Anda di halaman 1dari 146

EPIDEMIOLOGI KEJADIAN KASUS TUBERKULOSIS ANAK

USIA 0-14 TAHUN DI WILAYAH PUSKESMAS OEBEBO

PROPOSAL TESIS

Oleh :
DEBBI NATALIA GIRI

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NUSA
CENDANA 2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman TB ditularkan melalui udara, yakni

melalui percikan dahak penderita TB misalnya batuk, bersin, berbicara atau

meludah (Hartono, 2010). World Health Organization (WHO) tahun 2017, TB

merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di dunia dan

merupakan penyebab kematian pertama di negara-negara berkembang. Jumlah

kasus TB baru terbesar terjadi di Asia dengan 45% kasus dan diikuti Afrika

dengan 25% kasus baru. Indonesia menempati urutan kedua dari 30 negara kasus

TB terbesar setelah India dan diikuti China dengan prevalensi berturut-turut 23%,

10% dan 10%. Pada tahun 2016, terdapat 10,4 juta orang jatuh sakit dengan TB

dan 1,7 juta orang meninggal akibat TB termasuk 0,4 juta didalamnya terkena

HIV (Kemenkes RI, 2017).

WHO telah merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment

Shortcourse (DOTS) salah satu strategi dalam penanggulangan TB. Strategi

DOTS diperkenalkan pada tahun 1990-an dan kemudian menjadi landasan bagi

the stop TB strategy yang diluncurkan bersamaan dengan The Global Plan to Stop

TB 2006- 2015 pada tahun 2006. The Global Plan merancang bagaimana dan

sejauh mana the Stop TB Strategy harus diimplementasikan antara tahun 2006-

2015 untuk mencapai penghentian dan pembalikan insiden TB sehubungan

dengan Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2016. The Stop TB

Partnership menargetkan untuk mengurangi prevalensi dan angka kematian

2
karena TB menjadi

3
50% pada tahun 2015 dan mengeliminasi TB sebagai suatu kepedulian kesehatan

masyarakat pada tahun 2050 (WHO, 2013).

Sustainable Development Goals (SDGs) adalah kelanjutan dari Melenium

Devolopment Goals (MDGs) yang berakhir tahun 2015. Menurut Kemenkes RI

dalam program SDGs bahwa target system kesehatan nasional yaitu pada goals ke

3 salah satu dari tujuan SDGs yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan

mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Pada 2030 SDGs

mengupayakan menurunnya angka HIV dan AIDS, angka kesakitan TB dan

mengurangi penyakit malaria serta meningkatkan akses kesehatan reproduksi dan

yang lainnya (Permenkes RI, 2015).

Tuberkulosis anak sudah masuk dalam salah satu tantangan global yang

harus diteliti. TB anak merupakan faktor penting di negara berkembang karena

jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh

populasi. Sekurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahunnya dan 20 anak

meninggal setiap hari karena TB (Purmamaningsih, 2018). Diperkirakan banyak

anak menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar

sesuai program DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) sehingga

morbiditas dan mortalitas pada anak semakin meningkat. Disamping itu beban

kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnosis yang

“child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB

anak. TB pada anak mencerminkan transmisi TB yang terus berlangsung di

populasi. Masalah inimasih memerlukan perhatian yang lebih baik dalam program

pengendalian TB (Kemenkes, 2016).

4
Laporan WHO 2017 terdapat 1.020.000 kasus TB anak di Indonesia,

namun baru terlaporkan ke Kementerian Kesehatan sebanyak 420.000 kasus. TB

anak adalah penyakit menular yang menyerang anak di bawah usia 14 tahun (TB

pediatrik) yang merupakan masalah kesehatan masyarakat. TB pada anak akan

menyebabkan terjadinya gangguan tumbuh kembang, bahkan sampai pada

kematian. Bila TB pada anak tidak cepat ditangani akan cepat menyebar menjadi

parenkimatos type atau tuberculosis pneumonia, TB miliar, TB tulang

(skrofuloderma) dan TB sendi, TB abdomen bahkan meningitis (Febrian, 2015).

Hal ini juga sejalan dengan penlitian sebelumnya pada balita yang stunting, balita

yang tidak diimunisai BCG dan balita yang kontak serumah dengan penderita TB

memiliki resiko lebih besar terkena TB. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa

kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko

dibandingkan dengan kontak biasa (tidak serumah) (Jahiro, 2014)

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB. Faktor-

faktor yang berperan dalam kejadian TB diantaranya faktor anak(status gizi,

kontak dengan penderita TB dan imunisasi BCG), faktor orang tua (pengetahuan

orang tua, sosial ekonomi dan perilaku orang tua) dan faktor lingkungan (Fletcher

1992, dalam Febrian 2015).

Lingkungan yang tidak sehat merupakan tempat yang baik dalam

menularkan penyakit. Lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB

yaitu tingginya kelembapan yang dipengaruhi oleh kurangnya ventilasi,

keberadaan jendela yang tidak berfungsi, kurangnya pencahayaan dan suhu yang

rendah (Indriyani, 2016). Kuman TB dapat bertahan dalam waktu yang lama di

lingkungan yang lembab. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan

5
kuman ke

6
udara dalam bentuk percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan

dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat

mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh

kuman. Percikan dapat bertahan dalam beberapa jam dalam keadaan yang gelap

dan lembab. Anak memiliki daya tahan tubuh yang rendah sehingga apabila

terpajan atau kontak langsung dengan penderita TB dewasa maka penularan dapat

terjadi dengan cepat.

Lingkungan yang memiliki kelembapan yang tinggi dapat dijumpai di

lahan basah maupun lahan kering. Lahan basah dapat dicontohkan sepertisawah,

danau, pesisir, rawa dan hutan mangrove atau daerah yang terletak di dataran yang

rendah. Lahan kering banyak terdapat di dataran tinggi atau pegunungan

(Hardjasoemantri, 1991 dalam Harianto, 2017). Lahan kering adalah lahan

tadah hujan yang biasa digunakan secara sawah, secara tegal atau secara ladang.

Yang membedakan lahan kering dan lahan basah adalah sumber air. Pada lahan

kering sumber airnya yaitu air hujan sedangkan pada lahan basah sumber airnya

yaitu air hujan atau air irigasi (Notohadiprawiro, 1989 dalam Harianto, 2017).

Dengan kelembapan yang tinggi pada suatu wilayah yang terdapat kasus TB

maka penularan dapat terjadi dengan cepat terutama pada anak-anak yang masih

memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi

NTT (2016), Kabupaten Kupang memiliki presentase penduduk terbesar ketiga

di 23 kabupaten. Dengan tingkat

7
Salah satu indikator untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan.

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi pengobatan TB yaitu melalui angka

keberhasilan pengobatan. Data Dinkes Provinsi NTT (2016), ada 7 provinsi yang

sudah mencapai angka keberhasilan pengobatan kasus TB dengan target >90%

yaitu Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara

Barat, Nusa Tenggara Timur dan Banten.

Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah mencapai angka keberhasilan

pengobatan, tetapi berdasarkan Data Dinkes Provinsi NTT (2016) dalam 3 tahun

terakhir yaitu tahun 2014, 2015 dan 2016 kasus TB di NTT semakin meningkat.,

terutama pada anak di bawah usia 15 tahun dengan jumlah presentasi beturut-turut

7,10%, 8,59% dan 9,14%. Dan juga data yang diperoleh dari Dinkes Provinsi

NTT jumlah penderita TB baik semua kasus TB maupun kasus baru paling sedikit

terdapat pada anak dengan usia 0-14 tahun.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian “Epidemiologi Kejadian Kasus Tuberkulosis Anak Usia 0-

14 Di Wilayah Puskesmas Oebobo”.

1.2 Identifikasi Masalah

1.2.1 Tingginya kasus TB anak

1.2.2 Anak usia 0-14 tahun memiliki resiko yang tinggi terhadap penularan TB

1.2.3 Banyak kasus TB anak usia 0-14 tahun yang berasal dari satu keluarga

(bisa lebih dari 2 orang)

1.2.4 Rendahnya pengetahuan tentang penularan TB

1.2.5 Faktor pemicu lain yang ditemukan pada penelitian terdahulu adalah

faktor pendapatan, umur, jenis kelamin, status gizi, pengetahuan, efek


8
samping obat, pengawas minum obat dan kepatuhan menelan obat.

1.3 Rumusan Masalah

1.3.1 Apa ada hubungan antara karakteristik responden (jenis kelamin dan

pekerjaan) dengan kejadian kasus TB anak usia 0-14 tahun di wilayah

kerja puskemas oebobo?

1.3.2 Apa ada hubungan antara karakteristik responden (tingkat Pendidikan

orang tua) dengan kejadian kasus TB anak usia 0-14 tahun di wilayah

kerja puskemas oebobo?

1.3.3 Apa Ada hubungan antara riwayat merokok dalam keluarga dengan

kejadian TB pada anak usia 0-14 tahun yang pernah berobat di puskesmas

oebobo?

1.3.4 Apa Ada hubungan antara pengetahuan orang tua, pendidikan orang tua,

pendapatan orang tua, status gizi anak, imunisasi BCG, karakteristik

hunian, bahan bakar memasak riwayat merokok dalam keluarga dan

kontak dengan penderita TB dewasa secara simultan dengan kejadian TB

pada anak usia 0- 14 tahun yang tinggal di wilayah kerja puskesmas

oebobo?

Manfaat penelitian : Mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya

kejadian TB anak 0 – 14 yang berobat di Puskesmas Oebobo.

1.3.5 Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi karakteristik responden (jenis kelamin dan pekerjaan)

dengan kejadian TB pada anak usia 0-14 tahun yang berobat di

Puskesmas Oebobo
9
2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya penularan TBC yang

terjadi di wilayah kerja Puskesmas oebobo

10
1.3.6 Manfaat Praktisi

1. Sebagai bahan masukan terhadap petugas kesehatan terutamanya

tenaga kesehatan program TB untuk mengoptimalkan program

pengobatan pasien TB dan mengendalikan munculnya kasus TB

sehingga tidak menjadi TB MDR

2. Memberikan masukan kepada pemegang kebijakan untuk hasil

evaluasi program sehingga dapat meningkatkan pencatatan yang lebih

lengkap pada program TB

3. Memberikan masukan untuk memperpendek durasi minum obat TB

untuk mengurangi resiko kejadian ketidakteraturan minum obat.

4. Memberikan masukan untuk memeriksakan orang-orang yang kontak

erat dengan penderita TB paru, sehingga perlu ditemukan penderita TB

sedini mungkin untuk diberi pengobatan sampai sembuh sehingga

tidak lagi membahayakan lingkungannya

5. Bagi peneliti lain diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan

evidance based untuk penelitian selanjutnya.

2.1 Rumusan Hipotesis

1. Ada hubungan antara pengetahuan orang tua dengan kejadian TB pada

anak usia 0-14 tahun yang pernah berobat di puskesmas oebobo?

2. Ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kejadian TB pada anak

usia 0-14tahun yang pernah berobat di puskesmas oebobo

3. Ada hubungan antara riwayat merokok dalam keluarga dengan kejadian

TB pada anak usia 0-14 tahun yang pernah berobat di puskesmas oebobo
11
4. Ada hubungan antara pengetahuan orang tua, pendidikan orang tua,

pendapatan orang tua, status gizi anak, imunisasi BCG, karakteristik

hunian, bahan bakar memasak riwayat merokok dalam keluarga dan

kontak dengan penderita TB dewasa secara simultan dengan kejadian TB

pada anak usia 0- 14 tahunyang tinggal di wilayah kerja puskesmas

oebobo.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik dengan

desain penelitian kasus kontrol (case control) yaitu suatu penelitian yang
mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit dengan

cara membandingkan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol

berdasarkan status paparannya.

3.2 Populasi Dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi yaitu keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2006).

Populasi dalam penelitian ini terdiri dari dua populasi, yaitu:

a. Populasi Kasus

Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB

paru BTA positif anak usia 0-14 tahun yang pernah mendapat

pengobatan di wilayah puskesmas oebobo .

b. Populasi Kontrol
12
Populasi kontrol dalam penelitian ini yaitu seluruh anak usia 0-14

tahun yang bukan penderita TB yang tinggal di wilayah Puskesmas

yang menjadi wilayah penelitian.

3.2.2 Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan yaitu setengah dari populasi, populasi

penderita. Sampel adalah sebagian populasi yang diambil sebagai

sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi yang akan diteliti.

Sampel dalam penelitian ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu

kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan perbandingan 1:2.

Sampel untuk kelompok kasus adalah seluruh penderita TB anak

usia 0-14 tahun berobat di wilayah puskesmas oebobo.

Dari sampel yang ditentukan, yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi adalah sebagai berikut :

Kriteria subjek sampel :

1) Kriteria inklusi : kriteria sampel yang diinginkan berdasarkan

tujuan penelitian.

a) Penderita TB paru yang mendapat pengobatan di wilayah puskesmas oebobo


pada tahun 2021

b) Tidak ada penyakit penyerta (HIV/AIDS, diabetes, gagal

ginjal dan kelainan imunitas)

c) Yang masih menjalani pengobatan baik fase intensif maupun

fase lanjutan

d) Berdomisili di wilayah kerja puskesmas oebobo dan pernah mendapat


pengobatan

e) Bersedia menjadi responden


13
2) Kriteria ekslusi : kriteria khusus yang menyebabkan calon

responden yang memenuhi kriteria inklusi harus dikeluarkan dari

kelompok penelitian.

a) Penderita yang baru dikatakan suspek TB

b) Penderita meninggal dunia

b. Teknik pengambilan sampel

Margono (2004), menyatakan teknik pengambilan sampel

adalah cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan

ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya dengan

memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh

sampel yang representatif.

3.3 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di masyarakat dengan sampel seluruh

penderita TB paru anak usia 0-14 tahun pada pasien anak yang berobat di

wilayah puskesmas oebobo pada tahun 2021

3.3.1 Variabel

Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kejadian kasus TB

anak usia 0-14 tahun. Sedangkan, variabel independen yaitu status gizi

anak, imunisasi BCG, karakteristik orang tua (pendidikan orang tua,

pengetahuan orang tua, pendapatan orang tua), karakteristik hunian

(kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis lantai, kelembapan udara, suhu

ruangan, pencahayaan, jenis dinding), cara memasak dalam rumah,

perilaku merokok dan perilaku kontak dengan penderita TB dewasa.

14
1.5.1 Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan

kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang

diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2013). Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dari peneliti mengambil

data TB anak usia 0-14 tahun di Puskesmas Oebobo yang pernah

mendapat pengobatan.

a. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan cara tanya-jawab dengan responden

dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan.

b. Observasi

15
Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang keadaan

lingkungan rumah responden.

c. Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan mengukur tingkat kelembaban dengan

alat ukur hygrometer dan rollmeter untuk mengukur tingkat kepadatan

penghuni (luas lantai dalam rumah), luas ventilasi (luas jendela, luas

lubang angin) pada tempat tinggal responden.

d. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan cara mengambil data tentang identitas,

riwayat kesehatan responden yang berasal dari catatan medis di

wilayah puskesmas oebobo.

Saat melakukan penelitian, untuk memperoleh data dari

responden, peneliti harus menyerahkan surat izin penelitian yang

diberikan kepada Puskesmas-puskesmas. Jika sudah mendapat izin dari

Institusi tempat meneliti, penelitian akan dilakukan sesuai jadwal

penelitian yang telah ditentukan. Sebelum melakukan penelitian, peneliti

akan memberikan informed concent kepada responden sebagai tanda

persetujuan bahwa responden bersedia dijadikan subjek penelitian.

1.5.2 Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisioner

dan alat-alat pengukur.

a. Kuesioner

Kuesioner yang digunakan berisi pertanyaan yang berhubungan

dengan variabel penelitian yang setiap pertanyaan mempunyai makna

16
untuk menguji hipotesis penelitian (Sugiyono, 2010).

Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang digunakan untuk

mendapatkan informasi tentang umur, pengetahuan orang tua tentang

TB, tingkat pendidikan orang tua, tingkat pendapatan orang tua,

kebiasaan merokok dalam keluarga,lingkungan di sekitar rumah yang

terdiri dari karakteristik hunian dalam rumah (kepadatan hunian kamar,

luas ventilasi (penghawaan), jenis lantai, tingkat kelembaban udara,

suhu ruangan, tingkat pencahayaan dan jenis dinding), cara memasak

dalam rumah dan kontak dengan penderita TB dewasa.

b. Rollmeter

Untuk mengukur luas lantai dalam rumah, luas ventilasi (luas

jendela, luas lubang angin).

c. Hygrometer

Untuk mengukur kelembaban udara dalam ruangan dan suhu

dalam ruangan.

3.6 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data

3.6.1 Teknik Pengolahan Data

a. Editing

Editing yaitu pemeriksaan daftar pertanyaan yang telah diisi oleh

peneliti sendiri melalui proses wawancara kepada responden

penelitian (Setiadi, 2010).

b. Coding

Coding yaitu pemberian kode untuk mempermudah pengolahan,

terutama pada variabel data klasifikasi. Pengklasifikasian dilakukan

17
dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk angka pada masing-

masing jawaban (Setiadi, 2010).

c. Tabulasi

Tabulasi data bertujuan untuk mempermudah dalam menganalisa

data yang sudah sesuai dengan tujuan penelitian karena kegiatan

tabulasi akan memberikan gambaran hasil berupa tabel-tabel yang

sangat berperan dalam menganlisa (Sugiyono, 2010).

d. Cleaning

Cleaning merupakan pengecekan kembali data yang suda

dimasukan dalam perangkat komputer sebelum dilakukan analisis

untuk mengetahui apakah ada kesalahan ketika memasukan data.

3.6.2 Teknik Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil

penelitian, menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel

(Notoatmojo, 2005). Variabel-variabel tersebut adalah pengetahuan

orang tua tentang TB, pendidikan orang tua, pendapatan orang tua,

status gizi anak, status imunisasi BCG, lingkungan yang terdiri dari

karakteristik hunian rumah (kepadatan hunian kamar, luas ventilasi,

jenis lantai, tingkat kelembaban udara, suhu ruangan, tingkat

pencahayaan, dan jenis dinding), status merokok dalam keluarga, cara

memasak dalam rumah dan kontak dengan penderita TB dewasa.

1) Analisis Chi Square

Analisis dalam penelitian ini menggunakan chi square yang

18
digunakan pada data berskala nominal dan ordinal untuk

mengetahui ada tidaknya hubungan antara 2 variabel bebas dan

variabel terikat. Penghitungan Confidence Interval (CI)

digunakan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05). Hubungan

dikatakan bermakna apabila p-value <0,05 dan melihat OR untuk

memperkirakan rasiko masing-masing variabel yang diteliti.

(Sugiyono, 2007).

a) p value ≤ 0,05 berarti H0 di terima (p value ≤ α). Uji statistik

menunjukan ada hubungan yang singifikan

b) p value > 0,05 berarti H0 di tolak (p value > α). Uji statistik

menunjukan tidak ada hubungan yang singifikan.

Jika dalam analisis data menggunakan chi square tidak

memenuhi syarat maka dilanjutkan dengan uji Fiser.

2) Perhitungan Odd Ratio (OR)

OR > 1 : merupakan faktor resiko

OR = : tidak merupakan faktor

resiko

OR < 1 : merupakan faktor resiko protektif.

b. Analisis Multivariat

Analisisi multivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis Regresi Logistik Berganda yang dimana digunakan untuk

menghitung korelasi yang paling kuat (OR) dari nilai standardized

betayang dihasilkan. Metode regresi binomial untuk variabel

19
dependen dua kategori (kontrol dan kasus) dilakukan dengan metode

Enter dengan menggunakan satu per satu variabel pengganggu dari

nilai p yang terkecil.

Model persamaan regresi logistik yang biasa digunakan adalah:

1
𝑅=
1 + 𝑒−(α+β1x1)+(α+β2x2)+⋯(α+βnxn)
Analisis multivariat dilakukan dengan beberapa langkah

pembuatan model sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):

1) Setelah dilakukan analisis bivariat, kemudian dilihat nilai p<0,05

dan nilai CI 95%, maka variabel tersebut dapat diikutsertakan ke

dalam model multivariat.

2) Dalam menentukan determinan variabel dependen maka semua

variabel independen yang memiliki nilai p<0,05 dan CI 95%,

dimasukan bersama-sama. Model terbaik akan

mempertimbangkan nilai Significansi p Wald (p<0,05). Bila

ternyata nilai p-Wald tidak signifikan maka variabel tersebut

dikeluarkan dari model secara berurutan dimulai dengan nilai p-

Wald yang paling besar.

3) Model terakhir terjadi bila semua variabel independen sudah

tidak mempunyai p Wald (p<0,05).

20
21
40
41
42
43
44
45
.

46
47
48
atau batuk. Penderita menyebar kuman ke udara dalam bentuk droplet

atau percikan dahak. Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan

oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Anak-anak

menderita TB kebanyakan karena penularan dari penderira dewasa

(Depkes RI, 2002).

49
Beberapa kepustakaan yang menyebutkan bahwa semakin erat kontak

seorang anak dengan sumber penularan, semakin tinggi peluang anak

tersebut mengalami infeksi TB. Kontak erat dengan pasien TB dewasa

dapat dilihat dari 2 aspek yaitu aspek jarak seperti menggunakan kriteria

“satu tempat tidur” dan aspek waktu “intensitas waktu < / > 8 jam/hari

(Darmawan dan Nurhanzah, 2010).

c. Imunisasi BCG

Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan perlindungan

(kekebalan) di dalam tubuh bayi dan anak. Imunisasi adalah suatu cara

untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu

antigen sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak

terjadi penyakit (Maryunani, 2010).

Upaya pencegahan suatu penyakit, termasuk penyakit TB paru ialah

dengan imunisasi. Pemberian imunisasi dimaksudkan untuk menurunkan

morbiditas, cacat serta bila mungkin didapatkan eradikasi di suatu daerah

atau negeri. Pemberian imunisasi BCG merupakan bagian dari faktor

imunisasi yang dianalisa untuk memprediksi kejadian TB paru pada anak.

Pembeiran imunisasi BCG dpaat melindungi dari meningitis TB dan TB

milier dengan derajat proteksi sekitar 86% (Wahab, 2002).

Imunisasi BCG merupakan sebuah vaksin hidup yang dilemahkan

berasal dari M. Bovis. Program pengembangan imunisasi WHO

merekomendasikan vaksinasi BCG sesegera mungkin setelah kelahiran

pada negara dengan tingkat prevalensi TB tinggi (WHO, 2006).

2. Faktor Orang Tua

50
a) Pengetahuan orang tua

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Terbentuknya perilaku baru,

terutama pda orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti

subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau

objek di luarnya (Notoatmodjo, 2012).

b) Sosial ekonomi

Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam

masyarakat. Status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan

seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomu.

Gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pedapatan dan sebagainya.

Karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer

maupun sekunder (Soetjiningsing, 2010).

c) Perilaku orang tua

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang

terhadap stimulus atau objek yang berhubungan dengan sakit dan penyakit,

sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan

(Notoatmodjo, 2012).

3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian TB yaitu

karakteristik hunian. Hunian merupakan faktor penentu penting dari kesehatan

51
dan perumahan di bawah standar merupakan masalah kesehatan masayarakat

yang utama. Setiap tahun di Amerika 13,5 juta cedera non fatal terjadi di

dalam dan sekitar rumah (Warner, 2000). Faktor resiko definitf terjadinya

penularan TB paru anak adalah akibat kontak dari orang dewasa yang

terdiagnosis TB paru secara klinis (Soborg, 2011). Di antara beberapa faktor

resiko dalam penularan TB paru dewasa, sama halnya di anak, kondisi hunia

menjadi faktor yang ikut berpengaruh dalam penularan penyakit ini di

populasi. Kondisi hunian yang buruk berhubungan dengan berbagai kondisi

kesehatan, termasuk ISPA, asma, keracunan timbal, cedera dan kesehatan

mental. Praktisi kesehatan menjadikan isu hunian sebagai determinan sosial

dalam kesehatan. Kesehatan masyarakat telah lama terlibat dalam

permasalahan hunian (Krieger and Higgins, 2002).

Studi kohor longitudinal pada anak menunjukan pengaruh kondisi hunian

terhadap perkembangan penyakit kronik selanjutnya. Sebuah studi di Inggris

menunjukan asosiasi yang jelas anatar ventilasi yang tidak memadai dengan

kematian anak dan jenis sarana air yang digunakan dengan mortalitas penyakit

jantung koroner dimana pengaruh faktor lain telah dipisahkan (Dedman,

2001). Kondisi hunian yang sesak dan sempit memudahkan penularan

penyakit TB paru dan penyakit lain seperti influenza, meningitis, ISPA, diare

dan campak. Anak-anak yang tinggal di rumah penuh sesak sangat lebih

rentan terhadap ISPA. Kepadatan hunian juga dapat menyebabkan tekanan

psikologis anak- anak. Hal ini mempengaruhi agresivitas pada anak yang

mengakibatkan

kekerasan fisik terhadap anak yang lebih lemah (Muruka, 2007).

52
Hunian yang lembab merupakan sarang dari berbagai agen virus dan

bakteri, serta tungu debu rumah, yang dapat menyebabkan masalah

pernapasan terutama mengi.Kondisi lembab juga mendorong perumbuhan

jamur yang telah dikenal lama sebagai sumber alergen pernapasan. Perumahan

lembab juga diduga menjadi faktor penyumbang untuk rematik dan arthritis

(Muruka, 2007). Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 menguraikan

3 lingkup parameter rumah yang dinilai dengan masing-masing bobot tentang

prsyaratan

kesehatan perumahan. Hal ini meliputi :

a. Komponen rumah (bobot skor penilaian 31%) yakni terdiri atas plafon,

dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela kamar keluarga, ruang tamu,

ventilasi, saran pembuangan asap dapur dan pencahayaan.

b. Sarana sanitasi (bobot skor penilaian 25%) yaitu sarana air bersih, sarana

pembungana kotoran, sarana pembuangan air limbah dan sarana

pembuangan sampah

c. Perilaku (bobot skor penilaian 44%) yaitu perilaku membuka jendela

kamar tidur, membuka jendela ruang keluarga dan tamu, membersihkan

halaman rumah, membuang tinja ke kakus dan membuang sampah pada

tempatnya. Formulir penilaian rumah sehat terdiri atas komponen yang

dinilai, kriteria penilaian, nilai dan bobot serta hasil penilaian secara terinci.

Dirjen P2L Depkes RI, 2007 menyusun pedoman teknis penilaian rumah sehat

yang disusun berdasarkan Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

persyaratan

kesehatan rumah tinggal sebagai berikut (Keman, 2005):

53
1) Bahan bangunan

54
a) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat

membahayakan kesehatan, antara lain : debu total < 150 µg/m2,

asbestos

< 0,5 serat/m3 3 per 24 jam. Pb < 300 mg/kg bahan

b) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan

berkembangnnya mikroorganisme patogen

2) Komponen dan penataan ruangan

Luas lantai banguan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya. Artinya, luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan

jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah

penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal demikian

tidak sehat sebab disamping kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah

satu anggota keluarga terkena penyakit menular, seperti TB paru akan

mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang

optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m3 untuk tiap anggota

keluarga (Ginanjar, 2008).

a) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan

b) Dinding rumah memiliki ventilasi di kamar mandi kedap air dan

mudah dibersihkan

c) Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan

d) Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir

e) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya

f) Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.

3) Pencahayaan

55
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan

tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam runagan

rumah, terutaam cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga

merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dna berkembangnya

bibit-bibit penyakit seperti Mycobacterium tuberculosis (MTB).

Pencahayaan alami atau buatan menerangi seluruh ruangan dengan

intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

4) Kualitas udara

Kelembapan rumah minimal 40% - 70% dan suhu ruangan yang ideal

18-30 o C.

5) Ventilasi

Menurut indikator pengawasan, luas ventilasi dikategorikan ke dalam

ventilasi memenuhi syarat kesehatan dan tidak memenuhi syarat, yaitu :

a) Memenuhi syarat kesehatan bila perbandingan luas ventilasi dengan

luas lantai rumah ≥ 10 %

b) Tidak memenuhi syarat kesehatan bila perbandingan luas lantai rumah

dengan luas ventilasi ≤ 10 %.

6) Kepadatan hunian

Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah penghuni dibandingkan

dengan standar KepMenKes RI No 829/Menkes/SK VII tahun 1999.

Dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu :

1) Luas ruang tidur minimal 8 m2 dan digunakan tidak lebih dari 2

orang kecuali anak < 5 tahun

2) Luas ruang tidur 2 orang < 8 m2.

56
2.1.1 Lahan

Lahan atau sumberdaya lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari

iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada

pengaruhnya terhadap penggunaan tanah (Sitorus, 1995). Lahan juga merupakan

suatu wilayah atau regional, yaitu suatu satuan ruangan berupa suatu lingkungan

hunian masyarakat manusia dan masyarakat hayati yang lain (Harianto, 2017).

Lahan merupakan tanah atau sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai

kedalaman, lebar yang ciri-cirinya mungkin secara tidak langsung berkaitan

dengan vegetasi dan pertanian sekarang, ditambah ciri-ciri fisik lainnya :

penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 2004).

FAO (1995) menyatakan bahwa lahan merupakan bagian dari bentang

alam (landscape) yang mecakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim,

topografi, hidrologi dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang

semuanya secara potensial berpengaruh pada penggunaan lahan.

Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan memiliki ciri-ciri yang unik

dibandingkan dengan sumberdaya lainnya, yakni lahan merupakan sumberdaya

yang tidak akan habis, namun jumlahnya tetap dan dengn lokasi yang tidak dapat

dipindahkan.

Lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat yang sangat

bervariasi dalam berbagai faktor seperti keadaan topografi, sifat atmosfer, tanah,

geologi, geomorfologi, hidrologi, vegetasi dan penutup / penggunaan lahan. Lahan

dapat diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

flora, fauna dan bentukan hasil budidaya manusia. Lahan merupakan satu

kesatuan

57
dari berbagai sumber daya alam yang dapat mengalami kerusakan dan penurunan

produktivitas sumber daya yang ada di dalamnya (Purwadhi, 1998).

2.1.1.1 Lahan Basah

Lahan basah dapat diartikan sebagai suatu wilayah genangan atau wilayah

penyimpanan air, memiliki karakteristik terresterial dan aquatic. Lahan basah

dicontohkan seperti daerah rawa-rawa, mangrove, payau, daerah genangan banjir,

hutan genangan serta wilayah sejenis lainnya (Harianto, 2017). Menurut

Hardjasoemantri (1991) dalam Parmudianto (2011), lahan basah yang banyak

diketauhi oleh masyarakat adalah lahan basah seperti rawa-rawa, air payau, tanah

gambut.

Lahan basah dibedakan dari perairan dan juga dari tataguna lahan lainnya

berdasarkan tingginya muka air dan juga tipe vegetasi yang tumbuh diatasnya.

Lahan basah dicirikan oleh muka air tanah yang relatif dangkal, dekat dengan

permukaan tanah, pada waktu yang cukup lama sepanjang tahun untuk

menumbuhkan hidrofita, yakni tetumbuhan yang khas tumbuh di wilayah basah

(Antonio, 2012).

Lahan basah daratan meliputi daerah yang jenuh atau tergenang oleh air

yang pada umumnya bersifat tawar (dapat pula asin tergantung pada faktor-faktor

edafik dan sejarah geomorfologinya) baik secara permanen maupun musiman

yang terketak di darat atau dikelilingi oleh dataran dan tidak terkena pengaruh air

laut. Tipe lahan basah yang termasuk kelompok ini antara lain : danau, telaga,

sungai, air terjun, rawa air tawar, danau-danau musiman, kolam dan rawa yang

asin di dataran (Nirarita, Wibowo dan Padmawinata, 1996 dalam Harianto, 2017).

58
Umumnya lahan basah yang ditemukan di Indonesia yaitu seperti endapan

tanah rendah sesudah air pasang surut, genangan air, mangrove. Menurut

Pramudanto (2011), ada 7 tipe lahan basah utama yang dimiliki Indonesia yaitu:

Mangrove Forest, Peat Swamp, Freshwater Swamp, Beach Vegetatio, Freshwater

Lakes, Seasonal Freshwater Swamp dan Seasonal Peat Swamp.

Lahan basah berdasarkan pembentukannya terbagi menjadi dua yaitu

dalam bentuk alami dan bentuk buatan seperti persawahan, tambak, kolam

industri. Baik lahan basah alami maupun buatan ternyata keberadaannya sangat

penting bagi ekosistem dunia (Harianto, 2017).

2.1.1.2 Lahan Kering

Kategori lahan kering adalah ketersediaan air makin menurun,

produktivitasnya lahan rendah, tingginya variabelitas kesuburan tanah dan

macam- macam spesies tanaman yang ditanam sedikit. Secara umum lahan kering

merupakan lahan tadah hujan yang peka terhadap erosi terutama jika keadaan

tanah miring dan tak tertutup vegetasi (Novrian, 2017).

Rukmana (2002) menyatakan bahwa lahan kering adalah sebidang tanah

yang digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan atau memanfaatkan

air secara terbatas dan biasanya tergantung dari air hujan. Secara alamiah lahan

kering memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Peka terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak tertutup

tumbuh-tumbuhan (vegetasi)

b. Tingkat kesuburannya rendah, baik kandungan unsur hara dan bahan organik

maupun reaksi tanah (pH) serta kapasitas tukar kationnya

59
c. Sifat fisik tanahnya kurang baik, seperti struktur padat, lapisan tanah dan

lapisan bawah memiliki kelembapan yang rendah dan kemampuan

menyimpan air relatif rendah.

Lahan kering banyak terdapat di datarn tinggi (daerah pegunungan) yang

ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerag

penerima dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan ke dataran rendah, baik

melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui air tanah.

2.2 Penelitian Yang Relevan

Tabel 2.5 Kajian Penelitian Yang Relevan

60
Nama Peneliti Dan Judul Penelitian Desain Dan Hasil
Tahun
Jain, K. Sanjay, dkk Pediatric Tuberculosis In Analsisi regresi logistik
2013 Young Children In India : A Hasil penelitian :
Prospectove Study Ada pengaruh yang signifikan
antara infeksi HIV, TST positif
dan riwayat merorok dalam
keluarga
terhadap anak dengan TB (P ≤0,04)
Apriliasari, R dkk Faktor Yang Berhubungan Desain case control
2018 Dengan Kejadian TB Paru Hasil penelitian :
Pada Anak (Studi Di Seluruh Adanya hubungan yang signifikan
Puskesmas Di Kabupaten antara riwayat kontak dengan
Magelang) penderita TB (P: 0,018), jenis
lantai P: 0,031), luas ventilasi P:
0,004), tingkat pencahayaan P:
0,024), kelembapan hunian P:
0,009), tingkat pendapatan orang
tua P: 0,009) dan tingkat
pengetahuan
orang tua P: 0,002).
Lohala, Maria Faktor-Faktor Yang Desain cross sectional
2016 Berhubungan Dengan TBC Hasil penelitian :
Paru Pada Pasien Rawat Jalan Ada hubungan yang signifikan
Di Poli RSUD Schoolo Keyen antara umur P: 0,004, pekerjaan
Kabupaten Sorong Selatan P:0,004 dan pengetahuan P: 0,000
Tahun 2015
Purnamaningsih, Indah Hubungan Status Riwayat Desain case control
dkk Kontak BTA Positif Terhadap Hasil penelitian :
2018 Kejadian TB Anak (Sudi Di Ada hubungan antara riwayat
Balai Kesehatan Masyarakat kontak BTA positif dewasa dengan
Wilayah Semarang) kejadian TB anak (P: <0,001, OR:
15,043)
Febrian, Mira. Ayu Faktor-Faktor Yang Desain penelitian deskriptif
2015 Berhubungan Dengan Hasil penelitian :
Kejadian TB Paru Anak Di Gizi baik 40,9%, gizi buruk 36,4%,
Wilayah Puskesmas Garuda riwayat kontak positif 72,7%,
Kota Bandung imunisasi BCG yang positif 86,4%.
Kiay, Mardjo. Tarmica Hubungan Antara Tingkat Desain case control
M, dkk Pendidikan, Pendapatan Dan Hasil penelitian :
2018 Riwayat Kontak Serumah Adanya hubungan yang signifikan
Dengan Kejadian TB Di antara pendapatan dengan kejadian
Wilayah Kerja Puskesmas TB P: 0,004, OR: 4,812
Paniki Bawah Kota Manado
Susanti Milda Hubungan Status Gizi Dan Desain case control
2017 Riwayat Vaksinasi BCG Hasil penelitian :
Dengan Kejadian TB Paru Ada hubungan yang signifikan
Pada Anak RSUD Ulin antara status gizi dan vaksinasi
Banjarmasin BCG terhadap kejadian TB pada
anak dengan P value : 0,000
Riani, R. E. S Kasus Kontrol Hubungan Desain case control
2016 Imunisasi BCG Dengan Hasil penelitan :
Kejadian TB Paru Pada Anak Analisis multivariat menunjukan
61
bahwa risiko anak yang tidak

62
diimunisasi BCG dan KN sebanyak
3 kali adalah 1,13 kali lebih besar
untuk terkena TB paru
Jahiro dan Prihartono Hubungan Stunting Dengan Desain case control
2014 Kejadian TB Pada Balita Hasil penelitian :
Balita pendek dan sangat pendek
(OR = 3.54; P = 0,004 dan OR =
9.06; P = 0.001) respectively.
Imunisasi BCG, balita yang tidak
diimunisasi dibandingkan yang
diimunisasi BCG mempunyai
risiko 4 kali
sakit TB. Pada kontak serumah
dengan pasien TB, balita yang
mempunyai kontak dibandingkan
tidak
mempunyai kontak serumah
dengan pasien TB berisikohampir
12 kali sakit TB (OR = 11.96; P =
0.000).
Sedangkan jika ditinjau dari usia
balita, balita usia < 24 bulan
dibandingkan balita usia > 24
bulan mempunyai
risiko 2,8 kali sakit TB OR = 2.84;
P = 0.011). Balita stunting, yang
tidak diimunisasi, dan yang
mempunyai
kontak TB serumah TB mempunyai
risiko lebih besar sakit TB

2.3 Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

2.3.1 Kerangka Teori

Teori Segitiga Epidemiologi


63
Agent (penyebab penyakit ) :
Mycobacterium tuberculosis

Environment (lingkungan) :
Karakteristik hunian rumah :
Kepadatan hunian
Host (pejamu) :
Kejadian kasus TB anak 0-14 Luas ventilasi
Status gizi
tahun Jenis lantai
Perilaku kontak serumah
Kelembapan ruangan
Perilaku merokok
Suhu ruangan
Imunisasi BCG
Pencahayaan
Usia
Jenis dinding
Ras
Status sosial ekonomi orang tua :
Jenis kemalin
Pendidikan
Pengetahuan
Pendapatan
Cara memasak dalam rumah

Gambar 2.3. Kerangka Teori Segitiga Epidemiologi

2.3.2 Kerangka Konseptual

Berdasarkan teori segitiga Epidemiologi di atas diagambarkan bahwa

penyakit TB paru memiliki banyak faktor resiko yang mempengaruhi. Status

64
kesehatan tercapai secara optimal bilamana semua faktor tersebut secara bersama-

sama dalam kondisi yang optimal pula. Bila salah satu faktor saja terganggu maka

akan berpengaruh terhadap kejadian TB paru itu sendiri.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini dimana tidak semua faktor resiko akan

diteliti, maka kerangka konsep penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen


Host:
1. Status gizi anak
2. Imunisasi BCG
3. Perilaku kontak dengan TB 39
dewasa
4. Perilaku merokok
5. Ras.
6. Usia
7. Jenis kelamin

Lingkungan / environment :
1. Karakteristik hunian rumah :
a. Kepadatan hunian
b. Luas ventilasi
c. Jenis lantai
d. Kelembapan ruangan
e. Suhu ruangan
f. Pencahayaan
g. Jenis dinding
2. Cara memasak dalam rumah
3. Karakteristik orang tua :
a. Pendidikan orang tua
b. Pengetahuan orang tua Kejadian kasus TB
c. Pendapatan orang tua

Agent: :
Mycobacterium tuberkulosis

Keterangan :

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

66
67
mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit dengan

cara membandingkan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol

berdasarkan status paparannya.

3.4 Populasi Dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi yaitu keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2006).

Populasi dalam penelitian ini terdiri dari dua populasi, yaitu:

a. Populasi Kasus

Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB

paru BTA positif anak usia 0-14 tahun yang tinggal di lahan basah dan

lahan kering di wilayah Kabupaten Kupang. Populasi yang tinggal di

lahan basah terdapat di wilayah Puskesmas Camplong, Puskesmas

Tarus dan Puskesmas Naibonat sebanyak 18 orang dan lahan kering

terdapat di wilayah Puskesmas Fatukanutu, Puskesmas Oenuntono,

Puskesmas Oekabiti, Puskesmas Oesao, Puskesmas Takari, Puskesmas

Oemasi, Puskesmas Oelbiteno, Puskesmas Baun, Puskesmas

Pakubaun, Puskesmas Sonraen dan Puskesmas Sulamu sebanyak 29

orang.

b. Populasi Kontrol

Populasi kontrol dalam penelitian ini yaitu seluruh anak usia 0-14

tahun yang bukan penderita TB yang tinggal di 14 wilayah Puskesmas

yang menjadi wilayah penelitian.

68
3.4.2 Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

69
a. Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang diambil sebagai sumber

data dan dapat mewakili seluruh populasi yang akan diteliti. Sampel

dalam penelitian ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok kasus

dan kelompok kontrol dengan perbandingan 1:2.

Sampel untuk kelompok kasus adalah seluruh penderita TB anak

usia 0-14 tahun yang tinggal di lahan basah dan lahan kering yang

terdapat di 14 wilayah puskesmas di Kabupaten Kupang sebanyak 47

orang. Sedangkan, sampel untuk kelompok kontrol yaitu anak usia 0-

14 tahun yang bukan penderita TB yang tinggal di sekitar rumah yang

menjadi sampel kasus sebanyak 94 orang.

Dari sampel yang ditentukan, yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi adalah sebagai berikut :

Kriteria subjek sampel :

1) Kriteria inklusi : kriteria sampel yang diinginkan berdasarkan

tujuan penelitian.

a) Penderita TB paru

b) Tidak ada penyakit penyerta (HIV/AIDS, diabetes, gagal

ginjal dan kelainan imunitas)

c) Yang masih menjalani pengobatan baik fase intensif maupun

fase lanjutan

d) Berdomisili di wilayah Kabupaten Kupang

e) Bersedia menjadi responden

70
2) Kriteria ekslusi : kriteria khusus yang menyebabkan calon

responden yang memenuhi kriteria inklusi harus dikeluarkan dari

kelompok penelitian.

a) Penderita yang baru dikatakan suspek TB

b) Penderita meninggal dunia

b. Teknik pengambilan sampel

Margono (2004), menyatakan teknik pengambilan sampel

adalah cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan

ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya dengan

memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh

sampel yang representatif.

Sampel pada kelompok kasus dalam penelitian ini bersifat jenuh

artinya teknik penentuan sampel yang menjadikan seluruh anggota

populasi sebagai sampel sehingga teknik samplingnya yaitu teknik

sampel jenuh yang berjumlah 47 orang yang terdiri dari 18 orang

yang tinggal di lahan basah dan 29 orang yang tinggal di lahan

kering. Sedangkan, teknik sampling pada kelompok kontrol yaitu

secara purposive sampling dengan perbandingan 1:2 (kelompok

kontrol 2 kali lipat) dari kelompok kasus menjadi 94 orang yang

terdiri dari 36 orang yang tinggal di lahan basah dan 58 orang yang

tinggal di lahan kering.

3.5 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di masyarakat dengan sampel seluruh

penderita TB paru anak usia 0-14 tahun pada lahan basah yang mencakup

71
wilayah Puskesmas Camplong, Puskesmas Tarus dan Puskesmas Naibonat dan

72
lahan kering terdapat di wilayah Puskesmas Fatukanutu, Puskesmas

Oenuntono, Puskesmas Oekabiti, Puskesmas Oesao, Puskesmas Takari,

Puskesmas Oemasi, Puskesmas Oelbiteno, Puskesmas Baun, Puskesmas

Pakubaun, Puskesmas Sonraen dan Puskesmas Sulamu yang terletak di

Kabupaten Kupang. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli –

Desember 2018.

3.6 Variabel Dan Defenisi Operasional

3.6.1 Variabel

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau

ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu

konsep pengertian tertentu (Notoadmodjo, 2013). Variabel yang akan

diteliti dan dianalisi pada penelitian ini terdiri dari dua jenis variabel

penelitian, yaitu variabel dependen (variabel terikat) dan variabel

independen (variabel bebas).

Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kejadian kasus TB

anak usia 0-14 tahun. Sedangkan, variabel independen yaitu status gizi

anak, imunisasi BCG, karakteristik orang tua (pendidikan orang tua,

pengetahuan orang tua, pendapatan orang tua), karakteristik hunian

(kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis lantai, kelembapan udara, suhu

ruangan, pencahayaan, jenis dinding), cara memasak dalam rumah,

perilaku merokok dan perilaku kontak dengan penderita TB dewasa.

3.6.2 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah mendefenisikan variabel secara

operasioanal dan berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga

73
memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2010).

a. Lahan basah : wilayah genangan atau wilayah penyimpanan air baik

secara alami dan buatan (persawahan, tambak, kolam)

b. Lahan kering : wilayah dengan ketersediaan air menurun,

produktivitasnya rendah, biasa menggunakan air secara terbatas dan

tergantung air hujan

c. Kejadian kasus TB anak usia 0-14 tahun : Status anak yang didiagnosis

positif TB dengan melihat hasil pemeriksaan dahak dan foto throrax.

Cara ukur dan alat ukur : data sekunder dan wawancara dengan

kuesioner.

Kategori : 1. Ya, jika positif TB, 2. Tidak, jika negatif

TB Skala : nominal

d. Pengetahuan orang tua tentang TB paru : Sesuatu yang diketahui oleh

orang tua penderita mengenai TB paru (pengertian, penyebab, cara

penularan, gejala, pengobatan dan pencegahan).

Cara ukur dan alat ukur : wawancara dengan kuesioner.

Kategori : 1. Baik, <56%, 2. Cukup, 56-75%, 3. Kurang, >75%

Skala : ordinal

e. Pendidikan orang tua: Pendidikan formal terakhir orang tua, dalam hal

ini ibu yang sangat berperan terhadap anak.

Cara ukur dan alat ukur : wawancara dengan kuesioner.

Kategori : 1. Tingkat pendidikan tinggi > SMA, 2. Tingkat pendidikan

rendah <SMA

74
Skala : ordinal

f. Pendapatanorang tua: Pendapatan orang tua dalam sebulan dinyatakan

dalam rupiah.

Cara ukur dan alat ukur : wawancara dengan kuesioner.

Kategori : 1. >UMR 2. <UMR (ditulis nilai pendapatan per bulan)

Skala : nominal

g. Imunisasi BCG : Status pemberian vaksin BCG oleh petugas kesehatan

yang diperoleh dari kelengkapan yang tertera di KMS untuk balita dan

adanya bekas / tanda scar di lengan kanan pada anak.

Cara ukur dan alat ukur : observasi dan data sekunder.

Kategori : 1. Ya, 2. Tidak (didukung dengan KMS)

Skala : nominal

h. Status gizi anak : Status gizi anak dengan pengukuran langsung dari

BB/TB dan bandingkan dengan buku rekam medis yang ada.

Cara ukur dan alat ukur : pengukuran dan data sekunder.

Kategori : 1. Kurus, IMT<18,4, 2. Normal, IMT 18,5-25, 3. Gemuk,

IMT >25

Skala : ordinal

i. Status gizi anak : Status gizi anak dengan pengukuran langsung dari

BB/TB dan bandingkan dengan buku rekam medis yang ada.

Cara ukur dan alat ukur : pengukuran dan data sekunder.

Kategori : 1. Kurus, IMT<18,4, 2. Normal, IMT 18,5-25, 3. Gemuk,

IMT >25

Skala : ordinal

75
j. Cara memasak dalam rumah : Kondisi memasak dalam rumah

menggunakan kayu dan non kayu.

Cara ukur dan alat ukur : wawancara dan kuesioner

Kategori : 1. Ya, menggunakan kayu 2. Tidak, menggunakan

kayu Skala : nominal

k. Karakteristik hunian : Kondisi di sekitar dalam rumah yang terdiri dari

kepadatan hunian kamar tidur, ventilasi, jenis lantai, kelembapan

udara, suhu ruangan, pencahayaan, dan jenis dinding.

 Tingkat kepadatan hunian :Jumlah anggota keluarga yang tinggal

dalam satu rumah dengan membandingkan antara luas lantai dengan

jumlah penghuni.

Cara ukur dan alat ukur : pengukuran dengan roll meter

Kategori : 1. Memenuhi syarat, jika luas ruangan > 8m2 per orang,

2. Tidak memenuhi persyaratan, jika luas ruangan <8m2 per orang

Skala : nominal

 Luas ventilasi : Luas lubang udara yang digunakan sebagai

sirkulasi udara

Cara ukur dan alat ukur : pengukuran dengan roll meter

Kategori : 1. Memenuhi syarat, jika perbandingan luas ventilasi

dengan luas lantai rumah >10%, 2. Tidak memenuhi persyaratan,

jika perbandingan luas ventilasi dengan luas rumah <10%

Skala : nominal

 Jenis lantai : jenis lantai yang ada di dalam ruangan (ruang tamu,

ruang keluarga dan kamar tidur)

76
Cara ukur dan alat ukur : observasi

Kategori : 1. Memenuhi syarat, jika setiap lantai ruangan terbuat

dari lantai permanen dan kedap air, 2. Tidak memenuhi

persyaratan, jika setiap lantai ruangan tidak permanen dan tidak

kedap air

Skala : nominal

 Kelembapan ruangan : angka yang menunjukan tingginya kadar air

di udara dalam ruangan

Cara ukur dan alat ukur : pengukuran dengan hygrometer

Kategori : 1. Memenuhi syarat, jika kelembapan setiap ruangan 40-

70%, 2. Tidak memenuhi persyaratan, jika kelembapan setiap

ruangan <40% dan >70%

Skala : nominal

 Suhu ruangan : keadaan suhu dalam ruangan yang ditunjukan

dengan angka pengukuran suhu

Cara ukur dan alat ukur : pengukuran dengan hydrometer

Kategori : 1. Memenuhi syarat, jika suhu ruhu ruangan 18-300C, 2.

Tidak memenuhi persyaratan, jika suhu ruangan <180C dan >300C

Skala : nominal

 Tingkat pencahayaan alami : kondisi dimana sinar matahari atau

cahaya alami yang masuk ke dalam ruangan rumah

Cara ukur dan alat ukur : observasi

Kategori : 1. Memenuhi syarat, jika cahaya matahari yang masuk

cukup untuk membaca tanpa cahaya bantuan, 2. Tidak memenuhi

77
persyaratan, jika cahaya matahari yang masuk tidak cukup atau

tidak bias untuk membaca

Skala : nominal

 Jenis dinding : jenis dinding yang ada dalam ruangan (ruang tamu,

ruang keluarga dan ruang tidur)

Cara ukur dan alat ukur : observasi

Kategori : 1. Memenuhi syarat, jika setiap ruangan dindingnya

permanen dan kedap air, 2. Tidak memenuhi persyaratan, jika

setiap ruangan dindingnya tidak permanen dan tidak kedap air

Skala : nominal

l. Status merokok dalam keluarga : status merokok aktif dalam rumah.

Cara ukur dan alat ukur : wawancara dengan kuesioner

Kategori : 1. Berisiko, jika saat penelitian masih merokok2. Tidak

berisiko, jika saat penelitian tidak merokok

Skala : nominal

m. Kontak dengan penderita TB dewasa : Kondisi dimana anak usia 0-14

tahun kontak dengan penderita TB dewasa yang terdiri dari lama

tinggal bersama, intensitas paparan dan status tidur (status tempat tidur

dan status ruangan tidur)

Cara ukur dan alat ukur : wawancara dengan kuesioner

Kategori : 1. Ya, kontak dengan penderita, 2. Tidak, kontak dengan

penderita

Skala : nominal.

1.6 Teknik dan Cara Pengumpulan Data

78
1.6.1 Teknik Data

a. DataPrimer

Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari responden selama

penelitian. Data tersebut meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat

pendapatan, karakteristik hunian (kepadatan hunian kamar, luas ventilasi

(penghawaan), jenis lantai, tingkat kelembaban udara, tingkat

pencahayaan, dan jenis dinding), cara memasak dalam rumah, kebiasaan

merokok dalam keluarga, kontak dengan penderita lain.

b. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan dari 14 Puskesmas

yang menjadi wilayah penelitian mengenai jumlah anak usia 0-14 tahun

yang menderita TB paru beserta nama, alamat, status gizi, status

imunisasi BCG, riwayat penyakit penyerta (diabetes mellitus, jantung,

kelainan imunitas dll) yang berobat di 13 Puskesmas diwilayah

Kabupaten Kupang.

1.6.2 Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan

kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang

diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2013). Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dari peneliti mengambil

data TB anak usia 0-14 tahun di Puskesmas-puskesmas yang menjadi

wilayah penelitian.

a. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan cara tanya-jawab dengan responden

79
dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan.

b. Observasi

80
Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang keadaan

lingkungan rumah responden.

c. Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan mengukur tingkat kelembaban dengan

alat ukur hygrometer dan rollmeter untuk mengukur tingkat kepadatan

penghuni (luas lantai dalam rumah), luas ventilasi (luas jendela, luas

lubang angin) pada tempat tinggal responden.

d. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan cara mengambil data tentang identitas,

riwayat kesehatan responden yang berasal dari catatan medic di

puskesmas-puskesmas di Kabupaten Kupang.

Saat melakukan penelitian, untuk memperoleh data dari

responden, peneliti harus menyerahkan surat izin penelitian yang

diberikan kepada Puskesmas-puskesmas. Jika sudah mendapat izin dari

Institusi tempat meneliti, penelitian akan dilakukan sesuai jadwal

penelitian yang telah ditentukan. Sebelum melakukan penelitian, peneliti

akan memberikan informed concent kepada responden sebagai tanda

persetujuan bahwa responden bersedia dijadikan subjek penelitian.

1.6.3 Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisioner

dan alat-alat pengukur.

a. Kuesioner

Kuesioner yang digunakan berisi pertanyaan yang berhubungan

dengan variabel penelitian yang setiap pertanyaan mempunyai makna

81
untuk menguji hipotesis penelitian (Sugiyono, 2010).

Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang digunakan untuk

mendapatkan informasi tentang umur, pengetahuan orang tua tentang

TB, tingkat pendidikan orang tua, tingkat pendapatan orang tua,

kebiasaan merokok dalam keluarga,lingkungan di sekitar rumah yang

terdiri dari karakteristik hunian dalam rumah (kepadatan hunian kamar,

luas ventilasi (penghawaan), jenis lantai, tingkat kelembaban udara,

suhu ruangan, tingkat pencahayaan dan jenis dinding), cara memasak

dalam rumah dan kontak dengan penderita TB dewasa.

b. Rollmeter

Untuk mengukur luas lantai dalam rumah, luas ventilasi (luas

jendela, luas lubang angin).

c. Hygrometer

Untuk mengukur kelembaban udara dalam ruangan dan suhu

dalam ruangan.

3.7 Teknik Pengolahan Dan Analisis Data

3.7.1 Teknik Pengolahan Data

a. Editing

Editing yaitu pemeriksaan daftar pertanyaan yang telah diisi oleh

peneliti sendiri melalui proses wawancara kepada responden

penelitian (Setiadi, 2010).

b. Coding

Coding yaitu pemberian kode untuk mempermudah pengolahan,

terutama pada variabel data klasifikasi. Pengklasifikasian dilakukan

82
dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk angka pada masing-

masing jawaban (Setiadi, 2010).

c. Tabulasi

Tabulasi data bertujuan untuk mempermudah dalam menganalisa

data yang sudah sesuai dengan tujuan penelitian karena kegiatan

tabulasi akan memberikan gambaran hasil berupa tabel-tabel yang

sangat berperan dalam menganlisa (Sugiyono, 2010).

d. Cleaning

Cleaning merupakan pengecekan kembali data yang suda

dimasukan dalam perangkat komputer sebelum dilakukan analisis

untuk mengetahui apakah ada kesalahan ketika memasukan data.

3.7.2 Teknik Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil

penelitian, menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel

(Notoatmojo, 2005). Variabel-variabel tersebut adalah pengetahuan

orang tua tentang TB, pendidikan orang tua, pendapatan orang tua,

status gizi anak, status imunisasi BCG, lingkungan yang terdiri dari

karakteristik hunian rumah (kepadatan hunian kamar, luas ventilasi,

jenis lantai, tingkat kelembaban udara, suhu ruangan, tingkat

pencahayaan, dan jenis dinding), status merokok dalam keluarga, cara

memasak dalam rumah dan kontak dengan penderita TB dewasa.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

83
berhubungan atau berkorelasi (Notoatmojo, 2005).

1) Analisis Chi Square

Analisis dalam penelitian ini menggunakan chi square yang

digunakan pada data berskala nominal dan ordinal untuk

mengetahui ada tidaknya hubungan antara 2 variabel bebas dan

variabel terikat. Penghitungan Confidence Interval (CI)

digunakan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05). Hubungan

dikatakan bermakna apabila p-value <0,05 dan melihat OR untuk

memperkirakan rasiko masing-masing variabel yang diteliti.

(Sugiyono, 2007).

a) p value ≤ 0,05 berarti H0 di terima (p value ≤ α). Uji statistik

menunjukan ada hubungan yang singifikan

b) p value > 0,05 berarti H0 di tolak (p value > α). Uji statistik

menunjukan tidak ada hubungan yang singifikan.

Jika dalam analisis data menggunakan chi square tidak

memenuhi syarat maka dilanjutkan dengan uji Fiser.

2) Perhitungan Odd Ratio (OR)

OR > 1 : merupakan faktor resiko

OR = : tidak merupakan faktor

resiko

OR < 1 : merupakan faktor resiko protektif.

c. Analisis Multivariat

Analisisi multivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis Regresi Logistik Berganda yang dimana digunakan untuk

84
menghitung korelasi yang paling kuat (OR) dari nilai standardized

betayang dihasilkan. Metode regresi binomial untuk variabel

85
dependen dua kategori (kontrol dan kasus) dilakukan dengan metode

Enter dengan menggunakan satu per satu variabel pengganggu dari

nilai p yang terkecil.

Model persamaan regresi logistik yang biasa digunakan adalah:

1
𝑅=
1 + 𝑒−(α+β1x1)+(α+β2x2)+⋯(α+βnxn)
Analisis multivariat dilakukan dengan beberapa langkah

pembuatan model sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):

1) Setelah dilakukan analisis bivariat, kemudian dilihat nilai p<0,05

dan nilai CI 95%, maka variabel tersebut dapat diikutsertakan ke

dalam model multivariat.

2) Dalam menentukan determinan variabel dependen maka semua

variabel independen yang memiliki nilai p<0,05 dan CI 95%,

dimasukan bersama-sama. Model terbaik akan

mempertimbangkan nilai Significansi p Wald (p<0,05). Bila

ternyata nilai p-Wald tidak signifikan maka variabel tersebut

dikeluarkan dari model secara berurutan dimulai dengan nilai p-

Wald yang paling besar.

3) Model terakhir terjadi bila semua variabel independen sudah

tidak mempunyai p Wald (p<0,05).

3.8 Etika Penelitian

Etika penelitian sangat penting diperlukan dalam melakukan penelitian

(Hidayat, 2010). Penelitian sudah dilakukan berdasarkan hasil Kaji Etik dengan

nomor 20180025-KEPK.
86
Etika penelitian yang diperlukan adalah sebagai berikut :

3.8.1 Lembar Persetujuan (Informed Concent)

Informed Concent merupakan persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan

Informed Concent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan

penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia maka mereka

harus menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak

bersedia maka peneliti harus menghormati hak responden.

3.8.2 Tanpa Nama (Anomity)

Anomity digunakan untuk memberikan jaminan pada subjek

penelitian dengan cara tidak memberikan nama responden pada lembar

alat ukur hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.

3.8.3 Kerahasiaan (Confidentiality)

Confidentiality digunakan dengan menjamin kerahasiaan dari hasil

penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua

informasi yang telah dikumpulkan, dijamin kerahasiaannya oleh peneliti,

hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan hasil tes.

87
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Kupang adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara

Timur dengan ibukota kabupaten berada di Oelamasi. Kabupaten Kupang terdiri

dari 24 Kecamatan, 17 Kelurahan, 160 desa dan 667 dusun. Kecamatan tersebut

adalah Amabi Oefeto, Amabi Oefeto Timur, Amarasi, Amarasi Barat, Amarasi

Timur, Amarasi Selatan, Amfoang Selatan, Amfoang Tengah, Amfoang Barat

Daya, Amfoang Barat Laut, Amfoang Utara, Amfoang Timur, Fatuleu, Fatuleu

Tengah, Fatuleu Barat, Kupang Barat, Kupang Tengah, Kupang Timur,

88
Nekamese,

89
Sulamu, Semau, Semau Selatan, Taebenu Dan Takari dengan luas wilayah darat

5.437,44 km2 dan laut 4.063 km2. Letak geografis antara 9o19-10o57 LS dan

121o30-124o BT.

Batas-batas wilayah di Kabupaten Kupang adalah

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sawu, Selat Ombai

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu

Raijua Dan Laut Sawu.

Kabupaten Kupang sebagai kabupaten kepulauan memiliki 23 buah pulau.

Dari 23 pulau tersebut, 9 buah pulau belum memiliki nama dan 14 buah pulau

telah memiliki nama. 3 buah pulau telah berpenghuni yaitu pulau timor 4.937,62

km2, pulau semau 246,66 km2 dan pulau kera 1,50 km2, serta pulau yang tidak

berpenghuni sebanyak 20 buah pulau (Bappeda kab kupang, 2013).

4.1.1. Lokasi Penelitian di Lahan basah

Lokasi yang termasuk dalam wilayah lahan basah di kabupaten Kupang

mencakup 3 Puskesmas, yaitu Puskesmas Tarus, Puskesmas Naibonat dan

Puskesmas Camplong.

Intensitas curah hujan terbesar hampir terjadi di seluruh wilayah

Kecamatan Amarasi, sebagain Kecamatan Kupang Timur serta bagian barat

Kecamatan Sulamu dan Kecamatan Takari, di bagian tengah Kecamatan Fatuleu

serta bagian bagian timur Kecamatan Amfoang Selatan

90
Puskesmas Tarus terletak di desa mata air Kecamatan Kupang Tengah.

Kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja puskesmas Tarus adalah Noelbaki,

Oebelo, Oelnasi, Oelpuah, Oeltuah Dan Tarus.

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kupang Timur

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan KecamatanTaebenu

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kupang Timur

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Kupang dan Teluk Kupang

Wilayah kerja puskesmas Tarus berbatasan dengan wilayah puskesmas

Oesao di wilayah sebelah timur dan puskesmas Oesapa di wilayah sebelah barat.

Jumlah penduduk sebanyak 47.348 jiwa dengan jumlah lak-laki sebanyak 24.465

jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 22.883 jiwa.

Puskesmas Naibonat berada di wilayah Kecamatan Kupang Timur,

Kabupaten Kupang. Luas wilayah Kecamatan Kupang Timur secara keseluruhan

adalah 338,60 km2 dan terdiri dari 13 desa/KeluraHan yaitu 8 desa dan 5

Kelurahan. Jumlah penduduk Kecamatan kupang timur adalah 45.429 jiwa,

dengan jumlah rumah tangga 9.251 dan kepadatan penduduk adalah 134,17

jiwa/km2.

Wilayah kerja puskesmas naibonat sendiri terdiri dari 4 desa, 1 Kelurahan.

16 dusun, 20 RW dan 50 rumah tangga, luas wilayah kerja puskesmas naibonat

124,87 km2 dengan rincian wilayah Naibonat, Nunkurus, Manusak, Oelatimo Dan

Pukdale. Jumlah penduduk di wilayah kerja puskesmas naibonat yaitu 21.798 jiwa

dengan laki-laki 11.212 jiwa dan perempuan 10.583 jiwa. Jika dilihat berdasarkan

keadaan ekonomi Kecamatan Kupang Timur khususnya wilayah kerja puskesmas

Naibonat dapat dilihat dari mata pencaharian penduduk yang sebagian besarnya

91
adalah petani dan sisanya adalah pegawai negeri dan pedagang atau wiraswata.

92
4.1.2. Lokasi Penelitian di Lahan kering

Lokasi yang termasuk dalam wilayah lahan basah di kabupaten Kupang

mencakup 11 Puskesmas, yaitu Puskesmas Fatukanutu, Puskesmas Oenuntono,

Puskesmas Oekabiti, Puskesmas Oesao, Puskesmas Takari, Puskesmas Oemasi,

Puskesmas Oelbiteno, Puskesmas Baun, Puskesmas Pakubaun, Puskesmas

Sonraen dan Puskesmas Sulamu.

Puskesmas Baun terletak di Kelurahan Taebenu, Kecamatan Amarasi

Barat, kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur dengan batas wilayah sebagai

berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kupang Tengah

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Timor

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Amarasi Barat

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Nekamese

Secara keseluruhan puskesmas Baun memiliki luas wilayah kerja 2015,12

km2 dan daerah topografi berbukit-bukit sebagian kecil daratan yang terdiri dari 1

Kelurahan dan 7 desa yaitu Kelurahan taebenu dengan luas wilayah 14,55 km 2.

Jumlah penduduk sebanyak 15.239 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 7.798

jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 7441 jiwa.

Karakteristik wilayah Puskesmas Baun bertopografi berkutit-bukit bahkan

pegunungan, hanya sebagian kecil yang datar dan sebagaian besar adalah lahan

kering dengan luas mencapai 14.283 Ha, pekarangan 231 Ha, tegalan 2.152 Ha,

ladang/huma 1.205 Ha dan lain-lain 10.695 Ha dengan lahan basah hanya 30 Ha

dan tadah hujan 15 Ha.

Topografi yang seperti ini menimbulkan isolaso fisik, isolasi ekonomi dan

93
isolasi sosial, apalagi oleh kurangnya dukungan infrastruktur seperti jalan dan

94
jembatan di berbagai Kecamatan. Sementara transportasi ke pulau-pulau tertent

seringkali agak mahal karena rendahnya frekuensi sarana perhubungan ke

beberapa pulau.

Beberapa Kecamatan berada pada ketinggian 100 m – 1000 m di atas

permukaan laut (dpl). Beberapa Kecamatan di daerah Amfoang misalnya berada

di antara 500-100 dpl dan beberapa daerah seperti Semau, Kupang Barat,

Nekamese dan lain-lain berada antara 0-100 dpl. Sementara secara umum

topografi Kabupaten Kupang dapat dirinci sebagai berikut : permukaan tanah di

wilayah Kabupaten Kupang berada di kemiringan sebagai berikut : 0o-2o =34.462

Ha (10,15%), 3o-15o

= 197.145 Ha (26,86%), 15o-40o = 324.771 Ha (44,26%) dan >41o = 137.494 Ha

(18,73%).

Kabupaten Kupang merupakan Kabupaten yang topografinya bergunung-

gunung dan berbukit dengan derajat kemiringan sampai 45o. Permukaan tanah

kritis dan gundul sehingga peka terhadap erosi. Namun pada hamparan dataran

rendah merupakan lahan yang subur dan luas dimana biasanya penduduk

kabupaten kupang terkonsentrasi di sana. Kabupaten Kupang umumnya beriklim

tropis dan kering yang juga cenderung dipengaruhi oleh angin dan dikategorikan

sebagai daerah semi arid karena curah hujan yang rekatif rendah dan keadaan

vegetasi yang didominasi savana dan stepa. Seperti halnya di wilayah lain

indonesia, kabupaten kupang juga hanya dikenal 2 musim yaitu kemarau dan

hujan. Secara umum musim kemarau terjadi pada april-nopember dan musim

hujan pada bulan desember-maret. Musim hujan terjadi sangat pendek yaitu 3-4

bulan, sedangkan musim kemarau 8- 9 bulan. Musim hujan yang sangat pendek

95
itu hanya terjadi pada bulan desember

96
sampai bulan maret yaitu terjadi di semau dengan curah hujan terendah dan

tertinggi di daratan Amfoang.

Curah hujan rata-rata tahun di kabupaten kupang berkisar antara 100-800

mm/tahun. wilayah dengan curah hujan <300 mm/tahun terdapat di bagian barat

Kecamatan Sulamu, KecamatanFatuleu, KecamatanAmfoang Selatan serta bagian

barat dan bagian utara KecamatanAmfoang Utara dan di bagian timur

KecamatanKupang Timur, KecamatanSemau dan KecamatanSemau Selatan.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Analisis Univariat

4.2.1.1 Karakteristik Responden pada Lahan Basah dan Lahan Kering

Responden dalam penelitian ini terbagi dalam 2 kelompok, yaitu

kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus adalah semua anak

berusia 0-14 tahun yang menderita TB dan tercatat dalam buku register / buku

rekam medik pada puskesmas-puskesmas tempat penelitian. Sedangkan, untuk

kelompok kontrol yaitu anak yang tidak menderita TB, yang tinggal di sekitar

anak yang termasuk dalam kelompok kasus dan memiliki jenis kelamin yang

sama dengan kelompok kasus dan umur yang tidak jauh berbeda dengan

kelompok kasus.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden menurut


Jenis Kelamin dan Pekerjaan Pada Lahan Basah dan
97
Lahan Kering

98
Kejadian TB anak
Karakteristik Responden
Kasus Kontrol Kasus Kontrol

n % n % n % n %

Lahan Basah Lahan Kering

Jenis kelamin
Laki-laki 6 33,3 16 44,4 11 37,9 26 44,8
Perempuan 12 66,7 20 55,6 18 62,1 32 55,2

Pekerjaan
Petani 14 77,8 27 75 25 86,2 55 94,8
PNS 1 5,6 1 2,8 2 6,9 0 0
Wiraswasta 1 5,6 3 8,3 1 3,4 3 5,2
Supir 0 0 0 0 1 3,4 0 0
Ojek 1 5,6 4 11,1 0 0 0 0
Tukang 1 5,6 1 2.8 0 0 0 0

Total 18 100 36 100 29 100 58 100

Tabel 4.1 menunjukan bahwa responden yang tinggal di wilayah lahan

basah dan lahan kering yang berjenis kelamin perempuan yang cenderung

menderita TB dibandingkan responden laki-laki untuk kelompok kasus. Tidak

jauh berbeda untuk responden pada kelompok kontrol yaitu yang memiliki

peluang untuk menderita TB yaitu responden yang berjenis kelamin

perempuan.Tabel juga menunjukan bahwa mayoritas orang tua responden yang

tinggal di wilayah lahan basah dan lahan kering memiliki mata pencaharian

sebagai petani baik kelompok kasus dan kontrol sama-sama berpeluang untuk

menderita TB.

99
4.2.1.2 Distribusi Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kasus Tuberkulosis

Anak 0-14 tahun pada Lahan Basah dan Lahan Kering

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden menurut Pengetahuan,
Pendidikan, Pendapatan, Gizi, Imunisasi BCG, Karakteristik
Hunian, Cara Memasak, Riwayat Merokok dan Kontak TB
pada Lahan Basah dan Lahan Kering
Kejadian TB anak
Faktor Risiko
Kasus Kontrol Kasus Kontrol

n % n % n % n %

Lahan Basah Lahan Kering

Pengetahuan
Kurang 11 61,1 17 47,2 7 24,1 45 77,6
Baik 7 38,9 19 52,8 22 75,9 13 22,4

100
Pendidikan
Rendah 13 72,2 27 75 9 31 21 36,2
Tinggi 5 27,8 9 25 20 69 37 63,8

Pendapatan
14 77,8 26 72,2 9 31 22 37, 9
<UMR 4 22,2 10 27,8 20 69 36 62,1
> UMR

Gizi
Tidak normal 16 88,9 19 52,8 20 69 28 48,3
Normal 2 11,1 17 47,2 9 31 30 51,7

Imunisasi BCG
Tidak pernah 2 11,1 2 5,6 8 27,6 13 22,4
Pernah 16 88,9 34 94,4 21 72,4 45 77,6

Karakteristik hunian
a. Kepadatan hunian
Tidak memenuhi syarat 13 72,2 6 16,7 21 72,4 21 36,2
Memenuhi syarat 5 27,8 30 83,3 8 27,6 37 63,8
b. Luas ventilasi
Tidak memenuhi syarat 12 66,7 9 25 7 24,1 14 24,1
Memenuhi syarat 6 33,3 27 75 22 75,9 44 75, 9

c. Jenis lantai 13 72,2 12 33,3 14 48,3 26 44,8


Tidak memenuhi syarat 5 27,8 24 66,7 15 51,7 32 55,2
Memenuhi syarat
16 88,9 22 61,1 26 89,7 41 70,7
d. Kelembapan
Tidak memenuhi syarat 2 11,1 14 38,9 3 10,3 17 29,3
Memenuhi syarat
15 83,3 19 52,8 27 93,1 40 69
e. Suhu ruangan 3 16,7 17 47,2 2 6,9 18 31
Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat 10 55,6 19 52,8 16 55,2 17 29,3
8 44,4 17 47,2 13 44,8 41 70,7
f. Pencahayaan
Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat

7 38,9 18 50 18 62,1 23 39,7


11 61,1 18 50 11 37,9 35 60,3

g. Jenis dinding
101
Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat

Cara memasak dalam rumah


11 61,1 22 61,1 16 55,2 16 27,6
Tidak menggunakan kayu 7 38,9 14 38,9 13 44,8 42 72,4
Menggunakan kayu

Riwayat merokok dalam keluarga


Ya 14 66,7 26 72,2 22 75, 9 29 50
Tidak 4 33,3 10 27,8 7 24,1 29 50

Kontak dengan TB dewasa


Ya 12 66,7 6 16,7 20 69 7 12,1
Tidak 6 33,3 30 83,3 9 31 51 87,9

Total 18 100 36 100 29 100 58 100

Tabel 4.2 menunjukan bahwa pengetahuan responden yang tinggal di

wilayah lahan basah memiliki pengetahuan yang kurang tentang TB yaitu untuk

kelompok kasus 11 orang (61,1%) sedangkan pengetahuan yang baik untuk

kelompok kontrol 19 orang (52,8%). Berbeda dengan pengetahuanresponden yang

tinggal di wilayah lahan kering yaitu memiliki pengetahuan yang baik pada

kelompok kasus 22 orang (75,9%) dan kontrol 45 orang (77,6%).

Tabel juga menunjukan bahwa pada aspekpendidikan responden yang

tinggal di wilayah lahan basah mayoritas memiliki pendidikan rendah (< SMA)

baik pada kelompok kasus 13 orang (72,2%) dan kontrol 27 orang (75%). Berbeda

pengetahuan responden yang tinggal di wilayah lahan kering yang mayoritas

memiliki pendidikan yang tinggi (>SMA) pada kelompok kasus 20 orang (69%)

dan kontrol 37 orang (63,8%).

Pada aspekpendapatan responden yang tinggal di wilayah lahan basah

mayoritas memiliki pendapatan <UMR pada kelompok kasus 14 orang (77,8%)


102
dan

103
kontrol 26 orang (72,2%). Berbeda dengan pendapatan responden yang tinggal di

wilayah lahan kering mayoritas memiliki pendapatan >UMR pada kelompok

kasus 20 orang (69%) dan kontrol 36 orang (62,1%).

Selain aspek-aspek diatas, ada juga faktor yang berperan dalam diri yaitu

pada aspek gizi responden yang tinggal di wilayah lahan basah mayoritas

memiliki gizi tidak normal pada kelompok kasus 16 orang (88,9%) dan kontrol 19

orang (52,8%). Berbeda dengan responden yang tinggal di wilayah lahan kering

yang mayoritas memiliki gizi normal pada kelompok kasus 19 orang (65,5%) dan

kontrol 39 orang (67,2%).

Tidak kalah penting pada faktorimunisasi BCG, responden yang pernah

diimunisasi BCG lebih cenderung menderita TB dibandingkan yang tidak pernah

imunisasi BCG baik responden yang tinggal di lahan basah (88,9% kasus dan

52,8% kontrol) dan lahan kering (72,4% kasus dan 77,6% kontrol).

Ada juga faktor yang paling penting dalam rumah yaitu karakteristik

hunian responden yang tinggal di wilayah lahan basah yang masuk dalam kategori

memenuhi syarat tetapi memiliki kasus TB terbanyak yaitu, kelembapan ruangan

(nilai 40-70) 88,9% kasus dan jenis dinding (permanen dan tidak kedap air) 61,1%

kasus. Berbeda dengan karakteristik hunian responden yang tinggal di wilayah

lahan kering yang masuk dalam kategori memenuhi syarat tetapi memiliki kasus

TB terbanyak yaitu luas ventilasi (permanen >10m2) 75,9% kasus, jenis lantai

(permanen dan kedap air) 51,7% kasus dan kelembapan (nilai 40-70) 89,3%.

Sedangkan karakteristik hunian responden yang tinggal di wilayah lahan basah

yang masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat dan mayoritas memiliki kasus

TB terbanyak yaitu kepadatan hunian (< 8 m2) 72,2% kasus, luas ventilasi (tidak

104
permanen <10m2) 66,7% kasus, jenis lantai (tidak permanen dan tidak kedap air)

72,2% kasus dan suhu ruangan (>30oC) 83,3% kasus. Berbeda dengan

karakteristik hunian responden yang tinggal di wilayah lahan kering yang masuk

dalam kategori tidak memenuhi syarat dan mayoritas memiliki kasus TB

terbanyak yaitu kepadatan hunian (<8m2) 72,4% kasus, suhu ruangan (>30oC)

93,1%, pencahayaan (tidak cukupnya sinarnya matahari yang masuk ke dalam

rumah) 55,2% kasus dan jenis dinding (tidak permanen dan kedap air) 62,1%

kasus.

Selain faktor dalam rumah dan faktor diri sendiri, ada juga faktor dalam

rumah tangga yang menjadi faktor risiko yaitucara memasak di rumah

dengantidak menggunakan kayu yang tinggal di wilayah lahan basahmayoritas

memiliki 61,1%kasus TB. Berbeda dengan responden yang tinggal di wilayah

lahan kering mayoritas TB terbanyak (72,4 kasus) yaitu responden yang cara

memasak di rumah dengan menggunakan kayu.

Sama halnya juga pada faktor riwayat merokok dalam keluarga lebih

berisiko untuk menderita TB baik responden yang tinggal di wilayah lahan basah

(66,7% kasus) dan lahan kering (75,9% kasus). Dan faktor yang paling

berpengaruh besar terhadap kejadian TB yaitu kontak dengan penderita TB

dewasa, dimana responden yang sering kontak dengan TB dewasa lebih berisiko

untuk menderita TB baik responden yang tinggal di wilayah lahan basah (66,7%

kasus) dan lahan kering (69% kasus).

105
4.2.2 Analaisis Bivariat

4.2.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kasus Tuberkulosis Anak 0-14

tahun Pada Lahan Basah

1. Analisis hubungan pengetahuan responden dengan kejadian kasus TB

anak pada lahan basah

Tabel 4.3 Hubungan pengetahuan responden dengan kejadian kasus TB anak


0-14 tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Pengetahuan anak p
responden Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Kurang 11 61,1 17 47,2
Baik 7 38,9 19 52,8 0,336 1,756 0,555 5,556
Total 18 100 36 100

Hasil analisis yang menunjukan nilai p 0,336 menjelaskan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara pengetahuan respondendengan kejadian kasus

TB pada anak 0-14 tahun.

2. Analisis hubungan pendidikan responden dengan kejadian kasus TB

anak pada lahan basah

Tabel 4.4 Hubungan pendidikan responden dengan kejadian kasus TB anak


0-14 tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Pendidikan anak p
responden Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Rendah 13 72,2 27 75
Tinggi 5 27,8 9 25 0,826 0,867 0,241 3,110
Total 18 100 36 100

106
Berdasarkan hasil analisis dengan nilai p 0,826 menjelaskan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara pendidikan responden dengan kejadian kasus TB

pada anak 0-14 tahun.

3. Analisis hubungan pendapatan responden dengan kejadian kasus TB

anak pada lahan basah

Tabel 4.5 Hubungan pendapatan responden dengan kejadian kasus TB anak


0-14 tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Pendapatan anak p
responden Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
< UMR 14 77,8 26 72,2
4 22,2 10 27,8 0,661 1,346 0,356 5,086
>UMR

Total 18 100 36 100

Nilai p 0,661 yang ditunjukan pada tabel menjelaskan bahwatidak ada

hubungan yang signifikan antara pendapatan responden dengan kejadian TB pada

anak 0-14 tahun.

4. Analisis hubungan gizi anak dengan kejadian kasus TB anak pada lahan

basah

Tabel 4.6 Hubungan gizi anak dengan kejadian kasus TB anak 0-14 tahun
pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Gizi anak anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak normal 16 88,9 19 52,8
Normal 2 11,1 17 47,2 0,009 7,158 1,432 35,775
Total 18 100 36 100

107
Analisis menghasilkan nilai p 0,009 menjelaskan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara gizi anak dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun. Anak

dengan kondisi gizi yang tidak normal memiliki risiko 7,158 kali menderita TB

dibandingkan anak dengan kondisi gizi normal.

5. Analisis hubungan imunisasi BCG dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan basah

Tabel 4.7 Hubungan imunisasi BCG dengan kejadian kasus TB anak 0-14
tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Imunisasi BCG anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak pernah 2 11,1 2 5,6
Pernah 16 88,9 34 94,4 1,000 1,000 0,085 11,823
Total 18 100 36 100

Nilai p 1,000 yang ditunjukan pada tabel menjelaskan tidak ada hubungan

yang signifikan antara imunisasi BCG dengan kejadian TB pada anak 0-14 tahun.

6. Analisis hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kasus TB anak

pada lahan basah

Tabel 4.8 Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kasus TB anak 0-14
tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Kepadatan hunian anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 13 72,2 6 16,7
syarat 5 27,8 30 83,3 0,000 13,000 3,358 50,325
Memenuhi syarat
Total 18 100 36 100

108
Dari hasil analisis menghasilkan nilai p 0,000 menjelaskan bahwa

adahubungan yang signifikan kepadatan hunian dalam rumah dengan kejadian TB

pada anak 0- 14 tahun. Nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa kepadatan

hunian yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terjadinya kasus TB sebesar

13,000 kali dibandingkan dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

7. Analasis hubungan luas ventilasi dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan basah

Tabel 4.9 Hubungan luas ventilasi dengan kejadian kasus TB anak 0-14 tahun
pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Luas ventilasi anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 12 66,7 9 25
syarat 6 33,3 27 75 0,003 6,000 1,742 20,656
Memenuhi syarat
Total 18 100 36 100

Hasil analisis menunjukan nilai p 0,003 menjelaskan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian kasus TB pada anak

0-14 tahun. Nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa responden yang tinggal

dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terjadinya kasus

TB sebesar 6,000 kali dibandingkan dengan luas ventilasi yang memenuhi syarat.

8. Analisis hubungan jenis lantai dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan basah

109
Tabel 4.10 Hubungan jenis lantai dengan kejadian kasus TB anak 0-14 tahun
pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Jenis lantai anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 13 72,2 12 33,3
syarat 5 27,8 24 66,7 0,007 5,200 1,501 18,015
Memenuhi syarat
Total 18 100 100 100

Berdasarkan nilai p 0,007 yang dihasilkan menjelaskan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara jenis lantai rumah dengan kejadian kasus TB pada anak 0-

14 tahun. Nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa responden yang tinggal di

rumah yang jenis lantai tidak memenuhi syarat memiliki risiko terjadinya kasus

TB sebesar 5,200 kali pada anak 0-14 tahun dibandingkan dengan jenis lantai

yang memenuhi syarat.

9. Analisis hubungan kelembapan ruangan dengan kejadian kasus TB anak

pada lahan basah

Tabel 4.11 Hubungan kelembapan ruangan dengan kejadian kasus TB anak


0-14 tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Kelembapan anak p
ruangan Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 16 88,9 22 61,1
syarat 2 11,1 14 38,9 0,035 5,091 1,012 25,609
Memenuhi syarat
Total 18 100 36 100

Nilai p 0,035 yang dihasilkan menjelaskan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara kelembapan ruangan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14

tahun. Anak yang tinggal dengan kelembapan ruangan yang tidak memenuhi

110
syarat yaitu dengan

111
nilai 40-70 memiliki risiko 5,091 kali menderita TB dibandingkan responden yang

tinggal dengan kelembapan ruangan yang memenuhi syarat.

10. Analisis hubungan suhu ruangan dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan basah

Tabel 4.12 Hubungan suhu ruangan dengan kejadian kasus TB anak 0-14
tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Suhu ruangan anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 15 83,3 19 52,8
syarat 3 16,7 17 47,2 0,028 4,474 1,101 18,172
Memenuhi syarat
Total 18 100 36 100
Hasil analisis menghasilkan nilai p 0,028 yang menjelaskan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara suhu ruangan dengan kejadian kasus TB pada

anak 0-14 tahun. Dan juga dengan nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa

risiko terjadinya kejadian kasus TB sebesar 4,474 kali pada responden yang

tinggal di rumahdengan suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat dibandingkan

dengan suhu ruangan yang memenuhi syarat. .

11. Analisis hubungan pencahayaan dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan basah

Tabel 4.13 Hubungan pencahayaan dengan kejadian kasus TB anak 0-14


tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Pencahayaan anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 10 55,6 19 52,8
syarat 8 44,6 17 47,2 0,847 1,118 0,359 3,486
Memenuhi syarat
Total 18 100 36 100

112
Dari hasil analisis menghasilkan nilai p 0,847 yang menjelaskan bahwa

pencahayaan tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada

anak 0-14 tahun.

12. Analisis hubungan jenis dinding dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan basah

Tabel 4.14 Hubungan jenis dinding dengan kejadian kasus TB anak 0-14
tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Jenis dinding anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 7 38,9 18 50
syarat 11 61,1 18 50 0,440 0,636 0,201 2,012
Memenuhi syarat
Total 18 100 36 100
Nilai p 0,440 yang dihasilkan menjelaskan bahwa jenis dinding tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun.

13. Analisis hubungan cara memasak dalam rumah dengan kejadian TB

anak pada lahan basah

Tabel 4.15 Hubungan cara memasak dalam rumah dengan kejadian kasus TB
anak 0-14 tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Cara memasak anak p
dalam rumah Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak menggunakan 11 61,1 22 61,1
kayu 7 38,9 14 38,9 1,000 1,000 0,313 3,192
Menggunakan kayu
Total 18 100 36 100

Hasil analisis nilai p 1,000 menjelaskan bahwa cara mememasak dalam rumah

tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian TB pada anak 0-14 tahun.

113
14. Analisis hubungan riwayat merokok dalam keluarga dengan kejadian TB

anak pada lahan basah

Tabel 4.16 Hubungan riwayat merokok dalam keluarga dengan kejadian


kasus TB anak 0-14 tahun pada lahan basah
Riwayat Kejadian kasus TB CI 95%
merokok dalam anak p
keluarga Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Ya 14 77,8 26 72,2
Tidak 4 22,2 10 27,8 0,661 1,346 0,356 5,086
Total 18 100 36 100

Dari analisis menghasilkan nilai p 0,661 yang menjelaskan bahwa riwayat

merokok dalam keluarga tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian

kasus TB pada anak 0-14 tahun.

15. Analisis hubungan kontak dengan TB dewasa dengan kejadian TB anak

pada lahan basah

Tabel 4.17 Hubungan kontak dengan TB dewasa dengan kejadian kasus TB


anak 0-14 tahun pada lahan basah
Kejadian kasus TB CI 95%
Kontak anak p
dengan TB Kasus Kontrol value OR Lower Upper
dewasa n % n %
Ya 12 66,7 3 8,3
Tidak 6 33,3 33 91,7 0,000 10,000 2,685 37,239
Total 18 100 36 100

Berdasarkan hasil analisis menghasilkan nilai p 0,000 yang menjelaskan

bahwa kontak dengan penderita TB dewasa memiliki hubungan yang signifikan

dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun. Dengan risiko yang terjadi yaitu

sebesar

114
22,000 kali terjadinya kasus TB pada anak 0-14 tahun yang sering kontak dengan

TB dewasa dibandingkan dengan yang tidak kontak dengan TB dewasa.

4.2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kasus Tuberkulosis Anak 0-14

tahun Pada Lahan Kering

1. Analisis hubungan pengetahuan responden dengan kejadian kasus TB

anak pada lahan kering

Tabel 4.18 Hubungan pengetahuan responden dengan kejadian kasus TB


anak 0-14 tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Pengetahuan anak p
responden Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Kurang 7 24,1 45 77,6
Baik 22 75,9 13 22,4 0,000 0,092 0,032 0,263
Total 29 100 58 100

Berdasarkan analisis menghasilkan nilai p 0,000 yang menjelaskan bahwa ada

hubungan yang signifikan antaradengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun.

Tetapi dengan nilai OR<1 yang dihasilkan menjelaskan bahwa pengetahuan

memiliki risiko terjadinya TB secara protektif artinya risiko yang terjadi tidak

menilmbulkan sakit/kasus.

2. Analisis hubungan pendidikan respondendengan kejadian kasus TB anak

pada lahan kering

Tabel 4.19 Hubungan pendidikan responden dengan kejadian kasus TB anak


0-14 tahun pada lahan keirng
Kejadian kasus TB CI 95%
Pendidikan anak p
responden Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Rendah 9 31 21 36,2

115
Tinggi 20 69 37 63,8 0,632 0,793 0,306 2,053
Total 29 100 58 100

Hasil analisis menghasilkan nilai p 0,632 yang menjelaskan bahwa pendidikan

tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14

tahun.

3. Analisis hubungan pendapatan responden dengan kejadian kasus TB

anak pada lahan kering

Tabel 4.20 Hubungan pendapatan responden dengan kejadian kasus TB


anak 0-14 tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Pendapatan anak p
responden Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
>UMR 9 31 22 37,9
<UMR 20 69 36 62,1 0,527 0,736 0,285 1, 902
Total 29 100 58 100

Nilai p 0,527 yang dihasilkan menjelaskan bahwa pendapatan tidak ada

hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun.

4. Analisis hubungan gizi anak dengan kejadian kasus TB anak pada lahan

kering

Tabel 4.21 Hubungan gizi anak dengan kejadian kasus TB anak 0-14 tahun
pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Gizi anak anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak normal 20 69 28 48,3
Normal 9 31 30 51,7 0,067 2,381 0,930 6,097
Total 29 100 58 100

116
Berdasarkan tabel menunjukan bahwa nilai p 0,067 yang dihasilkan

menjelaskan bahwa gizi tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian

kasus TB pada anak 0-14 tahun.

5. Analsis hubungan imunisasi BCG dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan kering

Tabel 4.21 Hubungan imunisasi BCG dengan kejadian kasus TB anak 0-14
tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Imunisasi BCG anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak pernah 8 27,6 13 22,4
Pernah 21 72,4 45 77,6 0,595 1,319 0,475 3,663
Total 29 100 58 100

Hasil analisis menghasilkan nilai p 0,595 yang menjelaskan bahwa imunisasi

BCG tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-

14 tahun.

6. Analisis hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kasus TB anak

pada lahan kering

Tabel 4.22 Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kasus TB anak 0-


14 tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Kepadatan hunian anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 21 72,4 21 36,2
syarat 8 27,6 37 63,8 0,001 4,625 1,745 12,257
Memenuhi syarat
Total 29 100 58 100

117
Hasil analisis menunjukan nilai p 0,001 yang menjelaskan bahwa kepadatan

hunian ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14

tahun. Dengan nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa faktor risiko terjadi

kasus TB pada anak usia 0-14 tahunsebesar 4,625 kali pada responden yang

tinggal dengan kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat

dibandingkan dengan yang memenuhi syarat.

7. Analisis hubungan luas ventilasi dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan kering

Tabel 4.23 Hubungan luas ventilasi dengan kejadian kasus TB anak 0-14
tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Luas ventilasi anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 7 24,1 14 24,1
syarat 22 75,9 44 75,9 1,000 1,000 0,353 2,834
Memenuhi syarat
Total 29 100 58 100

Analisis mengjasilkan nilai p 1,000 yang menjelaskan bahwa luas ventilasi

tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14

tahun.

8. Analisis hubungan jenis lantai dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan kering

Tabel 4.24 Hubungan jenis lantai dengan kejadian kasus TB anak 0-14 tahun
pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Jenis lantai anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 14 48,3 26 44,8
syarat 15 51,7 32 55,2 0,761 1,149 0,470 2,807

118
Memenuhi syarat

119
Total 29 100 58 100

Dari tabel menunjukan nilai p 0,761 yang menjelaskan bahwa jenis lantai tidak

ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun.

9. Analisis hubungan kelembapan ruangan dengan kejadian kasus TB anak

pada lahan kering

Tabel 4.25 Hubungan kelembapan ruangan dengan kejadian kasus TB anak


0-14 tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Kelembapan ruangan anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi syarat 26 89,7 17 29,3
Memenuhi syarat 3 33,3 41 70,7 0,047 3,593 0,958 13,480

Total 29 100 58 100

Nilai p 0,047 yang dihasilkan menjelaskan bahwa kelembapan ruangan ada

hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun. Dan

juga dilihat dari nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa risiko terjadinya

kasus TB pada anak usia 0-14 tahun sebesar 3,593 kali pada kelembapan yang

tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan kelembapan ruangan yang

memenuhi syarat.

10. Analisis hubungan suhu ruangan dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan kering

Tabel 4.26 Hubungan suhu ruangan dengan kejadian kasus TB anak 0-14
tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Suhu ruangan anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %

120
Tidak memenuhi 27 93,1 40 69
syarat 2 6,9 18 31 0,012 6,075 1,302 28,345
Memenuhi syarat
Total 29 100 58 100

Tabel menunjukan nilai p 0,012 yang menjelaskan bahwa suhu ruangan ada

hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun. Dan

juga dilihat dari nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa risiko terjadinya

kasus TB pada anak usia 0-14 tahun sebesar 6,075 pada suhu yang tidak

memenuhi syarat dibandingkan dengan suhu ruangan yang memenuhi syarat.

11. Analisis hubungan pencahayaan dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan kering

Tabel 4.27 Hubungan pencahayaan dengan kejadian kasus TB anak 0-14


tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Pencahayaan anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 16 55,2 17 29,3
syarat 13 44,8 41 70,7 0,019 2,986 1,177 7,484
Memenuhi syarat
Total 29 100 58 100
Hasil analisis menunjukan nilai p 0,019 yang menjelaskan bahwa pencahayaan

memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14

tahun. Dan dilihat dari nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa risiko

terjadinya kasus TB pada anak usia 0-14 tahun sebesar 2,986 kali dengan

pencahayaan yang yang tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan

pencahayaan yang memenuhi syarat.

12. Analisis hubungan jenis dinding dengan kejadian kasus TB anak pada

lahan kering

121
Tabel 4.28 Hubungan jenis dinding dengan kejadian kasus TB anak 0-14
tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Jenis dinding anak p
Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak memenuhi 18 62,1 23 39,7
syarat 11 37,9 35 60,3 0,048 2,490 0,996 6,225
Memenuhi syarat
Total 29 100 58 100

Hasil analisis menghasilakan nilai p 0,048 yang menjelaskan bahwa jenis

dinding ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14

tahun. Dan dilihat dari nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa risiko

terjadinya kasus TB pada anak usia 0-14 tahun sebesar 2,490 kali pada jenis

dinding tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan jenis dinding rumah yang

memenuhi syarat.

13. Analisis hubungan cara memasak dalam rumah dengan kejadian TB

anak pada lahan kering

Tabel 4.29 Hubungan cara memasak dalam rumah dengan kejadian kasus TB
anak 0-14 tahun pada lahan kering
Kejadian kasus TB CI 95%
Cara memasak anak p
dalam rumah Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Tidak menggunakan 16 55,2 16 27,6
kayu 13 44,8 42 72,4 0,012 3,231 1,273 8,198
Menggunakan kayu

122
Total 29 100 58 100

Nilai p 0,012 yang dihasilkan menjelaskan bahwa cara memasak dalam rumah

ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada anak 0-14 tahun.

Dan dilihat dari nilai OR yang dihasilkan menjelaskan bahwa risiko terjadinya

kasus TB pada anak usia 0-14 tahun sebesar 3,231 kali dengan cara memasak

dalam rumah tidak menggunakan kayu. Dibandingkan dengan cara memasak yang

menggunakan kayu.

14. Analisis hubungan riwayat merokok dalam keluarga dengan kejadian TB

anak pada lahan kering

Tabel 4.30 Hubungan riwayat merokok dalam keluarga dengan kejadian


kasus TB anak 0-14 tahun pada lahan kering
Riwayat Kejadian kasus TB CI 95%
merokok dalam anak p
keluarga Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Ya 22 75,9 29 50
Tidak 7 24,1 29 50 0,021 3,134 1,163 8,493
Total 29 100 58 100

Hasil analisis menunjukan nilai p 0,021 yang menjelaskan bahwa riwayat

merokok dalam keluarga ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB

pada anak 0-14 tahun. Riwayat merokok dalam keluaraga berisiko terjadi

terjadinya kasus TB pada anak usia 0-14 tahun seberar 3,134 kali dibandingkan

dengan yang tidak memiliki riwayat merokok dalam keluarga.

15. Analisis hubungan kontak dengan TB dewasa dengan kejadian TB anak

pada lahan kering

Tabel 4.31 Hubungan kontak dengan TB dewasa dengan kejadian kasus TB


anak 0-14 tahun pada lahan kering
123
Kejadian kasus TB CI 95%
Kontak dengan anak p
TB dewasa Kasus Kontrol value OR Lower Upper
n % n %
Ya 20 69 7 12,1
Tidak 9 31 51 87,9 0,000 16,190 5,310 49,369
Total 29 100 58 100

Berdasarkan tabeldi atas menunjukan nilai p 0,000 menjelaskan bahwa kontak

dengan TB dewasa ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kasus TB pada

anak 0-14 tahun. Dan dilihat dari nilai OR yang dihasilakan menjelaskan bahwa

sering kontak dengan TB dewasa memiliki risiko terjadinya kasus TB sebesar

16,190 kali dibandingkan yang tidak kontak dengan penderita TB dewasa.

4.2.3 Analisis Multivariat

Variabel yang masuk dalam analisis bivariat yang akan dilanjutkan pada

analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda yaitu variabel yang

memiliki nilai p value <0,25. Namun bisa saja p valuenya >0,25 tetap ikut ke

seleksi multivariat bila variabel tersebut secara substansi sangat penting. Dalam

hal ini seleksi pada lahanbasah untuk variabel riwayat merokok dalam keluarga

dan pada lahan kering yaitu gizi anak merupakan variabel independen yang sangat

penting bagi variabel dependen. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada

tabel 4.32 untuk model seleksi bivariat lahan basah dan lahan kering, tabel 4.33

untuk model selekssi multivariat pada lahan basah dan tabel 4.34 untuk model

seleksi multivariat pada lahan kering.

Tabel 4.32 Model Tabel Seleksi Bivariat pada Lahan Basah dan Lahan
Kering
Variabel Independen p value

124
Lahan Basah Lahan Kering

Pengetahuan 0,336 0,000*

Pendidikan 0,826 0,632

Pendapatan 0,661 0,527

Gizi anak 0,009* 0,067

Imunisasi BCG 1,000 0,595

Kepadatan hunian 0,000* 0,001*

Luas ventilasi 0,003* 1,000

Jenis lantai 0,007* 0,761

Kelembapan ruangan 0,037* 0,047*

Suhu ruangan 0,028* 0,012*

Pencahayaan 0,847 0,019*

Jenis dinding 0,440 0,048*

Cara memasak dalam rumah 1,000 0,012*

Riwayat merokok 0,661 0,021*

Kontak dengan TB dewasa 0,000* 0,000*

(*variabel yang signifikan <0,05)

Berdasarkan tabel 4.32 menunjukan bahwa variabel independen yang

masuk dalam seleksi multivariat untuk lahan basah yaitu gizi anak, kepadatan

hunian, luas ventilasi, jenis lantai, kelembapan ruangan, suhu ruangan, riwayat

merokok dalam keluarga dan kontak dengan penderita TB dewasa. Sedangkan,

untuk lahan kering yaitu pengetahuan, gizi, kepadatan hunian, kelembapan

ruangan, suhu ruangan, pencahayaan, jenis dinding, cara memasak dalam rumah,

riwayat merokok dalam keluarga dan kontak dengan penderita TB dewasa.

125
Tabel 4.33 Model Tabel Seleksi Multivariat pada Lahan Basah
B Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a Gizi ,612

Gizi(1) 1,822 ,322 6,183 ,168 227,517

Gizi(2) 37,011 ,992 1185117572027 ,000 .


4468,000

KH -36,721 ,992 ,000 ,000 .

LV -2,108 ,232 ,121 ,004 3,841

JL -35,516 ,992 ,000 ,000 .

KR -,625 1,000 ,535 ,000 .

SR -20,209 ,999 ,000 ,000 .

Kontak 109,450 ,993 3,417E+47 ,000 .

Rokok 18,724 ,994 135418538,865 ,000 .

Constant -86,427 ,999 ,000

a. Variable(s) entered on step 1: Gizi, KH, LV, JL, KR, SR, Kontak, Rokok.

Analisis yang digunakan pada lahan basah yaitu analisis dengan

menggunakan metode enter yang menunjukan bahwa nilai p value > 0.05 yang

dihasilkan dari semua variabel menjelaskan bahwa tidak ada hubungan signifikan

(bermakna) antara variabel dependen (kejadian kasus TB) dengan variabel

independen jika dianalisis secara bersama-sama (secara simultan). Artinya,

126
variabel-variabel pada lahan basah tersebut hanya sebagai variabel perancu atau

confounding yaitu menjadi variabel yang mempengaruhi hubungan antara variabel

independeng dan variabel dependen. Hal ini berbeda dengan hasil analisis yang

dilakukan antara variabel dependen dan 1 variabel indepeden dengan

menggunakan uji chi square yang dimana ada 8 variabel yang memiliki hubungan

yang signifikan ditunjukan dengan nilai p value < 0,05. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa variabel independen pada lahan basah tidak memiliki

pengaruh terhadap variabel dependen, tetapi memiliki hubungan pada variabel

gizi, kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis lantai, kelembapan ruangan, suhu

ruangan dan kontak dengan penderita TB dewasa dengan kejadian TB anak 0-14

tahun.

Tabel 4.34 Model Seleksi Multivariat Pada Lahan Kering

B Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 4a KH 2,443 ,008 11,506 1,907 69,438

KR -24,651 ,999 ,000 ,000 .

SR 27,132 ,999 607361627526 ,000 .


,070

Pencahayaan 2,094 ,022 8,119 1,348 48,897

Rokok 1,678 ,053 5,354 ,975 29,391

Kontak_TB 4,327 ,000 75,719 9,469 605,515

Gizi 1,932 ,035 6,903 1,144 41,641

Constant -20,844 ,000 ,000

a. Variable(s) entered on step 1: Pengetahuan, KH, KR, SR, Pencahayaan, JD, Memasak, Rokok, Kontak_TB, Gizi.

Analisis yang digunakan pada lahan kering menggunakan metode

127
backward LR dimana ingin mengetahui varibael independen mana yang sangat

berpengaruh

128
terhadap variabel dependen. Dari hasil analisis terdapat empat kali seleksi yang

ditunjukan dengan step 1, step 2, step 3 dan step 4. Hasil dari step empat itulah

yang dipakai untuk hasil seleksi terakir. Dari hasil tersebut maka terdapat empat

faktor yang memiliki hubungan signifikan saat dilakukan analisis secara bersama-

sama (simultan)yang ditunjukan dengan nilai p < 0,05 yaitu varibael kepadatan

hunian (p value 0,08), pencahayaan (p value 0,022), kontak dengan TB dewasa (p

value 0,000) dan gizi (p value 0,035). Dari keempat faktor ini, yang paling

berpengaruh langsung terhadap kejadian TB pada anak 0-14 tahun yaitu faktor

kontak dengan TB dewasa dengan nilai OR sebesar 75,719 kali.

Maka model yang terbentuk untuk kejadian TB pada lahan kering

yaitu : y =C+a1x1 + a2x2 + anxn

y = -20,844+2,443 (kepadatan hunian) +2,094 (pencahayaan) +4,327(kontak

dengan TB dewasa)+1,932 (gizi)

y = -20,844 + 2,443(0)+2,094(0)+4,327(0)+1,932(0)

y = -20,844

Dengan demikian nilai probabilitasnya adalah :

p =1/(1+e-y)

p =1/(1+2,7-20,844)

p =0,99.

Jadi, probabilitas atau peluang responden dengan kepadatan hunian yang

tidak memenuhi syarat, pencahayaan yang tidak memenuhi syarat, gizi yang tidak

normal dan sering kontak dengan penderita TB dewasa untuk menderita TB

adalah sebesar 99% pada wilayah lahan kering.

129
4.3 Pembahasan

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman MTB. Seseorang dapat tertular penyakit TB paru melalui percikan dahak

ketika pasien TB paru BTA positif tidak serta merta tertular TB paru. Namun,

tergantung dari banyaknya kuman yang dikeluarkan penderita TB paru,

konsentrasi percikan dan lamanya menghirup udara tersebut. Dan yang paling

penting yaitu kondisi sistem imun dari setiap orang.

4.3.1 Karakteristik responden

Penelitian ini dilakukan pada responden berusia 0-14 tahun, yang

diperoleh dari buku register / buku rekam medik di 14 puskesmas di Kabupaten

Kupang. Dari hasil penelitian pada lahan basah dan lahan kering menunjukan

bahwa anak dengan jenis kelamin perempuan yang paling banyak menderita TB.

Hal ini berbeda dengan Kemenkes RI (2015) yang menyebutkan bahwa jumlah

kasus TB terbesar terdapat pada laki-laki. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Yura Zuriya (2016) yang menyebutkan bahwa penderita

TB terbesar terdapat pada laki-laki. Hal tersebut dapat terjadi karena dapat dilikat

dari jumlah penduduk di Kabupaten Kupang mayoritasnya adalah perempuan.

Sehingga kejadian TB ini bisa terjadi paling besar pada perempuan.

Selain faktor jenis kelamin, ada juga faktor yang sangat berpengaruh

terhadap kejadian TB yaitu faktor pekerjaan. Dari hasil penelitian pada lahan

basah dan lahan kering menyatakan bahwa mayoritas responden yang menderita

TB memiliki orang tua dengan bermata pencaharian sebagai petani. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa kejadian TB ini berhubungan dengan tingkat

ekonomi dari setiap orang. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

130
Lohala (2016)

131
yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan

kejadian TB anak.

4.3.2 Faktor risiko

1. Pengetahuan

Hasil analisis tabel silang 2x2 pada penelitian ini menunjukan bahwa ada

perbedaan yang ditemukan yaitu pengetahuan responden pada lahan basah

mayoritas memilki pengetahuan kurang (61,1%) dan tidak memiliki hubungan

yang signifikan dengan kejadian TB pada anak. Sedangkan, pengetahuan

responden pada lahan kering mayoritas memiliki pengetahuan baik (75,9%) dan

memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian TB pada anak dengan resiko

terjadinya TB sebesar 0,092 kali pada anak dengan pengetahuan baik. Hal ini

dapat terjadi karena, responden yang berada di wilayah lahan basahtidak

mendapat penyuluhan tentang TB dari petugas puskesmas, tidak pernah

mengetahui tentang TB dan juga obat- obatan yang tidak selalu tersedia dengan

lengkap di puskesmas-puskesmas sehingga menyebebkan responden tidak mau

kembali ke puskesmas dan mendapat penjelasan lanjutan tentang TB. Berbeda

dengan responden yang berada di wilayah lahan kering yang dimana mayoritas

responden memiliki pengetahuan yang baik. Hal ini terjadi karena responden-

responden tersebut rajin datang berobat ke puskesmas-puskesmas sehingga

mendapat penjelasan yang baik tentang TB dari petugas kesehatan. Selain itu juga

responden banyak mengikuti kegiatan-kegiatan semacam penyuluhan yang

dilakukan fasilitas kesehatan tentang penyakit menular sehingga mereka memiliki

pengetahuan yang baik tentang TB.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Apriliasari yang

132
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua

133
dengan kejadian TB anak di seluruh Puskesamas Kabupaten Magelang. Tetapi

tidak sejalan dengan penelitian Yura Zuriya (2016) yang menyatakan bahwa tidak

ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB anak Puskesmas

Pamulang. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Wenas, et al (2015) dalam

Yura Zuriya juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan

dengan kejadian TB anak di Desa Wori, Minahasa Utara.

Secara teori, pengetahuan merupakan hal yang sangat penting untuk

terbentuknya perilaku. Sehingga pengetahuan buruk responden terkait TB paru

berpotensi menimbulkan perilaku yang buruk pula baik terkait kewaspadaan

penularan maupun perawatan pasien dengan penyakit TB paru. Hal ini dapat

dilihat berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan saat penelitian yaitu dapat

disimpulkan bahwa keadaan responden pada lahan basah berbeda jauh dengan

lahan kering. Dapat diihat dari pengetahuan yang dimiliki tentang TB. Responden

yang tinggal di lahan kering memiliki tempat tinggal yang jauh dari puskesmas

dan akses untuk ke puskesmas juga sulit, keterbatasan sarana transportasi dan juga

penghasilan yang masih dibawah kemampuan. Tetapi hal ini tidak menjadi

masalah untuk responden tetap pergi ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan

lanjutan tentang TB. Berbeda dengan responden pada lahan basah. Tempat tinggal

terletak tidak terlalu jauh dari puskesmas dan juga sarana transportasi sangat

mudah dijangkau tetapi masih memiliki pengetahuan yang rendah tentang TB.

Dan juga berdasarkan hasil wawancara petugas dari puskesmas jarang melakukan

penyuluhan tentang TB. Hal inilah yang menyebabkan responden kurang

memiliki pengetahuan tentang TB.

134
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tidak

mempengaruhi terjadinya kejadian TB. Mungkin dapat dipengaruhi oleh faktor

yang lain.

2. Pendidikan

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan

sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya

melalui pengajaran, pelatihan atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah

bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Setiap

pengaaman yang memiliki efek formatif pada orang berpikir, merasa atau

tindakan dapat dianggap pendidikan.

Hasil analisis menyebutkan bahwa responden paling banyak memiliki

pengetahuan rendah pada lahan basah. Berbeda dengan responden pada lahan

kering yang memiliki pengetahuan tinggi yang paling banyak jumlah penderita

TB. Berdasarkan hasil penelitian ini tidak ada hubungan antara pendidikan dengan

kejadian TB paru. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurwanti

(2015) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan

kejadian TB paru. Tetapi tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Apriliasari Rusliana,. Hestiningsih dan Martini (2018) yang menyebutkan bahwa

ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB paru.

3. Pendapatan

Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden memiliki

pendapatan <UMR pada lahan basah, tetapi pendapatan >UMR pada lahan kering.

Berdasarkan hasil penelitian juga menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara

pendapatan dengan kejadian TB anak. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian

135
yangdilakukan oleh Mardjo Ratang dan Asrifudin Afnal (2018) yang menyatakan

bahwa ada hubungan antara pendapatan dengan kejadian TB anak.

4. Gizi

Gizi baik adalah keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi

sehingga berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan respon imunologik terhadap

penyakit. Sedangkan gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang

kekurangan nutrisi atau nutrisi dibawah rata-rata. Status gizi pada anak sangat

penting, karena status gizi yang baik akan meningkatkan daya tahan tubuh dan

kekebalan tubuh anak, sehingga anak tidak mudah menderita penyakit TB. Dan

bila terinfeksi pun, anak dengan status gizi yang baik cenderung menderita TB

ringan dibandingkan dengan gizi buruk.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa sebagian besar responden pada lahan

basah memiliki kondisi gizi tidak normal atau gizi kurang dan gizi buruk. Dengan

resiko terjadinya TB sebesar 7,158 kali pada anak dengan kondisi gizi tidak

normal. Sedangkan sebagian besar responden pada lahan kering memiliki kondisi

gizi yang normal. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi gizi dipengaruhi oleh

pendapatan dari responden yang dapat dilihat pada responden di lahan basah

memiliki pendapatan yang rendah sehingga asupan gizi juga tidak sesuai dengan

asupan yang normal. Berbeda dengan responden pada lahan kering, dimana

pendapatan responden rendah tetapi memiliki gizi yang baik. Dengan demikian

bahwa kejadian TB di lahan kering dapat dipengaruhi oleh faktor yang lain.

Penelitian ini juga menyatakan bahwa ada hubungan antara gizi dengan

kejadian TB pada lahan basah, tetapi tidak ada hubungan antara gizi dengan

kejadian TB pada lahan kering. Penelitian yang sejalan yang memiliki hubungan

136
bermakna yaitu penelitian yang dilakukan oleh Febrian Mira (2015), Susanti

Milda dan Jahiro dan Prihartono.

5. Imunisasi BCG

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan natra imunisasi

BCG dengan kejadian TB baik pada lahan basah dan lahan kering. Hal ini tidak

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oeh Riani (2016) dan Jahiro bahwa anak

yang tidak diimunisasi BCG memiliki risiko terkena TB. Dan juga tidak sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2017) dan Febrian (2015) yang

menyatakan bahwa ada hubungan antara imunisasi BCG dengan kejadian TB anak.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa hampir semua responden pernah mendapatkan

imunisasi BCG. Pemberian imunisasi BCG merupakan bagian dari faktor

imunisasi yang dianalisa untuk memprediksi kejadian TB paru pada anak.

Pemberian imunisasi BCG dapat melindungi dari meningitis TB, TB milier dengn

derajat proteksi sekitar 86%. BCG melindungi terhadap penyebaran bakteri secara

homatogen, tetapi tidak mampu membatasi pertumbuhan fokus yang terlokalisasi

seperti pada TB paru.

Hal ini sejalan dengan Retno (2008), berjangkitnya TB paru pada anak ini

kemungkinan disebabkan cara pemberian imunisasi BCG yang tidak tepat.

Misalnya cara penyuntikan yang salah, dosis yang diberikan tidak sesuai dengan

indikasi, vaksin yang tidak dalam kondisi kurang baik akibat penyimpanan yang

tidak sesuai dengan suhu vaksin, area penusukan dan sudut penusukan yang salah.

Bisa juga tergantung pada daya tahan tubuh pada anak, jumlah kuman dan

lingkungan sekitar anak.

137
Oleh karena itu, pada penelitian ini meskipun anak sudah diberikan

imunisasi BCG ternyata anak masih terkena penyakit TB. Hal ini kemungkinan

diakibatkan banyak faktor diantaranya waktu pemberiannya kurang tepat atau

oleh sebab lain sehingga efektifitas proteksi dari vaksin BCG tersebut tidak

optimal.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh

responden sudah mendapatkan imunisasi BCG, tetapi imunisasi BCG tidak dapat

menjamin tidak terjadinya infeksi TB paru pada anak. Kemungkinan anak

menderita TB paru sebelum diberikan imunsasi BCG atau anak menderita TB

paru karena faktor lain.

6. Kepadatan hunian

Luas lantai bangunan harus sesuai dengan jumlah penghuni agar tidak

overload. Selain menyebabkan kurangnya oksigen, overload juga bisa

menyebabkan penularan penyakit infeksi. Menurut Keputasan Menteri Kesehatan

RI No 829 tahun 1999, persyaratan kepadatan hunian memenuhi syarat adalah

8m2/orang. Kepadatan hunian dihitung dengan membagi laus bangunan rumah

dnegan jumlah anggota keluarga.

Hasil analisis menyebutkan bahwa jumlah penderita TB yang memiliki

kepadatan hunian yang tidak memiliki syarat lebih banyak dari pada penderita TB

yang memiliki kepadan hunian yang memenuhi syarat baik pada lahan basah dan

lahan kering dengan resiko terjadinya TB sebesar 13 kali pada lahan basah dan

4,625 kali pada lahan kering.Hal tersebut menunjukan bahwa luas rumah

responden tidak sebanding dengan jumlah penghuni atau jumlah penghuni lebih

banyak dari jumlah kamar yang ada di rumah sehingga kebutuhan oksigen tidak

138
tercukupi.

139
Berdasarkan hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa ada hubungan

antara kepadatan hunian dengan kejadian TB baik pada lahan basah dan lahan

kering. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahpudin dan

Mahkota (2007), Sejati dan Sofiana (2015) dalam penelitian Zuriya Yufa yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan dengan kejadian TB

paru. juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian

dengan kejadian TB anak.

Secara teori, kepadatan merupakan faktor penting untuk proses penularan

penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit

menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Semakin banyak manusia

yang berada di dalam ruangan kelembaapannya semakin tinggi khususnya karena

uap air baki dari pernapasan maupun keringat. Hal tersebut sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Lanus (2014) yang menyebutkan bahwa ada

hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB di Kabupaten Bangli.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ayomi (2012) juga menyebutkan bahwa ada

hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB paru. Apalagi dilihat

responden yang tinggal di wilayah lahan basah. Semakin banyak responden dalam

rumah dengan luas bangunan yang tidak sesuai standar dapat memicu terjadinya

kejadian TB. Tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya TB pada lahan kering

juga. Sama seperti hasil pada penelitian ini. Kepadatan hunian sangat penting

untuk dilihat untuk terhindarnya dari penyakit menular.

7. Luas ventilasi

Hasil analisis pada penelitian ini menunjukan bahwa penderita TB paru

yang memiliki luas ventilasi tidak memenuhi syarat pada lahan basah jumlahnya

140
lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki luas ventilasi

memenuhi syarat. Hal ini berbeda dengan jumlah responden pada lahan kering

dimana jumlah responden yang paling banyak terdapat responden yang memiliki

luas ventilasi yang memenuhi syarat dibandingkan dengan yang tidak memenuhi

syarat. Kondisi ventilasi dikatakan memenuhi syarat jika jumlah minimal 10%

dari laus lantai rumah.

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan antara luas

ventilasi dengan kejadian TB anak pada lahan basah dengan resiko terjadinya TB

sebesar 6 kali. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Apriliasari

Rusliana, Hestiningsih Ratno dan Martini (2018) yang menyatakan bahwa ada

hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian TB anak.Sedangkan pada lahan

kering tidak ada hubungan antara laus ventilasi dengan kejadian TB anak.Hal ini

sejalan dnegan penelitian yang dilakkan oleh Yura Zuriya (2016) yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian TB

anak. Penelitian lain oleh Rosiana (2013), Mahpudin dan Mahkota (2007)

menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian TB

anak.

Secara teori, luas ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara. Dengan kata

lain dapat membantu mengencerkan konsentarsi kuman TB dan kuman lain. Yang

dimana sejalan dengan penelitian ini, terdapat hubungan antara luas ventilasi pada

lahan basah. Tetapi tidak sejalan dengan hasil pada lahan kering yang tidak ada

dengan luas ventilasi. Hal tersebut dapat dipengaruhi karena meskipun responden

memiliki luas ventilasi memenuhi syarat namun tidak selalu dibuka setiap hari

dapat memicu terjadinya penyakit menular (TB).

141
Dapat disimpulkan bahwa luas ventilasi yang memenuhi syarat penting

untuk mengurangi pertumbuhan bakteri. Namun perlu dikombinasikan dengan

kebiasaan membuka jendela serta fakor-faktor lain yang berpengaruh seperti

peningkatan status gizi dan mengurangi kontak dengan penderita TB dewasa

sebagai upaya untuk mencegah penularan penyakit TB paru.

8. Jenis lantai

Hasil penelitian ini ditemukan jenis lantai pada lahan basah dengan jumlah

penderita TB terbanyak terdapat pada responden yang tinggal di rumah dengan

jenis lantai yang tidak memenuhi syarat. Kondisi lantai tidak memenuhi syarat

yaitu tidak permanen dan tidak kedap air. Berbeda dengan responden yang ada di

wilayah lahan kering, jumlah kasus TB terbanyak terdapat pada responden yang

tinggal di rumah dengan kondisi lantai yang memenuhi syarat.

Berdasarkan hasil analisis pada lahan basah ada hubungan antara jenis

lantai dengan kejadian TB paru dengan resiko terjadinya TB sebesar 5,2 kali. Hal

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Apriliasari Rusliana,

Hestiningsih Ratno dan Martini (2018) yang menyatakan bahwa ada hubungan

antara jenis lantai dengan kejadian TB paru. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Rustono yang juga menytakan tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan

kejadian TB. Berbeda dengan hasil penelitian pada lahan kering yaitu tidak ada

hubungan antara jenis lantai dengan kejadian TB paru. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Niko Putra yang menyatakan bahwa tidak ada

hubungan antar jenis lantai dengan kejadian TB paru. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Toni Tobing juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

jenis lantai dengan kejadian TB paru.

142
9. Kelembapan ruangan

143
Suatu ruangan dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

menyebabkan tingginya kelembapan dalam ruangan karena kurang adanya

pertukaran udara dari luar rumah sehingga memberi kesempatan kepada bakteri

TB untuk dapat bertahan hidup di dalam ruang tersebut karena sifat bakteri TB

yang mampu bertahan hidup di dalam ruangan yang gelap dan lembab.

Kelembapan udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk kuman-

kuman termasuk kuman TB. Kelembapan >60% dapat membuat bakteri TB

bertahan hidu selama bebarap jam dan dapat menginfeksi penghuni rumah. Dan

juga berisiko unuyk terkena TB dibandingkan dengan kelembapan <60%.

Hasil analisis menunjukan bahwa jumlah penderita TB terbanyak terdapat

di kelembapan ruangan yang tidak memenuhi syarat. Dan dari hasil analisis

menjelaskan bahwa ada hubungan antara kelembapan dengan kejadian TB paru

baik pada lahan basah dan lahan kering dengan resiko terjadinya TB sebesar 5,091

kali pada lahan basah dan 3,593 kali pada lahan keing. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Apriliasari Rusliana, Hestiningsih Ratno dan

Martini (2018) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kelembapan dan

kejadian TB paru.

10. Suhu ruangan

Hasil analisis menjelaskan bahwa sebagian besar responden paling banyak

jumlah penderita TB yang tinggal di rumah dengan kondisi suhu ruangan tidak

memenuhi syarat yaitu suhu >30oC. Suhu memiliki hubungan dengan

kelembapan, semakin besar suhu dalam ruangan berarti kelembapan dalam

ruangan semakin besar.

144
Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat hubungan antara suhu dalam

ruangan dengan kejadian TB pada anak baik pada lahan basah dan lahan kering

dengan resiko terjadinya TB sebesar 4,474 kali pada lahan basah dan 6,075 kali

pada lahan kering. Dan belum ada penelitian yang menjelaskan tenang fakto suhu

secara tersendiri yang mempengaruhi terjadinya kejadian TB.

11. Pencahayaan

Hasi analisis menyebutkan bahwa pencahayaan alami yang kurang yang

memiliki kasus TB terbanyak baik pada lahan basah dan lahan kering. Dari hasil

analisa tidak terdapat hubungan antara pencahyaan dengan kejadian TB pada

lahan basah tetapi memiliki hubungan antara pencahayaan pada lahan kering

dengan kejadian TB dengan resiko terjadinya TB sebesar 2,986 kali.Pencahayaan

yang dimaksudkan disini yaitu pencahayaan secara alami dari sinar matahari yang

masuk ke dalam rumah. Yang diukur dengan cara kemampuan membaca dengan

tidak memakai alat bantu.

Hal yang sejalan dengan penelitian ini pada lahan kering tetapi tidak

sejalan dengan hasil penelitian pada lahan basah pada penelitian ini yaitu yang

dilakukan oleh Aprilisari Rusliana, Hestiningsih Ratno dan Martini (2018) dan

Niko Putra, Musadad, Toni Tobing yang menyatakan bahwa ada hubungan antara

pencahayaan dengan kejadian TB paru.

12. Jenis dinding

Hasil analisis menjelaskan bahwa jumlah penderita TB terbanyak terdapat

pada responden yang tinggal dengan jenis dinding yang memenuhi syarat pada

lahan basah. Tetapi berbeda dengan responden yang tinggal di lahan kering yang

145
memiliki jumlah TB terbanyak pada responden dengan jenis dinding yang tidak

memenuhi syarat.

Menurut Keputusan Menteri RI no 829 tahun 1999, dinding rumah yang

memenuhi kesehatan adalah bahan dinding yang kedap air dan mudah

dibersihkan. Misalnya tembok, karena jika dinding tidak terbuat dari bahan yang

kedap air dan mudah dibersihkan seperti bambu, batu bara dan batu-batuan yang

tidak diplester mudah menjadi lembab dan berdebu sehingga sangat potensial

untuk tempat berkembangnya bakteri patogen. Dalam hal ini adalah bakteri

penyebab TB paru dapat menempel di dinding rumah sampai bertahun-tahun.

Dinding sebaiknya diplester sehingga mudah untuk dibersihkan dan kedap air

serta dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara dan

cahaya matahari unutk mencegah penularan TB.

Berdasarkan hasil penelitian ini, menyatakan bahwa tidak ada hubungan

antara jenis dinding dengan kejadian TB paru pada lahan basah.Hal yang sejalan

dengan penelitian ini yang tidak ada hubungan antara jenis dinding dengan

kejadian TB yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Apriliasari, dkk. Tetapi

berbeda dengan hasil penelitian pada lahan kering yang menyatakan bahwa ada

hubungan antara dinding dengan kejadian TB dengan resiko terjadinya TB sebesar

2,490 kali.Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurwanti (2015)

yang menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian TB

paru.

13. Cara memasak dalam rumah

Hasil analisis menjelaskan bahwa sebagian besar responden yang

menderita TB cara memasak dalam rumah dengan tidak menggunakan kayu. Dan

146
dari hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara cara

memasak dalam

147
rumah dengan kejadian TB pada lahan basah. Tetapi berbeda dengan cara

memasak dalam rumah pada lahan kering yang memiliki hubungan dengan

kejadian TB dengan resiko terjadinya TB sebesar 3,231 kali. Hal ini tidak sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Jain Sanjay, Ordonez Alvaro, Kinikar

Aarti, et.al (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara cara

memasak dengan kejadian TB di India.

14. Riwayat merokok dalam keluarga

Hasil analisis tabel silang 2x2 pada penelitian menunjukan bahwa proporsi

responden TB paru yang memiliki keluarga yang perokok lebih banyak

dibandingkan yang tidak merokok baik yang terdapat di lahan basah maupun

lahan kering sama-sama lebih banyak. Berdasarkan hasil wawancara pada lahan

basah sebagian responden sudah merokok sejak belum menikah dan sejak usia

remaja dan ada juga yang sudah berhenti merokok karena alasan kesehatan.

Berdasarkan analisi terdapat perbedaan pada lahan basah dan lahan kering,

yaitu pada lahan basah tidak ada hubungan antara riwayat merokok dalam

keluarga dengan kejadian TB anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Yura, Zuriya (2016) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan

antara merokok dengan kejadian TB paru pada Puskesmas Pamulang. Selain itu

hasil penelitian Sejati dan Sofiana (2015) di Kabupaten Sleman juga menyebutkan

bahwa tidak ada hubungan antara merokok dengan kejdian TB paru. Sedangkan

pada lahan kering ada hubungan antara riwayat merokok dalam keluarga dengan

kejadian TB anak dengan resiko terjadinya TB sebesar 3,134 kali.Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Jain, Sanjay, dkk (2013) yang

menyebutkan bahwa ada hubungan antara merokok dengan kejadian TB anak di

148
India. Hasil penelitian lain

149
yang dilakukan oleh Kloppan dan Gopi yang menyebutkan bahwa seseorang yang

menghisap rokok >20 batang/hari memiliki risiko 3,68 kali tekena TB apru

dibandingkan orang yang tidak merokok. Selain itu juga, penelitian yang

dilakukan Ariyanto juga menyebutkan bahwa seseorang yang menghisap rokok

<10 batang/hari memiliki risiko 3,98 kalu terkena TB paru dibandingkan dengan

orang yang tidak merokok dan sesorang yang menghisap rokok > 10 tahun

memiliki risiko 2,96 kali terkena TB paru dibandingkan dengan orang yang tidak

meokok.

Secara teori, merokok tembakau merupakan faktor yang penting dapat

menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang penyakit. Namun pada

penelitian ini terdapat perbedaan yaitu tidak ada hubungan antara merokok dengan

kejadian TB anak pada lahan basah dan terdapat persamaan yaitu ada hubungan

antara merokok dengan kejadian TB anak pada lahan kering.

15. Kontak dengan penderita TB dewasa

Hasil analiss tabel silang pada penelitian ini menunjukan bahwa penderita

TB paru yang memiliki riwayat kontak serumah jumlahnya lebih besar

dibandingkan dengan penderita TB paru yang tidak memiliki riwayat kontak

serumah. Keberadaan kontak serumah berperan penting dalam proses penualaran

kepada anggota keluarga yang lain. Hal tersebut diasumsikan karena penderita TB

paru lebih lama dan sering melakukan kontak kepada anggota keluarga potensi

penualaran penyakit TB paru semakin meningkat.

Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa ada hubungan antara kontak

dengan TB dewasa dengan kejadian TB paru anak baik di lahan basah dan lahan

kering dengan resiko terjadinya TB sebesar 10 kali pada lahan basah dan 16,190

150
kali pada lahan kering. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Apriliasari Rusliana,

151
Hestingsih Ratno dan Martini (2018), Febrian Mira (2015), Jahiro dan Prihartono

(2015), Mahpudin dan Mahkota (2007), Fitriani (2013) yang menyatakan bahwa

ada hubungan antara kontak dengan kejadian TB anak.

Kuman TB berada di udara ketika sesorang dengan penyakit TB paru

batuk, bersin, berbicara dan bernyanyi sehingga orang terdekat dapat menghirup

dan kemudian terinfeksi. Responden pada penelitian ini adalah anak usia 0-14

tahun yang dimanan memiliki sistem imun yang belum stabil sehingga mudah

terserang penyakit yang disebabkan oleh virus, kuman dsbnya. Berdasarkan hasil

wawancara, kebanyakan responden yang menderita TB paru masih tidur bersama-

sama dengan anggota rumah tangga lainnya baik yang belum terinfeksi kuman TB

dan yang sudah terinfeksi kuman TB.

152
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Lahan basah an Lahan

kering di Kabupaten Kupang tentang Epidemiologi Kejadian Kasus TB anak

0- 14 tahun, dapat disimpulkan bahwa :

1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian

TB anak 0-14 tahun pada lahan basah. Tetapi memilki hubungan yang

signifikan antara pengetahuan dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada

lahan kering

2. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan kejadian

TB anak 0-14 tahun pada lahan basah dan lahan kering

3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan kejadian

TB anak 0-14 tahun pada lahan basah dan lahan kering

4. Ada hubungan yang signifikan antara gizi dengan kejadian TB anak 0-14

tahun pada lahan basah. Tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara

gizi dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada lahan kering

5. Tidak ada hubungan yang signifikan antara imunisasi BCG dengan

kejadian TB anak 0-14 tahun pada lahan basah dan lahan kering

153
6. Ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian

TB anak 0-14 tahun pada lahan basah dan lahan kering

7. Ada hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan kejadian TB

anak 0-14 tahun pada lahan basah. Tetapi tidak ada hubungan yang

signifikan antara luas ventilasi dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada

lahan kering

8. Ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai dengan kejadian TB

anak 0-14 tahun pada lahan basah. Tetapi tidak ada hubungan yang

signifikan antara jenis lantai dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada

lahan kering

9. Ada hubungan yang signifikan antara kelembapan ruangan dengan

kejadian TB anak 0-14 tahun pada lahan basah dan lahan kering

10. Ada hubungan yang signifikan antara suhu ruangan dengan kejadian TB

anak 0-14 tahun pada lahan basah dan lahan kering

11. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan kejadian

TB anak 0-14 tahun pada lahan basah. Tetapi ada hubungan yang

signifikan antara pencahayaan dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada

lahan kering

12. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding dengan kejadian

TB anak 0-14 tahun pada lahan basah. Tetapi ada hubungan yang

signifikan antara jenis dinding dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada

lahan kering

13. Tidak ada hubungan yang signifikan antara cara memasak dalam rumah

dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada lahan basah. Tetapi ada

154
hubungan yang signifikan antara cara memasak dalam rumah dengan

kejadian TB anak 0-14 tahun pada lahan kering

155
14. Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat merokok dalam

keluarga dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada lahan basah. Tetapi

ada hubungan yang signifikan antara riwayat merokok dalam keluarga

dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada lahan kering

15. Ada hubungan yang signifikan antara kontak dengan penderita TB dewasa

dengan kejadian TB anak 0-14 tahun pada lahan basah dan lahan kering

16. Ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian, pencahayaan,

kontak dengan TB dewasa dan gizi terhadap kejadian TB anak 0-14 tahun

jika diuji secara simultan (bersama) pada lahan kering. Tetapi tidak ada

hubungan yang signifikan pada lahan basah.

5.2 Implikasi

Hasil penelitian menunjukan bahwa gizi, kepadatan hunian, luas

ventilasi, jenis lantai, kelembapan ruangan, suhu ruangan (Lahan basah)

pengetahuan, kepadatan hunian, kelembapan ruangan, suhu ruangan,

pencahayaan, jenis dinding, cara memasak dalam rumah, riwayat merokok

dalam keluarga dan kontak dengan TB dewasa (Lahan kering) memiliki

hubungan yang signifikan dengan kejadian TB anak 0-14 tahun. Dengan

berbagai karakteristik yang terjadi, oleh karena itu perlu penyuluhan lebih

sering tentang TB kepada masyarakat, pelatihan-pelatihan dan juga kegiatan

yang menyangkut tentang penyakit menular.

5.3 Saran

1. Bagi Peneliti Lain

156
Perlu adanya penelitian lanjutan dengan menambah variabel bebas tentang

faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian TB khususnya faktor

lingkungan yang secara terperinci lagi (membuka jendela rumah, menjemur

kasur dan faktor lain) yang berpengaruh terhadap kejadian TB pada anak 0-14

tahun pada lahan basah dan lahan kering, dengan demikian banyak fakor yang

diketahui tentang kejadian TB anak.

2. Bagi Institusi Puskesmas

Puskesmas merupakan ujung tombak program pelayanan kesehatan

khususnya pada penanggulangan penyakit TB di masyarakat. Penanggung

jawab TB telah ada pada tiap-tiap puskesmas, namun seorang penanggung

jawab ini memiliki beban kerja ganda pada pelayanan pengobatan TB, bahkan

juga di pelayanan kesehatan lain. Oleh karena itu, hal ini masih belum

optimal, utamanya dalam usaha pengendalian TB di komunitas. Salah satunya

usaha penelurusan kontak khususnya pada anak yang rentan dengan pendrita

TB serumah.

Pedoman secara tersurat penting untuk menghilangkn batas antar unit yang

ada di level sektor kesehatan itu sendiri maupun antar stakeholder

kabupaten/kota/provinsi. Di puskesmas sendiri terdapat unit program

surveilans yang memiliki tupoksi pencegahan penularan penyakit di

kimunitas. Koordinasi yang baik di antara lini yang disusun dnegan regulasi

diperlukan sebagai koridor agar tidak terpengaruh dengan gaya kepemimpinan

kepada puskesmas pada gaya kebijakn yang berubah-ubah setiap pergantian

kepala.

Dan juga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi

157
pengelola program TB khususnya sebagai pertimbangan dalam penentuan

158
strategi pencegahan terjadinya kekambuhan penyakit dan kasus baru dengan

lebih mengintensifkan penyuluhan tentang rumah sehat dan pencegahan

penualran penyakit TB.

3. Bagi Masyarakat

Kesadaran pasien TB paru dewasa, masih intim dan mengabaikan infeksi

yang terjadi ketika kontak dengan anak. Hal ini menjadi titik fokus yang sulit

untuk diintervensi terkait hubungan emosional kekeluargaan. Namun

penjelasan dengan bijak mengenai dampak yang timbul bisa jadi merubah

sikap dan perilaku bagi penderita TB dewasa yang dekat dengan anak.

Masyarakat dapat mengatur kondisi konstruksi rumah dengan lebih baik

dengan memperhatikan syarat-syarat rumah sehat dan menambah informasi

mengenai hal-hal yang berhubungan dengan TB sehingga dapat meminimalisir

kemungkinan terjadi TB.

159
DAFTAR PUSTAKA

Amaliah, Rita. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kegagalan


Konversi Penderita TB Paru BTA Positif Pengobatan Fase Intensif di
Kabupaten Bekasi Tahun 2010. Tesis Fakultas Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

Antonio. 2012. Teori ke Praktek. Jakarta : Gema Insani Press

Apriliasari, Rusliana., Hestiningsih Retno,. Martini., Udiyono Ari. 2018. Faktor


Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru Pada Anak (Studi Di
Seluruh Puskesmas Di Kabupaten Magelang). Universitas Diponegoro.
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-journal) Volume 6, No 1 Januari 2018

Arifin, Nawas. 1990. Diagnosis Tuberkulosis Paru. UPF Paru Bagian


Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sekitar
Persahabatan. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No 63

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.


Rineka Cipta

Badan Pusat Statistik. 2016. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2017. NTT.
BPS Prov NTT

Dedman, D. J., Gunnell, D., Davey , S. G and Frankel, S. 2001. Childhood


hoursing conditions and later mortality in the boyd orr cohort. Journal
Epidemical community

Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Profil Data Kesehatan Indonesia


Tahun 2015. Kememtrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil Data Kesehatan Indonesia


Tahun 2016. Kememtrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Direktorat Jenderal. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi


Kedua Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI

Direktortar Jenderal P2PL. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen Tuberkulosis Anak.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

160
Direktorat Jenderal. 2016. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta:
Kemenkes RI

. 2016. Profil Kesehatan Kota Kupang tahun 2015. Kupang:


Dinkes Kota Kupang

. 2017. Data dan Informasi Kesehatan Profil Kesehatan


Indonesia tahun 2016. Jakarta: Kemenkes RI

Efrawati, F., Ainy, A, Misnariarti. 2011. Hubungan Karakteristik Penjamu


Terhadap Kejadian TB Paru di Klinik DOTS RSUD DR. Ibnu Sutowo
Baturaja. Artikel vol 2 no 3 tahun 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Sriwijaya

Farmani, Putu, Ika. 2015. Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis


Pada Pasien Dengan Pengobatan Kategori I Di Puskesmas Kota Denpasar
Pada Tahun 2011-2012. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana

Febrian, Mira, Ayu. 2015. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB


Paru Anak Di Wilayah Puskesmas Garuda Kota Bandung. Jurnal Ilmu
Keperawatan Volume III, No 2 September 2015.

Food and Agriculture Organization. 2013.

Fribisher., dkk. 1996. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Jakarta: UI

Hardjasoemantri, K. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan, Konversi


Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta: UGM Press

Harianto, Sugeng. P dan Dewi Bairah Sari. 2017. Buku Ajar Biologi Konversi
Biodiversitas Fauna di Kawasan Budidaya Lahan Basah. Universitas
Lampung

Indriyani, Novita., Nur Istiqomah., M.C. Anwar. 2016. Hubungan Tingkat


Kelembapan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di
Wilayah Kecamatan Tulis Kabupaten Batang. Journal of public health
Unnes

Jahiroh dan Prihartono, N. 2014. Hubungan Stunting Dengan Kejadian


Tuberkulosis Pada Balita. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
The indonesian journal of infcetion disease

Jain, K. Sanjay,. Ordonez, Alvaro., Kinikar, Aarti,. et al. 2013. Pediatric


Tuberculosis In Young Children In India : A Prospectove Study. Biomed
Research International Volume 2013, Article ID 783698

161
Jordan dan Davies. 2010. Clinical Tuberculosis and Treatment Outcome
International Journal TB Long Desease

Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Journal


Kesehatan Lingkungan Vol 2 No 1

Krieger, J and Higgins, D. L. 2002. Housing and Health: Time Again for Public
Health Action. American Journal of Public Health

Loihala, Maria. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan TBC Paru pada
Pasien Rawat Jalan Di Poli RSUD Schoolo Keyen Kabupaten Sorong
Selatan Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Prima Volume 10, No 2. Agustus
2016 Hal 1665-1671.

Mardjo, T. M. K., Ratang, B. T., Asrifuddin, Afnal. 2018. Hubungan Antara


Tingkat Pendidikan, Pendapatan dan Riwayat Kontak Serumah dengan
Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Paniki Bawah Kota
Manado. Fakulatas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
Manado

Muruka, C and Muruka, A. 2007. Gui Delines for Enviromental Helath


Management in Chlidrens Homes in Sub-Sahara Africa. Inf J Environ Res
Public Health

Newton, S. M., Brent, A. J., Anderson, S., Whilfahrt, E and Kompmarn, B. 2008.
Pediatric Tuberculosis. Lancet Infect Disease

Notoadmodjo. 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Nurwanti. 2015. Skripsi Hubungan Antara Faktor Penjamu (Host) dan Faktor
Lingkungan (Environment) dengan Kejadian TB Paru Kambuh (Relaps)
Puskesmas Sekota Semarang tahun 2015. Universitas Negeri Semarang
Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat

Ollier, V., F. Anton., G. Thouvenir., A. Faye., I. Kone Paut., G. Benoist., D.


Antoine., C. Charlois., C. Dekacount. 2018.
Putra, N. R. 2011. Skripsi Hubungan Perilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah
dengan Kejadian TB Paru di Kota Solok. Universitas Andalas Prodi Ilmu
Kesehatan Masyarakat

Purmamaningsih, Indah., Martini, M. M. S. A., Lintang, D. S. 2018. Hubungan


Status Riwayat Kontak BTA + terhadap Kejadian Tuberkulosis Anak
(Studi di Balai Kesehatan Masyarakat Wilayah Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e-jorunal vol 6 no 1 tahun 2018)

Purwadhi. 1998. Interprestasi Citra Digital. Jakarta: PT. Grasindo

162
Riani, R. E. S dan Machmud, P. B. 2016. Kasus Kontrol Hubungan Imunisasi
BCG dengan Kejadian TB Paru Pada Anak tahun 2015-2016. Depok. Seri
pediatri vol 19 no 6 april 2018

Rukmana. 2006. Produktivitas dan Manajemen. Jakarta : Lembaga Sarana


Informasi Usaha dan Produktivitas

Sedan, James, A., Delone Shingoda. 2014. Epidemiology And Desease Burder Of
Tuberculosis In Children : a global perspective. Article journal infection
and drug resistance 7, 153-165

Sitorus, S. H. P. 1995. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsilo. Bandung

Soborg, B., Anderson, A. B., Melbye, M., Andersson, M., Bigger, R. J.,
Ladefoged, K., Thomsen, V. O., Koch, A. 2011. Risk Factors For
Mycobacterium Tuberculosis Infection Among Children In Greenland.
Buil World Health Organ

Soepardi. 2004. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Vol VI. Jakarta: EGC

Susanti Milda. 2017. Skripsi Hubungan Status Gizi dan Riwayat Vaksinasi BCG
dengan Kejadian TB Paru Pada Anak di Poliklinik Anak RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2017. Fakultas Keperawatan dan Ilmu Kesehatan
Masyarakat Prodi Keperawatan Banjarmasin

Upe AL Asyary. 2015. Disertasi Tuberkulosis Paru Anak (0-14 tahun) Akibat
Kontak Serumah Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa di Daerah
Istimewah Yogyakarta. Depok UI

Utomo. 1992. Pembangunan dan Pengndalian Alih Fungsi Lahan. Lampung:


Universitas Lampung

World Health Organization. 2006a. Guidance for Reitonal Tuberculosis


Programmes on the Management of TB in Children. WHO 2006

. 2006b. Stop TB Partnership. The stop TB


strategy: Building on and enhancing DOTS to meet the TB related MDGs.
Geneva. WHO

. 2017. Global Tuberculosis Report 2017. Geneva:


WHO 2017

Yuniar, Isma., Saswono., Lestari, S.D. 2018. Hubungan Status Gizi dan
Pendapatan Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal PPNI, Volume
1, Nomor 1 tahun 2017

163
Zuriya, Yufa. 2016. Skripsi Hubungan Antara Faktor Host dan Lingkungan
dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesamas Pamulang.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

164

Anda mungkin juga menyukai