Anda di halaman 1dari 8

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit kesukaran

bernapas yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun jamur. Jika tidak

tertangani dengan baik dan benar, penyakit ISPA bisa berisiko menimbulkan

kematian pada penderita. Imunisasi lengkap merupakan salah satu upaya dini

untuk mencegah kejadian ISPA. Pola penatalaksanaan penderita ISPA terdiri

empat bagian, yaitu pemeriksaan penderita, penentuan ada tidaknya tanda

bahaya, penentuan klasifikasi penyakit, hingga pengobatan ISPA secara benar

dan tepat. Dalam menentukan klasifikasi penyakit ISPA tersebut dibedakan

atas beberapa kelompok, yaitu pneumonia berat, pneumonia sedang dan

bukan pneumonia. Untuk yang bukan pneumonia mencakup penyakit-

penyakit lain, seperti batuk pilek biasa, pharyngitis, dan tonsillitis (Subhan,

2009).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa anak balita di

berbagai negara setiap tahun meninggal karena ISPA. Dua per tiga dari

kematian ini terjadi pada kelompok usia bayi, terutama bayi pada usia 2 bulan

pertama sejak kelahiran dan dapat membunuh kurang lebih 2.6 juta anak-anak

setiap tahunnya di seluruh dunia (WHO, 2012).

Menurut program pengendaliannya, ISPA dibedakan menjadi 2

golongan, yaitu golongan pneumonia dan bukan pneumonia. Penyakit batuk

1
2

pilek, seperti rinitis, faringitis tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas

lainnya digolongkan sebagai ISPA bukan pneumonia (Kemenkes RI, 2013).

Upaya untuk menurunkan resiko penyakit ISPA perlu di lakukan, yaitu

dengan pemberian Imunisasi dasar lengkap, pemberian kapsul vitamin A,

serta meningkatkan pengetahuan orang tua dalam pencegahan penyakit ISPA.

Program pemerintah setiap balita harus mendapatkan Lima Imunisasi dasar

Lengkap (LIL) yang mencakup 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis Polio, 4

dosis Hepatitis B dan 1 dosis Campak (Kemenkes RI, 2013).

Survei mortalitas ISPA pada tahun 2005 di 10 provinsi, diketahui bahwa

Pneumonia menjadi penyebab kematian bayi terbesar, yaitu 22,3% dari

seluruh kematian bayi. Studi mortalitas menurut Riskesdas 2007 juga

menunjukkan bahwa proporsi kematian pada bayi karena pneumonia di

Indonesia mencapai 23,8% dan pada balita sebesar 15,5% (Kemenkes RI,

2013).

Pada tahun 2011 di Indonesia jumlah kejadian pneumonia meningkat dari

tahun sebelumnya dimana pada tahun 2010 jumlah kejadian pneumonia pada

balita mencapai 499.259 atau 23.00% sedangkan pada tahun 2011 kejadian

pneumonia pada balita mencapai 559,114 kasus atau 23.98%. Di Sulawesi

Utara kejadian pneumonia tahun 2011 pada balita mencapai 2.280 kasus atau

10,07% dengan kejadian pada anak < 1 tahun yaitu 765 kasus dan anak usia

1-4 tahun sebanyak 1.515 kasus (Kemenkes RI, 2013).

Sesuai dengan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dari

bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2018 tercatat jumlah penduduk
3

balita sebanyak 274.155 dan yang menderita ISPA sebanyak 138.740 balita.

Pada tahun 2014 dari bulan Januari sampai dengan Agustus penduduk balita

sebanyak 276.530 balita dan yang menderita ISPA sebanyak 82.823 balita

(Dinke Sulawesi Tengah, 2018).

Angka Kematian Bayi mengalami perbaikan namun masih berfluktuasi

sampai dengan tahun 2013 kematian bayi di Kabupaten Poso telah mencapai

angka 9,75 per 1.000 kelahiran hidup (angka absolut dilaporkan jumlah

kematian bayi sebesar 36 kasus). AKB di Kabupaten Poso tersebut sudah di

bawah dari target MDGs yaitu sebesar 16/1000 KH. Cakupan penemuan

kasus pneumonia di Kabupaten Poso terus mengalami peningkatan dimana

pada tahun 2010 sebesar 9,2 % dari target 60 %, tahun 2011 sebesar 36,1%

dari target 70 %, tahun 2012 sebesar 10,3% dari target 80 %, tahun 2013

sebesar 10,77% dari target 90 % (Profil Kesehatan Kabupaten Poso, 2013).

Menurut laporan bulanan program P2 ISPA Puskesmas Gintu Kecamatan

Lore Selatan Kabupaten Poso bulan Januari sampai Desember 2018

diketahui 3 desa dari 8 desa dengan peringkat tertinggi jumlah penderita

ISPA. Berdasarkan data yang diperoleh, di wilayah kerja Puskesmas Gintu

banyaknya kasus ISPA disebabkan oleh karena masih banyak ibu-ibu yang

belum memberikan imunisasi dasar pada balita secara lengkap terutama untuk

imunisasi DPT (Puskesmas Gintu, 2018).

Pada konferensi Internasional mengenal ISPA di Canberra Australia.

Pada Juli 2003 lalu terungkap, 4.000.000 balita di negara-negara berkembang


4

meninggal tiap tahun akibat ISPA. Di Indonesia, kematian balita akibat

penyakit ini menduduki peringkat terbesar (Siswono, 2017).

ISPA sendiri lebih banyak terjadi pada anak-anak khususnya pada

balita dari pada menyerang orang dewasa. Hal ini disebabkan karena saluran

nafas pada anak masih sempit serta daya tahan tubuh yang masih rendah

(Ngastiyah, 2015). Penelitian di negara berkembang menunjukkan rata-rata

seorang anak mengalami 5-7 episode serangan ISPA pertahun. Setiap 4 menit

terjadi satu kematian balita akibat ISPA adalah 5 per 1000 balita

(Kartasasmita, 2014).

Walaupun data yang tersedia terbatas, studi terkini masih menunjukkan

bukti bahwa faktor risiko ISPA adalah faktor kurangnya Imunisasi Campak,

BCG dan imunisasi DPT yang menyebabkan kematian balita (Achmadi, UF,

2016).

Menurut Marimbi, H. (2010) ISPA juga akan sangat berpengaruh apabila

kelengkapan Imunisasi tidak lengkap. Imunisasi merupakan salah satu cara

untuk memberikan kekebalan seseorang secara aktif terhadap penyakit

menular, Imunisasi merupakan sistem imun yang spesifik. Imunisasi terdiri

dari beberapa jenis, yakni: imunisasi BCG, imunisasi DPT/HB, imunisasi

polio, imunisasi campak, dan imunisasi Hb-0.

Hasil penelitian yang berhubungan dengan status imunisasi menunjukkan

bahwa ada kaitan antara penderita Pneumonia yang mendapatkan Imunisasi

tidak lengkap dan lengkap, dan bermakna secara statistis. Menurut penelitian

yang dilakukan Tupasi (1985), dalam penelitian Suhandayani (2017),


5

menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan

peningkatan penderita ISPA. Bayi dan balita yang pernah terserang campak

dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pnemonia sebagai

komplikasi campak. maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan

besar dalam upaya pemberatasan ISPA (Sulistyoningsih H dan Rustandi R,

2011).

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin yang melindungi terhadap difteri,

pertusis dan tetanus. Difteri disebabkan bakteri yang menyerang tenggorokan

dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Penyakit ini

mudah menular melalui batuk atau bersin. Pertusis (batuk rejan) adalah

infeksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang

menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pertusis juga dapat

menimbulkan komplikasi serius, seperti pneumonia, kejang dan kerusakan

otak. Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada

rahang serta kejang (Marimbi, 2010).

Daya proteksi vaksin Difteri cukup baik yaitu sebesar 80-90%, daya

proteksi vaksin Tetanus 90-95%, akan tetapi daya proteksi vaksin pertusis

masih rendah yaitu 50-60%, oleh karena itu, anak-anak masih

berkemungkinan untuk terinfeksi batuk seratus hari atau pertusis, tetapi lebih

ringan. Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan

berat, efek ringan seperti terjadi pembengkakan dan nyeri pada daerah

penyuntikan dan demam, sedangkan efek berat bayi menangis hebat karena
6

kesakitan selama kurang lebih empat jam, kesadaran menurun , terjadi kejang

dan shock (Proverawati, 2010).

Berdasarkan Survei awal penelitian hasil data yang diperoleh dari

Sumber Bidang poli umum Puskesmas Gintu tahun 2019 di dapatkan data

jumlah penderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Gintu sebanyak 139 orang

dengan rata-rata usia 1-5 tahun. Peneliti juga mendapatkan data 10 penyakit

terbesar di wilayah Puskesmas yakni penyakit Infeksi Saluran Pernapasan

Akut (ISPA) dan paling dominan terjadi pada anak balita, penyakit ISPA

berada pada peringkat teratas dari 10 penyakit terbesar dengan persentase

12,4% (384 jiwa) (data profil Puskesmas Gintu). Berdasarkan survei

persentase cakupan imunisasi bayi menurut Puskesmas Gintu tahun 2019,

bayi yang diberi imunisasi BCG, DPT1+ HB1, DPT3 + HB3, polio 3, campak

dan hepatitis B3 sebanyak 97.94%.

Dari hasil wawancara peneliti dengan 5 orang ibu yang memiliki bayi

yang mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), 3 orang

diantaranya mengatakan selama ini tidak rutin membawa bayinya datang

posyandu dikarenakan takut anaknya sakit atau demam setelah di Imunisasi,

ibu mengatakan akan repot jika anaknya sakit. Sedangkan 2 orang

mengatakan anaknya tidak lengkap mendapatkan Imunisasi dikarenakan

malas membawa anaknya ke pelayanan posyandu sebab jarak rumahnya

cukup jauh dari tempat pelayanan posyandu, dan ibu juga mengatakan kurang

mendapatkan informasi tentang Imunisasi.


7

Dari observasi peneliti pada salah satu posyandu di wilayah kerja

Puskesmas Gintu terlihat beberapa anak mengalami penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA), salah satu penyebabnya adalah tidak lengkap

mendapatkan Imunisasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas peneliti tertarik untuk mengetahui

hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Gintu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut “Adakah hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian

ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gintu ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan

kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gintu.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Gintu.

b. Untuk mengetahui kelengkapan imunisasi pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Gintu.

c. Untuk mengetahui hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan

kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gintu.


8

D. Manfaat Penelitaian

1. Manfaat Bagi Puskesmas Gintu

Diharapkan bisa menjadikan bahan masukan yang berharga dalam

rangka meningkatkan kwalitas pelayanan ibu dan bayi dalam pemberian

imunisasi guna mencegah terjadinya penyakit ISPA.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat di jadikan sebagai wacana

ilmiah dan acuan untuk melaksanakan penelitian selanjutnya dan dapat

digunakan sebagai bahan tambahan referensi di perpustakaan.

3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan dan menjadi sumber bacaan atau pedoman pertimbangan atau

pembanding untuk penelitian tahap selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai