Anda di halaman 1dari 23

HUBUNGAN KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN

KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun Oleh :
PANDU NUGROHO
NPM. 1880100021

Dosen Pengampuh:
HENNI FEBRIAWATI, SKM., MARS

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
TAHUN 2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan

pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara

menyeluruh dan berkesinambungan. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah

terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik

masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil-guna dan

berdayaguna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-

tingginya (Depkes RI, 2009)

Penyakit berbasis lingkungan merupakan fenomena penyakit terjadi pada

sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan, berakar atau memiliki kaitan

erat dengan satu atau lebih komponen lingkungan pada sebuah ruang dimana

masyarakat tersebut tinggal atau beraktivitas dalam jangka waktu tertentu

(Achmadi, 2012).

Penyakit ISPA merupakan salah satu jenis penyakit menular berbasis

lingkungan. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung sampai

alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Depkes,

2012).

Menurut WHO kurang lebih 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap

tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang,

dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh

2
± 4 juta anak balita setiap tahun (Rudianto, 2013).

Di Indonesia kasus ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab

kematian bayi. Berdasarkan Riskesdas 2013 prevalensi nasional ISPA adalah

25,0%. Sebanyak lima provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi, yaitu Nusa

Tenggara Timur 41,7%, Papua 31,1%, Aceh 30,0%, Nusa Tenggara Barat 28,3%,

dan Jawa Timur 28,3%. Penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada

kelompok umur 1-4 tahun 25,8%. (Data Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan, 2013).

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo menunjukkan jumlah kasus

ISPA pada balita tahun 2016 sebanyak 2487 atau 4,45%. ISPA di kabupaten

Ponorogo menjadi tren penyakit setiap tahunnya. Puskesmas yang ada di wilayah

Ponorogo salah satunya adalah Puskesmas Pulung. Dari 30 Puskesmas yang ada

di Kabupaten Ponorogo, Puskesmas Pulung dipilih karena penyakit ISPA selalu

masuk 10 besar angka kesakitan selama 2 tahun berturut-turut (Dinkes Ponorogo,

2016). Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2016 kasus ISPA di

Puskesmas Pulung sebanyak 1385 penderita. Sedangkan kasus baru ISPA di tahun

2017 sebanyak 1599 penderita. Kasus ISPA balita di Puskesmas Pulung tahun

2017 tersebut didominasi oleh balita sebanyak 324 penderita. Puskesmas Pulung

membawahi 11 desa, dari 11 desa tersebut kasus ISPA balita tertinggi ada di Desa

Pulung Merdiko, dengan jumlah penderita ISPA sebanyak 109 balita (Puskesmas

Pulung, 2017).

Secara umum faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan fisik,

faktor host/pejamu, faktor agent serta faktor lingkungan sosial. Faktor agent yaitu

3
bakteri, virus dan jamur. Faktor lingkungan fisik meliputi, pencemaran udara

dalam rumah, kondisi fisik rumah seperti kepadatan hunian, jenis lantai, jenis

dinding, pencahayaan rumah. Sedangkan faktor sosial meliputi pekerjaanorangtua,

pendidikan ibu, serta perilaku merokok anggota keluarga (Depkes RI, 2010)

Kondisi lingkungan rumah sangat mempengaruhi kesehatan dari penghuni

rumah khususnya pada balita karena sistem kekebalan tubuh balita sangat rentan

terhadap penyakit. Rumah Sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi

syarat kesehatan yang terdiri dari komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku

antara lain yaitu memiliki jamban sehat, tempat pembuangan sampah, sarana air

bersih, sarana pembuangan air limbah, ventilasi baik, kepadatan hunian rumah

sesuai dan lantai rumah tidak dari tanah (Profil Indonesia, 2016).

Menurut data Puskesmas Pulung tahun 2016 cakupan rumah sehat masih

dibawah target, dari 8307 rumah yang diperiksa 3895 rumah belum memenuhi

syarat rumah sehat atau baru tercapai 53,11% dari target 100%. Kemudian di

tahun 2017 data rumah sehat masih sama yaitu 53,11%. Berdasarkan data

Puskesmas Pulung pada tahun 2017, di Desa Pulung Merdiko terdapat 26% rumah

yang belum memenuhi syarat, dibandingkan dengan desa lain persentase tersebut

masih tergolong tinggi (Puskesmas Pulung, 2017).

Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat Kabupaten

Ponorogo tahun 2016 terdapat 19.919 (57,4%) dari 34,704 yang disurvei, hal ini

masih dibawah target yaitu 100% (Dinkes Ponorogo, 2016). Perilaku manusia

merupakan faktor yang besar pengaruhnya dalam menentukan derajat kesehatan.

Perilaku masyarakat yang buruk dapat menimbulkan berbagai penyakit, meskipun

4
sarana sanitasi dasar telah tersedia, misalnya terjadinya penyakit ISPA. Salah satu

contohnya yaitu perilaku merokok anggota keluarga didalam rumah akan

meningkatkan terjadinya kasus ISPA pada balita, hal tersebut sesuai dengan

penelitian William (2015) yang menyatakan bahwa merokok dalam rumah

merupakan salah satu faktor yang bermakna dalam kejadian ISPA termasuk balita.

Dari penelitian Safrizal (2017) tentang hubungan ventilasi, lantai, dinding,

dan atap dengan kejadian ISPA pada balita di Blang Muko menunjukkan bahwa

ada hubungan antara ventilasi rumah (p=0,032), lantai rumah (p=0,014), dinding

rumah (p=0,000), atap rumah (0,022) dengan kejadian ISPA pada balita.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh William (2015) tentang

hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada anak

balita di wilayah kerja Puskesmas Sario Manado menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian (p=0,0001) di dalam rumah,

keberadaan hewan peliharaan di dalam rumah (p=0,0001) dan status merokok

(p=0,0001) dengan kejadian ISPA pada anak balita.

Maka dari itu penting bagi setiap masyarakat untuk menjaga dan

memelihara sanitasi fisik rumah, menerapkan gaya hidup bersih dan sehat dalam

kehidupan sehari-hari untuk mengurangi resiko terkena penyakit yang

berhubungan dengan lingkungan terutama pada balita.

Berdasarkan uraian diatas, kejadian ISPA balita di Desa Pulung Merdiko

tergolong tinggi dan persentase rumah sehat masih dibawah target yang telah

ditentukan. Hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai

hubungan antara kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

5
B. Rumusan Masalah

“Apakah ada hubungan antara kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian

ISPA?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui adanya hubunganantara kesehatan lingkungan rumah

dengankejadian ISPA pada balita.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding, langit-

langit rumah, pencahayaan, anggota keluarga merokok.

b. Menganalisis hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada

balita.

c. Menganalisis hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita.

d. Menganalisis hubungan jenis dinding dengan kejadian ISPA balita.

e. Menganalisis langit-langit rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

f. Menganalisis hubungan pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita.

g. Menganalisis hubungan anggota keluarga merokok dengan kejadian ISPA

pada balita.

D. Manfaat

1. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang

pentingnya menjaga lingkungan rumah agar tetap nyaman dan sehat, serta

sebagai bahan masukan bagi peningkatan pemberdayaan keluarga, terutama

6
ibu untuk meningkatkan kesehatan anak agar terhindar dari faktor-faktor yang

dapat menyebabkan ISPA balita.

2. Bagi Instansi Pemerintah dan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan untuk

program P2ISPA dan pemerintah desa agar lebih peduli dengan kesehatan

lingkungan masyarakat.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

1. Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut mengandung dua unsur,

yaitu infeksi dan saluran pernapasan atas. Pengertian infeksi adalah masuknya

kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak

sehinggamenimbulkan gejala penyakit (Gunawan, 2010).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang terjadi

pada pernapasan bagian atas yang meliputi mulut, hidung, tenggorokan,

laring (kotak suara), dan trakea (batang tenggorokan). Gejala dari penyakit ini

antara lain ; sakit tenggorokan, beringus (rinorea), batuk, pilek, sakit kepala,

mata merah, suhutubuh meningkat 4-7 hari lamanya (Mumpuni, 2016)

2. Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Penyebab ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri

penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus,

Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza.

Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus.

Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain Aspergillus sp., Candida

albicans, dan Histoplasma. (Wahyono, 2008).

3. Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Depkes RI, 2012) adalah sebagai

7
berikut:

1. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis

media, faringitis.

2. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai

dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran napas, seperti

epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

Klasifikasi berdasarkan umur (Kemenkes RI, 2011) sebagai berikut:

1. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas:

a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti

berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang,

rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang

tenang, mengi, demam (38 ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah

(di bawah 35,5oC), pernapasan cepat 60 kali atau lebih per menit,

penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan

apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.

b. Bukan pneumonia: jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari

60 kali per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.

2. Kelompok umur 2 bulan ≤ 5 tahun, diklasifikasikan atas:

a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernapas yang disertai

dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding

dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.

8
b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding

dada,tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.

c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernapas) dan pernapasan cepat

tanpapenarikan dinding dada.

d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernapas)

tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding dada.

e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit

walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang

adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan

dindingdada, frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.

B. Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah:

1. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu

ataulebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Batuk

b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal

pada waktu berbicara atau menangis).

c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.

d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba.

2. Gejala dari ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

9
a. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang

dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur

satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan

menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit.Untuk menghitung

dapat digunakan arloji.

b. Suhu lebih dari 39 oC (diukur dengan termometer).

c. Tenggorokan berwarna merah.

d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.

e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

g. Pernafasan berbunyi menciut-ciut.

3. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala

ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

a. Bibir atau kulit membiru.

b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu

bernafas.

c. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.

d. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.

e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.

f. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

g. Tenggorokan berwarna merah.

10
1. Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Secara umum infeksi saluran pernapasan akut pada balita dapat dicegah

dengan cara sebagai berikut (Ardinasari, 2016) :

a. Melakukan imunisasi sesuai usia anak yang disarankan, sehingga bayi,

balita dan anak memiliki kekebalan terhadap berbagai serangan penyakit

b. Menjaga asupan makanan dan nutrisi

c. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar

d. Menjauhkan bayi, balita dan anak dari asap rokok, tembakau, dan polusi

udara lain

e. Menghindarkan bayi, balita, dan anak dari seseorang yang tengah

menderita ISPA.

2. Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pengobatan ISPA pada bayi, balita dan anak secara umum bisa

dilakukan dirumah. Berikut ini beberapa caranya: dengan memberikan obat

yang sifatnya aman dan alami pada balita, sedangkan bayi sebaiknya segera

dibawa ke dokter. Jika demam, bayi yang berusia 2bulan-5tahun dapat diobati

dengan paracetamol juga dikompres, sedangkan untuk bayi dibawah usia 2

bulan segera diperiksakan ke dokter. Penderita ISPA memerlukan banyak

asupan makanan yang bergizi.balita perlu diberikan makanan sedikit demi

sedikit, tetapi rutin dan berulang, sedangkan untuk bayi yang masih

menyusui dibutuhkan ASI ekslusif dari ibu. Agar penderita ISPA tidak

kekurangan cairan, berilah air yang lebih banyak dari biasanya baik air putih

maupun sari buah. Asupan minuman yang banyak akan membantu mencegah

11
dehidrasi dan mengencerkan dahak (Ardinasari, 2016). Kemudian untuk

penanganan ISPA bisa ditentukan berdasarkan penyebab dari ISPA tersebut

antara lain (Khrisna, 2013) :

a. ISPA yang disebabkan oleh alergi: cara yang paling tepat dengan

menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi tersebut. Tablet anti alergi

biasanya diresepkan oleh dokter untuk menghentikan reaksi alergi

tersebut.

b. ISPA disebabkan oleh virus: biasanya ISPA yang disebabkan oleh virus

ini tidak memerlukan pengobatan. Yang diperlukan hanya istirahat,

minum yang banyak dan makan-makanan yang sehat. Dengan istirahat

yang secukupnya, biasanya gejala mulai berkurang setelah 2-3 hari

berlalu.

c. ISPA disebabkan oleh bakteri dan jamur: ISPA jenis ini memerlukan

antibiotik atau anti jamur untuk membunuh kuman tersebut. Penggunaan

obat-obat tersebut harus menggunakan resep dokter untuk mendapatkan

hasil yang maksimal dan mengurangi resiko munculnya efek yang tidak

diinginkan.

3. Faktor Resiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang anak

rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Faktor risiko yang

meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan kematian karena ISPA antara lain :

a. Jenis Kelamin

12
Meskipun secara fisik pria cenderung lebih kuat dibandingkan wanita, wanita

sejak bayi hingga dewasa memiliki daya tahan lebih kuat dibandingkan laki-laki,

baik itu daya tahan akan rasa sakit dan daya tahan terhadap penyakit. Anak laki-

laki lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit dan cacat dibandingkan

wanita. Selain itu, secara neurologis anak perempuan lebih matang

dibandingkan anak laki-laki sejak lahir hingga masa remaja, dan pertumbuhan

fisiknya pun lebih cepat. Wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria

(Chandra, 2009)

d. Status Imunisasi

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian

dari penyakit. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit,

seperti polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus, campak (Notoatmodjo, 2011). Dari

hasil penelitian Heryanto (2016) ada hubungan yang bermakna antara status

imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Balita yang status

imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko lebih besar untuk menderita penyakit

ISPA dibandingkan dengan balita dengan status imunisasilengkap.

e. Umur

Umur menyebabkan adanya perbedaan penyakit yang diderita seperti usia pada

anak-anak yang cenderung mudah terserang oleh penyakit (Chandra, 2009).

Menurut Dian Fitriawati (2013) kejadian ISPA atas lebih sering terjadi pada

anak berusia 2-5 tahun karena pada usia tersebut anak sudah banyak terpapar

dengan lingkungan luar dan kontak dengan penderita ISPA lainnya sehingga

memudahkan anak untuk menderita ISPA.

13
f. Status Gizi

Gizi yang baik umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap

penyakit-penyakit infeksi (Notoatmodjo, 2011). Status gizi balita merupakan hal

penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Parameter yang umum

digunakan untuk menentukan status gizi pada balita adalah berat badan, tinggi

badan dan lingkar kepala (Marimbi, 2010). Asupan gizi yang kurang merupakan

resiko untuk kejadian dan kematian balita dengan infeksi saluran pernapasan.

Berdasarkan penelitian Heryanto (2016) ada hubungan yang bermakna status gizi

dengan kejadian ISPA pada balita.

g. Pemberian ASI Ekslusif

Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak

dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan

makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan mineral). ASI

mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi karena mengandung protein

untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman dalam jumlah tinggi sehingga

pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi risiko kematian pada bayi (Depkes RI,

2016). Menurut penelitian Heryanto (2016) ada hubungan yang bermakna

pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita

4. Faktor Agent

Bakteri penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus,

Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza.

Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus.

Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lainAspergillus sp., Candida

14
albicans, dan Histoplasma. (Wahyono, 2008).

C. Faktor Lingkungan

1. Faktor Lingkungan Fisik

a. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian yang dimaksud perbandingan antara luas lantai kamar

dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Menurut

keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang

persyaratan rumah, untuk kamar tidur diperlukan mininum 2 orang, kamar

tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak

dibawah 2 tahun. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah

penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Kepadatan hunian akan

meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan

yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernafasan

tersebut. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai jumlah penghuninya akan

mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan

tubuh penghuninya menurun, kemudian mempercepat timbulnya penyakit

saluran pernapasan seperti ISPA (Ade, 2012). William (2015) menujukkan

bahwa tingkat kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian ISPA pada

balita.

b. Pencahayaan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam

Ruang Rumah menetapkan bahwa pencahayaan alami dan/atau buatan

15
langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan

minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan. Menurut Ronny

(2015) pencahayaan merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap

kejadian ISPA pada balita

c. Jenis Lantai

Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak

lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling

tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau

keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011). Dari penelitian

Safrizal (2017) menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis lantai

dengan kejadian ISPA pada balita.

d. Jenis Dinding

Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah

didaerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu

dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat perekonomiannya kurang.

Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat

menyebabkan penyakit pernapasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena

angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah (Notoatmodjo, 2011).

Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit

dibersihkan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan

sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman. Berdasarkan

penelitian Safrizal (2017) menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis

dinding dengan kejadian ISPA pada balita.

16
e. Langit-langit Rumah

Langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal

ini dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah

dalam ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang yang berasal

dari atap rumah pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari.

Menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999

tentang persyaratan rumah langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak

rawan kecelakaan.

Menurut penelitian Safrizal (2017) rumah yang tidak ada langit-langit

(plafon) ada hubungan yang signifikan dengan kejadian ispa (p=0,002),

sehingga debu yang langsung masuk ke dalam rumah mengganggu

saluran pernafasan pada balita yang ada di desa tersebut.

17
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi konsep-konsep serta

variabel-variabel yang akan diukur (diteliti) (Notoatmodjo, 2012).Kerangka

konsep dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Bebas

2. Variab el Terikat

Kepadatan Hunian

Jenis Lantai

Jenis Dinding
Kejadian ISPA pada Balita

Langit-langit Rumah

Pencahayaan

Anggota Keluarga Merokok

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

18
B. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Notoatmodjo,

2012).

Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ha= Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA

padabalita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

2. Ha = Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita

diDesa Pulung Merdiko Ponorogo

3. Ha = Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA balita di

DesaPulung Merdiko Ponorogo

4. Ha = Ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian ISPA

padabalita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

5. Ha = Ada hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan

kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo

6. Ha = Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita

diDesa Pulung Merdiko Ponorogo

19
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi.UF 2012.Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali

Pers

Ardianasari, Eiyta. 2016. Buku Pintar Mencegah dan Mengobati Penyakit Bayi &

Anak.Jakarta: Bestari

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan

Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Cahyono, Tri. 2017. Penyehatan Udara. Yogyakarta: ANDI

Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteraan Pencegahan dan Imunitas. Jakarta:

Buku Kedokteran EGC

Cindi Astuti. 2017. Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kejadian ISPA pada

Balita di Desa Cijati Kecamatan Cimanggu Kabupaten Cilacap. Universitas

Muhammadiyah Purwokerto

Departemen Kesehatan RI. 1999. Kepmenkes RI No.829 Tahun 1999 tentang

Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta

Moh, Toyib. 2016. Daftar Isian Tingkat Perkembang Desa Pulung Merdiko dan

Kelurahan. Desa Pulung Merdiko

Fitriawati D. 2013. Hubungan antara tingkat keparahan ISPA pada balita usia 0-

5 tahun dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak (prental

perception of child vulnerability) di Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo

(skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Gunawan. 2010. Pencegahan dan Penanggulangannya. Semarang: Dinkes

20
Provinsi Jawa Tengah

Heryanto Eko. 2016. Hubungan Status Imunisasi, Status Gizi, Dan Asi Eksklusif

dengan Kejadian Ispa Pada Anak Balita Di Balai Pengobatan Uptd

PuskesmasSekar Jaya Kabupaten Ogan Kom Ering Ulu. Stikes Al-Ma’arif

Baturaja

Irianto, Koes. 2014. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Alfabeta

Julia, dkk. 2017. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kebiasaan Orang Tua

dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji

Kabupaten Temanggung. Universitas Pekalongan

21

Anda mungkin juga menyukai