Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi saluran pernapasan Akut yang sering di sebut dengan

(ISPA) adalah suatu penyakit morbilitas dan mortalitas di seluruh dunia.

Setiap tahunya 1,3 juta pada anak khususnya balita di bawah usia 5 tahun

meninggal di karenakan infeksi saluran pernapasan akut dan menjadi satu dari

tiga kematian di Negara yang berpenghasilan rendah (Triana & Purwana,

2019).

Secara global infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) menjadi penyebab

kematian keempat dari antara berbagai usia, kontribusi besar untuk jumlah

kematian pada orang dewasa seluruh dunia, diperkirakan 11 - 22% kematian

anak-anak usia < 5 tahun dan 3% orang dewasa berusia 14 – 49 tahun

(Tomczyk et al, 2019).

Pneumonia adalah akibat paling serius dari infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) dan membunuh lebih banyak anak dibandingkan penyakit

menular lainnya, merenggut nyawa lebih dari 800.000 anak balita setiap

tahun, atau sekitar 2.200 setiap hari. Secara global, terdapat lebih dari 1.400

kasus pneumonia per 100.000 anak, atau 1 kasus per 71 anak setiap tahun,

dengan insiden terbesar terjadi di Asia Selatan (2.500 kasus per 100.000 anak)

dan Afrika Barat dan Tengah (1.620 kasus per 100.000 anak) (WHO, 2018).

Prevalensi kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di

Indonesia menurut diagnosis Tenaga Kesehatan (NAKES) 2013 - 2018. sepulu


2

provinsi dengan penyakit ISPA tertinggi yaitu Papua (10,0%) Bengkulu

(9,5%), Papua Barat (7,5%), Nusa Tenggara Timur (7,4%) Kalimantan

Tengah (6,0%) Jawa Timur (5,5%), Maluku (5,4%), Banten (5,1%), Jawa

barat (4,9%), Jawa Tengah (4,9%). Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan untuk penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

(Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Riset Kesehatan Dasar

Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2018 menunjukkan bahwa angka

kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) berdasarkan riwayat Nakes

dan atau gejala mencapai 21.308 kasus atau 11,69% (Riskesdas NTB, 2018).

Di Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2020, perkiraan penemuan

infeksi saluran pernafasan pada balita adalah sejumlah 6.292 kasus. Dalam

pelaksanaannya penemuan infeksi saluran pernafasan tercatat sejumlah 3.028

kasus (48,1%) yang terdiri atas 1.706 kasus dengan jenis kelamin laki-laki dan

1.322 kasus perempuan. Dari total 6.292 kasus infeksi saluran pernafasan

yang ada dibedakan menjadi infeksi saluran pernafasan ringan sejumlah 1.132

kasus (673 kasus laki-laki dan 459 kasus perempuan) dan infeksi saluran

pernafasan berat sejumlah 2.033 kasus (1.104 kasus jenis kelain laki-laki dan

929 kasus perempuan). Sedangkan penemuan kasus pada tahun 2019 tercapai

sebesar 83,9% (6.430 kasus) yang terdiri atas infeksi saluran pernafasan

ringan sejumlah 6.014 kasus dan infeksi saluran pernafasan akut sejumlah 435

kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur, 2020).


3

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Desa Tebaban Wilayah

Kerja Puskesmas Kerongkong menunjukkan bahwa tahun 2019, prevalensi

kejadian infeksi saluran akut mencapai 295 kasus, kemudian tahun 2020

sebanyak 402 kasus dan pada tahun 2021 dari bulan Januari sampai dengan

September sebanyak 304 kasus. Salah satu faktor yang menyebabkan

tingginya angka kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Desa

Tebaban yaitu disebabkan karena kepadatan hunian rumah.

Lingkungan fisik rumah merupakan salah satu faktor risiko yang

berhubungan dengan kejadian ISPA. Rumah pada umumnya memiliki lantai,

dinding, tingkat kepadatan hunian, sedangkan rumah dengan tipe semi

permanen dan tidak permanen kebanyakan kondisi fisik rumah masih kurang

memenuhi syarat kesehatan. Tingginya tingkat kepadatan hunian rumah

dengan penghuninya mempunyai risiko yang tinggi menderita ISPA pada

balita di banding dengan penghuni yang rumah yang tidak padat (Wulandhani

& Purnamasari, 2019).

Rumah yang padat penghuni menyebabkan sirkulasi udara dalam rumah

menjadi tidak sehat, karena dengan penghuni yang banyak dapat

mempengaruhi kadar oksigen dalam rumah. Sehingga menyebabkan

peningkatan jumlah mikroorganisme penyebeb penyakit terutama yang

menular melalui saluran pernapasan sehingga rentang bagi keluarga maupun

anak balita (Janati & Siwiendrayanti, 2017).

Menurut Kemenetrian Kesehatan RI (2017) kepadatan penghuni

dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per 8 m²) dan kepadatan


4

tinggi (lebih 2 orang per 8 m² dengan ketentuan anak 10 tahun). Kepadatan

Hunian Rumah Standar yang dibutuhkan dalam menentukan luas lantai

bangunan, yaitu 4 m2 untuk setiap penambahan 1 orang dan ukuran rumah

ideal minimal 4 m2 untuk satu orang dewasa dan satu anak usia 5-10 tahun.

Luas rumah minimal 4 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang

dewasa dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun (Kemenkes RI,

2017).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siti Hardianti tentang

hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita ditemukan

hasil bahwa kepadatan hunian memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada

balita yang tidak memenuhi standar rumah sehat, Samarinda menjadi salah

satu kota dengan tingginya Kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada

balita dilihat dari analisis pada kelompok kasus sebagian besar tidak

memenuhi standar (80,9%), dilihat dari kelompok kontrol sebagian besar

memenuhi standar (52,4%) dengan nilai (OR= 0,214 dan CI=0,055-0,855 P=

0,024) kondisi ruangan yang penuh dan padat akan mengalami pencemaran

gas dan bakteri mikroorganisme dengan meningkatnya karbon dioksida dalam

suatu ruangan dapat penurunkan sirkulasi udara dalam ruangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian

mengenai hubungan tingkat kepadatan hunian rumah dengan kejadian

penyakit ISPA Pada Balita di Desa Tebaban Wilayah Kerja Puskesmas

Kerongkong Tahun 2021.


5

B. Identifikasi Masalah

Beberapa permasalahan yang timbul di Desa Tebaban Wilayah Kerja

Puskesmas Kerongkong yaitu :

1. Kondisi fisik rumah di Desa Tebaban masih kurang memenuhi syarat

kesehatan, dimana rata-rata 1 ruangan dengan luas 4 m 2 dihuni oleh 2 – 3

orang

2. Angka kejadian infeksi saluran pernafasan pada balita di Kabupaten

Lombok Timur pada tahun 2020 mencapai 6.292 kasus.

3. Angka kejadian infeksi saluran pernafasan akut di Desa Tebaban masih

tinggi yaitu sebanyak 304 kasus dari bulan Januari sampai dengan

September 2021.

C. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan tingkat kepadatan hunian rumah dengan kejadian

penyakit ISPA pada balita di Desa Tebaban Wilayah Kerja Puskesmas

Kerongkong Tahun 2021?.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
6

Untuk mengetahui hubungan tingkat kepadatan hunian rumah

dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tebaban Wilayah

Kerja Puskesmas Kerongkong Tahun 2021.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi tingkat kepadatan hunian rumah di Desa Tebaban

Wilayah Kerja Puskesmas Kerongkong Tahun 2021.

b. Mengidentifikasi kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tebaban

Wilayah Kerja Puskesmas Kerongkong Tahun 2021.

c. Menganalisis hubungan tingkat kepadatan hunian rumah dengan

kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tebaban Wilayah Kerja

Puskesmas Kerongkong Tahun 2021.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Tempat Penelitian

Diharapkan kepada pemerintah desa agar memberikan informasi

kepada masyarakat dalam upaya menanggulangi penyakit ISPA, sehingga

dapat mengevaluasi program yang sedang berjalan dan sebagai bahan

pertimbangan dalam penyusunan rencana kegiatan penanggulangan ISPA

di masa yang akan datang.

2. Bagi Peneliti

Diharapkan dengan adanya penelitian dapat menambah wawasan

penulis mengenai hubungan kepadatan hunian rumah dengan kejadian


7

penyakit ISPA, agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di dunia

kerja.

3. Untuk Institusi Pendidikan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa dijadikan sebagai

bahan masukan, literatur dan referensi untuk meningkatkan dan

mengembangkan ilmu pengetahuan para mahasiswa khususnya mahasiswa

Universitas Pendidikan Mandalika.

4. Bagi Masyarakat

Diharapkan dengan adanya penelitian dapat dijadikan sebagai

tambahan informasi sehingga masyarakat dapat memahami dan

mengetahui faktor kepadatan hunian rumah yang mempengaruhi kejadian

ISPA sehinggan masyarakat dapat memperbaiki kondisi rumahnya mereka

sesuai dengan syarat rumah sehat.


8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Kepadatan Hunian

1. Pengertian Kepadatan Hunian

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan

penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit

melalui udara, akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu, kepadatan

dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam

kejadian ISPA (Achmadi, 2010).

Mukono (2015), kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam

rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut.

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh

bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah

penghuninya akan menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena

di samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah

satu anggota keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru

akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, karena seorang

penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di

dalam rumahnya.

Kemenkes RI (2017) kepadatan penghuni dikategorikan menjadi

memenuhi standar (2 orang per 8 m²) dan kepadatan tinggi (lebih 2 orang

per 8 m² dengan ketentuan anak 10 tahun).


9

2. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA

Kepadatan hunian sangat berpengaruh terhadap jumlah koloni

kuman penyebab penyakit menular, seperti penyakit kulit, ISPA dan Diare.

Selain itu kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam

rumah. Dimana semakin banyak jumlah maka akan semakin cepat udara

dalam rumah mengalami pencemaran karena kadar CO2 dalam rumah akan

cepat meningkatkan penurunan O2 yang ada di udara (Akmal, 2013).

Hasil penelitian Putra (2011) tentang hubungan perilaku dan kondisi

sanitasi rumah dengan kejadian ISPA menunjukkan bahwa responden

yang memiliki kondisi kepadatan hunian rumah yang kurang beresiko 5,95

kali tertular ISPA dibandingkan responden yang mempuyai kondisi

kepadatan hunian yang baik (OR = 5.95).

3. Pengukuran Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dapat dilihat dari:

a. Kepadatan Hunian Rumah Standar yang dibutuhkan dalam

menentukan luas lantai bangunan, yaitu 4 m2 untuk setiap penambahan

1 orang

b. Kepadatan Hunian Kamar tidur

1) Ukuran rumah ideal minimal 4 m2 untuk satu orang dewasa dan

satu anak usia 5-10 tahun (Akmal, 2013).

2) Luas rumah minimal 4 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih

dari 2 orang dewasa dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah

5 tahun (Kemenkes RI, 2017).


10

Bila sebuah rumah amat padat penghuninya, maka penyakit akan

mudah menular dari satu orang ke orang lainnya. Jadi semakin besar

ruangan, akan semakin baik pula akibatnya untuk kesehatan. Ruangan

yang cukup sehingga penghuninya tidak terlalu padat, terutama saat

mereka tidur (Akmal, 2013).

Kemenkes RI (2017) tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,

pengukuran rumah berdasarkan kepadatan hunian sebagai berikut :

Tabel 2.1 Pengukuran Kepadatan Hunian Berdasarkan Kemenkes RI 2017

No Kepadatan Hunian
Jumlah Luas Tipe Jumlah
Kamar Lantai Rumah Penghuni
1 1 4 m2 Tipe 8 – 16 1 penghuni
2 2 6 – 8 m2 Tipe 16 – 35 2 penghuni
3 3 >8 – 12,5 m2 Tipe 36 – 50 3 penghuni
4 4 >12,5 – 15,5 m2 Tipe 51 – 64 4 penghuni
2
5 5 15,5 – 20,5 m Tipe > 64 5 penghuni
Sumber : Kemenkes RI (2017).

Dalam satu petak luas lantai dengan ukuran 2 x 2 m (4 m2) dapat

dikatakan tidak padat apabila hanya untuk dihuni oleh satu orang usia >10

tahun atau dapat dikatakan, namun apabila dihuni 2 – 3 orang dan

seterusnya maka agar rumah tidak padat dengan penghuni, rumah harus

jauh lebih besar dari ukuran semula sesuai dengan ketetapan pemerintah

saat ini.

Program pemerintah dalam pembuatan rumah seribu bagi

masyarakat merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi

kepadatan hunian, sehingga hunian dikatakan layak bagi oarng yang

tinggal didalamnya sehingga mampu mengurangi epidemiologi kejadian


11

suatu penyakit dan penularannya. Sebagian besar rumah seribu yang

dibangun pemerintah merupakan tipe 36 dengan artian panjang bangunan

6 meter dikalikan dengan luas bangunan 6 meter (Akmal, 2013).

Rumah tipe 36 dikatakan tidak padat sebaiknya dihuni oleh dua

orang tua dengan 1-2 anak di dalamnya, memiliki wc/kamar mandi, dapur

yang merangkap ruang keluarga, kamar utama dan kamar anak serta ruang

tamu sehingga dikatakan rumah tersebut layak huni dan dapat masuk

dalam kategori rumah tidak padat atau dapat disimpulkan bahwa rumah

dikatakan padat apabila 1 orang dalam ruangan ukuran

B. Konsep Rumah

1. Pengertian Rumah

Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat

penting bagi kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat

untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, namun didalamnya

terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk membangun kehidupan

keluarga sehat dan sejahtera (Akmal, 2013).

Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah

mewah dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah

yang sehat dan layak dihuni Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia,

biologi didalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni

atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Untuk

menciptakan rumah sehat maka diperlukan perhatian terhadap beberapa

aspek yang sangat berpengaruh, antara lain (Mukono, 2014) :


12

UU No. 4/2012 yang dimaksud rumah adalah bangunan yang

berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan

keluarga. Jenis rumah yaitu terdiri rumah permanen dan rumah tidak

permanen. Rumah permanen yaitu rumah yang sedikit atau tidak

menggunakan bahan kayu dan bambu. Bahan pokoknya adalah tembok,

besi baja atau bahan lain yang lebih kuat dari pada kayu sedangkan rumah

tidak permanen adalah perumahan yang buruk akan menimbulkan

permasalaan kesehatan. Rumah atau tempat tinggal tidak hanya pantas

untuk dihuni, dilihat atau dilihat saja, tetapi rumah atau tempat tinggal

harus nyaman, aman dan harus sehat (Mukono, 2014).

2. Syarat dan Komponen Rumah Sehat

Rumah sehat adalah sebuah rumah yang dekat dengan air bersih,

jarak dari tempat pembuangan sampah lebih dari 100 meter, dekat dengan

sarana pembersihan, berada di tempat dimana air hujan dan air kotor tidak

tergenang. Beberapa peryaratan yang harus dipenuhi menurut WHO dan

American Public health association (APHA) antara kain (Mukono, 2014).

a. Syarat Fisiologis

Perumahan harus memenuhi persyaratan fisiologis agar

kebutuhan faal tubuh terpenuhi melalui fasilitas yang tersedia

(Mukono, 2015).
13

Yang termasuk di dalam kebutuhan fisiologis untuk perumahan

adalah:

1) Pencahayaan

Pencahayaan yang diperlukan untuk suatu ruangan di dalam

rumah dapat berbentuk cahaya alami yaitu sinar matahari dan juga

cahaya buatan yaitu sinar lampu. Cahaya yang diperlukan perorang

yang tinggal didalamnya.

2) Penghawaan

Penghawaan untuk suatu ruangan di dalam rumah harus

diperhitungkan yaitu aliran udara yang masuk kedalam ruangan

serta jumlah udara yang diperlukan perorang yang tinggal

didalamnya.

3) Kebisingan

Tidak terdapat gangguan ketenangan akibat adanya

kebisingan baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam

rumah.

4) Ruangan (space)

Tersedia ruang yang cukup untuk kegiatan bermain bagi

anak-anak, dan untuk belajar, selain itu harus tersedia ruangan

utama yaitu ruang tamu, ruang tidur, ruang makan dan sebagainya.
14

b. Syarat psikologis

1) Menjamin privasi

Setiap anggota keluarga harus terjamin ketenangan dan

kebebasan dalam hunia, sehingga tidak terganggu baik oleh

keluarga yang lain, tetangga maupun orang yang kebetulan lewat

diluar.

2) Tersedianya ruang keluarga

Ruang keluarga sangat penting untuk saling melepaskan

kerinduan atau malah psikologis yang lain. Ruang keluarga adalah

sarana untuk menjalin hubungan sosial maupun emosional

keluarga.

3) Lingkungan yang sesuai

Seseorang akan dapat memilih hunian mana yang sesuai

dengan strata sosial keluarganya. Kesenjangan strata antar

penghuni atau pemukiman akan menimbulkan rasa tidak nyaman.

4) Tersedia sarana yang sifatnya memerlukan “rivacy

Rumah dilengkapi dengan kamar mandi dan kloset sendiri.

Setidaknya harus tersedia sarana tersebut, akan terasa tidak etis bila

suatu anggota keluarga mandi ataupun buang hajat di fasilitas milik

tetangganya.

5) Jumlah kamar tidur yang cukup


15

Jumlah kamar tidur disesuaikan dengan usia penghuninya.

Usia di bawah 2 tahun dipisahkan ataupun boleh satu kamar

dengan orang tuanya. Tetapi untuk Anak usia di atas 10 tahun

harus di pisahkan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan

untuk anak umur 17 tahun ke atas diberikan kamar tersendiri.

6) Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan atau taman

Fungsi dari halaman rumah disamping menimbulkan rasa

keindahan bagi penghuninya berfungsi juga untuk membersihkan

udara dan menahan /melindungi pencemaran udara dari luar.

7) Untuk Hewan peliharaan dibuatkan kandang tersendiri yang

terpisah dari rumah.

Untuk menghindari tertularnya penyakit zoonosis, ataupun

keributan yang ditimbulkan oleh binatang peliharaan, sebaiknya

dibuatkan kandang terpisah dari ruangan yang biasa dihuni.

c. Mencegah penularan penyakit

Pada dasarnya persyaratan perumahan harus dipertimbangkan

agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan, baik secara jasmani,

rohani maupun sosial. Beberapa persyaratan berikut berkaitan dengan

tersedianya fasilitas sanitasi agar kesehatan penghuninya tetap

terhindar dari penyakit, tidak tertular penyakit infeksi baik antar

penghuni maupun dengan kehadiran anggota warga lain dari sekitar

(Mukono, 2014).

1) Tersedianya persediaan air bersih / air minum


16

Air bersih sangat diperlukan untuk keperluan sehari- hari.

Penyediaan air bersih harus memenuhi syarat kualitas yaitu fisik,

kimia, dan bakteriogis maupun kuantitas (jumlah).

2) Keadaan rumah maupun halaman serta lingkungannya menjamin

tidak terdapatnya tempat perindukan vektor penyakit.

Hal ini terkait dengan konstruksi maupun keadaan rumah

seperti adanya tempat penyimpanan sampah yang baik, kebersihan

yang selalu terjaga dan sebagainya.

3) Tersedianya tempat pembuangan tinja dan air limbah yang

memenuhi syarat sanitasi

4) Luas atau ukuran kamar yang tidak menimbulkan suasana kumuh.

Luas kamar minimum ukuran 2,5 m 3 m dengan ketinggian

langit-langit berkisar dari 2,75 m sampai 3 m. Hal ini khususnya

yang menyangkut kepadatan penghuni kamar dan luas jendela

berpengaruh terhadap timbul dan menularnya penyakit saluran

pernafasan. Sekalipun pencahayaan alami juga berperan penting

dalam menekan kejadian penyakit dalam saluran pernafasan.

5) Fasilitas untuk pengolahan makanan / memasak dan penyimpanan

makanan yang terbebas dari pencemaran maupun jangkauan vektor

maupun binatang pengerat.

d. Mencegah terjadinya kecelakaan


Beberapa hal untuk menghindari timbulnya kecelakaan

misalnya adalah:

1) Adanya ventilasi di dapur


17

Untuk mengeluarkan gas seandainya terjadi kebocoran dari

tabung gas. Bukalah jendela agar gas segera dapat keluar dari

ruangan.

2) Cukup intestitas cahaya

Untuk menghindari kecelakaan seperti tersandung, Teriris /

tersayat, tertusuk jarum waktu menjahit dan sebagainya.

3) Jauh dari pohon besar

Bangunan rumah jauh dari pepohonan besar yang mudah

tumbang atau runtuh.

4) Garis rooi

Bangunan harus mengikuti garis rooi (garis sempadan).

Jarak pagar dengan bangunan minimal lebar jalan.

5) Lantai yang selalu basah (kamar mandi, kamar kecil) tidak licin,

baik karena konstruksinya maupun pemeliharaannya.

6) Bagian bangunan yang dekat api atau listrik terbuat dari bahan

tahan api

7) Cara mengatur atau meletakkan barang dalam ruangan. Pengaturan

ruangan memberikan keleluasaan untuk bergerak pada

penghuninya, terutama untuk keselamatan anak-anak. Cara

menyimpan bahan beracun. Hindarkan dari jangkauan anak minyak

tanah, deterjen, obat-obatan dan sebagainya.

3. Penilaian dan Pengukuran Rumah Sehat


18

Menurut Wiarto (2013), menyebutkan penilaian rumah sehat

bersadarkan kriteria sebagai berikut:

a. Parameter Penilaian Rumah Sehat

Lingkup penilaian rumah sehat dilakukan terhadap kelompok

komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni, sebagai

berikut:

1) Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai,

jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu,

ventilasi, sarana pembuangan asap dapur, pencahayaan.

Kelembaban dalam rumah, juga dapat dipengaruhi oleh jenis dan

kondisi atap, karena pada saat turun hujan, titik-titik air hujan yang

jatuh ke atap, sebagian kecil akan merembes melalui celah-celah

atap. Air hujan tersebut akan meresap melalui dinding rumah

sehingga menyebabkan dinding menjadi basah dan ruangan

menjadi lembab. Kelembaban udara yang dianjurkan agar kualitas

udara dalam ruang menjadi nyaman berkisar antara 40-70% sesuai

dengan Kepmenkes RI 829/Menkes/SK/VII/1999 (dalam

Kemenkes RI, 2017) tentang tentang Persyaratan Kesehatan

Perumahan.
19

2) Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana

pembuangan kotoran, sarana pembuangan air limbah, sarana

pembuangan sampah.

3) Kelompok perilaku penghuni meliputi membuka jendela kamar

tidur, membuka jendela ruang keluarga, membersihkan rumah dan

halaman, membuang tinja bayi dan balita ke jamban dan

membuang sampah pada tempat sampah.

b. Cara Penilaian Rumah Sehat

1) Penilaian rumah

Adapun kriteria penilaian rumah sehat meliputi:

a) Komponen Rumah

(1) Langit-langit

(2) Dinding

(3) Lantai

(4) Jendela kamar

(5) Jendela ruang keluarga

(6) Ventilasi

(7) Lubang asap dapur

(8) Pencahayaan

b) Sarana Sanitas

(1) Sarana Air Bersih (SGL/SPT/PP/PU/PAH)

(2) Jamban (sarana pembuangan kotoran)

(3) Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)


20

(4) Sarana Pembuangan Sampah (tempat sampah)

c. Pengukuran Rumah Sehat

Menurut Arifin (2009), kriteria rumah sehat didasarkan pada

pedoman teknis penilaian rumah sehat Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI tahun

2007. Pedoman teknis ini disusun berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 dalam Kemenkes RI

(2017) tentang persyaratan Kesehatan Perumahan. Hasil penilaian

kemudian dijumlahkan berdasarkan bobot skor yang telah ditentukan

berdasarkan jenis pernyataan dengan perhitungan menggunakan rumus

presentase sebagai berikut:

F
P= x 100
N

Keterangan :

P = Persentase Rumah Sehat

F = Jumlah skor hasil checklist

N = Nilai tertinggi

Penentuan kriteria rumah berdasarkan Kemenkes RI (2017)

dengan kriteria sebagai berikut:

1) Memenuhi syarat: 80 -100 % dari total skor

2) Tidak memenuhi syarat: < 80 % dari total skor.

C. Konsep Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

1. Pengertian ISPA
21

Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan

Akut dengan pengertian, infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke

dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan

penyakit (Ranuh, 2014).

Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli

beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas

14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa

penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses

infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi

pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut

pada Bronkus disebut Broncho pneumonia (Nelson, 2010).

Berdasarkan pengertian di atas, maka ISPA adalah proses infeksi

akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme

dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai

dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk

jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura

(Nelson, 2010).

2. Klasifikasi ISPA

Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit

ISPA dapat diketahui (Nelson, 2010):

a. Lokasi Anatomik
22

Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya,

yaitu ISPA atas dan ISPA bawah. Contoh ISPA atas adalah batuk pilek

(common cold), Pharingitis, Tonsilitis, Otitis, Ffluselesmas, radang

tenggorok, Sinusitis dan lain-lain yang relatif tidak berbahaya. ISPA

bawah diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia yang sangat

berbahaya karena dapat menyebabkan kematian (Ranuh, 2014).

b. Klasifikasi penyakit

Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur,

yaitu:

1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi menjadi pneumonia

berat dan bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan

adanya napas cepat (Fast breathing), yaitu frekuensi pernapasan

sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya tarikan kuat pada

dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe chest indrawing),

sedangkan bukan pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding

dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat (Ranuh, 2014).

2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas

pnemonia berat, pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat,

bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian

bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas. Pneumonia

didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai


23

adanya napas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali permenit atau lebih.

Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada

bagian bawah dan tidak ada napas cepat.

c. Tanda dan Gejala

Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2

ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA

adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran

bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi napas (napas cepat)

sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit

dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan

umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun (Nelson, 2010).

Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan

atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding

dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan

sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan

diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast

breathing) dimana frekwensi napas 60 kali permenit atau lebih, 22 dan

atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam

(severe chest indrawing) (Nelson, 2010).

Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi

tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia

mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak

ditemukan adanya gejala peningkatan frekuwensi napas dan tidak


24

ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Ranuh,

2014).

Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan

batuk yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya (Nelson, 2010):

1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu

tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok),

wheezing (bunyi napas), demam.

2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5

tahun yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor.

d. Penyebab Terjadinya ISPA

Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti

bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas

umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat

disebabkan oleh bakteri, virus dan mycoplasma. ISPA bagian bawah

yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis

yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam

penanganannya (Nelson, 2010).

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus

streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan

Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan

Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma,

Herpesvirus dan lain-lain (Ranuh, 2014).

e. Faktor Risiko ISPA


25

Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk

Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor

baik untuk meningkatkan insiden (Morbiditas) maupun kematian

(Mortalitas) akibat pneumonia (Nelson, 2010).

Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat

pneumonia adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi

rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu

rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, imunisasi yang

tidak memadai, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan

setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah (Nelson,

2010).

f. Penatalaksanaan Penderita ISPA

Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana penderita ISPA

pada balita adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran

bernapas. Pola tata laksana penderita pneumonia terdiri dari 4 bagian

yaitu (Ranuh, 2014) :

1) Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang

ada pada penderita.

2) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya

Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah

tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor, Wheezing,

demam Atau dingin. Tanda bahaya pada umur 2 bulan sampai


26

kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran

menurun, Stridor dan gizi buruk.

3) Tindakan dan Pengobatan

Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa

pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana rujukan dan diberi

antibiotik 1 dosis (Nelson, 2010).

Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun

yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan di rumah,

pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau

lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan

yang ada. Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2

bulan sampai kurang dari 5 tahun (Rahjoe, 2015), meliputi:

a) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah

jumlahnya setelah sembuh.

b) Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan

meningkatkan pemberian ASI.

c) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan

sederhana.

d) Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang

terdiagnosa pneumonia berat harus segera dikirim ke sarana

rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai

penurun demam dan wheezing yang ada.


27

e) Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali

dilakukan dalam 2 hari. Jika keadaan penderita membaik,

pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita

tidak berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke

sarana rujukan. Jika keadaan penderita memburuk, harus segera

dikirim ke sarana rujukan. Obat yang digunakan untuk

penderita pneumonia adalah tablet kotrimoksasol 480 mg,

tablet kotrimoksasol 120 mg, tablet parasetamol 500 mg dan

tablet parasetamol 100 mg.


28

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Kepadatan Kejadian Penyakit ISPA


Hunian Rumah Pada Balita

Faktor yang mempengaruhi Faktor yang mempengaruhi


kepadatan hunian rumah kejadian ISPA pada balita :
1. Ukuran kamar yang terlalu 1. Faktor internal
2
kecil (luas kamar 3 m ) a. Status Gizi
2. Penghuni kamar yang 2. Faktor eksternal
terlalu padat (3 orang) a. Faktor ibu
b. Faktor lingkungan
rumah

Keterangan : ________ : Variabel Yang Diteliti


------------- : Variabel Yang Tidak Diteliti

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian


Sumber : (Modifikasi Akmal, 2013 dan Ranuh, 2014)

Deskripsi Kerangka Konsep :

Variabel independent dalam penelitian ini yaitu tingkat kepadatan

hunian rumah yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : ukuran kamar

yang terlalu kecil (luas kamar 3 m 2) dan penghuni kamar yang terlalu padat (3

orang) dan variabel dependentnya adalah kejadian penyakit ISPA pada balita

yang dipengaruhi oleh faktor internal seperti status gizi dan faktor eksternal

seperti faktor dari ibu dan faktor lingkungan rumah.


29

B. Hipotesis

Ada hubungan tingkat kepadatan hunian rumah dengan kejadian

penyakit ISPA pada balita di Desa Tebaban Wilayah Kerja Puskesmas

Kerongkong Tahun 2021.


30

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analitik korelasi (Sugiyono, 2017) dengan bentuk cross sectional yaitu setiap

subjek penelitian hanya di observasi satu kali saja dan pengukuran terhadap

variabel dilakukan pada saat yang sama (Notoatmodjo, 2010).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai

balita di Desa Tebaban Wilayah Kerja Puskesmas Kerongkong tahun 2021

sebanyak 553 orang.

2. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian ibu

yang mempunyai balita di Desa Tebaban Wilayah Kerja Puskesmas

Kerongkong Tahun 2021. Untuk mencari besarnya sampel dihitung

dengan menggunakan rumus Slovin :

N 553
n=
1+ N ¿¿ 1+ 553¿ ¿

Jadi besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebanyak 85 orang.
31

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sistematik random sampling. Sampel di ambil dengan cara

membuat daftar anggota populasi setelah itu di bagi dengan jumlah sampel

yang di inginkan, hasilnya sebagai interval adalah X,maka yang akan

menjadi sampel adalah kelipatan dari X tersebut.

N
I=
n

553
I=
85

I=6

Bilangan 1 s.d 6 dirandom, bila keluar angka 2 maka 2 adalah

sampel pertama, sampel kedua, ketiga, keempat dan seterusnya adalah

bilangan kelipatan 2 Jadi 2, 8, 14, 20 dan seterusnya sampai didapatkan 85

sampel.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan di Desa Tebaban

Wilayah Kerja Puskesmas Kerongkong.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan pada bulan November

tahun 2021.
32

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel Independent

Variabel independentnya dalam penelitian ini yaitu tingkat

kepadatan hunian rumah.

b. Variabel Dependent

Variabel dependentnya dalam penelitian ini yaitu kejadian

penyakit ISPA pada balita.

2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Skala
No Variabel Definisi operasional Pengukuran
Data
1 Kepadatan Perbandingan luas Pada penelitian ini Nominal
hunian rumah lantai kamar dengan instrumen yang
jumlah penghuni digunakan untuk
kamar. Keputusan mengukur
Menteri RI Nomor kepadatan hunian
829/Menkes/SK/VII rumah adalah
/ 1999 tentang kuesioner. Hasil
persyaratan ukurnya
kesehatan dikelompokkan
perumahan, luas menjadi dua
ruang tidur minimal kategori yaitu :
8 m2 dan tidak a. Memenuhi
dianjurkan syarat : jika
digunakan lebih dari penghuninya 2
2 orang tidur dalam orang per 8 m2.
satu ruang tidur, b. Tidak
kecuali anak memenuhi
dibawah umur 5 syarat : jika
tahun penghuninya
lebih dari 2
orang per 8 m2.
33

2 Kejadian Proses infeksi akut Pada penelitian ini Nominal


penyakit berlangsung selama instrumen yang
ISPA pada 14 hari, yang digunakan untuk
balita disebabkan oleh mengukur kejadian
mikroorganisme dan ISPA pada balita
menyerang salah adalah register.
satu bagian, dan Hasil ukurnya
atau lebih dari dikelompokkan
saluran napas, mulai menjadi 2 kategori
dari hidung (saluran yaitu :
atas) hingga alveoli a. Mengalami
(saluran bawah), ISPA
termasuk jaringan b. Tidak
adneksanya, seperti mengalami
sinus, rongga telinga ISPA
tengah dan pleura

E. Teknik dan Instrumen Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari :

a. Data primer

Menurut Sugiyono (2018), Data primer yaitu sumber data yang

langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data dikumpulkan

sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek

penelitian dilakukan.

Data primer dalam penelitian ini yaitu : data tentang tingkat

kepadatan hunian rumah diperoleh dengan menggunakan alat bantu

kuesioner.

b. Data sekunder

Menurut Sugiyono (2018), Data sekunder yaitu sumber data yang

tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya

lewat orang lain atau lewat dokumen.


34

Data sekunder dalam penelitian ini yaitu :

a. Data tentang kejadian penyakit ISPA pada balita di Desa Tebaban

diperoleh dengan menggunakan alat bantu register.

b. Data tentang gambaran umum Puskesmas Kerongkong diperoleh

dari buku profil.

2. Instrumen Penelitian

Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner dan register.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Persiapan

a. Menyusun rancangan penelitian

b. Memilih lokasi penelitian

b. Mengurus perizinan

c. Mengamati keadaan

d. Memilih dan memanfaatkan informan

e. Menyiapkan instrument penelitian

2. Lapangan

a. Memahami dan memasuki lapangan

b. Aktif dalam kegiatan (pengumpulan data)

3. Pengolahan data

a. Analisis data

b. Mengambil kesimpulan dan verifikasi

c. Narasi hasil analisis


35

G. Analisis Data

Analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisa yang digunakan untuk

mendeskripsikan data yang telah terkumpul yang terdiri dari data tentang

kepadatan hunian rumah dan kejadian ISPA pada balita menggunakan

tabel distribusi frekuensi dengan bantuan SPSS.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mencari

hubungan antara hubungan tingkat kepadatan hunian rumah dengan

kejadian penyakit ISPA pada balita dengan menggunakan uji chi-square

dengan  (tingkat kepercayaan) = 0,05/5% menggunakan SPSS.


36

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, 2010. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Penerbit. UI


Press.

Akmal. 2013. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Batu Saluran Kemih


Di Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar’, 3, Pp. 56–61.
[https://docplayer.info/359564-Faktor-yang-berhubungan-dengan
kejadian-batu-saluran-kemih-di-rsup-dr-wahidin-
sudirohusodomakassar.html]

Arifin, 2009. Perumahan. Sehat. Jakarta : Salemba Medika.

Arikunto, 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta

Dinas Kesehatan Lombok Timur, 2018. Angka Kejadian ISPA Pada Balita.
Lombok Timur : NTB.

Janati, 2017. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dan Kebiasaan Orang
Tua Dengan Kejadian Ispa Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Traji
Kabupaten Temanggung.

Kementrian Kesehatan RI, 2018. Profil Kesehatan Indonesia 2017.


Jakarta: Kemenkes RI.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999

Laporan Riset Kesehatan Dasar Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2018. Angka
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Mataram : NTB.

Mukono, 2015. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga


University Press.

Nelson, 2010. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol Jakarta : EGC.

Notoatmodjo, 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Purnamasari & Wulandari, 2015. Kajian Asuhan Keperawatan pada anak dengan
ISPA. Indonesian Journal On Medical Science..

Ranuh, 2014. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi kelima. Jakarta: Badan


Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Rahajoe, 2015. Pedoman Nasional Asma Anak Edisi ke-2. Jakarta: PP. Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
37

Sugiyono, 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung :


Alfabeta, CV.

Triana & Purwana, 2019. Factors affecting the Incidence of acute respiratory
tract infection in children under five at Betungan community health center,
Bengkulu. The 6 Th Internasional Conference on Publik Health, 01, 40–
45. https://doi.org/https://doi.org/10.26911/the6thicph-FP.01.06.

Tomczyk, 2019. Factors associated with fatal cases of acute respiratory infection
(ARI) among hospitalized patients in Guatemala. BMC Public
Health,  19(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12889-019-6824-z

WHO, 2008. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi


Epidemi dan Pandemi.Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai