali dalam
keadaan darurat, perawat diizinkan melakukan tindakan medik tanpa
delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat (1) Permenkes No. HK.
02.02/Menkes/148/2010.
2.7. Kerjasama Tim Inter Dan Multidisiplin
A. Pengertian Interdisiplin
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok
professional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan
berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya
konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan
terbaik.
Interdisiplin merupakan kombinasi dari berbagai disiplin ilmu
dalam tugas, namun dalam pemecahan suatu masalah saling
bekerjasama dengan disiplin ilmu lain, saling berkaitan.
Interdisiplin merupakan interaksi intensif antar satu atau lebih
disiplin, baik yang langsung berhubungan maupun yang tidak, melalui
program-program penenlitian dengan tujuan melakukan integrasi
konsep, metode, dan analisis.
B. Ciri-Ciri Inter Disiplin
1. Peran dan tanggung jawab tidak kaku, dapat beralih sesuai dengan
perkembangan.
2. Menyadari adanya tumpang tindi kompetensi dan menerapkan dalam
praktek sehari-hari.
3. Menemui dan mengenali keunikan peran berbagai disiplin yang
tidak bias diabaikan dan merupakan modal bersama.
4. Ranah perluasan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki dan akan
diterapkan merupakan yang paling komprehensif, terdapat keinginan
untuk memikul beban berat bersama, hasrat untuk saling berbagi
pengalaman dan pengetahuan.
5. Interdisiplin dimulai dari disiplin, setelah itu mengembangkan
permasalahan seputar disiplin tersebut.
C. Anggota Tim Inter Disiplin
Peran dan fungsi dan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika) yaitu :
1. BMKG mempunyai status sebuah Lembaga Pemerintah Non
Departemen (LPND), dipimpin oleh seorang Kepala Badan.
2. BMKG mempunyai tugas : melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyelenggarakan fungsi :
1. Perumusan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang
meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
2. Perumusan kebijakan teknis di bidang meteorologi, klimatologi, dan
geofisika;
3. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang
meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
4. Pelaksanaan, pembinaan dan pengendalian observasi, dan
pengolahan data dan informasi di bidang meteorologi, klimatologi,
dan geofisika.
5. Pelayanan data dan informasi di bidang meteorologi, klimatologi,
dan geofisika;
6. Penyampaian informasi kepada instansi dan pihak terkait serta
masyarakat berkenaan dengan perubahan iklim;
7. Penyampaian informasi dan peringatan dini kepada instansi dan
pihak terkait serta masyarakat berkenaan dengan bencana karena
faktor meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
8. Pelaksanaan kerja sama internasional di bidang meteorologi,
klimatologi, dan geofisika;
9. Pelaksanaan penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang
meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
10. Pelaksanaan, pembinaan, dan pengendalian instrumentasi, kalibrasi,
dan jaringan komunikasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan
geofisika;
11. Koordinasi dan kerja sama instrumentasi, kalibrasi, dan jaringan
komunikasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
12. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan keahlian dan manajemen
pemerintahan di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
13. Pelaksanaan pendidikan profesional di bidang meteorologi,
klimatologi, dan geofisika;
14. Pelaksanaan manajemen data di bidang meteorologi, klimatologi,
dan geofisika;
15. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas administrasi di
lingkungan BMKG;
16. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab BMKG;
17. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BMKG;
18. Penyampaian laporan, saran, dan pertimbangan di bidang
meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BMKG dikoordinasikan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan.
D. Definisi Multidisiplin
Menurut Wywialowski (2004), multidisiplin atau multidisipliner
mengacu pada tim dimana sejumlah orang atau individu dari berbagai
disiplin ilmu terlibat dalam suatu proyek namun masing-masing individu
bekerja secara mandiri. Setiap individu dalam tim multidisiplin memiliki
keterampilan dan keahlian yang berbeda namun saling melengkapi satu
sama lain. Pengalaman yang dimiliki masing-masing individu
memberikan kontribusi yang besar bagi keseluruhan upaya yang
dilakukan.
Tim multidisiplin adalah sebuah kelompok pekerja kesehatan atau
pekerja medis yang terdiri dari anggota – anggota dengan latar belakang
ilmu profesi yang berbeda dan masing
E. Ciri-ciri Multidisiplin
1. Setiap bagian ikut berperan cukup besar, melakukan perencanaan
pengelolaan bersama.
2. Setiap bagian beraktivitas berdasarkan batasan ilmunya.
3. Konseptual dan operasional : terpisah-pisah.
4. Dalam pelayanan kesehatan, berbagai bidang ilmu berupaya
mengintegrasikan pelayanan untuk kepentingan pasien. Namun
setiap disiplin membatasi diri secara ‘tegas’ untuk tidak memasukan
ranah ilmu lain.
F. Anggota Tim Multidiplin
1. Dokter
Peran dokter dalam keadaan bencana. Dokter merupakan salah satu
praktis kesehatan yang sangat diperlukan dalam keadaan bencana
peran dokter tersebu diantaranya:
a. Melakukan penanganan kasus kegawat daruratan trauma maupun
non trauma seperti PPGD-GELS, ATLS, ACLS)
b. Melakukan pemeriksaan umum terhadap korban bencana.
c. Mendiangnosa keadaan korban bencana dan ikut menentukan
status korban triase.
d. Menetapkan diagnosa terhadap pasien kegawat daruratan dan
mencegah terjadinya kecatatan pada pasien.
e. Memberikan pelayanan pengobatan darurat
f. Melakukan tindakan medis yang dapat dilakukan di posko
tanggap bencana.
g. Memberikan rekomendasi rujukan ke rumah sakit apabila
memerlukan penanganan lebih lanjut
h. Melakukan pelayanan kesehatan rehabilitative
Tenaga dokter dalam tim penanggulagan kritis Dalam keadaan
bencana diadakannya mobilisasi SDM kesehatan, diantarnya dokter,
yang tergabung dalam suatu tim penanggulangan kritis yang meliput
tim gerak cepat, tim penilaian cepat kesehatan (Tim RHA), dab tim
bantuan kesehatan berikut kebutuhan minimal tenaga dokter untuk
masing-masing tim tersebut:
a. Tim gerak cepat Merupakan tim yang bergerak dalam waktu 0-
24 jam setelah adanya kejasin bencana. Tenaga dokter yang
dibutuhkan terdiri dari dokter umum/BSB 1 orang, dokter
spesialis bedah 1 orang, dan dokter spesialis anastesis 1 orang.
b. Tim RHA Merupakan tim yang bisa diberangkatkan bersama
dengan tim gerak cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari
24 jam. Pada tim ini, tenaga dokter umum minimal 1 orang
dikirikan.
c. Tim bencana kesehatan Merupakan tim yang diberangkatkan
berdasarkan kebutuhan setelah tim gerak cepat dan tim RHA
kembali dengan laporan hasil kegiatan mereka dilapangan.
2. Perawat
Fungsi dan tugas perawat dalam situasi bencana dapat dijabarkan
menurut fase dan keadaan berlaku saat terjadi bencana seperti
dibawah ini :
a. Fase pra bencana
1) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana untuk
setiap fasenya.
2) Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan,
organisasi lingkungan, palang merah nasional, maupun
lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman
bencana kepada masyarakat.
3) Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana yang meliputi hal – hal berikut.
a) Usaha pengobatan diri sendiri (pada masyarakat
tersebut).
b) Pelatihan pertolongan pertama pada keluarga seperti
menolong anggota keluarga yang lain.
b. Fase bencana
1) Bertindak cepat
2) Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti,
dengan takut memberikan harapan yang besar pada para
korban selamat.
3) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan
4) Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan.
c. Fase pasca bencana
1) Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik,
sosial, dan psikologis korban.
2) Stress psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga
terjadi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang
merupkan sindron dengan tiga kriteria utama. Pertama, gejala
trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut
mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback,
mimpi, ataupun peristiwa – peristiwa yang memacunya.
Ketiga, individu akan menunjukkan gangguan fisik. Selain
itu individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan
konsentrasi, perasaan bersalahm dan gangguan memori.
3) Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang
terkait bekerja sama dengan unsure lintas sector manangani
masalah kesehatan masyarakat pasca bencana.
3. Ahli gizi
Kegiatan penaganan dan tugas ahli gizi pada situasi bencana perlu
efesien dan efektif antara lain, sebagai berikut:
a. Menyusun menu bagi sekelompok masyarakat korban bencana
alam.
b. Pendampingan penyelenggaraan makanan sejak dari perisapan
samppai perindistribusian.
c. Pegawasan logistik bantuan bahan makanan dan minuman.
d. Memantau keadaan gizi pengungsian khusus balita dan ibu
hamil.
e. Pelaksanaan koseling gizi gratis yang disediakan untuk
masyarakat korban bencana alam.
f. Pemberian suplemen zat gizi makro (kapsul vitamin A, untuk
balita dan tablet besi untuk ibu hamil).
4. Fisioterapi
a. Fisioterapi harus mampu mebina hubungan baik secara intense
dengan instansi yang diakui secara internasional / LSM untuk
memastikan bahwa layanan professional dikoordinasikan dan
dimasukkan sebagai bagian dari program rancangan
pembangunan nasional yang berkelajutan dalam kerangka
manajemen bencana.
b. Mitigasi dan kesiapan adalah cara utama untuk mengurangi
dampak bencana dan mitigasi dan kesiapsiagaan berbasis
masyarakat/manajemen harus menjadi praktek manajemen
fisioterapi.
c. Korban bencana yang mengalami luka fisik dapat di fase awal
dapat mendapat perawatan di rumah sakit terdekat, atau pada
langkah sementara dilokasi dengan bantuan medis oleh tim
bantuan bencana local secaara organisasi bantuan internasional.
Namun kembali ke rumah mereka untuk membangun kembali
kehidupan mereka adalah keentingan utama bagi para korban.
5. Pekerja sosial
Profesi pekerja sosial memiliki peran penting dalam penggulangan
bencana baik pada saat pra bencana, tanggap darurat maupun pasca
bencana pada saat pra bencana, kontribusi pekerja sosial berfokus
pada upaya pengurangan risiko bencana, antara lain melalui kegiatan
, peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan mitigasi dala
menghadapi kemungkinan terjadinya bencana, pemetaan kapasitas
masyarakat, dan melalukan advokasi ke berbagai pihak terkait
kebijakan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat,
pekerja sosial membantu pemulihan kondisi fisik dan penanganan
psikososial dasar bagi korban bencana. Pada saat pasca bencana,
pekerja sosial melakukan upaya pemulihan kondisi psikologis
korban bencana, khususnya mengatasi trauma dan pemulihan
kondisi sosial, serta pengembangan kemandirian korban bencana.
6. POLRI
Peran Polri dalam mendukung manajemen penanggulangan bencana
melalui:
a. Meningkatkan pembinaan masyarakat melalui kegiatan
community policing sehingga masyarakat diharapkan mampu
mencegah dan menghindari terjadinya tindakan kejahatan yang
akan menimpa dirinya mampu kelompoknya.
b. Melaksanakan sosialisasi antisipasi terhadap bencana melalui
pelatihan penyelamat saat terjadinya bencana serta terbentuknya
sistem deteksi dini adanya bencana yang dapat dimengerti oleh
masyarakat.
c. Meningkatkan kepatuhan hukum dari masyarakat agar tidak
melakukan tindakan yang melanggar hukum pada saat terjadinya
bencana penyuluhan dan pengorganisasian kelompok masyarakat
sadar hukum.
d. Melakukan kegitan kepolisian dalam rangka memberikan
jaminan rasa aman kepada masyarakat baik jiwa maupun harta
melalui kegiatan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat serta penegakan hukum yang professional dengan
menjunjung tinggi HAM.
e. Melakukan pembenhan dan peningkatan internasional organisasi
polri melalui peningkatan kuantitas dan kualitas personil
medasari paradigma baru polri, meningkatkan sarana dan
prasarana pelayanan masyarakat, menciptakan sistem dan
metode serta anggaran yang mampu mendukung operasional
polri dalam penggulangan bencana.
7. Tim SAR (Search And Rescue) Dalam hal kejadian bencana alam,
peranan SAR adalah yang paling mengemuka karena harus bertindak
paling awal pada setiap bencana alam yang terjadi, sehingga SAR
menjadi titik pandang bagi masyarakat yang tertimpa musibah.

G. Komunikasi Multidisplin dalam Keperawatan Bencana


1. Menciptakan hubungan interpersonal yang baik Menciptakan dan
memelihara hubungan yang baik adalah penting dalam upaya
penanganan dan perawatan pasien. Hasil studi menunjukkan bahwa
komunikasi dan hubungan baik antara pasien dan anggota tim
memberikan dampak positif pada kepuasan pasien, pengetahuan dan
pemahaman, kepatuhan terhadap program pengobatan, dan hasil
kesehatan yang terukur.
2. Bertukar informasi Anggota tim yakni dokter perlu memperoleh
sebanyak mungkin informasi dari pasien agar dapat mendiagnosa
dengan tepat jenis penyakit yang diderita pasien dan merumuskan
rencana penanganan dan perawatan. Bagi pasien, pasien perlu
mengetahui, memahami, merasa dikenal, dan dipahami oleh anggota
tim. Untuk itu, kedua belah pihak sangat perlu melakukan
komunikasi dua arah sebagai upaya untuk saling bertukar informasi.
3. Mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian Mendengarkan
secara aktif dan penuh perhatian adalah salah satu penyebab
keberhasilan dalam komunikasi. Perawat sebagai anggota tim
bertanggung jawab dalam memberikan perhatian dan memobilisasi
semua indera untuk mempersespi semua pesan verbal maupun pesan
nonverbal yang diberikan oleh pasien. Dengan mendengarkan secara
aktif dan penuh perhatian, perawat dapat menilai situasi dan masalah
yang dialami pasien. Selain itu perawat juga dapat meningkatkan
harga diri pasien dan mengintergrasikan diagnosa keperawatan dan
proses perawatan.
4. Penggunaan bahasa yang tepat Informasi yang diberikan selama
proses konsultasi, penanganan, dan perawatan pasien perlu dilakukan
dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh pasien dan
anggota pasien. Bahasa sebagai alat komunikasi dalam proses
konsultasi, penanganan, dan perawatan pasien hendaknya tidak
menggunakan jargon dan istilah teknis kesehatan kecuali dijelaskan
secara komprehensif. Yang harus dihindari juga adalah penggunaan
eufemisme karena dapat mengarah pada ambigu.
5. Bahasa tubuh dan penampilan Bahasa tubuh dalam komunikasi dan
penampilan juga hendaknya menjadi bahan pertimbangan dan perlu
diperhatikan dengan baik. Berbagai komunikasi nonverbal yang
ditampilkan seperti postur tubuh, gaya, dan perilaku dapat
berdampak pada kemajuan dan hasil konsultasi antara pasien dan
anggoa tim. Untuk itu, bahasa tubuh yang ditampilkan selama proses
konsultasi harus ditampilkan secara lengkap dan fokus pada pasien.
6. Bersikap jujur Bersikap jujur merupakan salah satu konsep moral
dalam komunikasi keperawatan. Anggota tim seperti perawat harus
bersikap jujur agar diskusi atau konsultasi yang dilakukan tidak
menimbulkan kecurigaan, keraguan, dan kesalahpahaman. Jika ada
kebutuhan untuk diskusi yang terpisah dengan anggota keluarga
pasien maka harus dilakukan dengan menggunakan teknik
komunikasi terapeutik seperti hati – hati memperhatikan tempat
diskusi, dan waktu yang tepat.
7. Memperhatikan kebutuhan pasien Anggota tim seperti pasien perlu
mengetahui apa yang menjadi kebutuhan komunikasi pasien.
Beberapa orang pasien hanya ingin didengar tanpa banyak
penjelasan dan beberapa pasien lainnya ingin mengetahui penjelasan
yang lengkap tentang penyakit yang diderita. Perawat harus dapat
mendeteksi setiap apa yang diinginkan pasien.
8. Mengembangkan sikap empati Empati merupakan salah satu
karakteristik komunikasi terapeutik. Yang dimaksud dengan empati
adalah perawat dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pasien.
Dalam artian, perawat hendaknya dapat memposisikan dirinya pada
posisi pasien.
2.8. Pemberdayaan Masyarakat
A. Definisi
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses
untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat
dalam mengenali,mengatasi,memelihara, melindungi, dan
meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya fasilitas yang bersifat
non instruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan, dan
melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat dan
fasilitas yang ada, baik dari instansi lintas sektoral maupun LSM dan
tokoh masyarakat.
Bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat adalah suatu
upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan masyarakat dalam memelihara, dan meningkatkan
kesehatan.
B. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
1. Tumbuhnya kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan
kesehatan bagi individu, kelompok, atau masyarakat
2. Timbulnya kemauan dan kehendak ialah sebagai bentuk lanjutan
dari kesadaran dan pemahaman terhadap objek, dalam hal ini
kesehatan
3. Timbulnya kemampuan masyarakat di bidang kesehatan yang berarti
masyarakat, baik secara individu maupun kelompok telah mampu
mewujudkan kemauan atau niat kesehatan mereka dalam bentuk
tindakan atau perilaku sehat
C. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
1. Menumbuh kembangkan potensi masyarakat
2. Mengembangkan gotong royong masyarakat
3. Menggali konstribusi masyarakat
4. Menjalin kemitraan
5. Desentralisasi
D. Peran Petugas atau Sektor Kesehatan Dalam Pemberdayaan
Masyarakat
1. Memfasilitasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan atau program-
program pemberdayaan
2. Memotivasi masyarakat untuk bekerja sama atau bergotong-royong
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan atau program-program
bersama untuk kepentingan bersama dalam masyarakat tersebut
3. Mengalihkan pengetahuan, ketrampilan, dan teknologi kepada
masyarakat
E. Sasaran
1. Individu
2. Keluarga
3. Kelompok masyarakat
4. Organisasi masyarakat
5. Masyarakat umum

BAB III
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Pembahasan : Perencanaan Penanggulangan Bencana


Sub Pokok Pembahasan : Gangguan Mental
Sasaran : Masyarakat
Hari/Tanggal : Rabu, 08 Desember 2021
Jam /Waktu : 09.00-09.40 (30 menit )
Tempat : Wilayah Puskesmas Simpang Empat
Penyuluh : Mahasiswa STIKes Darul Azhar Batulicin

3.1. Analisa Situasi

3.2. Diagnosa Keperawatan

3.3. Tujuan
3.3.1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah diberikannya penyuluhan tentang Aplikasi Pengelolaan
Penanggulangan Bencana diharapkan masyarakat yang mengalami
Gangguan Mental dapat mengerti tentang cara mengelola dan
menanggulangi bencana,
3.3.2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan tentang Aplikasi Pengelolaan
Penanggulangan Bencana, masyarakat yang mengalami Gangguan Mental
diharapkan mampu :
a) Menjelaskan Tentang Bagaimana Aplikasi Pengelolaan
Penanggulangan Bencana
b) Menjelaskan Tentang Pengurangan Resiko, Pencegahan Penyakit dan
Promosi Kesehatan
c) Menjelaskan Cara Komunikasi dan Penyebaran Informasi Mengenai
Bencana
d) Memberikan Perawatan Untuk Populasi pada Korban Bencana yang
Mengalami Gangguan Mental
e) Memberikan Perlindungan dan Perawatan Bagi Petugas dan Caregiver
f) Kerjasama Tim Inter dan Multidisplin dalam Pemberdayaan
Masyarakat

3.4. Isi Materi (Terlampir)

3.5. Metode
Ceramah

3.6. Media
a) Leaflet
b) LCD
c) Stop Kontak

3.7. Kegiatan Pembelajaran


Waktu Kegiatan Penyuluh Sasaran
penyuluh
5 menit Pembukaan: Memberi salam Menjawab salam
 Salam Memperkenalkan Mendengarkan
 Perkenalan diri Memperhatikan
 Tujuan Menjelaskan tujuan
penyuluhan
5 menit Inti : Menjelaskan  Duduk dengan
Menjelaskan penyajian materi susunan yang rapi
kepada mengenai Aplikasi  Setelah penyajian
masyarakat Pengelolaan materi di harapkan
tentang Aplikasi Penanggulangan masyarakat
Pengelolaan Bencana dengan memahami tentang
Penanggulangan metode ceramah bagaimana Aplikasi
Bencana kepada masyarakat Pengelolaan
Penanggulangan
Bencana
10 Evaluasi: Tanya  Memberikan  Memberikan
menit jawab kesempatan pada pertanyaan
masyarakat  Menyampaikan
untuk bertanya kesimpulan hasil
 Memberikan penyuluhan
kesempatan pada
masyarakat
untuk
menjelaskan dan
menyebutkan
kembali
kesimpulan dari
materi yang telah
Disampaikan
5 menit Penutup:  Membacakan  Mendengarkan
Kesimpulan kesimpulan a) Menerima dengan
Terima kasih materi kepada antusia
Saran masyarakat  Mendengarkan
 Pembagian leaflet  Menjawab salam

 Mengucapkan
terimakasih atas
peran serta
masyarakat
 Mengucapkan
salam penutup

3.8. Evaluasi
3.8.1. Evaluasi structural
a) Sasaran hadir ditempat penyuluhan sesuai waktu yang dijadwalkan
b) Penyelanggaraan dilaksanakan Wilayah Puskesmas Simpang Empat
c) Pengorganisasian penyelenggaraan dilaksanakan sebelumnya
3.8.2. Evaluasi Proses
1. Sasaran antusias terhadap materi penyuluhan
a) Mendengarkan
b) Menerima leaflet dengan antusias
c) Menjawab salam
d) Bertanya dan bisa menyimpulkan
1. Tidak ada sasaran yang meninggalkan tempat penyuluhan sampai
acara berakhir
1. Sasaran mengajukan pertanyaan dan dapat menyimpulkan hasil
penyuluhan.

3.8.3. Evaluasi Hasil


No Evaluasi Lisan Respon Nilai
Audiens
1. Menjelaskan Tentang Bagaimana
Aplikasi Pengelolaan
Penanggulangan Bencana.
2. Menjelaskan Tentang
Pengurangan Resiko,
Pencegahan Penyakit dan
Promosi Kesehatan.
3. Menjelaskan Cara Komunikasi
dan Penyebaran Informasi
Mengenai Bencana.
4. Memberikan Perawatan Untuk
Populasi pada Korban Bencana
yang Mengalami Gangguan
Mental.
5. Memberikan Perlindungan dan
Perawatan Bagi Petugas dan
Caregiver.
6. Kerjasama Tim Inter dan
Multidisplin dalam
Pemberdayaan Masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai