Anda di halaman 1dari 15

EQUITY DALAM PEMBIAYAAN

KESEHATAN

Dosen Pembimbing : Reni Aprinawaty SKM,.M.Kes

DISUSUN OLEH : KELOMPOK II


1. Dede Senawijaya (1921015)
2. Hardha Aisyah Putri (1921040)
3. Kiki Indriani (1921053)
4. Rani Sulam (1921085)
5. Wulan Rizky Fauziyah (1921119)
Defenisi Equity
Definisi equity menurut webster’s new collegiate
directionary adalah suatu keadilan (justice) berdasarkan
hukum alam asasi manusia serta bebas dari bias dan
favoritism.
definisi equity menurut american heritage dictionary
adalah kondisi/keadaan yang adil, tidak parsial atau fair.
equity merupakan kesamaan (sameness) dan equity
merupakan keadilan (fairness). Dalam suatu kondisi
tertentu, kesamaan (equal) bisa jadi tidak adil
(inequitable), atau kesamaan (equal), bisa jadi adil
(equitable). Jadi equity merupakan sesuatu yang
abstrak.
Menurut WHO, equity kesehatan adalah setiap masyarakat
mendapatkan kesempatan yang adil akan kebutuhan kesehatannya
sehingga upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan tidak ada yang
dirugikan, apabila faktor-faktor penghambat dapat dihindari.

Menurut Margaret Whitehead (1992) equity dalam


kesehatan yaitu :

Equity dalam status kesehatan


1
Equity dalam penggunaan
2 layanan kesehatan

Equity dalam pembiayaan


3 kesehatan
DASAR HUKUM
Setiap orang memiliki hak kesehatan yaitu akses pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu dan terjangkau (UU Kesehatan 36,2009). Undang
Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional dan
Undang Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial merupakan pedoman pemerintah memberikan jaminan
sosial secara menyeluruh bagi semua masyarakat Indonesia termasuk
jaminan kesehatan. Pemerintahan setiap negara memberikan dan
menyediakan pelayanan kesehatan optimal yang dapat dimanfaatkan
oleh seluruh warga masyarakatnya. Pelayanan kesehatan merupakan
upaya pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
berupa upaya promotif, preventif, kuratif sampai dengan rehabilitatif.
Tantangan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan yaitu
pemerataan dan keadilan (equity), peningkatan biaya pelayanan
kesehatan, efisiensi dan efektifitas serta akuntabilitas dan
kebersinambungan(Trisnantoro,2010).
Penerapan Kebijakan Kesehatan Berbasis Equity
 PDB Indonesia untuk kesehatan yang kurang dari 5% dari total PDB
serta pembiayaan tunai keluarga untuk kesehatan (OOP) yang hampir 50
% dari total pembiayaan kesehatan nasional, akan menyebabkan resiko
finansial bagi masyarakat yang sangat tinggi.
 Kecendrungan pembiayaan pemerintah yang semakin meningkat untuk
subsidi pelayanan kesehatan tanpa diimbangi dengan onsep pemerataan
dan keadila, menimbulkan dampak ketimpangan dalam peningkatan deraat
kesehatan.
 Kebijakan kesehatan berbasis kepada konsep pemerataan dan keadilan
diharapan mampu untuk mengurangi ketimpangan tersebut dan
menurunkan dampak pemiskinan(impoverishment)
 Kebijakan tersebut juga diharapkan akan mengurangi dampak resiko
“bangkrut” kepada rumah tangga untuk menjadi miskin (Catasthrophe)
 Konsep pemerataan untuk pembiayaan kesehatan akan mengurangi resiko
salah sasaran dalam pemberian subsidi pelayanan
kesehatan→ASURANSI KESEHATAN
Menurut whitehead (1992) dan ada 3 (tiga) dimensi equity
dalam konsep kesehatan :
1. Equity dalam hal status kesehatan

CONTOH KASUS :
Perbedaan prevelensi diare klinis antara populasi di daerah provinsi
NAD(Nangro Aceh Darussalam), prevelensi terjadinya diare klinis sebesar
18,9% dan sementara didaerah provinsi di Yogyakarta hanya mencapai 4,2%.
ini berdasarkan riset kesehatan dasar (RISKESDES) 2007 dengan
menanyakan apakah responden pernah di diagnosis diare oleh tenaga
kesehatan dalam satu bulan tersebut pernah menderita buang air besar >3
kali sehari dengan kotoran lembek/cair. Responden yang menderita diare
ditanya apakah minum oralit atau cairan gula garam.
Dari penelitian ini dapat dilihat sebenarnya belum meratanya status
kesehatan pada balita, berakibat langsung pada perkembangan gizi balita dan
kondisi kehidupan mereka dimasa depan. Ini telah masuk equity dapat
dihindari dalam suatu wilayah geografis.
2. Equity dalam penggunaan layanan kesehatan

CONTOH KASUS :
Kemudian akses ke sarana pelayanan kesehatan berhubungan dengan
beberapa faktor penentu, antara lain jarak tempat tinggal dan waktu tempuh
kesarana kesehatan serta status sosial-ekonomi dan budaya.
berdasarkan riset kesehatan daerah (RISKESDES) tahun 2007, dari segi
waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan nampak bahwa 67,2% penduduk
dapat mencapai ke sarana pelayanan kesehatan atau sama dengan 15 menit
dan sebanyak 23,6% pendududk dapat mencapai sarana pelayanan kesehatan
dimaksud antara 16-30 menit. Dengan demikian secara nasional, masih ada
sekitar 9,2% rumah tangga (RT) yang memerlukan waktu lebih dari setengah
jam untuk mencapai sarana kesehatan.
daerah dengan proporsi tertinggi RT yang memerlukan waktu tempuh
lebih dari 30 menit ke sarana kesehatan adalah provinsi Nusa Tenggara Timur
(30,7%), papua (30,6%), kalimantan barat (19,4%), sulawesi barat (17,7%),
sulawesi tenggara (13,8%).
sedangkan proporsi terendah RT yang memerlukan waktu tempuh lebih
dari 30 menit kesarana kesehatan adalah provinsi kepulauan bangka belitung
(3,9%), DKI jakarta (4,8%), serta sulawesi utara dan kalimantan timur (4,9%).
CONTOH KASUS
Pemerintah Kota Makassar membuat program-program berbasis teknologi antara lain
puskesmas digital, dimana warga bisa mendaftar di puskesmas melalui layanan SMS. Data
kesehatan masyarakat melalui layanan ini akan terdokumentasi secara lengkap sehingga
pelayanan kesehatan melalui perawatan yang diberikan lebih tepat dan akurat.
Selain itu terdapat juga program Home Care yaitu program layanan kesehatan yang
menyasar rumah warga. Apabila ada masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan di
rumah maka dapat menghubungi call center 112 di War Room Pemerintah Kota. dapat
diketahui bahwa pelayanan home care Dottorota dilakukan berdasarkan kondisi urgen pasien
atau masyarakat yang memerlukan layanan kesehatan dengan kondisi tertentu, perlakukan
yang diberikan berdasarkan sudut pandang petugas tidak mengenal latar belakang pasien
sehingga pelayanan memang beriorientasi pada pelayanan tidak melihat siapa yang dilayani.
Dari aspek keadilan yang ditelusuri dari sudut pandang masyarakat dan petugas dapat
dipahami bahwa pelayanan yang dilakukan melalui program home care Dottoro’ta diberikan
pada semua kalangan tanpa melihat status sosial yang dilayani serta diberikan secara gratis,
pelayanan Dottoro’ta cukup dengan menelpon call center 112 pihak dari puskesmas akan
datang ke rumah dilengkapi dengan mobil, oksigen, monitor yang lengkap. Petugas
menghubungkan dengan Puskesmas terdekat dan Dottoro’ta datang beserta dokter serta
perawat ke rumah. Pelayanan kesehatan home care ini memperhatikan aspek keadilan dalam
pelayanan kesehatan hal ini diamanatkan dalam Peraturan Walikota Makassar Nomor 6 tahun
2016 tentang Pelayanan Kunjungan Rumah 24 jam Home care. Pelayanan home care dottorota
dilakukan petugas tanpa memandang latar belakang pasien, home care dottorota berorientasi
pada pelayanan kesehatan yang efektif dan tentunya gratis bagi seluruh masyarakat yang
membutuhkan.
CONTOH KASUS
Equitas dalam akses pelayanan kesehatan merupakan tantangan yang dihadapi oleh
berbagai negara, khususnya di Asia Tenggara. Hingga saat ini inekuitas (inequity) kesehatan
antar kelompok masyarakat masih tetap berlangsung. Hal ini disebabkan oleh masyarakat
mempunyai kesempatan yang berbeda (unequal) akan akses pendidikan, pekerjaan, dan
pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu, program peningkatan ekuitas kesehatan harus mengarah
kepada peningkatan ekuitas sumber daya layanan kesehatan yang ada.
Beberapa studi empiris sebelumnya telah mengkaji ekuitas terhadap pelayanan kesehatan.
Negara yang belum menerapkan sistem asuransi sosial, maka biaya layanan kesehatannya akan
sangat berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan. Penelitian di Amerika mengungkapkan
bahwa biaya pelayanan kesehatan menjadi hambatan para lansia untuk mengakses pelayanan
kesehatan.8 Studi di Spanyol melaporkan bahwa individu yang tinggal di pedesaan lebih jarang
mengakses pelayanan kesehatan spesialis dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan. Hal
ini disebabkan karena terbatasnya sarana layanan kesehatan spesialis di pedesaan.9Individu
yang menetap di Itali Selatan lebih jarang mengakses pelayanan kesehatan dibandingkan
dengan mereka yang tinggal di pusat Itali. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tempat tinggal
mempengaruhi akses terhadap layanan kesehatan.10
Adapun ekuitas pelayanan kesehatan di Indonesia belum merata di tiap wilayah. Studi yang
dilakukan Nadjib di tiga belas propinsi menunjukkan bahwa probabilitas untuk akses pelayanan
kesehatan terbukti berbeda antar wilayah yang dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan
wilayah.11 Selain itu, penelitian oleh Thabrany menunjukkan bahwa ada kaitan antara asuransi
kesehatan dengan permintaan pelayanan kesehatan di berbagai wilayah Indonesia. Pegawai
negeri yang memiliki asuransi kesehatan mempunyai akses ke pusat layanan kesehatan lebih
baik 26% dibandingkan kelompok lain.
CONTOH KASUS :
Masalah equitas terhadap akses pelayanan kesehatan di Indonesia masih menjadi
tantangan terbesar dalam mencapai tujuan sistem kesehatan. Berdasarkan sisi
penyedia dan geografi terdapat ketidakmerataan persebaran tenaga kesehatan.
Selain itu, penyediaan fasilitas kesehatan yang tersedia di sebagian wilayah
Indonesia terutama di luar pulau Jawa dan Bali sangat terbatas. Ketidakmerataan
fasilitas kesehatan juga terdapat di daerah yang bercirikan perkotaan dibandingkan
dengan pedesaan. Perkotaan secara umum mempunyai fasilitas kesehatan lebih
lengkap dibandingkan dengan pedesaan. Selain itu menurut Mukti (2009), distribusi
fasilitas kesehatan tidak merata di beberapa provinsi di Indonesia, sebagai contoh
hanya terdapat 1 puskesmas atau puskesmas pembantu (Pustu) untuk melayani
masyarakat di beberapa desa dan berdampak pada tingginya biaya transportasi
sehingga masyarakat kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Papua Barat
memilii rasio pusksmas hanya 0,28 atau 5 kali lipat dibawah angka nasional Kondisi
geografis yang sulit diangkau akses informasi yang amat terbatas penyebab
minimnya fasilitas kesehatan, sedangkan DKI Jakarta merupakan wilayah dengan
rasio puskesmas yang jauh melampaui angka nasional yaitu 7,16. Masalah
aksesibilitas pelayanan kesehatan masih menjadi kendala di banyak daerah terutama
pedesaan, terpencil dan kepulauan, sehingga meluaskan distribusi tenaga kesehatan
dan meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan termasuk mengatasi kendala jarak
dan transportasi merupakan upaya yang masih harus dilanjutkan untuk memudahkan
masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan.
3. Equity dalam pembiayaan kesehatan .

CONTOH KASUS :
Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif
dalam proses kehidupan seseorang tanpa kesehatan tidak mungkin
bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam kehidupan berbangsa,
pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai
investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senantiasa
siap pakai dan tetap terhindar dari serangan berbagai penyakit.
Namun masih banyak yang menyepelekan hal ini, negara pada beberapa
kasus juga demikian.
Di indonesia pembiayaan kesehatan yang masih kurang untuk
memenuhi pelayanan kesehatan secara nasional berakibat dalam pola
pelayanan yang didapatkan disuatu wilayah, kebijakan yang diharapkan
dalam hal pemerataan pelayanan dapat menurunkan angka kemiskinan
disuatu daerah. Konsep ini akan mengurangi kondisi dimana
tercapainya pelayanan kesehatan hingga ke daerah, seperti asuransi
kesehatan yang saat ini dilaksanakan di berbagai daerah di indonesia.
Contoh Kasus Equity dalam subsidi Pelayanan Kesehatan
di Rumah Sakit :
Hasil Penelitian tentang Equity dalam pembiayaan
pelayanan kesehatan (PMPK FK-UGM 2009), Menunjukkan
adanya indikasi bahwa kebijakan subsidi kesehatan
Indonesia masih terlihat dinikmati oleh orang kaya (pro-
rich) dan terjadi kesenjangan yang semakinbesar
(equality reducing), khususnya untuk pelayanan kesehatan
di Rumah Sakit sebelum tahun 2002, tetapi kemudian
membaik pada tahun 2004. Indikasinya adalah adanya
bantuan sosial untuk kesehatan seperti JPKM dan
Askenkin, menyebabkan indikator Equity menadi semakin
membaik.
CONTOH KASUS
Kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah
berhasil memperbaiki pemerataan sosial ekonomi. Sebelum
krisis, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung
digunakan oleh kalangan masyarakat ‘mampu’
Sebagian besar masyarakat miskin, belum atau bahkan tidak
memanfaatkan fasilitas  pelayanan kesehatan dikarenakan
oleh keterbatasan sumber daya
Dapat disimpulkan bahwa  berbagai kebijakan Jaminan
pendanaan seperti Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan
dan Askeskin berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat
miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit
maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya

Anda mungkin juga menyukai