Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pembiayaan kesehatan adalah besarnya alokasi dana yang harus disediakan

untuk dimanfaatkan dalam upaya kesehatan sesuai dengan kebutuhan

perorangan, kelompok dan masyarakat. Dalam sistem kesehatan nasional,

pembiayaan kesehatan adalah penataan sumber daya keuangan yang mengatur

penggalian, pengalokasian dan membelanjakan biaya kesehatan dengan prinsip

efisiensi, efektif, ekonomis, adil, transparan akuntabel dan berkelanjutan untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Pembiayaan yang dialokasikan untuk kesehatan dikatakan baik apabila dalam

penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan, jumlahnya

mencukupi dan dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya sehingga tidak

terjadi peningkatan biaya yang berlebihan (Setyawan, 2015). Biaya kesehatan

ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau

memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan,

keluarga, kelompok dan masyarakat (Setyawan, 2018).

Menurut (Azwar, 2010), Pembiayaan kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut

yaitu :
1. Penyedia Pelayanan Kesehatan

Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan

(health provider) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat

menyelenggarakan upaya kesehatan. Dengan pengertian yang seperti ini

tampak bahwa kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan

utama pemerintah dan atau pun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan

menyelenggarakan upaya kesehatan.

2. Pemakai Jasa Pelayanan

Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut pemakai jasa pelayanan

(health consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat

memanfaatkan jasa pelayanan. Berbeda dengan pengertian pertama, maka

biaya kesehatan di sini menjadi persoalan utama para pemakai jasa

pelayanan. Dalam batas-batas tertentu, pemerintah juga turut

mempersoalkannya, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya.

Dari batasan biaya kesehatan yang seperti ini segera dipahami bahwa

pengertian biaya kesehatan tidaklah sama antara penyedia pelayanan

kesehatan (health provider) dengan pemakai jasa pelayanan kesehatan

(health consumer). Bagi penyedia pelayanan kesehatan, pengertian biaya

kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat

menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan bagi pemakai jasa

pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana


yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan upaya kesehatan. Sesuai

dengan terdapatnya perbedaan pengertian yang seperti ini, tentu mudah

diperkirakan bahwa besarnya dana yang dihitung sebagai biaya kesehatan

tidaklah sama antara pemakai jasa pelayanan dengan penyedia pelayanan

kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan lebih menunjuk padaa

seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional

(operational cost) yang harus disediakan untuk menyelenggarakan upaya

kesehatan. Sedangkan besarnnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih

menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk

dapat memanfaatka suatu upaya kesehatan.

2.2. Fungsi Pembiayaan Kesehatan

Dalam Sistem Kesehatan Nasional 2012 dijelaskan bahwa pembiayaan

kesehatan di Indonesia memiliki beberapa fungsi diantaranya :

1. Penggalian dana dalam kegiatan-kegiatan pokok puskesmas antara lain

upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan

(UKP). Penggalian dana adalah kegiatan yang menghimpun dana atau

anggaran yang dibutuhkan dalam keberlangsungan kegiatan-kegiatan

kesehatan dan atau pemeliharaan kesehatan.

2. Alokasi dana adalah penetapan peruntukan pemakaian dana yang telah

berhasil dihimpun baik yang bersumber dari pemerintah maupun dunia

usaha. Dana yang dihimpun tersebut akan dibayarkan ke provider

kesehatan.
3. Pembelanjaan adalah pemanfaatan alokasi anggaran yang telah dianggarkan

sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan dan prioritas untuk berbagai

intervensi pelayanan kesehatan dan atau dilakukan melalui jaminan

pemeliharaan kesehatan wajib atau sukarela (Indrayathi, 2018).

2.3 Tujuan Pembiayaan Kesehatan

Tujuan dari pembiayaan kesehatan adalah mendorong peningkatan mutu,

mendorong layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi , tidak

memberikan reward terhadap provider yang melakukan over treatment,

under treatment maupun melakukan adverse event dan mendorong

pelayanan tim. Dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan tujuan

tersebut bisa tercapai. Menurut Setyawan (2015), sistem pembiayaan pelayanan

kesehatan bertujuan untuk:

1. Risk spreading, pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran

risiko biaya sepanjang waktu sehingga besaran tersebut dapat terjangkau

oleh setiap rumah tangga. Artinya sebuah sistem pembiayaan harus mampu

memprediksikan risiko kesakitan individu dan besarnya pembiayaan dalam

jangka waktu tertentu (misalnya satu tahun). Kemudian besaran tersebut

diratakan atau disebarkan dalam tiap bulan sehingga menjadi premi (iuran,

tabungan) bulanan yang terjangkau.

2. Risk pooling, beberapa jenis pelayanan kesehatan meskipun risiko rendah

dan tidak merata dapat sangat mahal misalnya hemodialisis, operasi

spesialis (jantung koroner) yang tidak dapat ditanggung oleh tabungan


individu (risk spreading). Sistem pembiayaan harus mampu menghitung

dengan mengakumulasikan risiko suatu kesakitan dengan biaya yang mahal

antar individu dalam suatu komunitas sehingga kelompok masyarakat

dengan tingkat kebutuhan rendah (tidak terjangkit sakit, tidak membutuhkan

pelayanan kesehatan) dapat mensubsidi kelompok masyarakat yang

membutuhkan pelayanan kesehatan. Secara sederhana, suatu sistem

pembiayaan akan menghitung risiko terjadinya masalah kesehatan dengan

biaya mahal dalam satu komunitas, dan menghitung besaran biaya tersebut

kemudian membaginya kepada setiap individu anggota komunitas.

Sehingga sesuai dengan prinsip solidaritas, besaran biaya pelayanan

kesehatan yang mahal tidak ditanggung dari tabungan individu tapi

ditanggung bersama oleh masyarakat.

3. Connection between ill-health and poverty, karena adanya keterkaitan

antara kemiskinan dan kesehatan, suatu sistem pembiayaan juga harus

mampu memastikan bahwa orang miskin juga mampu pelayanan kesehatan

yang layak sesuai standar dan kebutuhan sehingga tidak harus

mengeluarkan pembiayaan yang besarnya tidak proporsional dengan

pendapatan. Pada umumnya. di negara miskin dan berkembang hal ini

sering terjadi. Orang miskin harus membayar biaya pelayanan kesehatan

yang tidak terjangkau oleh penghasilan mereka dan juga memperoleh

pelayanan kesehatan di bawah standar.


4. Undamental importance of health, kesehatan merupakan kebutuhan dasar

dimana individu tidak dapat menikmati kehidupan tanpa status kesehatan

yang baik

Organisasi kesehatan se-dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi

pembiayaan kesehatan yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama

kebijakan dan program aksi itu pada umumnya adalah dalam area sebagai

berikut:

1. Meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan.

2. Mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan

permeliharaan kesehatan masyarakat miskin.

3. Pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi

kesehatan sosial.

4. Penggalian dukungan nasional dan internasional.

5. Penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional.

6. Pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data

dan fakta ilmiah.

7. Pemantauan dan evaluasi.

Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada

beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan

prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket

funding), menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan


kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan

efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang

memadai dan dapat diterima pengguna jasa. Sumber dana biaya kesehatan

berbeda pada beberapa negara, namun secara garis besar berasal dari: 1.

Anggaran pemerintah. 2. Anggaran masyarakat. 3. Bantuan biaya dari dalam

dan luar negeri. 4. Gabungan anggaran pemerintah dan masyaraka

2.4 Syarat Pokok Pembiayaan Kesehatan

Suatu biaya kesehatan yang baik haruslah memenuhi beberapa syarat pokok

yakni :

1. Jumlah

Syarat utama dari biaya kesehatan haruslah tersedia dalam jumlah yang

cukup. Yang dimaksud cukup adalah dapat membiayai penyelenggaraan

semua upaya kesehatan yang dibutuhkan serta tidak menyulitkan masyarakat

yang ingin memanfaatkannya.

2. Penyebaran

Berupa penyebaran dana yang harus sesuai dengan kebutuhan. Jika dana

yang tersedia tidak dapat dialokasikan dengan baik, maka akan menyulitkan

penyelenggaraan setiap upaya kesehatan.

3. Pemanfaatan

Sekalipun jumlah dan penyebaran dana baik, tetapi jika pemanfaatannya

tidak mendapat pengaturan yang optimal, maka akan banyak menimbulkan


masalah, yang jika berkelanjutan akan menyulitkan masyarakat yang

membutuhkan pelayanan kesehatan.

Untuk dapat melaksanakan syarat-syarat pokok tersebut maka perlu

dilakukan beberapa hal, yakni :

a. Peningkatan Efektifitas

Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau

alokasi penggunaan sumber dana. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki,

maka alokasi tersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang

menghasilkan dampak yang lebih besar, misalnya mengutamakan upaya

pencegahan, bukan pengobatan penyakit.

b. Peningkatan Efisiensi

Peningkatan efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan berbagai

mekanisme pengawasan dan pengendalian. Mekanisme yang dimaksud

untuk peningkatan efisiensi antara lain:

- Standar minimal pelayanan : Tujuannya adalah menghindari

pemborosan. Pada dasarnya ada dua macam standar minimal yang

sering dipergunakan yakni:

 Standar minimal sarana, misalnya standar minimal rumah sakit dan

standar minimal laboratorium.

 Standar minimal tindakan, misalnya tata cara pengobatan dan

perawatan penderita, dan daftar obat-obat esensial.


Dengan adanya standar minimal pelayanan ini, bukan saja pemborosan

dapat dihindari dan dengan demikian akan ditingkatkan efisiensinya,

tetapi juga sekaligus dapat pula dipakai sebagai pedoman dalam

menilai mutu pelayanan.

- Kerjasama : Bentuk lain yang diperkenalkan untuk meningkatkan

efisiensi ialah memperkenalkan konsep kerjasama antar berbagai

sarana pelayanan kesehatan. Terdapat dua bentuk kerjasama yang

dapat dilakukan yakni:

 Kerjasama institusi, misalnya sepakat secara bersama-sama

membeli peralatan kedokteran yang mahal dan jarang

dipergunakan. Dengan pembelian dan pemakaian bersama ini dapat

dihematkan dana yang tersedia serta dapat pula dihindari

penggunaan peralatan yang rendah. Dengan demikian efisiensi juga

akan meningkat.

 Kerjasama sistem, misalnya sistem rujukan, yakni adanya hubungan

kerjasama timbal balik antara satu sarana kesehatan dengan sarana

kesehatan lainnya.

2.5 Model Sistem Pembiayaan

Terdapat beberapa model sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang

dijalankan oleh beberapa negara, berdasarkan sumber pembiayaannya:


1. Direct Payments by Patients

Ciri utama model direct payment adalah setiap individu menanggung secara

langsung besaran biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat

penggunaannya. Pada umumnya sistem ini akan mendorong penggunaan

pelayanan kesehatan secara lebih hati-hati, serta adanya kompetisi antara

para provider pelayanan kesehatan untuk menarik konsumen atau free

market. Meskipun tampaknya sehat, namun transaksi kesehatan pada

umumnya bersifat tidak seimbang dimana pasien sebagai konsumen tidak

mampu mengenali permasalahan dan kebutuhannya, sehingga tingkat

kebutuhan dan penggunaan jasa lebih banyak diarahkan oleh provider.

Sehingga free market dalam pelayanan kesehatan tidak selalu berakhir

dengan peningkatan mutu dan efisiensi namun dapat mengarah pada

penggunaan terapi yang berlebihan.

2. User payments

Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan

kesehatan baik pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta.

Perbedaannya dengan model informal adalah besaran dan mekanisme

pembayaran, juga kelompok yang menjadi pengecualian telah diatur secara

formal oleh pemerintah dan provider. Bentuk yang paling kompleks adalah

besaran biaya yang bebeda setiap kunjungan sesuai dengan jasa pelayanan

kesehatan yang diberikan (biasanya terjadi untuk fasilitas pelayanan

kesehatan swasta). Namun model yang umum digunakan adalah ’flat rate’,

dimana besaran biaya per-episode sakit bersifat tetap.


3. Saving based

Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun

tidak terjadi risk pooling antar individu. Artinya biaya kesehatan langsung,

akan ditanggung oleh individu sesuai dengan tingkat penggunaannya, namun

individu tersebut mendapatkan bantuan dalam mengelola pengumpulan dana

(saving) dan penggunaannya bilamana membutuhkan pelayanan kesehatan.

Biasanya model ini hanya mampu mencakup pelayanan kesehatan primer

dan akut, bukan pelayanan kesehatan yang bersifat kronis dan kompleks

yang biasanya tidak bisa ditanggung oleh setiap individu meskipun dengan

mekanisme saving. Sehingga model ini tidak dapat dijadikan model tunggal

pada suatu negara, harus didukung model lain yang menanggung biaya

kesehatan lain dan pada kelompok yang lebih luas.

4. Informal

Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh

individu pada provider kesehatan formal misalnya dokter, bidan tetapi juga

pada provider kesehatan lain misalnya mantri, dan pengobatan tradisional

tidak dilakukan secara formal atau tidak diatur besaran, jenis dan mekanisme

pembayarannya. Besaran biaya biasanya timbul dari kesepakatan atau

banyak diatur oleh provider dan juga dapat berupa pembayaran dengan

barang. Model ini biasanya muncul pada negara berkembang dimana belum

mempunyai sistem pelayanan kesehatan dan pembiayaan yang mampu

mencakup semua golongan masyarakat dan jenis pelayanan.

5. Insurance Based
Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai perbedaan

utama dimana individu tidak menanggung biaya langsung pelayanan

kesehatan. Konsep asuransi memiliki dua karakteristik khusus yaitu

pengalihan risiko kesakitan pada satu individu pada satu kelompok serta

adanya sharing looses secara adil. Secara sederhana dapat digambarkan

bahwa satu kelompok individu mempunyai risiko kesakitan yang telah

diperhitungkan jenis, frekuensi dan besaran biayanya. Keseluruhan besaran

risiko tersebut diperhitungkan dan dibagi antar anggota kelompok sebagai

premi yang harus dibayarkan. Apabila anggota kelompok, maka keseluruhan

biaya pelayanan kesehatan sesuai yang diperhitungkan akan ditanggung dari

dana yang telah dikumpulkan bersama. Besaran premi dan jenis pelayanan

yang ditanggung serta mekanime pembayaran ditentukan oleh organisasi

pengelola dana asuransi (Setyawan, 2018).

Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem

yaitu:

1. Fee for Service ( Out of Pocket )

Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan

layanan, dimana pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada

pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK (dokter atau rumah sakit)

mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang diberikan,

semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang


diterima. Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung

pada sistem pembiayaan kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan

World Health Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat

Indonesia masih bergantung pada sistem Fee for Service dan hanya 8,4%

yang dapat mengikuti sistem Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan

sistem Fee for Service adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi

pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan hubungan Agency

Relationship , dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk

pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya ditentukan

dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin besar

pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien.

Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan

volume pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan imbalan jasa yang

lebih banyak.

2. Health Insurance

Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak

ketiga atau pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem

Health Insurance ini dapat berupa sistem kapitasi dan system Diagnose

Related Group (DRG system). Sistem kapitasi merupakan metode

pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK menerima

sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah

ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan sistem

kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK
atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana

sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu

lembaga di Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Masyarakat yang telah menjadi

peserta akan membayar iuran dimuka untuk memperoleh pelayanan

kesehatan paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama

sebagai ujung tombak yang memenuhi kebutuhan utama kesehatan dengan

mutu terjaga dan biaya terjangkau.

Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh

dengan system kapitasi di atas. Pada sistem ini, pembayaran dilakukan

dengan melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat

dana dalam penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah

dana yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan

ini, jika dapat dioptimalkan penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana

akan menjadi pemasukan bagi PPK.

Kelemahan dari sistem Health Insurance adalah dapat terjadinya

underutilization dimana dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang

diberikan kepada pasien untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Selain itu, jika peserta tidak banyak bergabung dalam sistem ini, maka risiko

kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun dibalik kelemahan, terdapat

kelebihan sistem ini berupa PPK mendapat jaminan adanya pasien (captive
market), mendapat kepastian dana di tiap awal periode waktu tertentu, PPK

taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan multidiagnose.

Sistem ini akan membuat PPK lebih kearah preventif dan promotif

kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem

kapitasi dinilai lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan

dibandingkan sistem pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service) yang

selama ini berlaku. Namun, mengapa hal ini belum dapat dilakukan sepenuhnya

oleh Indonesia. Tentu saja masih ada hambatan dan tantangan, salah satunya

adalah sistem kapitasi yang belum dapat memberikan asuransi kesehatan bagi

seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang disebutkan dalam UU No. 40

Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sampai saat ini,

perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi dimana peserta

dengan risiko penyakit tinggi dan atau kemampuan bayar rendah tidaklah

menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai terjadinya pemerataan, dapat

dilakukan universal coverage yang bersifat wajib dimana penduduk yang

mempunyai risiko kesehatan rendah akan membantu mereka yang berisiko

tinggi dan penduduk yang mempunyai kemampuan membayar lebih akan

membantu mereka yang lemah dalam pembayaran. Hal inilah yang masih

menjadi pekerjaan rumah bagi sistem kesehatan Indonesia.


Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam

pembiayaan pelayanan kesehatan yang sempurna, setiap sistem yang ada pasti

memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun sistem

pembayaran pelayanan kesehatan ini harus bergerak dengan pengawasan dan

aturan dalam suatu sistem kesehatan yang komprehensif, yang dapat

mengurangi dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan kesehatan

sehingga dapat terwujud sistem yang lebih efektif dan efisien bagi pelayanan

kesehatan di Indonesia.

Pembiayaan pelayanan kesehatan dapat digambarkan terdiri 3 unsur utama,

yaitu Pengumpulan dana kesehatan (collecting fund), pembayaran dana

kesehatan (payment), dan pengelolaan dana kesehatan (managing the flow).

Pengumpulan dana kesehatan (collecting fund) akan menghasilkan pemasukan

(revenue) bagi skema pembiayaan kesehatan. Pemasukan ini dapat bersumber

dari berbagai penerimaan. Di sisi lain, pembayaran (payment) adalah jawaban

dari persoalan terkait bagaimana orang-orang mendapatkan suatu pelayanan

kesehatan. Sedangkan pengelolaan dana kesehatan (managing the flow) adalah

manajemen tertentu dalam pengelolaan dana untuk pelayanan kesehatan.

Kerangka pembiayaan kesehatan seperti diuraikan di atas dapat dijelaskan

dalam diagram berikut ini :


Bagan 1. Kerangka Pembiayaan Pelayanan Kesehatan.

Biaya kesehatan banyak macamnya, karena kesemuanya tergantung dari jenis

dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan atau yang

dimanfaatkan. Hanya saja disesuaikan dengan pembagian pelayanan kesehatan,

maka biaya kesehatan tersebut dapat dibedakan atas dua macam yaitu:

1. Biaya pelayanan kedokteran.

Biaya yang dimaksudkan adalah yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan

dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran, yakni yang tujuan utamanya

untuk mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita.

2. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat.

Biaya yang dimaksud adalah yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan

atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yaitu yang tujuan

utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta untuk

mencegah penyakit.
2.6 Sumber Pembiayaan Kesehatan

Sumber pembiayaan di bidang kesehatan terdiri dari empat sumber utama yaitu

1) pemerintah, 2) swasta, 3) masyarakat dalam bentuk fee for services dan

asuransi, 4) sumber-sumber lain dalam bentuk hibah dan pinjaman luar negeri.

Sedangkan menurut Aswar (2010), pembiayaan kesehatan berbeda antara satu

negara dengan negara lainnya dan secara garis besar dibedakan antara lain,

yakni 1) bersumber dari angggaran pemerintah : yaitu seluruh pelayanan

kesehatan yang diselenggarakan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah dan

tidak ditemukan pelayanan kesehatan oleh swasta, 2) sebagian ditanggung oleh

masyarakat : beberapa negara melibatkan masyarakat dalam memberikan

kontribusi pembiayaan kesehatan yaitu masyarakat diharuskan iuran biaya

terhadap layanan kesehatan yang diterimanya. Sumber pembiayaan kesehatan

di kabupaten/kota adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah

Sumber pembiayaan dari pemerintah meliputi :

a) Pemerintah Pusat : dari dana tugas pembantuan (TP), dana kesehatan

penduduk miskin, bantuan operasional kesehatan (BOK), bantuan

(hutang, hibah).

b) Pemerintah Provinsi : dari dana dekonsentrasi dan pendapatan asli daerah

(PAD) provinsi.

c) Pemerintah Kabupaten/Kota: antara lain dari DAU (dana alokasi umum,

DAK (dana alokasi khusus), PAD, dana kesehatan penduduk miskin,

penerimaan fungsional yang ditahan.


d) Lin-lain: yaitu dari pelayanan kesehatan TNI/Polri, pelayanan kesehatan

kementerian dan pelayanan kesehatan milik BUMN/BUMD serta subsidi

premi PNS.

2. Non pemerintah.

Sedangkan sumber pembiayaan dari non pemerintah antara lain dari rumah

tangga, pelayanan kesehatan milik swasta, yayasan/LSM/Donor dan

perusahaan swasta.

2.7. Masalah Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Permasalahan seputar pembiayaan layanan kesehatan yang ada saat ini antara

lain:

1. Kurangnya dana yang tersedia.

Hal ini terjadi akibat pola pikir dimana biaya kesehatan merupakan suatu hal

yang bersifat konsumtif dan bukan produktif, sehingga cenderung dikurangi.

2. Penyebaran dana yang tidak sesuai.

Hal ini terjadi saat pihak tertentu meminta bagian yang lebih, misalnya satu

jabatan yang lebih tinggi merasa berhak menerima layanan kesehatan yang

lebih baik pula, padahal hal tersebut lebih baik di alihkan kepada pihak lain

yang lebih membutuhkan, sehingga aliran dana kesehatan lebih merata.

3. Pemanfaatan dana yang tidak tepat.

Adanya kesalahan pada pola pikir baik dari sisi penyedia maupun pemakai

layanan kesehatan menyebabkan kecendrungan pemanfaatan dana kesehatan


yang tidak tepat.  Misalnya meminta dilakukan pemeriksaan yang pada

dasarnya tidak perlu dilakukan.

4. Pengelolaan dana yang belum sempurna.

Kurangnya keterampilan, pengetahuan dan moral dari pihak pengelola dana

kesehatan akan dapat berdampak pada sistem pengelolan dana yang sudah

ada, sehingga akan merugikan pihak – pihak lain yang terlibat di dalam

sistem tersebut, seperti dokter maupun pasien.

5. Biaya kesehatan yang makin meningkat.

Seiring dengan bertambahnya tahun, biaya pelayanan kesehatan semakin

meningkat

Permasalahan pendanaan kesehatan di Indonesia antara lain :

1. kecenderungan mengadakan kesehatan untuk belanja fisik lebih banyak

( membeli alat, pembangun gedung, pengadaan kendaraan dan lain-lain).

2. Anggaran operasional berupa kegiatan langsung pengaruhnya terhadap

kinerja, yaitu kegiatan pelayanan individu atau kegiatan kesehatan

masyarakat di lapangan. Contoh kegiatan operasional antara lain gaji/upah,

obat dan bahan medis non medis / alat tulis kantor, makanan minuman ,

listrik, air, telepon, perjalanan dan lain-lain. Contoh kegiatan langsung :

pelayanan ANC (antenatal care), pengobatan, imunisasi, penyemprotan

nyamuk, penyuluhan masyarakat, pengamatan tempat-tempat umun, dan

lain-lain.
3. Dampak dari dana dekonsentrasi adalah pegawai meninggalkan pekerjaanya

selama beberapa hari karena mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas di

provinsi.

4. Kecenderungan pelayanan kesehatan digratiskan untuk seluruh masyarakat.

Pada masa sekarang belum bisa diterapkan karena menyesuaikan dengan

pendapatan asli daerah masing-masing.

5. Ketergantungan pada sistem OOP (out of pocket payment), potensial

menyebabkan keluarga menjadi miskin saat mengalami sakit berat karena

biaya sendiri dan mahal berakibat malapetaka keuangan rumah tangga

(financial catasthrophy).

6. Realisasi anggaran yang terlambat, telah berlangsung kronis dan berdampak

pada kinerja program sehingga perencanaan lebih cepat direalisasikan

melalui kegiatan-kegiatan tidak langsung seperti pelatihan-pelatihan,

pertemuan dan lainnya yang dapat menyerap anggaran cepat namun tidak

segera dapat meningkatkan kinerja program kesehatan.

Sedangkan menurut Azwar (2010), permasalahan pendanaan kesehatan karena

kurangnya dana tersedia untuk kegiatan program kesehatan, pemanfaatan dana

yang ada belum sesuai yaitu lebih mengutamakan untuk pelayanan kuratif

dibanding untuk pelayanan promotifdan preventif, lebih banyak di pergunakan

untuk daerah perkotaan, dalam hal pengelolaan pembiayaan belum sempurna

serta biaya kesehatan dari tahun ke tahun semakin meningkat.


Menurut (Setyawan, 2015), tingginya biaya kesehatan di Indonesia disebabkan

oleh beberapa hal, beberapa yang terpenting diantaranya sebagai berikut:

1. Tingkat inflasi.

Apabila terjadi kenaikan harga di masyarakat, maka secara otomatis biaya

investasi dan juga biaya operasional pelayanan kesehatan akan meningkat

pula, yang tentu saja akan dibebankan kepada pengguna jasa.

2. Tingkat permintaan.

Pada bidang kesehatan, tingkat permintaan dipengaruhi sedikitnya oleh dua

faktor, yaitu meningkatnya kuantitas penduduk yang memerlukan pelayanan

kesehatan, yang karena jumlahnya lebih atau bertambah banyak, maka

biaya yang harus disediakan meningkat pula. Faktor kedua adalah

meningkatnya kualitas penduduk. Dengan tingkat pendidikan dan

penghasilan yang lebih baik, mereka akan menuntut penyediaan layanan

kesehatan yang baik pula dan hal ini membutuhkan biaya pelayanan

kesehatan yang lebih baik dan lebih besar.

3. Kemajuan ilmu dan teknologi.

Sejalan dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi dalam

penyelenggaraan pelayanan kesehatan (penggunaan peralatan kedokteran

yang modern dan canggih) memberikan konsekuensi tersendiri, yaitu

tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam berinvestasi. Hal ini

membawa akibat dibebankannya biaya investasi dan operasional tersebut

pada pemakai jasa pelayanan kesehatan.

4. Perubahan Pola Penyakit.


Meningkatnya biaya kesehatan juga dipengaruhi adanya perubahan pola

penyakit, yang bergeser dari penyakit yang sifatnya akut menjadi penyakit

yang bersifat kronis. Dibandingkan dengan berbagai penyakit akut,

perawatan berbagai penyakit kronis ternyata lebih lama. Akibatnya biaya

yang dikeluarkan untuk perawatan dan penyembuhan penyakit ini akan

lebih besar. Hal ini akan sangat mempengaruhi tingginya biaya kesehatan.

5. Perubahan pola pelayanan kesehatan.

Perubahan pola pelayanan kesehatan ini terjadi akibat perkembangan

keilmuan dalam bidang kedokteran sehingga terbentuk spesialisasi dan

subspesialisasi yang menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi terkotak-

kotak (fragmented health service) dan satu sama lain seolah tidak

berhubungan. Akibatnya sering terjadi tumpang tindih atau pengulangan

metoda pemeriksaan yang sama dan pemberian obat-obatan yang dilakukan

pada seorang pasien, yang tentu berdampak pada semakin meningkatnya

beban biaya yang harus ditanggung oleh pasien selaku pengguna jasa

layanan kesehatan ini. Selain itu, dengan adanya pembagian spesialisasi dan

subspesialisasi tenaga pelayanan kesehatan, menyebabkan hari perawatan

juga akan meningkat.

6. Perubahan Pola Hubungan Dokter-Pasien.

Sistem kekeluargaan yang dulu mendasari hubungan dokter-pasien seakan

sirna. Dengan adanya perkembangan spesialisasi dan subspesialisasi serta

penggunaan berbagai peralatan yang ditunjang dengan kemajuan ilmu dan

teknologi, mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh


pasien, hal ini tentu saja membuat pasien menuntut adanya kepastian

pengobatan dan penyembuhan dari penyakitnya. Hal ini diperberat dengan

semakin tingginya tingkat pendidikan pasien selaku pengguna jasa layanan

kesehatan, yang mendorong semakin kritisnya pemikiran dan pengetahuan

mereka tentang masalah kesehatan. Hal tersebut diatas mendorong para

dokter sering melakukan pemeriksaan yang berlebihan (over utilization),

demi kepastian akan tindakan mereka dalam melakukan pengobatan dan

perawatan, dan juga dengan tujuan mengurangi kemungkinan kesalahan

yang dilakukan dalam mendiagnosa penyakit yang diderita pasiennya.

Konsekuensi yang terjadi adalah semakin tingginya biaya yang dibutuhkan

oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

7. Lemahnya mekanisme pengendalian biaya.

Kurangnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk mengatur

dan membatasi pemakaian biaya pelayanan kesehatan menyebabkan

pemakaiannya sering tidak terkendali, yang akhirnya akan membebani

penanggung (perusahaan) dan masyarakat secara keseluruhan.

8. Penyalahgunaan asuransi kesehatan.

Asuransi kesehatan (health insurance) sebenamya merupakan salah satu

mekanisme pengendalian biaya kesehatan, sesuai dengan anjuran yang

diterapkan oleh pemerintah. Tetapi jika diterapkan secara tidak tepat

sebagaimana yang lazim ditemukan pada bentuk yang konvensional (third

party sistem) dengan sistem mengganti biaya (reimbursement) justru akan

mendorong naiknya biaya kesehatan.


2.8. Upaya Penyelesaian Masalah Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Asuransi Kesehatan adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah

ketidakmampuan terhadap pembiayaan pelayanan kesehatan. Asuransi adalah

memastikan seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang

dibutuhkannya tanpa harus mempertimbangkan keadaan ekonominya. Ada

pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan atau perawatannya.

Pihak yang menjamin ini dalam bahasa Inggris disebut insurer atau dalam UU

Asuransi disebut asuradur. Untuk memastikan bahwa kebutuhan pelayanan

kesehatan dapat dibiayai secara memadai, maka seseorang atau kelompok kecil

orang melakukan transfer risiko kepada pihak lain yang disebut

insurer/asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan. (Thabrany H, 2001).

Definisi asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

1992 adalah Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak

atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung

dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada

tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang

diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin

akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau

untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau

hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.


Terdapat ada 6 macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Insurable interest

Hak untuk mengasuransikan yang timbul dari suatu hubungan keuangan,

antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.

2. Utmost good faith

Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua

fakta yang material (material fact) mengenai sesuatu yang akan

diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya adalah penanggung harus

dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya

syarat/kondisi dari asuransi dan tertanggung juga harus memberikan

keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang

dipertanggungkan.

3. Proximate cause

Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang

menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan

secara aktif dari sumber yang baru dan independen.

4. Indemnity

Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial

dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia

miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan

dipertegas dalam pasal 278).

5. Subrogation
Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim

dibayar.

6. Contribution

Adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-

sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap

tertanggung untuk ikut memberikan indemnity (Setyawan, 2018)

Menurut (Setyawan, 2018), sifat asuransi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Asuransi bersifat umum.

a. General taxation

General taxation merupakan model dimana sumber pembiayaan diambil

dari pajak pendapatan secara proporsional dari seluruh populasi yang

kemudian dialokasikan untuk berbagai sektor (tidak terbatas pelayanan

kesehatan). Alokasi pada sektor kesehatan biasanya berupa budget pada

fasilitas kesehatan dan gaji staf kesehatan. Meskipun mempunyai

cakupan yang luas, keberhasilan sistem ini tergantung pada tingkat

pendapatan masyarakat dan angkatan kerja, besaran alokasi pada

pelayanan kesehatan dan sistem penarikan pajak. Rendahnya

pendapatan masyarakat akan menurunkan nilai pajak, alokasi biaya pada

pelayanan kesehatan sehingga mendorong rendahnya cakupan dan mutu

pelayanan sehingga pada akhirnya biaya pelayanan kesehatan akan

kembali ditanggung langsung oleh individu.

b. Earmarked Payroll Tax


Sistem ini memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan general

taxation hanya saja penarikan pajak dialokasikan langsung bagi

pelayanan kesehatan sehingga lebih bersifat transparan dan dapat

mendorong kesadaran pembayaran pajak karena kejelasan penggunaan.

2. Asuransi bersifat khusus

Dibandingkan dengan sistem umum, asuransi selektif mempunyai

perbedaan dalam hal kontribusi dan tanggungan hanya ditujukan pada suatu

kelompok tertentu dengan paket pelayanan yang telahditetapkan.

a. Social insurance

Social insurance mempunyai karakteristik khusus yang membedakan

dengan private insurance, yaitu:

- Keanggotaan bersifat wajib.

- Kontribusi (premi) sesuai dengan besaran gaji

- Cakupan pelayanan kesehatan yang diasuransikan sesuai dengan

besaran kontribusi.

- Pelayanan disamakan dalam bentuk paket

- Dikelola oleh organisasi yang bersifat otonom

- Biasanya merupakan bagian dari sistem jaminan sosial yang berskala

luas.

- Umumnya terjadi cross subsidi.

b. Voluntary community

Perbedaan utama sistem ini dengan asuransi sosial adalah keanggotaan

yang bersifat sukarela serta skala cakupan tertanggung yang lebih


sempit. Biasanya asuransi ini berkembang pada kelompok masyarakat

yang tidak tertanggung oleh asuransi sosial yaitu kelompok yang tidak

memiliki pekerjaan formal, yang tidak memungkinkan untuk dilakukan

penarikan kontribusi rutin dari penghasilan. Contoh penerapan dari

sistem ini adalah kartu sehat/kartu gakin yang dikembangkan

pemerintah daerah dan ditujukan pada kelompok tertentu (masyarakat

miskin).

c. Private Insurance

Perbedaan utama private insurance dan social insurance adalah tidak

adanya risk pooling dan bersifat voluntary. Disamping itu private

insurance juga memperhitungkan risiko kesakitan individu dengan

besaran premium dan cakupan pelayanan asuransi yang diberikan.

Artinya individu yang lebih berisiko sakit misalnya kelompok rentan

(bayi, ibu hami, lansia), orang dengan perilaku tertentu misalnya

perokok, dan orang dengan pekerjaan yang beresiko akan dikenakan

premi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang dengan risiko

rendah. Model ini tentunya mempunyai mekanisme lebih rumit

mengingat harus memperhitungkan tingkat resiko tertanggung. Model

private insurance mungkin bersifat profit yaitu mencari keuntungan

untuk pengelolaan dan pemilik, atau menggunakan keuntungan untuk

mengurangi besaran premi tertanggung. Bentuk private insurance dapat

berupa lembaga asuransi swasta bagi umum maupun asuransi kelompok

khusus seperti asuransi pekerja.


d. Funding/Donation

Seluruh sistem pembiayaan yang telah diuraikan diatas menganut

keterkaitan antara pengguna jasa pelayanan kesehatan atau tertanggung

dan penggunaan jasa pelayanan. kesehatan. Model funding tidak

ditujukan langsung pada kelompok individu tetapi lebih pada program

kesehatan misalnya bantuan alat kesehatan, pelatihan atau perbaikan

fasilitas pelayanan kesehatan. Permasalahan yang sering muncul adalah

ketidaksesuaian program funding dengan kebutuhan atau kesalahan

pengelolaan oleh negara. Disamping itu sumber dana dari funding tentu

saja tidak dapat diandalkan keberlangsungannya. Berdasarkan

pengelolaan manajemennya, sistem pembiayaan menggambarkan

hubungan antara pasien sebagai konsumen dan atau sumber biaya,

provider/penyelenggara atau pemberi pelayanan kesehatan (dokter,

perawat atau institusi seperti rumah sakit), pemerintah sebagai pengatur,

pengelola pelayanan kesehatan dan sumber biaya (Setyawan, 2018).


DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi Ketiga, Binarupa Aksara.

Jakarta.

Indrayathi A, dan Hardy K. 2018. District Health Account Dalam Pembiayaan

KesehatandiIndonesia.ProgramStudiKesehatanMasyarakat : Fakultas

Kedokteran Universitas  Udayana

Setyawan B. 2015. Sistem Pembiayaan Kesehatan. Fakultas Kedokteran : Universitas

Muhammadiyah Malang

Setyawan B. 2018. Sistem Pembiayaan Kesehatan Health Financing System. Fakultas

Kedokteran : Universitas Muhammadiyah Malang

Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia. Vol 1 Nomor 1. 2013. Departemen

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat :

Universitas Airlangga

WHO (2009). World Health Report 2000: Health System: Improving Performance.

Modul Dan Pedoman Pelatihan: Program Pembelajaran Kedinasan Asisten

Verifikator BPJS Kesehatan. 2015. Pembiayaan dan Pelayanan kesehatan.

Universitas Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha

Perasuransian
Thabrany, H, 2001, Asuransi Kesehatan di Indonesia. Fakultas Kesehatan

Masyarakat: Universitas Indonesia.

Pertanyaan :

1. Apa bedanya sistem pembiayaan kesehatan kapitasi dengan Dgr dan sistem

pembiayaan kesehatan seperti apa yang lebih baik

2. Apa yang harus dilakukan untuk dapat melaksanakan atau memenuhi syarat

pokok pembiayaan kesehatan

Anda mungkin juga menyukai