Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MANDIRI

MANAJEMEN KEBENCANAAN
MENGENAI PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGANAN
TERJADINYA BENCANA
“Studi Kasus Partisipasi Masyarakat Dalam Manajemen Bencana Di Kota Surakarta”

NAMA : DEBBY NATALIA GIRI


NIM : 2111080004
MATA KULIAH : MANAJEMEN KEBENCANAAN
SEMESTER : II (DUA)
PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG


TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari terjadinya bencana. Berdasarkan Undang-


Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1 tentang Penanggulangan Bencana,
menyebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia,
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Pengesahan UU tersebut telah membawa
dimensi baru dalam pengelolaan bencana di Indonesia. Dimensi baru dalam
pengelolaan bencana tersebut yaitu masyarakat tidak lagi pasrah dan berdiam diri
terhadap bencana, melainkan berperan aktif agar risiko dari terjadinya bencana dapat
diminimalkan.

Letak geografis Indonesia secara geologis berada pada pertemuan tiga lempeng
tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo- Eurasia yang
menyebabkan rawan terhadap terjadinya bencana. Berdasarkan kondisi iklimnya,
Indonesia berada di daerah dengan iklim tropis yang terdiri dari dua musim, yaitu
musim penghujan dan musim kemarau. Curah hujan yang tinggi maupun kemarau
berkepanjangan juga dapat memicu terjadinya bencana.

Data yang diperoleh dari Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah ( BNPB, 2019)
menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2018 sampai 2019 telah terjadi 3.999 bencana.
Bencana yang paling sering terjadi adalah puting beliung sejumlah 1.372 kejadian,
banjir sejumlah 1.064 kejadian dan tanah longsor sejumlah 829 kejadian. BNPB (2019)
menyatakan daerah yang paling rawan terhadap bencana adalah Provinsi Jawa Tengah.
Tercatat selama tahun 2019 ini terjadi 420 bencana alam dan terdapat kemungkinan
bertambah. Provinsi Jawa Tengah menduduki tingkat tertinggi daerah yang aling

2
banyak mengalami bencana alam, dan disusul Provinsi Jawa Barat sejumlah 263
bencana pada tahun 2019.

Kota Surakarta merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah dengan potensi
rawan bencana yang menarik diteliti. Kota ini dilewati aliran Sungai Bengawan Solo
sehingga menyebabkan Kota Surakarta menjadi kota yang rawan dengan potensi
bencana yang banjir disebabkan aliran dari Sungai Bengawan Solo. Data Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) (2019) Kota Surakarta menyebutkan bahwa
25 Kelurahan dari jumlah 51 Kelurahan di Kota Surakarta dipetakan menjadi daerah
rawan banjir. Ini berarti sekitar setengah dari kelurahan yang ada di Kota Surakarta
merupakan daerah rawan banjir. Apalagi, Sungai Bengawan Solo kerap mendapat
kiriman air dari kabupaten di sekitaran kota Surakarta yang dapat meningkatkan potensi
bencana banjir. Sehingga penting adanya manajemen bencana di Kota Surakarta
sebagai bentuk pengurangan resiko bencana yang dapat menyebabkan kerugian baik
bagi pemerintah maupun masyarakat.

Kerugian yang ditimbulkan dari bencana berbentuk materiil maupun non meteriil.
Dampak bencana secara meteriil adalah rusaknya sarana prasarana baik pribadi maupun
sarana umum, dan hilangnya harta benda. Dampak bencana secara nonmateriil adalah
banyaknya korban jiwa baik meninggal, luka-luka atau terdampak secara psikis,
dampak kerusakan lingkungan dan tumbulya berbagai macam penyakit yang menyertai.

Bencana yang terjadi mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat. Bencana tidak dapat
hanya dilihat sebagai tanggung jawab pemerintah semata, tetapi harus mendapatkan
dukungan yang kuat dari masyarakat Penanggulangan bencana merupakan seluruh
upaya menyeluruh dan proaktif dimulai pada sebelum, saat dan sesudah terjadi
bencana.Peran serta masyarakat untuk terlibat dalam penanggulangan bencana sangat
penting.

Perlu manajemen bencana yang memadai dalam upaya penanggulangan bencana.


Dalam UU No 24 Tahun 2007 kita dapat memahami makna manajemen bencana
sebagai proses yang dinamis, berlanjut, dan terpadu, yang dilakukan guna
meningkatkan kualitas langkah sehubungan dengan observasi dan analisis terhadap
bencana serta pencegahan, mitigasi, peringatan dini, penanganan darurat,

3
kesiapsiagaan, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Kegiatan manajemen bencana ini
penting sebagai upaya dalam mengurangi dampak dari bencana.

Masyarakat memahami bahwa semestinya pengurangan risiko bencana bagian dari arus
utama perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Masyarakat menjadi sadar
bahwa pembangunan menjadi tidak berarti jika bencana tidak dapat ditanggulangi.
Ketangguhan dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana perlu dibangun untuk
menghadapi ancaman bencana yang dapat terjadi setiap saat. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menetapkan Peraturan Kepala BNPB Nomor
1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pembentukan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana serta
Peraturan Kepala BNPB Nomor 17 Tahun 2011 tentang Relawan Penanggulangan
Bencana sebagai instrumen regulasi dan kebijakan untuk mengakomodasi PRBBK
(Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas).

II. Tujuan

Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana peran serta masyarakat di
Indonesia dalam menghadapi fenomena – fenomena bencana yang terjadi.

III. Manfaat

Makalah ini berisi pembahasan mengenai peran serta masyarakat dalam menghadapi
bencana di salah satu daerah di Indoensia sehingga dapat berguna bagi para pembaca
baik dari mahasiswa, pengajar maupun masyarakat.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Manajemen Bencana

Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk
meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan
analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini,
penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (UU 24/2007). Manajemen
bencana menurut Nurjanah (2012) sebagai Proses dinamis tentang bekerjanya fungsi-
fungsi manajemen bencana seperti planning, organizing, actuating, dan controling.

Cara kerjanya meliputi pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan tanggap darurat dan
pemulihan. Manajemen bencana adalah proses yang berkesinambungan dan terpadu
dimulai dari perencanaa, pengorganisasian, koordinasi dan langkah- langkah yang perlu
dilakukan antara lain:

1) Pencegahan dari bahaya atau ancaman bencana,

2) Mitigasi atau pengurangan risiko bencana terhadap berbagai bencana, keparaham


dan konsekuensinya,

3) Peningkatan kapasitas,

4) Kesiapsiagaan terhadap berbagai macam bencana,

5) Respon cepat terhadap situasi bencan maupun bencana yang mengancam,

6) Menilai keparahan atau besarnya efek yang ditimbulkan akibat bencana,

7) Evakuasi adalah prose penyelamatan dan pemberian bantuan, dan

8) Rehabilitasi dan rekonstruksi (The DM Act, 2005).

Tujuan manajemen bencana secara umum adalah sebagai berikut :

5
(1) Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan
lingkungan hidup;

(2) Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan


korban;

(3) Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke daerah


asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman;

(4) Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air
minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial
daerah yang terkena bencana;

(5) Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut;

(6) Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi dalam konteks pembangunan.

B. Partisipasi Masyarakat

Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan
seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan
pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau
dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai,
tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung-jawab bersama. Partisipasi
masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses
pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan
pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah,
pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses
mengevaluasi perubahan yang terjadi. Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh
Conyers (1991) pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna
memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat,
yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek- proyek akan gagal;
kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan
jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka

6
akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki
terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila
masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Menurut Juliantara (2002) substansi dari partisipasi adalah bekerjanya suatu sistem
pemerintahan dimana tidak ada kebijakan yang diambil tanpa adanya persetujuan dari
rakyat, sedangkan arah dasar yang akan dikembangkan adalah proses pemberdayaan,
lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan pengembangan partisipasi, pertama bahwa
partisipasi akan memungkinkan rakyat secara mandiri (otonom) mengorganisasi diri,
dan dengan demikian akan memudahkan masyarakat menghadapi situasi yang sulit,
serta mampu menolak berbagai kecenderungan yang merugikan. Kedua, suatu
partisipasi tidak hanya menjadi cermin konkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan
memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi bahwa partisipasi menjadi
semacam garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan masyarakat. Ketiga, bahwa
persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan akan dapat diatasi dengan adanya
partisipasi masyarakat.

Parker dalam Wijayanto (2012) menjelaskan bahwa bencana merupakan kejadian tidak
biasa yang dapat terjadi karena alam atau karena ulah manusia, yang di dalamnya
merupakan imbas kesalahan teknologi yang memicu respon masyarakat, komunitas,
individu atau lingkungan sehingga memberikan antusiasme yang sifatnya luas. Bencana
yang paling sering terjadi adalah puting beliung sejumlah 1.372 kejadian, banjir
sejumlah 1.064 kejadian dan tanah longsor sejumlah 829 kejadian. BNPB (2019)
menyatakan daerah yang paling rawan terhadap bencana adalah Provinsi Jawa Tengah.
Salah satu Kota di Provinsi Jawa Tengah yang juga rawan terhadap bencana adalah
Kota Surakarta. Kota Surakarta rawan dikarenakan adanya aliran Sungai Bengawan
Solo yang melewatinya, sehingga berpotensi terjadi bencana banjir. Kondisi ini menjadi
alasan pentingnya manajemen bencana di Kota Surakarta sebagai bentuk pengurangan
resiko bencana yang dapat menyebabkan kerugian baik bagi pemerintah maupun
masyarakat.

Carter (1991), menjelaskan Disester management, sebagai “an applied science which
seeks, by the systematic observation and analysis of disester, to improve measures
relating to prevention, mitigation, preparedness, emergency response and recovery”.
Pendapat Carter ini dapat diejawantahkan bahwa tahapan manajemen bencana berupa:
7
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat serta pemulihan dengan
pengamatan juga analisa tersistematis terhadap bencana. Kegiatan dalam manajemen
bencana yang dilakukan berupa: perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). The Disaster
Management (DM Act) (2005) dan National Disaster Mitigation and Prevention
(NDMP) (2009) menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek penting dalam
manajemen bencana yaitu pengurangan risiko bencana, managemen isiko bencana,
kesiapsiagaan bencana, respon terhadap bencana, dan recovery setelah bencana.

Kegiatan manajemen bencana di kota Surakarta melipatkan partisipasi aktif dari


masyarakat. Isbandi (2007) menjelaskan bahwa parsipasi masyarakat, sebagai
keterlibatan masyarakat pada proses untuk melakukan identifikasi masalah serta potensi
dalam masyarakat, memilih dan mengambil keputusan terkait berbagai pilihan solusi
yang bisa digunakan dalam menyelesaikan masalah, melaksanakan usaha dalam
mengatasi masalah, dan juga keikutsertaan masyarakat pada proses evaluasi dari
perubahan yang terjadi. Partisipasi masyarakat menjadi hal penting untuk dilakukan
dalam manajemen bencana. Conyers (1991) menjelaskan alasannya, berupa: pertama,
partisipasi masyarakat merupakan alat yang berguna untuk mendapat informasi kondisi,
sikap juga kebutuhan masyarakat setempat, karena jika tidak ada hal ini, berbagai
program pembangunan dan aneka proyek dapat mengalami kegagalan; kedua, bagi
masyarakat kemungkinan akan percaya pelaksanaan program pembangunan atau
proyek ketika meraka merasa terlibat pada proses persiapan dan perencanaan dari
program tersebut, dikarenakan masyarakat dapat lebih mengetahui berbagai hal terkait
proyek tersebut dan dapat menimbulkan adanya rasa bahwa masyarakat ikut
mempunyai proyek tersebut; ketiga, masyarakat memiliki hak demokrasi untuk
dilibatkan dalam kegiatan pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Partisipasi masyarakat manajemen bencana meliputi beberapa tahapan sebelum


bencana, tahap penanganan bencana serta pasca bencana. Tahap sebelum bencana
meliputi perencanaan, pencegahan, dan kesiapsiagaan bencana. Pada tahap
perencanaan. Masyarakat hendaknya berpartisipasi aktif dalam identifikasi masalah.
Identifikasi masalah adalah kegiatan awal masyarakat dalam merencanakan suatu
mitigasi bencana, namun hal ini keterlibatan masyarakat masih belum optimal karena
belum terlihat kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam hal ini BPBD untuk

8
duduk bersama mengidentifikasi permasalahan banjir yang terjadi di Kota Surakarta.
Keterlibatan masyarakat mulai terlihat pada kegiatan pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiaaan bencana.

Masyarakat dalam bentuk Satlinmas dan juga kelompok tanggap bencana berpartisipasi
aktif dalam melakukan pengawasan terhadap kondisi sungai yang melewati wilayah
masing-masing. Penggawasan ini dilakukan pada tingkat RT dan RW. Kegiatan ini
penting dilakukan sebagai langkah awal dalam rangka deteksi dini ketika air sungai
sudah mulai naik. Pengawasan tidak hanya dilakuka terhadap debit air tetapi juga
terhadap perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat yang sering membuang sampah di
sungai menjadi salah satu faktor penyebab banjir yang ada di kota Suarakarta.
Pengawasan terhadap perilaku masyarakat ini menjadi salah satu faktor penting
terjaganya kondisi sungai, sehingga tidak terjadi penumpukan sampah yang
menyebabkan banjir. Pengawasan sebagai bentuk pencegahan ini tentunya tidak mudah
karena, dilapangan menemukan berbagai kendala seperti belum adanya kesadaran
masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, seperti di sungai dan tidak
adanya tindakan tegas atau sanksi terhadap masyarakat yang membuang samppah di
sungai. Sebagai anggota masyarakat, Satlinmas maupun kelompok tangggap bencana
tidak memiliki kekuatan hukum untuk memberikan efek jera, sehingga mereka hanya
bisa memberikan peringatan saja kepada masayarakat yang tidak patuh. Hal ini
berdampak pada kurang efektifnya kegiatan pencegahan bencana banjir di Kota
Suarkarta.

Kesiapsiagaan masyarakat terhadap terjadinya bencana banjir juga belum menunjukkan


hasil yang baik. Masyarakat belum menunjukkan sikap yang sigap ketika bencana
terjadi. Hal ini diakobatkan oleh kurangnya fasilitas tanggap bencana seperti perahu
dan posko untuk bencana. Beberapa wilayah telah mendapatkan perahu karet dari PMI
untuk mengatasi bencana, namun kurang dilakukan perwatan tehadap fasilitas tersebut
karena tidak adanya biaya. Posko-posko bencana juga tidak ditetapkan secara resmi
sehinga masyarakat tidak cepat tanggap ketika terjadi bencana. Walaupun peringatan
dini terhadap terjadinya bencana telah dilakukan dengan pengawasan oleh masyarakat
sekitar, namun masyarakat cenderung acuh dengan peringatan yang sudah diberikan.

Berdasarkan uraian tersebut partisipasi masyarakat dalam kegiatan pra bencana di Kota
Surakarta belum berjalan optimal. Kondisi ini disebabkan belum adanya keterlibatan
9
masyarakat dalam identifikasi masalah, belum adanya kesadaran masyarakat untuk
menjaga lingkungan, tidak adanya sanksi tegas bagi masyarakat yang melanggar aturan
dan kurangnya kesiap-siagaan masyakat. Citizen Corps (2006) mengungkapkan bahwa
faktor yang dapat berpengaruh terhadap kesiapsiagaan terhadap bencana, antara lain
faktor eksternal berupa motivasi yang meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, serta
dana berupa faktor pengetahuan, faktor sikap dan faktor keahlian. Di sisi lain, sudah
terdapat partsisipasi masyarakat pada tingkat RT dan RW dalam melakukan
pengawasan terhadap deteksi dini bencana.

Tahapan selanjutnya dalam manajemen bencana adalah penanganan bencana.


Penanganan bencana berupa penggerakan atau aktivitas yang dilakukan pada saaat
bencana terjadi. Kegiatan yang dilakukan ketika bencana terjadi mencakup kegiatan
tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, dan juga untuk
menanggulangi dampak yang ditimbulkan, seperti kegiatan search and rescue (SAR),
penyelamatan korban serta harta benda, evakuasi, bantuan darurat dan pengungsian.
Partisipasi masyarakat dalam penanganan bencana terlihat jelas dimasyarakat dengan
aktifnya masyarakat membantu satu sama lain. Gotong royong merupakan proses
sukarela untuk berbagi ide, melakukan pengorganisasian masyarakat, koleksi bahan,
kontribusi keuangan, dan juga dalam memobilisasi tenaga pelaksana kegiatan sosial
dan budaya (Bintarto,1983).

Gotong royong dapat terjadi di antara warga yang terdampak bencana dan juga dengan
warga lain di luar wilayah dampak becana. Pemuda, Satlinmas dan kelompok tanggap
bencana juga aktif dalam menyediakan posko dan bantuan terkait dengan kebutuhan
sehari-hari warga terdampak. Partisipasi masyarakat juga terlihat dalam bentuk
peggalangan bantuan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar terdampak bencana.
Tahap penanganan bencana terlihat jelas partisipasi masyarakat dalam penanganan
bencana dengan bersama sama melakukan penyelamatan, evakuasi dan penyediaaan
posko darurat atau pengungsian. Masarakat juga bergotong royong dalam menyediakan
semua kebutuhan warga yang terdampak.

Partisipasi masyarakat dalam manajemen bencana Kota Surakarta masih belum terlihat
dalam hal perumusan identifikasi masalah serta tahap pasca bencana berupa pemulihan
dan evaluasi. Kesiapsiagaan bencana juga belum dijalankan dengan optimal. Hidayati,
dkk.(2006) menyatakan bahwa ada tiga stakeholder utama yang mengambil peran
10
dalam kesiapsiagaan, yakni: (a) rumah tangga stakeholder dan juga individu, individu
serta rumah tangga merupakan ujung tombak, subjek dan objek kesiapsiagaan sehingga
secara langsung mempengaruhi risiko terhadap terjadinya bencana; (b) Pemerintah,
dengan peran yang dimilikinya terutama dalam kondisi sosial ekonomi masyarakat,
pendidikan masyarakat terkait bencana, penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana
publik yang digunakan untuk keadaan darurat; (c) Komunitas sekolah, yang bila
merujuk pada literatur klasik, menunjukan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dalam program
pembangunan, tetapi dengan makna substantif yang terkandung di dalam sekuen-
sekuen partisipasi berupa voice, akses dan kontrol (Juliantara, 2002).

Partisipasi masyarakat yang kurang optimal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran
dan kurangnya fasilitas atau wadah dari pemerintah. Masyarakat di Indonesia
menganggap bahwa bencana adalah suatu takdir atau kutukan dosa serta kesalahan yang
diperbuat manusia, sehingga masyarakat menerima kejadian tersebut dan tidak perlu
dilakukan pencegahan atau penanggulangannya (Triutomo, Widjaja, & Amri, 2007).
Minimnya partisipasi dalam masyarakat berpotensi menjadi penghambat bagi proses
penangulangan dan mitigasi bencana yang dilangsungkan di daerah tersebut.
Penangulangan bencana banjir bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak pemerintah
atau lembaga terkait saja, melainkan juga membutuhkan bantuan atau partisipasi
masyarakat dalam rangka mewujudkan program-program pemerintah. Inilah sebabnya,
manajemen bencana perlu untuk dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat,
yang terutama masyarakat setempat.

Permasalahan masyarakat dalam mitigasi bencana ini menjadi hal yang kompleks untuk
ditelaah. Adapun penelaahan dalam partisipasi masyarakat ini dapat berkaitan dengan
keterlibatan mental dan emosional, inisiatif dan juga tentang tanggung jawab
masyarakat di dalam perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan-pamantauan di dalam
mitigasi bencana. Dibutuhkan pengkajian terkait persepsi masyarakat dalam partisipasi
terbatas pada pengertian, interpretasi dan juga tanggapan masyarakat terhadap mitigasi
bencana banjir. Sikap masyarakat yang dikaji secara lebih mendalam juga yang terkait
dengan partisipasi terbatas dari sikap masyarakat yang diproyeksikan terhadap program
kesadaran lingkungan.

11
Adapun hak dan kewajiban masyarakat, sebagaimana UU No 24 Th 2007 tentang
Penanggulangan Bencana yakni masyarakat (setiap orang) berhak untuk (1)
Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya kelompok masyarakat
rentan bencana, (2) Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan, (3)
Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan, tentang kebijakan PB, (4)
Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program
penyediaan bantuan, (5) Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan khususnya yang
berkaitan dengan diri dan komunitasnya, (6) Melakukan pengawasan, (7) Mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (khusus kepada yang terkena bencana), dan (8)
Memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan
konstruksi.

Sementara itu kewajiban masyarakat adalah (1) Menjaga kehidupan sosial masyarakat
yang harmonis, (2) Memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup, (3) Melakukan kegiatan penanggulangan bencana, dan (4)
Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penaggulangan bencana.

Peran masyarakat itu terlibat pada pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Pada
saat pra bencana peran masyarakat antara lain (1) Berpartisipasi pembuatan analisis
risiko bencana, (2) Melakukan penelitian terkait kebencanaan, (3) Melakukan upaya
pencegahan bencana, (4) Bekerjasama dengan pemerintah dalam upaya mitigasi, (5)
Mengikuti pendidikan, pelatihan dan sosialisasi penanggulangan bencana (6)
Bekerjasama mewujudkan Kampung Siaga Bencana (KSB)

Adapun peran masyarakat pada saat bencana antara lain (1) Memberikan informasi
kejadian bencana ke BPBD atau Instansi terkait, (2) Melakukan evakuasi mandiri, (3)
Melakukan kaji cepat dampak bencana, dan (4) Berpartisipasi dalam respon tanggap
darurat sesuai bidang keahliannya.
Sementara itu peran masyarakat pada saat pascabencana adalah (1) Berpartisipasi
dalam pembuatan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi, dan (2) Berpartisipasi
dalam upaya pemulihan dan pembangunan sarana dan prasarana umum.

12
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari hasil studi kasus diatas, dapat dilihat bahwa Partisipasi masyarakat Kota Surakarta
dalam manajemen bencana belum dilaksanakan dengan optimal. Partisipasi masyarakat
dalam kegiatan pra bencana di Kota Surakarta belum berjalan optimal. Belum
optimalnya partisipasi ini dikarenakan ketiadaan keterlibatan masyarakat dalam
identifikasi masalah, belum adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan,
tidak adanya sanksi tegas bagi masyarakat yang melanggar aturan dan kurangnya
kesiapsiagaan masyakat. Disisi lain sudah terdapat partsisipasi masyarakat pada tingkat
RT dan RW dalam melakukan pengawasan terhadap deteksi dini bencana.

Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pasca bencana sangat kurang hal ini dikarenakan
kurangya dukungan dari pemeritah untuk menyediakan wadah dalam melakukan
evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Partisipasi masyarakat dalam manajemen
bencana terlihat jelas pada tahap penanganan bencana. Masyarakat bersama- sama
melakukan penyelamatan, evakuasi dan penyediaaan posko darurat atau pengungsian.
Masarakat juga bergotong royong dalam menyediakan semua kebutuhan warga yang
terdampak.

Dapat disimpulkan bahwa masyarakat memegang peranan penting dalam upaya


mitigasi bencana. Masyarakat perlu mengetahui tentang kebencanaan dan potensi
ancaman bencana yang ada diwilayahnya. Selain itu, dalam kegiatan mitigasi dan
penanggulangan bencana, masyarakat bertanggung jawab memelihara keseimbangan,
keserasian, keselarasan dan kelestarian lingkungan. Contohnya adalah dengan tidak
membuang sampah ke sungai untuk mencegah bencana banjir, tidak membakar hutan,
dan lain-lain.

13
2. Saran

Perlu adanya sosialisasi dan edukasi dari pemerintah mengenai tahapan


penanggulangan bencana, khusus nya pada tahap mitigasi bencana kepada masyarakat
yang tinggal di daerah rawan bencana. Dan juga Pemeritah perlu menyediakan wadah
dalam melakukan evaluasi terhadap kegiatan manajemen bencana yang dilakukan.

14
Daftar Pustaka

Claudio T F Lengkey. Partisipasi Masyarakat Pada Penanggulangan Bencana Banjir Di


Kelurahan Paal Dua Kecamatan Paal Dua Kota Manado.

Imanuel,Karselius. Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana.2014. Studi


Kasus : Kelompok Masyarakat Peduli Bencana Desa Tanjung Mulia Kecamatan Sitelu Tali
Urang Jehe Kabupaten Pakpak Bharat. Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.

Pramono,Joko.2021.Partisipasi Masyarakat Dalam Manajemen Bencana Di Kota Surakarta.


Publisia: Jurnal Ilmu Administrasi Publik p. 80 – 89 http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jkpp.
Volume: 6 (1) 2021: Surakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai