Anda di halaman 1dari 39

TUGAS KULIAH FILSAFAT ILMU

(Struktur Penelitian Dan Penulisan Ilmiah Menurut Filosofi)

Judul Penelitian Skripsi :


Hubungan Riwayat Status Imunisasi Bacille Calmette-Guérin (BCG) Dengan
Kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak Di Badan Layanan Umum Daerah
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara Tahun 2015

Oleh:
dr. Hedya Nadhrati Surura
NIM. 193307040028

MAGISTER SAINS BIOMEDIK


UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA

1
2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang menyerang

manusia yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.

tuberculosis) dan bersifat laten atau kronik. Bakteri M. tuberculosis dapat

menyerang semua bagian tubuh manusia, antara lain paru-paru, otak, ginjal,

saluran pencernaan, tulang, dan kelenjar getah bening (Yulianto, 2007). Bakteri

M. tuberculosis Sekitar 80% diantaranya menyerang paru-paru dan 20%

selebihnya menyerang ekstrapulmonar (Djojodibroto, 2009).

Tuberkulosis (TB) merupakan peringkat kedua sebagai penyebab utama

kematian akibat penyakit infeksi menular di seluruh dunia setelah Human

Immunodeficiency Virus (HIV) dan TB merupakan satu dari sepuluh penyebab

kematian pada anak-anak dan bayi di seluruh dunia (KNCV, 2015). Data WHO

secara global sejak tahun 1990, angka kematian pada penderita TB menurun 45%

per 100.000 penduduk per tahun dan data tahun 2000 sampai 2013, diperkirakan

37 juta jiwa diselamatkan melalui diagnosis dan pengobatan yang efektif. Data

WHO juga menyebutkan meskipun secara global angka kematian TB menurun,

kasus TB masih menjadi masalah kesehatan global utama dikarenakan penderita

TB dapat terjadi pada semua usia dan setiap satu penderita TB dewasa akan

menularkan ke 10 sampai 15 orang lain setiap tahunnya dengan sasaran kelompok

usia produktif, ekonomi lemah, pendidikan rendah, serta golongan pada orang
3

yang memiliki sistem imun yang lemah atau yang belum sempurna seperti pada

anak-anak (WHO, 2014; Achmadi, 2002; Depkes, 2007).

World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa sepertiga dari

populasi dunia terinfeksi oleh M. tuberculosis. Diperkirakan sekitar 9 juta orang

terinfeksi TB dan 2 juta diantaranya meninggal dunia (Kartasasmita, 2009). Data

dari WHO juga menyebutkan bahwa dari 9 juta kasus TB per tahunnya, sekitar 1

juta (11%) diantaranya terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun. World

Health Organization (WHO) memaparkan, negara-negara seluruh dunia

melaporkan persentase dari semua kasus TB pada anak bervariasi, dari 3% sampai

lebih dari 25% setiap tahunnya (WHO, 2006).

Data tahun 2012 yang dihimpun oleh WHO, penderita TB kasus baru di

seluruh dunia masih dikatakan banyak, yaitu berjumlah 8,6 juta kasus dan 1,3 juta

diantaranya meninggal dunia. Penjelasan WHO menyatakan bahwa 1,3 juta orang

yang meninggal dunia akibat TB tersebut, 1 juta di antaranya adalah orang dengan

HIV negatif dan 0,3 juta orang penderita HIV positif. Data tersebut juga

menghimpun penderita TB anak di seluruh dunia diperkirakan 550.000 kasus dan

80.000 diantaranya meninggal dunia (WHO, 2014).

Tuberkulosis (TB) anak hampir selalu berasal dari penularan TB paru orang

dewasa, terutama pada anak yang tinggal bersama dengan penderita TB paru

dewasa. Tuberkulosis (TB) anak akan tetap menjadi permasalahan kesehatan di

dunia selama insidensi TB paru dewasa masih tinggi. Kasus TB pada anak

sebagian besar terjadi di negara-negara TB endemik tetapi prevalensinya belum

diketahui (WHO, 2014).


4

Centers for Diseasae Control and Prevention (CDC) memaparkan dari

perkiraan WHO bahwa anak yang terkena penyakit TB menyumbang 6 sampai

10% dari semua kasus TB di seluruh dunia (CDC, 2014). Tuberkulosis (TB) kasus

baru pada anak menyumbang sebanyak 40% dari total kasus baru di negara-

negara dengan kasus endemik penyakit TB. Data tersebut juga menyebutkan

setengah juta anak di seluruh dunia menderita penyakit TB setiap tahun dan lebih

dari 74.000 anak meninggal akibat penyakit ini setiap tahunnya (WHO, 2013).

Anak dengan infeksi TB saat ini menunjukkan sumber penyakit TB di masa

depan. Kasus TB pada anak ini merupakan kasus yang diremehkan di seluruh

dunia sehingga menjadi ‘epidemi tersembunyi’ selama bertahun-tahun karena

sejumlah tantangan. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui secara pasti

karena kurangnya alat diagnostik yang ‘child friendly’, tidak adekuatnya sistem

pencatatan dan pelaporan kasus TB anak (TB Indonesia, 2013).

Indonesia menyumbang sekitar 8,2% pada tahun 2012 dari kasus TB anak di

dunia (TB Indonesia, 2013). Kasus TB (semua tipe) di Provinsi Aceh dilaporkan

pada tahun 2013 berjumlah 3.105 orang dan tahun 2014 terjadi peningkatan

menjadi 3.236 orang. Kasus TB di Aceh Utara tahun 2013 dilaporkan sebanyak

373 orang dan tahun 2014 terjadi peningkatan sekitar 11,8% yaitu berjumlah 417

orang (Kemenkes, 2015). Kasus TB anak di tahun 2012 Provinsi Aceh

menyumbang sebanyak 1,8% dari seluruh provinsi di Indonesia, tetapi angka

tersebut merupakan terendah kedua setelah Sulawesi utara (1,7%) (TB Indonesia,

2013).
5

Data rekam medik Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum

(BLUD RSU) Cut Meutia Aceh Utara tahun 2014 menyebutkan TB kasus baru

pada anak sebanyak 232 anak dengan rentang usia 0 sampai 17 tahun dan rata-rata

usia yang terkena penyakit TB ini 5 sampai 14 tahun.

Tingginya kasus TB di Provinsi Aceh tahun 2013 sampai tahun 2014,

diperkirakan TB pada anak juga meningkat. Data mengenai hal tersebut masih

sedikit dilaporkan berhubung karena anak tidak mempunyai gejala yang spesifik

seperti halnya pada orang dewasa sehingga terkadang tidak terdeteksi (Kemenkes,

2015).

Peningkatan kesehatan anak dapat dicapai diantaranya dengan program

imunisasi. Program imunisasi merupakan salah satu cara untuk meningkatan

derajat kesehatan anak, yaitu upaya penurunan angka kesakitan anak dari penyakit

yang dapat dicegah atau meringankan suatu penyakit dengan imunisasi, terutama

pada penyakit TB anak yang merupakan penyakit kompleks dan disebabkan oleh

berbagai faktor meliputi imunisasi pasif, status imunisasi Bacille Calmette-Guérin

(BCG) dan status gizi. Risiko untuk terkena sakit TB tergantung pada sistem

pertahanan tubuh, salah satunya dengan imunisasi BCG yang dipengaruhi oleh

umur, nutrisi, virulensi kuman, dosis infeksi, genetik, dan penyakit lain (Herawati

et al, 2005).

Rosental tahun 1961 (dikutip dalam Colditz tahun 1994, h. 698) menjelaskan

bahwa pemberian BCG dapat mengurangi morbiditas sampai 74%. Data WHO

menyebutkan efikasi imunisasi BCG terhadap TB sebesar 0 sampai 80%. Uji coba

di negara-negara barat pada anak-anak dengan status gizi baik, membuktikan


6

bahwa BCG memberikan perlindungan terhadap TB sebesar 80% bila diberikan

pada bayi sebelum mendapat infeksi atau tuberkulin negatif.

Penelitian tentang efikasi BCG di Indonesia pernah dilakukan oleh Putrali

dan Gunadi tahun 1985 pada anak umur 0 sampai 12 bulan yang didiagnosis TB.

Efektifitas imunisasi BCG melindungi anak dari semua jenis TB adalah 37% dan

66% perlindungan terhadap TB berat. Uji klinis vaksin BCG pada bayi baru lahir

pernah dilakukan pada tahun 1992 oleh Isbagio et al. Imunisasi BCG ini

diberikan pada bayi yang mempunyai berat badan lahir ≥ 2.500 gram dan tes

tuberkulin negatif. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui apakah vaksin

BCG yang dipakai di Indonesia cukup aman dan potensial. Hasil penelitian

tersebut mengatakan bahwa imunisasi dilaksanakan dengan sangat baik.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Maria et al tahun 2005 menyebutkan bahwa,

pemberian imunisasi BCG tidak mempunyai hubungan yang bermakna atau tidak

ada hubungan antara pemberian imunisasi BCG dengan penyakit TB pada anak.

Data tahun 2013 sebanyak 13.790 anak dengan rentang usia 0 sampai 11

bulan telah mendapatkan imunisasi BCG di wilayah Aceh Utara dan kota

Lhokseumawe. Data tahun 2014, anak di wilayah Aceh Utara dan kota

Lhokseumawe yang mendapat imunisasi sebanyak 13.113 anak (Kemenkes,

2015). Berdasarkan data rutin Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) dari Kemenkes tahun 2014, cakupan

imunisasi BCG tahun 2013 sudah memenuhi target nasional, yaitu lebih dari 90%

(96,3%) dengan rentang usia 0 sampai 14 tahun, namun angka kejadian TB pada

anak masih merupakan salah satu angka kesakitan tertinggi dari semua penyakit
7

anak di tempat penelitian, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti hubungan

imunisasi BCG dengan kejadian TB pada anak di Badan Layanan Umum Daerah

Rumah Sakit Umum (BLUD RSU) Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015.

Penulisan:

1. Judul: sudah tepat, Masalah yang tertera pada judul tidak bediri sendiri dan

sebagai titik acuan untuk melakukan penelitian dan mencari informasi-

informasi valid mengenai kasus seperti di judul.

2. Latar belakang: menurut saya, latar belakang sudah sinkron dengan judul

berdasarakan penjelasan yang dipaparkan dari global ke lokal dengan

berdasarkan teori dan penelitian yang ada sebelumnya, serta latar belakang

kasus berdasarkan kasus yang saat itu menjadi trending topic atau menjadi

salah satu masalah utama di daerahnya.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Mengingat kasus TB pada anak masih banyak dan meningkat setiap

tahunnya serta masih terdapatnya kontradiksi manfaat dan efektifitas dari

imunisasi BCG pada penyakit TB anak, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan

riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.

Penulisan: Semua kaidah penulisan ini sebelumnya mengikuti aturan kampus saya

saat skripsi S1 tahun 2015. Jika berdasarkan struktur penelitian dan penulisan
8

ilmiah menurut filosfi, harusnya sub bab 1.2 merupakan pembahasan “Identifikasi

Masalah Penelitian”, sehingga sub bab yang seharusnya dalam 1.2 ini diperbaiki

sebagai berikut:

1.2 Identifikasi Masalah Penelitian

Mengingat kasus TB pada anak masih banyak dan meningkat setiap

tahunnya serta masih terdapatnya kontradiksi manfaat dan efektifitas dari

imunisasi BCG pada penyakit TB anak, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan

riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.

1.3 Pertanyaan Masalah Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran riwayat status imunisasi BCG pada penderita TB anak

di BLUD RSU Aceh Utara tahun 2015?

2. Bagaimana gambaran kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut Meutia

Aceh Utara tahun 2015?

3. Apakah ada hubungan riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian TB

pada anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015?

Penulisan: Semua kaidah penulisan ini sebelumnya mengikuti aturan kampus saya

saat skripsi S1 tahun 2015. Jika berdasarkan struktur penelitian dan penulisan
9

ilmiah menurut filosfi, harusnya sub bab ini di isi oleh 1.3 Pembatasan Masalah,

sehingga penulisan yang seharusnya dalam 1.3 ini adalah sebagai berikut:

1.3 Pembatasan Masalah Penelitian

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah anak dengan riwayat

diagnosis sakit TB, baik yang sudah atau belum di imunisasi BCG.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.

1.4.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran riwayat status imunisasi BCG pada penderita

TB pada anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015.

2. Untuk mengetahui gambaran penderita TB pada anak di BLUD RSU Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.

3. Untuk mengetahui hubungan riwayat status imunisasi BCG dengan

kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015.

Penulisan: Tulisan pada sub bab 1.2 dan 1.3 sebelumnya (yang belum diperbaiki

dan yang masih berwarna hitam), merupakan aturan penulisan dari kampus
10

sebelumnya saat skripsi S1 tahun 2015, antara rumusan masalah dan pertanyaan

masalah penelitian merupakan sub bab yang berbeda dan terpisah. Jika mengikuti

struktur penelitian dan penulisan ilmiah menurut filosfi, yang benar di sub bab

perumusan masalah disertakan pertanyaan apa saja yang ingin kita cari

jawabannya, sehingga penulisan yang benar di sub bab 1.5 ini menurut saya

adalah sebagai berikut:

1.4 Perumusan Masalah Penelitan

Mengingat kasus TB pada anak masih banyak dan meningkat setiap

tahunnya serta masih terdapatnya kontradiksi manfaat dan efektifitas dari

imunisasi BCG pada penyakit TB anak, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan

riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran riwayat status imunisasi BCG pada penderita TB

anak di BLUD RSU Aceh Utara tahun 2015?

2. Bagaimana gambaran kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut Meutia

Aceh Utara tahun 2015?

Apakah ada hubungan riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian TB pada

anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015?


11

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan sumber

informasi bagi akademisi tentang hubungan riwayat status imunisasi BCG dengan

kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015.

1.5.2 Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan mengenai kasus

TB pada anak, kajian dan evaluasi mengenai efektivitas dari imunisasi BCG pada

anak.

Penulisan: Semua kaidah penulisan ini sebelumnya mengikuti aturan kampus saya

saat skripsi S1 tahun 2015. Jika berdasarkan struktur penelitian dan penulisan

ilmiah menurut filosfi, harusnya sub bab ini di isi oleh 1.5 Tujuan Penelitian dan

1.6 manfaat penelitian. Namun di kaidah penulisan aturan kampus saya

sebelumnya antara tujuan penelitian dan manfaat penelitan hanya dibedakan

berdasarkan manfaat teoritis dan manfaat praktis, sehingga jika berdasarkan

struktur penelitian dan penulisan ilmiah menurut filosfi, penulisan di sub bab ini

adalah sebagai berikut:


12

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.

1.5.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran riwayat status imunisasi BCG pada penderita

TB pada anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015.

2. Untuk mengetahui gambaran penderita TB pada anak di BLUD RSU Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.

3. Untuk mengetahui hubungan riwayat status imunisasi BCG dengan

kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan sumber

informasi bagi akademisi tentang hubungan riwayat status imunisasi BCG dengan

kejadian TB pada anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015.

1.6.2 Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan mengenai kasus

TB pada anak, kajian dan evaluasi mengenai efektivitas dari imunisasi BCG pada

anak.
13

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB Pada Anak

2.1.1 Definisi

Tuberkulos (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan

oleh bakteri M. tuberculosis. Kuman TB sebagian besar menyerang paru-paru (80

sampai 90%), sehingga disebut pulmonary TB. Tuberkulosis (TB) juga dapat

menyerang organ tubuh lainnya dan TB yang menyerang organ tubuh lain tersebut

lebih berbahaya daripada pulmonary TB (Depkes, 2011).

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit TB adalah M. tuberculosis yang merupakan basil

tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak

bergerak, tidak membentuk spora, panjang sekitar 2 sampai 4 µm, dan mereka

dapat terlihat sendiri-sendiri atau berkelompok pada spesimen klinis yang

diwarnai atau media biakan. M. tuberculosis merupakan aerob wajib (obligat)

yang tumbuh pada media sintetis yang mengandung gliserol sebagai sumber

karbon dan garam amonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh

paling baik pada suhu 37 sampai 41º C, menghasilkan niasin dan tidak ada

pigmentasi. Dinding sel yang kaya lipid menimbulkan resistensi terhadap daya

bakterisid antibodi dan komplemen (Nelson, 2012).

2.1.3 Cara penularan

Penyakit TB pada anak tidak lepas dari kontak erat dari penderita TB pada

orang dewasa, yaitu anak yang tinggal serumah atau sering bertemu pada
14

penderita TB orang dewasa. Penularan terjadi melalui inhalasi atau terhirupnya

udara dari orang dewasa yang menderita TB dengan sputum basil tahan asam

(BTA) positif (Kemenkes, 2013).

2.1.4 Patogenesis

Nelson (2013) menjelaskan infeksi TB kompleks primer terdiri dari

penyakit lokal dari tempat masuknya basil tuberkel dan nodus limfatikus regional

yang mengaliri daerah fokus primer. Infeksi dapat terjadi di setiap tempat di

tubuh, tetapi pada manusia, paru merupakan tempat yang paling lazim.

Awal mula yang terjadi adalah terbentuknya fokus primer di paru yang

dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau peluritis fokal. Basil tuberkel

akan bermultiplikasi di dalam parenkim paru, yaitu di alveolus dan duktus

alveolaris dengan respon eksudat peradangan yang mengandung leukosit

polimorfonuklear jika telah terhirup. Basil tersebut sebagian berhasil diangkut dari

tempat inkolusi melalui aliran limfe ke kelompok nodus imfatikus regional yang

mengaliri fokus primer. Proses infeksi tersebut, leukosit akan digantikan oleh

makrofag dan membentuk fokus longgar jaringan yang terinfiltrasi dimulai pada

hari kedua. Keadaan ini menetap selama 6 sampai 12 hari atau lebih. Makrofag

yang berinfiltrasi secara progresif menjadi lebih padat dan akhirnya cenderung

memanjang, sebagian bersatu satu sama yang lain dan membentuk tuberkel sel

epiteloid yang khas. Basil tuberkel berhasil memperbanyak dirinya dan

selanjutnya akan terjadi perubahan reaksi terhadap basil serta hasil metaboliknya.

Hipersensivitas timbul pada pejamu setelah 4 sampai 8 minggu dan reaksi kulit

terhadap tuberkulin menjadi positif, terjadi nekrosis di bagian tengah lesi dan
15

menetap sebagai massa seperti keju kekuningan yang disebut bahan kaseosa. Lesi

akan dibatasi oleh penumpukan kolagen oleh fibrosit dan pembentukan kapsul

ketika resistensi dan hipersinsivitas timbul. Terjadinya nekrosis perkijauan yang

berat akan menyebabkan bagian tengah lesi mencair dan keluar melalui bronkus

sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru atau yang disebut kavitas. Bulan

berikutnya lesi tuberkulosis sering sembuh dengan resolusi (kembali ke normal)

dan fibrosis atau dengan perkapuran dapat sembuh sendiri dalam 6 bulan sampai

beberapa tahun (Rudolph, 2006; Nelson, 2012).

Komponen nodus dari kompleks primer memperlihatkan kurangnya

kecenderungan sembuh sempurna dibandingkan dengan fokus parenkim.

Perkijauan dan basil tuberkel yang hidup menetap selama bertahun-tahun setelah

terjadi perkapuran. Nodus limfatikus merupakan faktor penting dalam

perkembangan penyakit primer karena cenderung menjadi besar dan lunak.

Pembesaran ini bisa melewati batas atau memasuki visera di dekat bronkus,

pembuluh darah, perikardium, atau esofagus (Rudolph, 2006).

Selama stadium infeksi dini pada tempat masuknya bakteri tersebut,

sebelum terjadi hipersensivitas, sejumlah kecil basil tuberkel mencapai aliran

darah melalui sistem limfatik dan nodus regional. Penyebaran sporadik ini

cenderung berhenti setelah terbentuk resistensi yang di dapat. Hasil tuberkel yang

menyebar, terbunuh tanpa membentuk fokus infeksi. Basil lainnya terus

berkembang dengan laju yang berbeda-beda ke tempat penyakit yang sedang

aktif. Keadaan ini mungkin membaik atau sembuh sempurna atau tetap diam
16

dengan mengandung basil tuberkel yang bisa memulai lagi aktivitasnya bertahun-

tahun setelah serangan infeksi primer (Rudolph, 2006; IDAI, 2008).

Risiko paling besar untuk perkembangan kompleks primer dengan

perluasan penyakit parenkim, terjadinya meningitis TB serta TB miliaris adalah

dalam 12 bulan pertama setelah infeksi primer. Usia merupakan faktor penting.

Risiko anak yang terinfeksi pada usia di bawah 5 tahun untuk mendapat

meningitis atau penyakit miliaris dalam 12 bulan adalah 4%, angka ini menurun

pada anak yang berusia antara 5 sampai 10 tahun dan kemudian meningkat

kembali pada masa remaja. Lesi tulang timbul dalam 2 sampai 3 tahun. Lesi ginjal

dan kulit terjadi sangat lambat dan jarang sebelum 5 tahun setelah infeksi

(Rudolph, 2006).

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB,

dikarenakan ukurannya yang sangat kecil (< 5 µm) (Rudolph, 2006; IDAI, 2008).

Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai

alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme

imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan

biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Kasus-kasus

tertentu dan hanya sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan

kuman TB sehingga kuman bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam

makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag

mengalami lisis dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi

pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon. Setelah

terbentuk fokus primer tersebut, kuman TB selanjutnya akan menyebar melalui


17

saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang

mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan

terjadinya inflamasi di saluran limfe (Limfangitis) dan di kelenjar limfe

(Limfadenitis) yang terkena. Lesi yang terjadi pada fokus primer yang terletak di

lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe

parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat

adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus

primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe

yang meradang (Limfangitis) (Depkes-IDAI, 2008).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini

berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu

yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 2 sampai 8 minggu dengan

rentang waktu antara 2 sampai 12 minggu. Waktu proses atau masa inkubasi

tersebut, kuman akan tumbuh hingga mencapai jumlah 103 sampai 104 yaitu

jumlah yang cukup untuk meransang respon imunitas seluler (IDAI, 2008;

Rudolph, 2006).

Minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik

kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitasi terhadap

tuberkulin mengalami perkembangan sensivitas. Terbentuknya kompleks primer

inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Tanda terbentuknya kompleks

primer adalah dengan terbentuknya hipersensivitas terhadap tuberkuloprotein,


18

yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji

tuberkulin masih negatif. Individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, ketika

sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Kuman TB dapat

hidup dalam granuloma, akan tetapi hanya sejumlah kecil dari kuman TB tersebut.

Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru masuk ke dalam alveoli

akan segera dimusnahkan (IDAI, 2008; Nelson 2012). Fokus primer yang berada

di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna yang membentuk

fibrosis atau kalsifikasi setelah nekrosis perkijauan dan enkapsulasi setelah

imunitas seluler telah terbentuk. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami

fibrosus dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna

fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama

bertahun-tahun dalam kelenjar ini (IDAI, 2008).

Kompleksi primer terjadi dikarenakan oleh adanya infeksi lokal pada

tempat masuk dan limfonodi regional yang mengaliri daerah tersebut (lihat pada

gambar 2.1), sehingga akan terjadi limfangitis dan limfadenitis. Beberapa basil

yang dapat bertahan hidup di dalam makrofag yang dinonaktifkan, akan terbawa

ke limfonodi regional melalui vasa limfatika. Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal

yang awalnya berukuran normal diawal infeksi akan membesar karena reaksi

inflamasi berlanjut. Bronkus dapat terganggu yang akan menyebabkan obstruksi

parsial pada bronkus tersebut akibat tekanan eksternal yang akan menimbulkan

hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis.

Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijauan dapat merusak serta

menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial


19

atau membentuk fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang

sering disebut sebagai lesi segmental kolaps konsolidasi (Rudolph, 2006; IDAI,

2008).

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, penyebaran

dapat terjadi di limfogen dan hematogen. Penyebaran kuman melalui limfogen,

melalui kelenjar limfe regional yang selanjutnya akan membentuk kompleks

primer. Penyebaran kuman melalui hematogen, kuman TB tersebut masuk ke

dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Penyebaran hematogen

inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik (IDAI, 2008).

Lima tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama) pada anak,

biasanya sering terjadi komplikasi. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun

2008 memaparkan ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran

limfohematogen, TB endobronkial dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5 sampai 3%

penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini

biasanya terjadi 3 sampai 6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis

endobronkial yaitu lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar

regional dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3 sampai 9 bulan).

Tuberkulosis (TB) paru kronik dapat terjadi dalam waktu yang bervariasi,

tergantung pada usia terjadinya infeksi primer pada pasien yang bersangkutan.

Tuberkulosis (TB) paru kronik menggambarkan reinfeksi sebuah sumber basil

tuberkel yang sebelumnya telah terbentuk di dalam tubuh seseorang dan bersifat

endogen. Dalam arti lain, terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
20

mengalami resolusi sempurna. Reaksi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering

terjadi pada remaja dan dewasa muda (Rudolph, 2006; IDAI, 2008).

Gambar 2.1 menunjukkan patogenesis terjadinya TB paru anak menurut

Depkes tahun 2008.

Gambar 2.1. Patogenesis TB anak


Sumber: Depkes RI, 2008

Keterangan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (Occult

hematogenic spread) dapat juga secara akut dan menyeluruh. Kuman TB


21

kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi

yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivitas di kemudian hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2) dan

limfadenitis regional (3).

3. Tuberkulosis (TB) primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.

4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pasca primer karena mekanismenya

bisa melalui proses reaktivitas fokus lama TB (endogen) yang biasanya pada

orang dewasa.

2.1.5 Manifestasi klinis

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2013

menyebutkan, adapun gejala awal dari TB pada anak yaitu:

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik

dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya

perbaikan gizi sebaik-baiknya.

2. Demam lama (lebih dari 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang

jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-

lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan

merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan

gejala-gejala sistemik atau umum lainnya.

3. Riwayat batuk lama lebih dari 3 minggu, batuk bersifat non-remitting

(tidak pernah ada atau intensitas semakin lama semakin parah) dan

sebab lain batuk telah disingkirkan.


22

4. Anoreksia atau nafsu makan berkurang yang disertai gagal tumbuh

(failure to thrive).

5. Malaise dan anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten atau menetap (lebih dari 2 minggu) yang tidak sembuh

dengan pengobatan baku diare.

7. Bayi yang mengalami penyakit TB paru, gejala dapat hadir dengan

gejala akut. Keadaan kronis pada bayi yang menderita TB paru

dijumpai batuk yang tak henti-hentinya selama lebih dari 21 hari dan

sesekali mengalami distres pernapasan, demam lebih dari 38º C selama

14 hari dan diperhatikan grafik pertumbuhan pasien tersebut (MIMS

Pediatrics, 2008/2009).

2.1.6 Diagnosis

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2008 menyebutkan dalam

mendiagnosis TB pada anak memiliki beberapa kesulitan, yaitu sedikitnya jumlah

kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Jumlah

kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena

lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan

parenkim paru bagian perifer serta tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat

pada orang dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila

jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak.

Kesulitan kedua, pengambilan spesimen atau sputum sulit dilakukan. Anak

biasanya ketika batuk, terutama pada batuk berdahak, dahak akan segera ditelan

sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui Nasogastrick Tube


23

(NGT) dan harus dilakukan oleh pertugas berpengalaman, tetapi cara ini kurang

disukai oleh pasien (IDAI, 2008).

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2013 menyebutkan, dalam

mendiagnosis TB pada anak didasarkan pada:

a. Bukti atau kecurigaan adanya kontak dengan sumber infeksi TB,

biasanya pasien TB dewasa dengan hasil BTA positif.

b. Gejala dan tanda klinis sugestif TB, termasuk penilaian seksama

terhadap kurva tumbuh kembang anak.

c. Uji tuberkulin positif.

d. Gambaran radiologis sugestif ke arah TB.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2008 menjelaskan tata cara

mendiagnosis TB pada anak adalah sebagai berikut:

1. Uji Tuberkulin (Mantoux)

Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada

TB aktif pada anak. Uji tuberkulin dapat negatif pada anak yang menderita

TB berat dengan alergi, malnutrisi, penyakit sangat berat, dan lain-lain.

2. Reaksi cepat BCG

Penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (3 sampai 7 hari) berupa kemerahan

dan indurasi lebih dari 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi

kuman TB.

3. Foto toraks

Gambaran foto toraks TB paru pada anak tidak khas dan interpretasi biasanya

sulit, karena harus dilakukan dengan hati-hati dan kemungkinan bisa


24

overdiagnosis atau underdiagnosis. Gambaran berupa pembesaran kelenjar

hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi

segmental atau lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, atau tuberkuloma

(Kemenkes, 2013).

4. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya

dilakukan dengan bilasan lambung karena dahak sulit di dapat pada anak.

Menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan,

namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat

melakukan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem

skoring tersebut dikembangkan dan diuji coba melalui tiga tahap penelitian

oleh para ahli IDAI, Kemenkes, didukung oleh WHO, dan disepakati sebagai

salah satu cara untuk memperoleh penegakan diagnosis TB anak terutama di

fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes, 2013).

Diagnosis TB pada anak sulit ditegakkan karena gejalanya tidak khas,

maka dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB anak oleh beberapa pakar.

Kesepakatan ini dibuat untuk mempermudah penganan TB anak secara luas. Unit

kerja koordinasi respirologi (UKK PP IDAI) telah membuat Pedoman Nasional

Tuberkulosis Anak (PNTA) yang telah tersebar luas dan telah diadopsi oleh

departemen kesehatan menjadi Program Pemberantasan TB Nasional, yaitu

dengan menggunakan sistem skoring (lihat Tabel 2.1) (Depkes, 2008).


25

Tabel 2.1 Sistem skoring TB anak (Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, UKK
Pulmonologi PP IDAI, 2005)
Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak Laporan keluarga, Kavitas (+), BTA (+)


Jelas BTA (-), tidak tahu, BTA tidak jelas
atau tidak jelas

Uji Tuberkulin Negatif Positif

Berat badan BB/Tb ˂90% atau Klinis gizi buruk


atau keadaan BB/U ˂80% BB/Tb ≤70%
gizi atau BB/U ≤60%

Demam tanpa ≥2 minggu


sebab jelas

Batuk ≥3 minggu

Pembesaran ≥1 cm, jumlah ˃1,


kelenjar limfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal

Pembengkakan Ada pembengkakan


tulang atau
sendi panggul,
lutut, falang

Foto rontgen Normal  Infiltrat  Kalsifika


toraks / tidak  Pembesaran si +
jelas kelenjar infiltrat
 Konsolidasi  Pembesar
segmental/ an
lobar kelenjar
 Atelektasis + infiltrat
26

Sistem skoring tersebut jika didapatkan nilai ≥ 6 maka diberikan terapi selama 2

bulan dan setelah itu dievaluasi (lihat gambar 2.2).

Gambar 2.2. Alur Diagnosis dan tatalaksana TB anak di Puskesmas


Sumber: tbindonesia.or.id

Keterangan:

Kementerian kesehatan (Kemenkes) tahun 2013 menjelaskan parameter sistem

skoring TB anak adalah sebagai berikut:

1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil

laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau

hasil laboratorium.

2. Penentuan status gizi:

a. Berat badan, panjang dan tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment

opname).

b. Dilakukan parameter berat badan per tinggi badan (BB/Tb) atau berat badan

per umur (BB/U). Penentuan status gizi menggunakan cut off Z score WHO
27

tahun 2006 untuk usia 0 sampai 5 tahun, sedangkan untuk usia lebih 5 tahun

merujuk pada kurva CDC 2000.

c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1

bulan.

3. Demam (lebih dari 2 minggu) dan batuk (lebih dari 3 minggu) yang tidak

membaik setelah diberi pengobatan sesuai baku terapi puskesmas.

4. Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa

pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat,

atelektasis, konsolidasi segmental atau lobar, milier, kalsifikasi dengan

infiltrat, dan tuberkuloma.

2.1.7 Klasifikasi TB

Istilah dalam definisi TB anak menurut Kemenkes (2013) yaitu:

A. Terduga pasien TB anak

Setiap anak yang diduga pasien TB yaitu anak yang menunjukkan gejala

atau tanda mengarah ke TB anak.

B. Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis

Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis adalah pasien

TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan

pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang

direkomendasi oleh Kemenkes. Pasien TB paru BTA positif masuk dalam

kelompok ini.
28

C. Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis

Pasien TB yang dimaksudkan adalah pasien TB anak yang tidak memenuhi

kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan

radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Kelompok pasien ini

adalah pasien TB paru BTA negatif, pasien TB dengan BTA tidak diperiksa

dan pasien TB ekstra paru.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2013 juga menguraikan

penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:

1. Lokasi atau organ tubuh yang terkena

Bagian organ tubuh yang sering terkena adalah sebagai berikut:

a. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)

paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya seperti

pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), usus, ginjal, alat

kelamin, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, saluran kencing, dan lain-

lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita

TB ekstra paru. Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru

diklasifikasikan sebagai TB paru.


29

2. Riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi kasus TB berdasarkan riwayatan pengobatan sebelumnya adalah:

a. Kasus Baru

Anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu

bulan (28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di

atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.

b. Pengobatan ulang

Kasus TB anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1

bulan dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi

penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan

sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien

yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up).

3. Berat dan ringannya penyakit

a. TB ringan: TB yang tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau

kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar, dll.

b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau

kematian, misalnya TB meningitis, TB resisten obat, TB milier, TB tulang,

TB sendi, TB abdomen; termasuk TB hepar, TB usus, TB Paru dengan

sputum BTA (+), serta TB HIV.

4. Status HIV

Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah

endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV,
30

TB pada anak diklasifikasikan sebagai:

a. HIV positif

b. HIV negatif

c. HIV tidak diketahui

d. HIV expose atau curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV

diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Hasil

pemeriksaan HIV menunjukkan negatif pada anak usia < 18 bulan, maka

status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan Imunisasi BCG.

2.2 Imunisasi BCG

2.2.1 Sejarah

Robert Koch (1843 sampai 1910 Masehi) seorang berkebangsaan Jerman

yang berhasil mengidentifikasi bakteri M. tuberculosis yang bertanggung jawab

atas penyakit TB. Teridentifikasinya bakteri tersebut, Albert Calmette dan Jean

Marie Camille Guerin juga berhasil mengembangkan bakteri Mycobacterim Bovis

(M. Bovis) yang dilemahkan sebagai vaksinasi untuk mengurangi angka kejadian

TB, sehingga vaksinasi ini disebut Bacille Calmette-Guérin (BCG) (Dzauji &

Rambe; 2013).

Bacille Calmette-Guérin (BCG) pertama kali digunakan untuk

mengimunisasi manusia pada tahun 1921 yang selanjutnya diperkenalkan oleh

WHO pada program perluasan imunisasi tahun 1974. Bacille Calmette-Guérin

(BCG) mencapai cakupan global yang melebihi 80% negara-negara endemik TB

(WHO, 2013).
31

Sejarah munculnya imunisasi BCG di Indonesia dimulai tahun 1973 setelah

dikembangkannya imunisasi campak tahun 1956 (TB Indonesia, 2012). Vaksin

yang digunakan di Indonesia adalah vaksin BCG Biofarma Bandung. Vaksin

BCG ini diberi suspensi M. bovis hidup yang sudah dilemahkan (Ranuh et al,

2008).

2.2.2 Definisi

Imunisasi adalah proses membuat subjek menjadi imun (Dorland, 2012).

Imunisasi adalah pemindahan antibodi secara pasif, sehingga akan didapatkan

kekebalan yang bersifat pasif. Vaksinasi adalah tindakan memberi vaksin untuk

menstimulasi pembentukan imunitas secara aktif pada tubuh seseorang sehingga

akan didapatkan kekebalan aktif (Ranuh et al, 2008).

Imunisasi atau vaksinasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat

imunitas, memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respons memori

terhadap patogen tertentu atau toksin dengan menggunakan preparat antigen

nonvirulen atau nontoksin (Baratawidjaja & Rengganis, 2012).

Bacille Calmette-Guérin (BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari M.

bovis yang dibiakkan secara berulang selama 1 sampai 3 tahun sehingga

dihasilkan basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.

Vaksinasi BCG menimbulkan sensivitas terhadap tuberkulin yang berkaitan

dengan timbulnya imunitas (Rahayu, 2010). Vaksin BCG adalah vaksin galur M.

bovis yang dilemahkan dan digunakan pada manusia terhadap pencegahan TB

dihampir seluruh penjuru dunia (Baratawidjaja & Rengganis, 2012).


32

2.2.3 Tujuan

Kegiatan imunisasi merupakan salah satu program kerja yang diprioritaskan

oleh Kemenkes RI sebagai bentuk nyata komitmen pemerintah dalam mencapai

Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan utama kegiatan imunisasi adalah

menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah

dengan Imunisasi (PDG3I) (Depkes, n.d.).

Penyakit TB pada anak dapat dicegah dengan imunisasi yang baik secara

aktif maupun pasif. Imunisasi pasif yang diperoleh berupa kekebalan secara alami

atau bawaan berupa antibodi yang diperoleh bayi dari ibunya selama

perkembangan janin intrauterine yang dapat melewati plasenta dan kolustrium air

susu ibu. Antibodi yang diperoleh dari ibu tersebut dapat memberikan

perlindungan segera dan meningkatkan resistensi bayi terhadap agen infeksius

yang sangat virulen seperti basil TB. Perlindungan imunitas pasif pada bayi

tersebut hanya sekitar 6 sampai 9 bulan sampai anak tersebut secara aktif

membentuk sendiri respon imunnya (Supartini, 2004; Sherwood, 2012).

Varain dan Rich (2014) menjelaskan imunisasi aktif berupa pemberian

vaksin BCG pada bayi, terutama sejak kelahiran bayi yang dapat meningkatkan

daya tahan tubuh terhadap infeksi basil TB primer yang virulen sehingga

memberikan perlindungan 40 sampai 70% untuk jangka waktu 10 sampai 15

tahun ke depan. Vaksin BCG juga memberikan perlindungan pada TB yang lebih

berat seperti meningitis TB dan TB milier hingga 80%. Maria et al (2005)

menyebutkan, meskipun anak sudah mendapat imunisasi BCG, masih mungkin


33

menderita penyakit TB primer yang ringan tetapi dapat terhindar dari penyakit TB

yang berat.

Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TB

(Marimbi, 2010). Penjelasan selanjutnya dari Rahayu (2001) menambahkan

vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi TB tetapi mengurangi risiko TB berat

seperti meningitis TB dan TB milier. Vaksin BCG tidak dapat mencegah

seseorang terhindar dari infeksi M. tuberculosis 100%, tapi dapat mencegah

penyebaran penyakit lebih lanjut (Marimbi, 2010).

Penjelasan dari WHO (n.d.) menyebutkan bahwa BCG tidak mencegah

infeksi primer TB dan tidak mencegah reaktivasi infeksi TB paru laten, namun

BCG efektif untuk mencegah TB yang lebih berat, terutama meningits TB.

Penjelasan ini diperjelas oleh Arbeláez et al (2000) bahwa secara teori seseorang

yang telah mendapatkan vaksin BCG, tidak mencegah seseorang tersebut untuk

terinfeksi TB primer namun mampu mengurangi penyebaran kuman TB melalui

hematogen pada infeksi primer sehingga mengurangi manifestasi klinis sakit TB

tersebut dan mengurangi reaktivasi endogen, namun penelitian ini mendapatkan

kesimpulan bahwa efektivitas BCG dikatakan rendah terhadap semua bentuk sakit

TB.

Abubakar et al (2014) menyebutkan bahwa efektivitas vaksin BCG dapat

mencegah sakit TB berat 60 sampai 80%, terutama TB meningitis. Hal ini sama

seperti yang diuraikan oleh WHO. Penelitian yang dilakukan oleh Mangtani et al

(2013) didapatkan bahwa untuk pertama kalinya didapatkan vaksin BCG sangat
34

protektif terhadap TB paru di seluruh belahan dunia, termasuk perlindungan yang

signifikan bila diberikan di daerah tropis.

Penjelasan yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa adanya variasi

dari efektivitas vaksin BCG tersebut, tergantung pada lokasi di setiap negara

(Mangtani et al, 2013). Miller 1982 (dikutip dalam Kuswantoro tahun 2002, h. 87)

menjelaskan bahwa variasi efektivitas dan sifat protektif imunisasi BCG tersebut

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti potensi imunisasi BCG, cara pemberian

BCG, karakteristik manusia, adanya kontak dengan penderita TB, dan lainnya.

Potensi BCG dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tempat penyimpanan vaksin

tersebut seperti cahaya dan suhu pengawet. Jika kondisi lingkungan tempat

penyimpanan vaksin tersebut buruk seperti pencahayaan dan tempat penyimpanan

yang panas atau terlalu dingin, hal ini memungkinkan menurunnya efektivitas

vaksin BCG yang menyebabkan strain bakteri di dalam vaksin tersebut akan

mengalami mutasi sehingga potensi yang diharapkan tidak bekerja secara

maksimal (NHS, 2014; Wahab & Julia, 2002).

2.2.4 Jadwal pemberian

Rahayu (2001) memaparkan BCG diberikan pada usia kurang dari 2 bulan.

Bacille Calmette-Guérin (BCG) sebaiknya diberikan pada anak yang dengan uji

Mantoux (tuberkulin) negatif. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2014

telah menyusun rapi jadwal imunisasi yang baru tahun 2014 (lihat gambar 2.3).

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2014 menganjurkan suntik BCG

diberikan sebelum usia 3 bulan dan pemberian optimal diusia 2 bulan. Pemberian
35

BCG sesudah usia 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Vaksinasi BCG tertera

pada tabel di bawah ini di baris ketiga dari kolom pertama.

Gambar 2.3. Jadwal pemberian imunisasi anak


Sumber: IDAI, 2014

2.2.5 Cara pemberian dan dosis

Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak dan 0,05 ml

untuk bayi. Vaksin BCG juga tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan

pada suhu 2 sampai 8ºC dan tidak boleh beku (Sujitno & Purwanti, 2011).

Penjelasan menurut Marimbi (2010), cara pemberian BCG yaitu disuntikkan

intrakutan di daerah insertio muskulus Deltoideus dengan dosis 0,05 ml untuk

anak usia ˂ 1 tahun dan 0,10 ml (untuk anak usia ˃ 1 tahun) di lengan atas sebelah

kanan. Vaksin BCG berbentuk bubuk kering, harus dilarutkan dengan 4 cc NaCl

0,9%. Vaksin tersebut harus segera dipakai dalam waktu 3 jam setelah dilarutkan,

sisanya dibuang. Penyimpanan harus pada suhu ˂ 5ºC dan terhindar dari sinar

matahari (indoor daylight).


36

Probandari tahun 2013 memaparkan beberapa cara pemberian imunisasi

BCG yaitu:

a. Vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu sebelum disuntikkan dengan

menggunakan alat suntik steril Auto Distruct Scheering (ADS) 5 ml.

b. Dosis pemberian yaitu 0,05 ml atau 0,10 ml sebanyak 1 kali.

c. Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan atas sebelah kanan (insertio

muskulus deltoideus), dengan menggunakan Auto Distruct Scheering (ADS)

0,05 ml atau 0,10 ml.

d. Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum 3 jam.

Penjelasan dari Marimbi (2010), cara penyuntikan BCG yaitu:

1. Bersihkan lengan dengan kapas air.

2. Letakkan jarum hampir sejajar dengan lengan anak dengan ujung jarum

yang berlubang menghadap ke atas.

3. Suntikkan 0,05 ml atau 0,10 ml BCG secara intrakutan sehingga suntik

membentuk sudut 5 sampai 15º.

2.2.6 Reaksi imunisasi

Penyuntikan BCG intradermal yang benar akan menimbukan ulkus lokal

yang superfisial 3 minggu setelah penyuntikan. Ulkus yang biasanya tertutup

krusta akan sembuh dalam 2 sampai 3 bulan dan meninggalkan parut bulat dengan

diameter 4 sampai 8 mm. Dosis yang terlalu tinggi maka ulkus yang timbul akan

lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka parut yang terjadi

tertarik ke dalam (retracted) (Rahayu, 2001).


37

Marimbi (2010) memaparkan reaksi setelah imunisasi BCG yaitu:

1. Reaksi normal lokal

Reaksi normal lokal pada imunisasi BCG terjadi pada beberapa minggu

setelah di imunisasi. Reaksi tersebut akhirnya akan menimbulkan bekas luka

yang disebut scar.

a. 2 minggu akan timbul indurasi, eritema, kemudian menjadi pustul.

b. 3 sampai 4 minggu pustul pecah dan menjadi ulkus yang tidak perlu

pengobatan.

c. 8 sampai 12 minggu ulkus menjadi scar yang berdiameter 3 sampai 7

mm.

2. Reaksi regional pada kelenjar

Reaksi regional pada kelenjar setelah dilakukannya imunisasi tersebut, maka

akan timbul respon sistem seluler pertahanan tubuh. Respon tersebut dapat

terjadi di kelenjar aksila dan servikal yang timbul 2 sampai 6 bulan sesudah

imunisasi berupa benjolan kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri dan

tidak ada demam, kemudian akan mengecil 1 sampai 3 bulan setelah

imunisasi tanpa pengobatan.

Penjelasan: menurut saya kerangka teori dalam bab Tinjauan Pustaka sudah

menjelaskan dasar pemikiran atau dasar teori yang digunakan dalam penelitian

ini. Bab ini juga sudah menjelaskan justifikasi atau dasar pemilihan variable dan

penentuan hipotesis. Bab ini sudah menyajikan suatu dasar pemikiran yang logis.

Namun saya sedikit bingung tentang kerangka berpikir, apakah kerangka berpikir
38

sama dengan kerangka konseptual? karena di kampus saya sebelumnya tidak ada

membuat kerangka berpikir, namun aturan di kampus saya, isi dari bab 3 ada

kerangka konseptual dan hipotesis. Jika kerangka berpikir dan karakter konseptual

berbeda, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.3 Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, maka dapat disusun sebuah

kerangka berpikir sebagai berikut :

mempengaruhi
Riwayat Imunisasi Kejadian TB Pada Anak
BCG

Gambar 2.3 Skema Kerangka berpikir

Keterangan :

1. = Variabel Independen

2. = Variabel Dependen

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesa yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu :

2.4.1 Hipotesis null (H0) :

Tidak terdapat hubungan riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian

TB pada anak di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.


39

2.4.2 Hipotesis alternatif (Ha)

Terdapat hubungan riwayat status imunisasi BCG dengan kejadian TB

pada anak di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Cut

Meutia Aceh Utara tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai