Anda di halaman 1dari 49

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN

PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS


SANGGENG KABUPATEN MANOKWARI

OLEH :
MARDIYANA
NIM 202106020151

UNIVERSITAS KADIRI
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2022

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat adalah

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sebagian besar dari infeksi saluran

pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk-pilek, disebabkan oleh virus, dan

tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Infeksi saluran pernapasan

bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua

golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin. Penyakit ISPA merupakan

penyakit yang sering terjadi pada anak, karena sistem pertahanan tubuh anak

masih rendah

Menurut WHO tahun 2012, sebesar 78% balita yang berkunjung ke

pelayanan kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya pneumonia. ISPA lebih

banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan negara maju dengan

persentase masing-masing sebesar 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita

akibat ISPA di Asia Tenggara sebanyak 2.1 juta balita pada tahun 2004 (Fitri,

2012). India, Bangladesh, Indonesia, dan Myanmar merupakan negara dengan

kasus kematian balita akibat ISPA terbanyak (Usman, 2012). Kematian balita

akibat ISPA di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 20.6% dari tahun 2010

hingga tahun 2011 yaitu 18.2% menjadi 38.8% (Layuk dan Noer, 2015). Di

Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit

1
2

yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di

Indonesia diperkirakan sebesar 3-6 x pertahun. Ini berarti seorang balita rata-rata

mendapat serangan batuk, pilek sebanyak 3-6 x setahun. Sebagai kelompok

penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien

disarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat dipuskesmas dan

15%-30% kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit

disebabkan oleh ISPA (DepKes.RI, 2009). Kematian akibat ISPA terutama

Pneumonia di Indonesia, pada akhir 2000 sekitar 450.000 balita usia 0-5 tahun.

Diperkirakan sebanyak 150.000 bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500

korban perbulan atau 416 kasus perhari atau 17 anak perjam atau seorang bayi /

balita tiap lima menit (Depkes.RI, 2009).

Prevalensi kejadian ISPA pada balita cenderung meningkat sesuai dengan

meningkatnya umur. antara laki-laki dan perempuan relatif sama, dan sedikit lebih

tinggi di pedesaan. ISPA cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan

pendidikan dan tingkat pengeluaran per kapita lebih rendah (Riskerdas, 2007).

Data di atas menunjukkan masih tingginya angka kejadian penyakit ISPA

di Indonesia. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas

dua kelompok besar yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik

meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, satatus

imunisasi, pemberian ASI, dan pemberian vitamin A. faktor ekstrinsik meliputi

kepadatan hunian, populasi udara, tipe rumah, ventilasi, kelembapan, suhu, letak

dapur, jenis bahan bakar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok, penghasilan

keluarga serta faktor ibu baik pendidikan ibu, umur ibu, maupun pengetahuan ibu.
3

Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah kondisi fisik

rumah serta lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan langsung

berinteraksi dengan penghuninya (Depkes, 2009, Panduan konseling bagi petugas

klinik sanitasi di puskesmas). Namun dalam penelitian ini hanya membatasi pada

faktor umur, pengetahuan ibu status imunisasi, dan kepadatan hunian.

Faktor imunisasi sebagai penyebab penyakit ISPA, karena Balita yang

memiliki status imunisasi yang tidak lengkap akan lebih mudah terserang penyakit

dibandingkan dengan balita yang memiliki status imunisasi lengkap (Layuk dan

Noer, 2015). Faktor kepadatan hunian merupakan penyebab timbulnya penyakit

ISPA. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh

bagi penghuninya. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya

oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama

ISPA akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lainnya (Notoatmodjo,

2013).

Faktor pengetahuan Ibu juga menjadi penyebab terjadinya ISPA.

Tingginya angka kejadian ISPA pada bayi di Indonesia, salah satunya di sebabkan

oleh pengetahuan ibu yang kurang tentang ISPA . Perilaku ibu menjadi sangat

penting karena didalam merawat anaknya ibu sering kali berperan sebagai

pelaksanaan dan pengambilan keputusan dan pengasuhan anak yaitu dalam hal

memberikan makan, perawatan, kesehatan dan penyakit. Dengan demikian bila

prilaku ibu baik dalam pengasuhan makaan dapat mencegah dsan memberikan

pertolongan pertama pada anak balita yang mengalami ISPA dengan baik (Titi

dkk) (Intan Silviana, 2014).


4

Penelitian tentang faktor penyebab ISPA dilakukan oleh Sri Hayati (2014)

tentang Gambaran Faktor Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada

Balita Di Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan

sebagian besar responden mempunyai riwayat Berat Badan Lahir Rendah, hampir

setengah responden mempunyai status gizi kurang, sebagian status imunisasi

lengkap, sebagian besar kepadatan tempat tinggal kurang dan hampir seluruh

responden mempunyai lingkungan fisik ventilasi tidak baik.

Puskesmas Sanggeng Kabupaten Manokwari Faskes Tingkat Pertama

BPJS Kesehatan di Kabupaten Manokwari Terletak di Jl. Raya Sanggeng, Desa

Sanggeng, Kecamatan Sanggeng, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Puskesmas Sanggeng membawahi 10 desa, salah satunya desa Sanggeng. Di desa

Sanggeng merupakan salah satu desa yang banyak terjadi kasus ISPA pada balita

dengan berbagai faktor. Dari observasi awal yang dilakukan kebanyakan warga

desa daerah Sanggeng memang memiliki rumah yang lumayan luas tetapi untuk

ruangan kamar belum memenuhi syarat sehat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Sanggeng angka kejadian

penyakit ISPA pada Balita (12 - 60 bulan) pada bulan Januari sampai dengan

bulan Oktober 2022 berjumlah 88 balita. Adapun rinciannya yaitu pada bulan

Januari berjumlah 4 balita, pada bulan agustus berjumlah 14 balita, pada bulan

September berjumlah 22 balita, pada bulan oktober berjumlah 16 balita, pada

bulan November berjumlah 20 balita dan pada bulan Oktober berjumlah 12 balita.

Dari rincian data angka kejadian penyakit ISPA pada Balita (12 - 60 bulan) pada

bulan
5

Januari sampai dengan bulan Oktober 2021 mengalami penurunan dan

peningkatan yang belum stabil.

Usia balita lebih sering terkena penyakit dibandingkan orang dewasa. Hal

ini disebabkan sistem pertahanan tubuh pada balita terhadap penyakit infeksi

masih dalam tahap perkembangan. Salah satu penyakit infeksi yang paling sering

diderita oleh balita adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) ( Syafarilla,

2011). Maka solusi yang dapat dilakukan adalah menjaga kesehatan balita agar

memiliki ketahanan tubuh yang kuat terhadap penyakit.

Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh bayi

terhadap gangguan penyakit (Depkes RI, 2014). Para ahli kesehatan menyebutkan

bahwa di banyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak

adalah 65 gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang

merupakan hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2013).

Salah satu faktor penyebab ISPA juga yaitu keadaan lingkungan fisik dan

pemeliharaan lingkungan rumah. Pemeliharaan lingkungan rumah dengan cara

menjaga kebersihan di dalam rumah, mengatur pertukaran udara dalam rumah,

menjaga kebersihan lingkungan luar rumah dan mengusahakan sinar matahari

masuk ke dalam rumah di siang hari, supaya pertahanan udara di dalam rumah

tetap bersih sehingga dapat mencegah kuman dan termasuk menghindari

kepadatan penghuni karena dianggap risiko meningkatnya terjadinya ISPA

(Maryunani, 2010). Namun hal ini sering diabaikan oleh para orang tua. Hal ini

disebabkan karena orang tua tidak banyak mengetahui tentang cara menjaga

kesehatan khususnya balita untuk mencegah terjadinya ISPA.


6

Dari uraian di atas perlu suatu penelitian tentang Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Desa Sanggeng Wilayah

Kerja Puskesmas Sanggeng Kabupaten Manokwari.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ‟Bagaimana Faktor-faktor

yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada balita Di Desa Sanggeng

Wilayah Kerja Puskesmas Sanggeng Kabupaten Manokwari ?”

1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

penyakit ISPA pada balita Di Desa Sanggeng Kabupaten Manokwari.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mendeskripsikan umur, status imunisasi, pengetahuan ibu dan

kepadatan hunian pada balita dengan kejadian penyakit ISPA Di

Desa Sanggeng Kabupaten Manokwari.

2. Menganalisa pengaruh umur dengan kejadian penyakit ISPA pada

balita.

3. Menganalisa pengaruh pengetahuan Ibu dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita.

4. Menganalisa pengaruh status imunisasi dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita .


7

5. Menganalisa pengaruh kepadatan hunian dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Dapat digunakan untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan

faktor penyebab ISPA.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Masyarakat

Diharapkan hasil penelitian untuk digunakan sebagai bahan informasi

dan masukan bagi masyarakat terutama Ibu yang memiliki Balita

pengidap ISPA.

2. Bagi Pihak Instansi Puskesmas

Sebagai bahan pemasukkan dan pertimbangan puskesmas untuk bisa

memberikan informasi tentang kejadian penyakit ISPA pada balita

mengenai faktor-faktor menurut umur, pengetahuan ibu, status

imunisasi dan kepadatan hunian.

3. Bagi Penulis

Diharapkan dalam memberikan wawasan yang luas bagi penulis tentang

faktor-faktor penyebab terjadi ISPA pada balita.


8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.1.1 Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas

dan bawah menurut Nelson (2012), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi

yang disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common

cold, faringitis akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis.

Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah

didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder,

yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis,

bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan

akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung

kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi

kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan

atau berurutan (Muttaqin, 2008). ISPA adalah penyakit yang menyerang salah

satu bagian dan atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga

alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan

pleura (Nelson, 2013).

Jadi ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi

disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan

pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari.

2.1.2. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus,

Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab


9
ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus,

Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, 2010).

2.1.3. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2

bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):

1. Golongan Umur Kurang 2 Bulan

a. Pneumonia Berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau

napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu

6x per menit atau lebih.

b. Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:

1) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang

dari ½ volume yang biasa diminum)

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stridor

5) Wheezing

6) Demam / dingin.

2. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

a. Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah

ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak harus

dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).

b. Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

1) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih


10

2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

c. Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :

a) Tidak bisa minum

b) Kejang

c) Kesadaran menurun

d) Stridor

e) Gizi buruk

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah :

a. ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk,

pilek dan sesak.

b. ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari

390 C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.

c. ISPA berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu

makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

ISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas dan bawah:

a. Infeksi saluran pernapasan atas:

1) Batuk pilek

Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nesofaring dan hidung

yang sering mengenai bayi dan anak. Penyakit ini cenderung berlangsung

lebih berat kerena infeksi mencakup daerah sinus paranasal, telinga

tengah, dan nesofaring disertai demam yang tinggi. Faktor

predisposisinya antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.

Pada umumnya penyakit terjadi pada waktu pergantian musim


11
(Ngastiyah, 2005).
12

2) Sinusitis

Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat

berupa sinusitis maksilaris atau sinusitis frontalis. Biasanya paling sering

terjadi adalah sinusitis maksilaris, disebabkan oleh komplikasi

peradangan jalan napas bagian atas, dibantu oleh adanya faktor

predisposisi. Penyakit ini dapat disebabkan oleh kuman tunggal, namun

13 dapat juga disebabkan oleh campuran kuman seperti streptokokus,

pneumokokus, hemophilus influenzae, dan klebsiella pneumoniae. Jamur

dapat juga menyebabkan sinusitis (Ngastiyah, 2005).

3) Tonsilitis

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada

tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi

streptokokus atau staphilokokus. Infeksi terjadi pada hidung menyebar

melalui sistem limpa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan infeksi, bisa

menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat keluar

masuknya udara. Manifestasi klinis yang ditimbulkan meliputi

pembengkakan tonsil yang mengalami edema dan berwarna merah, sakit

tenggorokan, sakit ketika menelan, demam tinggi dan eksudat berwarna

putih keabuan pada tonsil, selain itu juga muncul abses pada tonsil.

4) Faringitis

Faringitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini juga

sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun juga bisa disebabkan oleh
13

bakteri, seperti hemolytic stretococcy, staphylococci, atau bakteri lainnya

Tanda dan gejala faringitis antara lain membran mukosa dan tonsil

merah, demam, malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, serak dan batuk

(Behrman, 2009).

5) Laringitis

Laringingitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang

membentuk laring. Penyebab laringitis umumnya adalah streptococcus

hemolyticus, streptococcus viridans, pneumokokus, staphylococcus

hemolyticus dan haemophilus influenzae. Tanda dan gejalanya antara

lain demam, batuk, pilek, nyeri menelan dan pada waktu bicara, suara

serak, sesak napas, stridor. Bila 14 penyakit berlanjut terus akan terdapat

tanda obstruksi pernapasan berupa gelisah, napas tersengal-sengal, sesak

dan napas bertambah berat (Ngastiyah, 2005).

b. Infeksi saluran pernapasan bawah

1) Bronkitis

Bronkitis merupakan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian

bawah, terjadi peradangan di daerah laring, trakhea dan bronkus.

Disebabkan oleh virus, yaitu: rhinovirus, respiratori sincytial virus

(RSV), virus influenzae, virus para influenzae, dan coxsackie virus.

Dengan faktor predisposisi berupa alergi, perubahan cuaca, dan polusi

udara. Dengan tanda dan gejala batuk kering, suhu badan rendah atau

tidak ada demam, kejang, kehilangan nafsu makan, stridor, napas

berbunyi, dan sakit di tengah depan dada (Ngastiyah, 2005).


14

2) Bronkiolitis

Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang lazim,

akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Disebabkan oleh

virus sinsisium respiratorik (VSR), virus para influenzae, mikroplasma,

dan adenovirus. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama,

dengan insiden puncak sekitar umur 6 bulan (Behrman, 2009). Yang

didahului oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk pilek

beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas, pernapasan

dangkal dan cepat, batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).

3) Pneumonia

Pneumonia adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian bawah yang

mengenai parenhim paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yaitu

streptococcus pneumonia dan haemophillus influenza. Pada bayi dan

anak kecil ditemukan staphylococcus aureus sebagai penyebab

pneumonia yang berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi

15.Gejala pneumonia bervariasi, tergantung umur penderita dan

penyebab infeksinya. Gejala-gejala yang sering didapatkan pada anak

adalah napas cepat dan sulit bernapas, mengi, batuk, demam, menggigil,

sakit kepala, dan nafsu makan hilang (Syair, 2009).


15

4) Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterium bovis. Penyakit

tuberkulosis pada bayi dan anak disebut tuberkulosis primer merupakan

suatu penyakit sistemik, dan berlangsung secara perlahan-lahan.

Ditandai dengan gejala batuk, demam, berkeringat malam, penurunan

aktifitas, kehilangan berat badan, dan sukar bernapas (Ngastiyah, 2005).

5) Komplikasi

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh

sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain. Tetapi

penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan

yang baik dapat menimbulkan komplikasi seperti: sinusitis paranasal,

penutupan tuba eustachi, empiema, meningitis dan bronkopneumonia

serta berlanjut pada kematian karena adanya sepsis yang menular

(Ngastiyah, 2005).

2.1.4. Penyebab penyakit ISPA

ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah

satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang

biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak

menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah

tangga selalu melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar

kayu, gas maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah
16

mereka hirup sehari-hari, sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak

nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung

zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen

yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2012).

2.1.5 Tanda dan Gejala ISPA

ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran

pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema

mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur

fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara

lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus

(muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara

nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada),

hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak

mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian. (Nelson, 2010). Sedangkan

tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah :

a. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau

lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Batuk

2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal

pada waktu berbicara atau menangis).


17

3) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.

4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C atau jika dahi anak diraba.

b. Gejala dari ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang

dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur

satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan

menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung

dapat digunakan arloji.

2) Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer).

3) Tenggorokan berwarna merah.

4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

6) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.

c. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala

ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

1) Bibir atau kulit membiru.

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.

3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.


18

4) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.

5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.

6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

7) Tenggorokan berwarna merah.

Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam, pusing,

malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah),

photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas),

dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada),

hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak

mendapat pertolongan dan dapat mengakibatkan kematian.

2.1.6. Penatalaksanaan Kasus ISPA

Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang

benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya

kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk

yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman penatalaksanaan

kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang

akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek

biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi

penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan

minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita

ISPA.
19

Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut

(Smeltzer & Bare, 2012) :

a. Pemeriksaan

Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan

mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan

anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila

menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak

tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa membuka

baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit untuk melihat

gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju anak harus dibuka

sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia

dapat didiagnosa dan diklasifikasi.

b. Klasifikasi ISPA

Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai

berikut :

1) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada

kedalam (chest indrawing).

2) Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

3) Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai

demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat.

Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.


20

c. Pengobatan

1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,

oksigendan sebagainya.

2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita

tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian

kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik

pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.

3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di

rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk

lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,

dekstrometorfan dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun

panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada

pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai

pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang

tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik

(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda

bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.

d. Perawatan di rumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya

yang menderita ISPA.

1) Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan

memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan


21

dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6

jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan

dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,

dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).

2) Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu

jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh ,

diberikan tiga kali sehari.

3) Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulangulang

yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI

pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.

4) Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih

banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,

kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

5) Lain-lain

a) Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal

dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.

b) Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat

kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.

c) Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi

cukup dan tidak berasap.


22

d) Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka

dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.

e) Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas

usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar

selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik,

usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali ke petugas kesehatan

untuk pemeriksaan ulang.

8. Pencegahan ISPA

Menurut Depkes RI, (2012) pencegahan ISPA antara lain:

a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik.

Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita

atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA.

Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna,

banyak minum air putih, olah raga dengan teratur, serta istirahat yang

cukup, kesemuanya itu akan menjaga badan kita tetap sehat. Karena dengan

tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan semakin meningkat,

sehingga dapat mencegah virus / bakteri penyakit yang akan masuk ke

tubuh kita.

b. Imunisasi

Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun

orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita

supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan

oleh virus / bakteri.


23

c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan

mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah,

sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa

menyebabkan terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik 24 dapat

memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat

bagi manusia.

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA Infeksi saluran

pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang ditularkan

oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang

tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa

virus / bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi

yang melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei

(sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara

droplet dan melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit

penyakit).

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya ISPA

Faktor-faktor penyebab ISPA terbagi dalam kelompok yaitu intrinsik

dan ekstrinsik (Depkes, 2009).Faktor internal merupakan suatu keadaan

didalam diri penderita (balita) yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit

penyakit (agent) ISPA yang meliputi jenis kelamin, umur, berat badan lahir,

status gizi, dan status imunisasi.


24

2.2.1 Faktor Intrinsik

a. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor resiko terhadap kejadian ISPA yaitu

laki-laki lebih beresiko di banding perempuan, hal ini disebabkan aktivitas

anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan sehingga peluang untuk

terpapar oleh agent lebih banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf

dan Lilis (2011), didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA menurut

jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%,

terutama pada anak usia muda.

b. Umur

Umur mempunyai pengaruh cukup besar untuk terjadinya

ISPA.Anak dengan umur <2 tahun merupakan faktor resiko terjadinya

ISPA.Hal ini disebabkan karena anak dibawah dua tahun imunitasnya

belum sempurna dan saluran napas lebih sempit. Kejadian ISPA pada bayi

dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek,

hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita merupakan kejadian

infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan

secara alamiah.

c. Status Gizi Balita

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan

untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi

menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti

kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi


25

menjadi turun. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun

dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari

terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit. Penelitian yang

dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa infeksi protozoa pada

anak-anak yang tingkat gizinya buruk akan jauh lebih parah dibandingkan

dengan anak-anak yang gizinya baik (Notoatmodjo, 2013).

d. Status Imunisasi

Imunisasi berarti memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit

tertentu.Salah satu strategi untuk mengurangi kesakitan dan kematian

akibat ISPA pada anak adalah dengan pemberian imunisasi.Pemberian

imunisasi dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada balita

tertutama penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Setiap anak

harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap tujuh penyakit utama

sebelum usia satu tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, hepatitis B, polio,

campak. Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit

infeksi seperti campak, polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepa-

titis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat

penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong

ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan.
26

2.2.2 Faktor Ekstrinsik

a. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusanmenteri

kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentangpersyaratan

kesehatan rumah, satu orang minimal menempatiluas rumah

8m².Dengan kriteria tersebut diharapkan dapatmencegah penularan

penyakit dan melancarkan aktivitas.Keadaan tempat tinggal yang padat

dapatmeningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.Penelitian

menunjukkan ada hubungan bermakna antarakepadatan dan kematian

dari bronkopneumonia pada bayi,tetapi disebutkan bahwa polusi udara,

tingkat sosial, danpendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor

ini(Prabu, 2009).

b. Ventilasi kurang memadai

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara ataupengerahan udara

ke atau dari ruangan baik secara alamimaupun secara mekanis. Fungsi

dari ventilasi dapatdijabarkan sebagai berikut :

a) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandungkadar oksigen

yang optimum bagi pernapasan.

b) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asapataupun debu dan

zat-zat pencemar lain dengan carapengenceran udara

c) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

d) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan danbangunan.


27

e) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkanoleh radiasi

tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaaneksternal. Mendisfung-

sikan suhu udara secara merata(Prabu, 2009).

c. Asap Dalam Ruangan

Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas

penghuninya, antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk

memasak maupun memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan

yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok,

penggunaan insektisida semprot maupun bakar. Disamping itu

ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan bangunan sintetis

berupa cat dan asbes (Anwar, A., 2012).Penggunaan bahan bakar

biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang dan minyak tanah

muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran

pernapasan.Saat ini sebagian masyarakat pedesaan masih menggunakan

bahan bakarbiomasa untuk memasak. Ditambah lagi dengan kebiasaan

ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap

sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk

terkena ISPA dibandingkan dengan ibu yang tidak membawa bayi/anak

balitanya didapur.

d. Tingkat Pengetahuan Ibu

Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan, serta

upaya pencegahan penyakit.Padakelompok masyarakat dengan tingkat


28

pendidikan yang rendah pada umumnya status ekonominya rendah pula.

Mereka sulit untuk menyerap informasi mengenai kesehatan dalam hal

penularan dan cara pencegahannya. Pendidikan yang rendah

menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang

bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Soewasti,

dkk.,2007). Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor

resiko yang meningkatkan kematian ISPA terutama

pnemonia.Kekurangpahaman orang tua terhadap pnemonia juga

menyebabkan keterlambatan mereka mambawa anak mereka yang sakit

pada tenaga kesehatan.Mereka beranggapan bahwa bayi/anak balita

mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya

merupakan tanda awal pnemonia.Orang tua hanya memberikan obat

batuk tradisional yang tidak memecahkan masalah (Tuminah, S., 2009).

2.3 Pengetahuan Ibu

Ichram (2005) pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan

melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecap. Faktor-

faktor yang mempengaruhi pengetahuan:

1. Tingkat pendidikan.

Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi

sehingga makin banyak pula pengetahuan tentang ISPA.


29

2. Informasi.

Seseorang dengan sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki

pengetahuan yang luas.

3. Budaya.

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk bagi kesehatan

mereka terutama dalam penyakit ISPA.

4. Pengalaman.

Pengalaman adalah suatu cara untuk memperoleh

kebenaranpengetahuan tentang ISPA dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah tentang ISPA.

5. Sosial ekonomi.

Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah akan lebih rentan

terkena ISPA (Suliha, 2012)

Menurut penelitian Susi hartati (2011) ibu balita yang pengetahuannya

rendah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia sebesar 0,4 kali

dibandingkan ibu balita yang berpengetahuan tinggi.

2.4Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat

kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar

kematian ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai

status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan

penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat
30

ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan

imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat

dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat

dicegah (Behrman, 2009).

Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh bayi terhadap

gangguan penyakit (Depkes RI, 2004). Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa di

banyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak adalah 65

gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang

merupakan hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2003).

Ada dua jenis imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.

Pemberian imunisasi pada anak biasanya dilakukan dengan cara imunisasi aktif,

karena imunisasi aktif akan memberi kekebalan yang lebih lama. Imunisasi pasif

diberikan hanya dalam keadaan yang sangat mendesak, yaitu bila diduga tubuh

anak belum mempunyai kekebalan ketika terinfeksi oleh kuman penyakit yang

ganas. Perbedaan yang penting antara jenis imunisasi aktif dan imunisasi pasif

adalah:

1) untuk memperoleh kekebalan yang cukup, jumlah zat anti dalam tubuh

harus meningkat; pada imunisasi aktif diperlukan waktu yang agak lebih

lama untuk membuat zat anti itu dibandingkan dengan imunisasi pasif.

2) kekebalan yang terdapat pada imunisasi aktif bertahan lama (bertahun-

tahun) sedangkan pada imunisasi pasif hanya berlangsung untuk

beberapa bulan. Sesuai dengan program pemerintah (Departemen

Kesehatan) tentang Program Pengembangan Imunisasi (FPI), maka anak


31

diharuskan mendapat perlindungan terhadap 7 jenis penyakit utama, yaitu

penyakit TBC (dengan pemberian vaksin BCG), difteria, tetanus, batuk

rejan, poliomielitis, campak dan hepatitis B. Imunisasi lain yang

dianjurkan di Indonesia pada saat ini adalah terhadap penyakit gondong

dan campak Jerman (dengan pemberian vaksin MMR), tifus, radang

selaput otak oleh kuman Haemophilus influenzae tipe B (Hib), hepatitis

A, cacar air dan rabies (Markum, 2002:15).

2.3.1 Jenis-jenis imunisasi wajib:

1) Vaksin BCG. Pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG

mengandung kuman BCG yang masih hidup. Jenis kuman ini telah

dilemahkan.

2) Vaksin DPT Manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan

kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria,

pertusis (batuk rejan) dan tetanus.

3) Vaksin DT (Difteria, Tetanus). Vaksin ini dibuat untuk keperluan khusus yaitu

bila anak sudah tidak diperbolehkan atau tidak lagi memerlukan imunisasi

pertusis, tapi masih memerlukan imunisasi difteria dan tetanus.

4) Vaksin Tetanus Terhadap penyakit tetanus, dikenal 2 jenis imunisasi yaitu

imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Vaksin yang digunakan untuk imunisasi

aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan

dan kemudian dimurnikan.


32

5) Vaksin Poliomielitis. Imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan

terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang

masing-masing mengandung virus polio tipe I, II, dan III yaitu: 1) Vaksin yang

mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan (vaksin Salk),

cara pemberiannya dengan penyuntikan 2) Vaksin yang mengandung virus

polio tipe I, II, dan III yang masih hidup tetapi telah dilemahkan (vaksin

Sabin), cara pemberiannya melalui mulut dalam bentuk pil atau cairan.

6) Vaksin Campak. Imunisasi diberikan untuk mendapat kekebalan tehadap

penyakit campak secara aktif.

7) Vaksin Hepatitis B. Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif

terhadap penyakit Hepatitis B. Penyakit ini dalam istilah sehari-hari lebih

dikenal sebagai penyakit lever.

Imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti

mencegah kejadian ISPA (Dinkes RI, 2010:10).

2.5 Kepadatan Hunian

Menurut Azwar (2010), rumah dapat diartikan sebagai tempat untuk

melepaskan lelah, beristirahat, tempat bergaul dengan keluarga, sebagai tempat

untuk melindungi diri dari segala ancaman, sebagai lambang sosial. Secara umum

rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria yaitu :

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan, ruang

gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.


33

2) Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy, komunikasi yang sehat antar

anggota keluarga dan penghuni rumah.

3) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah

meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas

vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian tidak berlebihan dan cukup sinar

matahari pagi.

4) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul

karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak

mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat

penghuninya jatuh tergelincir.

Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.

Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar

minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu

kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.

Berdasarkan Kepmenkes RI No.829 tahun 2009 tentang kesehatan perumahan

menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan

lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan

tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya

oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian

cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan

standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran

panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan
34

tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka

semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri.

Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun

dan diikuti oleh peningkatan CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan

adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.

2.5.1 Standar Ukuran Kepadatan Hunian

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah

dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 2009).

a. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa

dinyatakan dalam m² per orang.

b. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas

bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana,

minimum 8 m²/orang.

c. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya

tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua

tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit

sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (lubis. 1989).

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan

ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat

kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10

m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh

hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang (Lubis, 2009).
35

2.6 Kerangka Teori

Kerangka teor ifaktor-faktor penyebab terjadinya ISPA dalam


penelitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Jenis Kelamin

Umur

Faktor Intrinsik
Status Gizi Balita

Status Imunisasi

Kejadian ISPA

Ventilasi Kurang

Asap dalam ruangan

Faktor Ekstrinsik
Pengetahuan Ibu

Kepadatan Hunian

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Modifikasi Depkes (2009), Notoatmodjo (2013), Prabu (2009),


Tuminah,S (2009)

Keterangan:

: Diteliti : Berpengaruh

: Tidak diteliti
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Bebas

Faktor Instrinsik: Variabel Terikat

1. Umur
2. Status Imunisasi Kejadian ISPA

Faktor Ekstrinsik:
1. Pengetahuan Ibu
2. Kepadatan Hunian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

36
37

3.2 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh umur terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada Balita Di

Desa Sanggeng Wilayah Kerja Puskesmas Sanggeng Kabupaten

Manokwari.

2. Ada pengaruh pengetahuan ibu terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita Di Desa Sanggeng Wilayah Kerja Puskesmas Sanggeng Kabupaten

Manokwari.

3. Ada pengaruh status imunisasi terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita Di Desa Sanggeng Wilayah Kerja Puskesmas Sanggeng Kabupaten

Manokwari.

4. Ada pengaruh tingkat hunian terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita Di Desa Sanggeng Wilayah Kerja Puskesmas Sanggeng Kabupaten

Manokwari.
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan untuk mengarahkan penelitian

yang pengontrol faktor yang mungkin akan mempengaruhi validitas penemuan

(Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yaitu

penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan

data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Menurut

Sugiyono (2012:23) dikatakan metode kuantitatif karena data penelitian berupa

angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Desain penelitian dalam

penelitian ini menggunakan analitik dengan pendekatan cross sectional. Desain

penelitian analitik adalah penelitian yang bertujuan mencari keterkaitan antara

faktor-faktor penyebab, serta mampu memprediksi kejadian suatu penyakit.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin

meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya

merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2010). Populasi dalam penelitian ini

adalah Ibu atau pengasuh yang memiliki balita yang berumur 12- 60 bulan dengan

kejadian ISPApada bulan Januari 2022 sampai dengan bulan Oktober 2022,

sebanyak 88 balita.

38
39

4.2.1 Sampel

Sampel merupakanbagian populasi yang dipilih dengan menyeleksi porsi

dari populasi yang dapat mewakili kriteria populasi (Nursalam, 2008). Adapun

pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumusslovinsebagaiberikut:

= 39,5dibulatkan 40

Jadi jumlah responden dalam penelitian ini adalah 88balita. Kriteria

pengambilan sampel dibedakan menjadi dua yaitu kriteria inklusi dan eksklusi.

1. Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003: 96)

- Balita yang berusia 12- 60bulan dengan penyakit ISPA.

- Ibu ataupengasuhyang memiliki Balita mengidap penyakit ISPA

2. Kriteria Eksklusiadalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi dari penelitian karena sebab-sebab tertentu

(Nursalam, 2003: 97).

- Subyek menolak untuk dijadikan responden.


40

4.3 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan

dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili

keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2008).

Pengambilan sampel di lakukan dengan menggunakan teknik Simple

Random Sampling yaitu pengambilan sampel secara random atau acak

(Notoatmodjo, 2002:85), karena dimaksudkan untuk menghindari kerancuan

sehingga taksiran pengaruh factor penelitian terhadap variabel hasil benar-benar

murni pengaruh factor penelitian itu. Pada penelitian ini peneliti akan memilih

sampel sesuai dengan criteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti yaitu

sebanyak 40 balita yang diperoleh dari data angka kejadian penyakit ISPA pada

balita di puskesmas Sanggeng bulan Januari sampai dengan Oktober 2022.


41

4.4 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan

penelitian yang akan dilakukan.

Populasi
Ibu yang memiliki Balita yang berusia 12– 60 bulan dengan penyakit ISPA
selama bulan Juli-Desember 2016 di Desa Sidomulyo = 88 balita

Sampel
Sebagian balita yang mengidap ISPA di Desa Sidomulyo Puskesmas Wonoasri
yaitu sebanyak 40 responden

Sampling
Simple random sampling

Jenis Penelitian / Desain penelitian


Korelasi / Cross sectional

Pengumpulan data

Variabel bebas Variabel terikat


Umur Kejadian ISPA
Tingkat pengetahuan Ibu
Status Imunisasi
Kepadatan Hunian

Pengolahan data
Editing, coding, skoring, entry, tabulating, cleaning

Analisa data
Chi Square

Hasil dan kesimpulan

Pelaporan

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian


42

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.5.1 Identifikasi Variabel

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2013). Dalam penelitian ini terdapat variabel

yaitu :

1. Variabel Independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau nilainya

menetukan variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel independen dalam

penelitian ini adalah Umur, Pengetahuan Ibu, Status Imunisasi dan

kepadatan hunian.

2. Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang diamati dan diukur untuk

menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas

(Nursalam, 2013). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

penyebab ISPA.

4.5.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena. Pada definisi operasional dirumuskan untuk kepentingan akurasi,

komunikasi, dan replikasi (Nursalam, 2013).


43

Tabel 4.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Kriteria


Kejadian Kejadian penyakit Data Skunder Terdiagnosa Nominal Tidak ISPA= 1
ISPA ISPA yang ditandai Puskesmas penyakit ISPA ISPA= 0
dengan gejala batuk, Sanggeng
pilek disertai dengan
demam yang diagnosa
oleh dokter.
Umur Usia balita pada saat 12 – 60 Bulan Kuesioner Nominal Umur≤ 2 Th =
penelitian yang (Data Umum) 1
dinyatakan dalam Umur> 2 Th=
bulan. 0
Pengetahu- Kemampuan ibu Menjawab Kuesioner Nominal Pengetahuan
an Ibu dalam menjawab pertanyaan baik (mean>5)
pertanyaan peneliti. dengan benar =1
Pengetahuan
buruk (mean≤
5) = 0

Status Kelengkapan 1.Vaksin BCG Kuesioner Nominal Imunisasi


Imunisasi imunisasi dasar yang 2.Vaksin DPT Dasar lengkap
harus diberikan pada 3.Vaksin Dif- (Skor >5) = 1
balita sesuai dengan teri, Tetanus Imunisasi
usianya 4.Vaksin Teta- Dasar tidak
nus lengkap
5.Vaksin (Skor≤ 5) = 0
Polimielitis
6.Vaksin
Campak
7.Vaksin
Hepatitis B
Kepadatan Kepadatan penghuni Hasil bagi Wawancara Dokumen - Sehat
Hunian kamar yang memenuhi antara luas Observasi dan observasi apabila luas
syarat kesehatan lantai kamar Pengukuran lantai
dengan jumlah dengan dengan
peng-huni >10 rollmeter jumlah
m²/orang penghuni >1
0 m²/orang
=1
- Tidak sehat
luas lantai
dengan
jumlah
penghuni <
10 m²/orang
=0
44

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian,

juga terkait dengan bahan penelitian (Supardi dan Surahman, 2014). Instrumen

yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner dan observasi. Kuesioner

berisi beberapa pernyataan tertutup yang langsung diajukan kepada responden.

Kuesioner yang telah dibuat sedemikian rupa sehingga responden tinggal

mencentang jawaban yang dianggap benar.

4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas

4.7.1 Uji Validitas

Validitas adalah hasil perhitungan tiap-tiap item kuesioner dibandingkan

dengan tabel nilai r product moment. Jika r dihitung didapatkan lebih besar dari r

tabel pada taraf signifikan 5%, maka yang diuji coba dinyatakan valid

(Hidayat,2008).

4.7.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukan konsistensi suatu alat

pengukur. Hal ini berarti menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap

konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang

sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Pengukuran reliabilitas

menggunakan rumus Alpha Cronbach. Suatu instrumen dinyatakan reliabel jika

menunjukan nilai Alpha Cronbach> 0,6 (Hidayat, 2008).


DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. 2009. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indeks.

Depkes RI, 2014. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Depkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.

DepKes.RI, 2009 Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

Fitri, 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada
Balita (12-59 bulan). Riskerdas , UI.

Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:


Salemba Medika.

Hidayat, A. Aziz Alimul, 2012, Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: Salemba


Medika.

Ichram. 2005. Waspadai Penyakit pada Anak. Jakarta : PT.Indeks.

Intan Silviana, 2014 Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit Ispa Dengan
Perilaku Pencegahan Ispa Pada Balita Di PHPT Muara Angke Jakarta
Utara . Jurnal Universitas Esa Unggula, Jakarta.

Layuk dan Noer, 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit. Jakarta: Dinas
Kesehatan DKI.

Lubis, Namora Lumongga Lubis. 2009. Depresi, Tinjauan Psikologis. Jakarta:


Kencana.

Markum, A.H , 2002. Imunisasi, Edisi Ketiga, Fakultas Kedokteran UI Press.

Maryunani, Anik. 2010. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal. Jakarta


: Trans Info Medika.

Moehji, 2013. Ilmu Gizi. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

Muttaqin, 2008. Infeksi Saluran Pernafasan Akut. EGC. Jakarta.

Nelson, 2013. Pengertian Definisi Operasional Info. Jakarta: PT.Obor.

Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta. Dinkes.

52
53

Notoatmodjo, Soekidjo. 2013. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : PT


Rineka Cipta.

Nursalam, 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.

Prabu, Putra. 2009. Rumah Sehat dan Perilaku Sehat. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahajeng E, Tuminah S. 2009. Prevalensi Determinannya ISPA di Indonesia.


Jakarta: Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Riskerdas. (Riset Kesehatan Dasar). 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

Soewasti, dkk., 2007. Pedoman Nasional. Penanggulangan ISPA. Cetakan ke 8.


Jakarta: Depkes RI.

Sri Hayati. 2014. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Jakarta: Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.

Suhandayani, 2010. Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Penanggulangannya.


Medan: Universitas Sumatera Utara.

Suliha,dkk,2012. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Cetakan I. Jakarta :


EGC.

Supardi dan Surahman, 2014. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Susi Hartati. 2011. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian.
Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo, Jurnal UI.

Syafarilla, 2011. Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Erlangga.

Syair, Umar. 2009. Transformasi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja


di Indonesia, Jakarta: UI Press.

Usman, 2012. Penilaian Status Gizi. PT. Gramedia : Jakarta.


47

Anda mungkin juga menyukai