Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Globalisasi telah menjangkau berbagai aspek kehidupan. Salah satu cara
terbaik dalam persaingan global adalah dengan menghasilkan suatu produk
dan jasa dengan kualitas terbaik. Kualitas terbaik akan diperoleh dengan
melakukan upaya perbaikan secara terus-menerus terhadap kemampuan
manusia, proses dan lingkungan.
Sebelum organisasi perusahaan hanya bersaing di tingkat lokal dan
regional, sekarang harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari seluruh
penjuru dunia. Agar sebuah perusahaan dapat memiliki keunggulan dalam
skala global, maka perusahaan harus mampu melakukan kinerja lebih baik
dalam rangka menghasilkan barang maupun jasa yang berkualitas tinggi.
Perusahaan dapat unggul dalam persaingan global menggunakan kualitas.
Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,
jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi harapan.
Dinas Kesehatan merupakan salah satu organisasi atau perusahaan yang
memberikan pelayanan berupa produk maupun jasa. Untuk menghasilkan
kualitas produk dan jasa perusahaan terbaik diperlukan upaya perbaikan
berkesinambungan terhadap kemampuan manusia, proses, dan lingkungan.
Cara terbaik dalam memperbaiki kemampuan komponen-komponen tersebut
secara berkesinambungan dengan menerapkan TQM. TQM (total quality
management) merupakan pendekatan dalam menjalankan usaha untuk
memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus pada
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Aplikasi TQM di Dinas Kesehatan Provinsi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian TQM

1
b. Untuk mengetahui konsep TQM
c. Untuk mengetahui sejarah perkembangan TQM
d. Untuk mengetahui manfaat TQM
e. Untuk mengetahui pilar dasar dalam TQM
f. Untuk mengetahui elemen-elemen pendukung TQM
g. Untuk mengetahui pedoman dalam penerapan TQM
h. Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan TQM
i. Untuk mengetahui aplikasi TQM di dinas kesehatan provinsi

2
BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan “mutu” itu dari cara inspection, quality control, quality


assurance sampai ke total quality sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan
ilmu. Jepang menggunakan istialah quality control untuk seluruhnya. Sedangkan
di Amerika memakai istilah “continuous quality improvement” untuk “total
quality” dan Inggris memakai istilah quality assurance untuk “quality assurance”,
continuous quality improvement maupun untuk total quality dan tidak
membedakannya.

Shewart mengembangkan dan mengadopsi serta menerapkan kaidah


statistic sebagai quality control serta memperkenalkan pendekatan siklus P-D-S-A
(Plan, Do, Study, Act) yang mana hal ini kemudian dikembangkan oleh muridnya
Deming sebagai P-D-C-A (Plan, Do, Check, Action). Kaidah PDCA ini menjadi
cikal bakal yang kemudian dikenal sebagai “generic form of quality system”
dalam “quality assurance” dari BSI (British Standards of Institute) yang
kemudian menjadi seri ISO 9000 dan 14000.

A. Pengertian TQM
Total Quality Management (TQM) atau disebut pula Pengelolaan Mutu
Total merupakan sebuah konsep yang meliputi usaha meningkatkan mutu
secara terus menerus pada semua tingkatan manajemen dan seluruh struktur
yang terdapat dalam organisasi (Harianto, 2005).
Menurut Tjiptono & Diana (2004) TQM merupakan suatu pendekatan
dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing
organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses
dan lingkungannya. Sementara itu menurut Pulungan (2001), TQM adalah
salah satu pola manajemen organisasi yang berisi seperangkat prosedur yang
dapat digunakan oleh setiap orang dalam upaya memperbaiki kinerja secara
terus menerus.

3
Total quality management (TQM) adalah suatu cara pendekatan dalam
upaya meningkatkan efektifitas, efisiensi dan responsive instansi pelayanan
kesehatan dengan melibatkan seluruh staf/karyawan dalam segala proses
aktifitas meningkatkan mutu dalam rangka memenuhi kebutuhan/tuntutan
konsumen pengguna jasa instansi pelayanan kesehatan-instansi pelayanan
kesehatan tersebut. Ini merupakan suatu tingkat tertinggi dalam upaya instansi
pelayanan kesehatan tersebut untuk mencapai tingkat dunia.
Pengertian TQM secara mendetail (Handoko, 1998) adalah :
1. Total : TQM merupakan strategi organisasional menyeluruh yang
melibatkan semua jenjang dan jajaran manajemen dan karyawan, bukan
hanya pengguna akhir dan pembeli eksternal saja, tetapi juga pelanggan
internal, pemasok, bahkan personalia pendukung.
2. Kualitas : TQM lebih menekankan pelayanan kualitas, bukan sekedar
produk bebas cacat. Kualitas didefinisikan oleh pelanggan, ekspektasi
pelanggan bersifat individual, tergantung pada latar belakang sosial
ekonomis dan karakteristik demografis.
3. Manajemen : TQM merupakan pendekatan manajemen, bukan pendekatan
teknis pengendalian kualitas yang sempit.

Implementasi TQM dapat meningkatkan produktivitas organisasi


(kinerja kuantitatif), meningkatkan kualitas (menurunkan kesalahan dan
tingkat kerusakan), meningkatkan efektivitas pada semua kegiatan;
meningkatkan efisiensi (menurunkan sumberdaya melalui peningkatan
produktivitas), dan mengerjakan segala sesuatu yang benar dengan cara yang
tepat.

B. Konsep TQM
Berangkat dari huruf dalam TQM, Sallis (2005: p.35) mendeskripsikan
konsep MMT atau TQM secara harfiah terdiri dari huruf besar T, Q, dan M
dengan masing-masing huruf bermakna sebagai berikut. T in TQM dictates
that everything and everybody in the organization is involved in the enterprise
of continuous improvement, atau T dalam TQM menegaskan segala

4
benda/fasilitas dan setiap orang yang ada di organisasi dilibatkan dalam
peningkatan yang berkelanjutan. Q in TQM is total customer satisfaction
which becomes the center of the all organization managers and their staff”,
atau Q dalam TQM adalah total
kepuasan pelanggan adalah focus utama dari semua manager dan staf. M in
TQM means everyone in the institution whatever their status, position or role
is the manager of their own responsibility”, atau M dalam TQM bermakna
setiap orang dalam organisasi apapun status mereka, posisi atau peran mereka
adalah menejer di bidangnya masing-masing.

C. Sejarah Perkembangan TQM


Penggagas TQM mulanya adalah ahli-ahli manajemen mutu dari Amerika.
Namun, tumbuh berkembang dimulai dari Jepang. Sebagai pemenang Perang
Dunia ke II, Amerika dan sekutu menurut Marshall Plan (Perjanjian Dunia),
berkewajiban membantu negara yang dikalahkan khususnya Jepang. Untuk itu
Eisen Hower mengutus banyak ahli manajemen mutu untuk berangkat ke Jepang
dan salah satunya adalah Edward Deming. Keberhasilan Deming dan kawan-
kawan mengajarkan TQM di negeri Sakura tersebut menjadi pemicu universitas
di Amerika yang kemudian meminta Deming untuk mengajarkannya di banyak
perguruan tinggi disana. Demikian kemudian TQM berkembang juga di negara
sekutu Amerika seperti Inggris dan Perancis dan juga negara-negara di Asia,
seperti Singapura. Saat ini manajemen kontemporer ini sudah dipelajari di
banyak negara.

D. Manfaat TQM
TQM sangat bermanfaat baik bagi pelanggan, institusi, maupun bagi staf
organisasi.
Manfaat TQM bagi pelanggan adalah :
1. Sedikit atau bahkan tidak memiliki masalah dengan produk atau
pelayanan.
2. Kepedulian terhadap pelanggan lebih baik atau pelanggan lebih
diperhatikan.

5
3. Kepuasan pelanggan terjamin.
Manfaat TQM bagi institusi adalah :
1. Terdapat perubahan kualitas produk dan pelayanan
2. Staf lebih termotivasi
3. Produktifitas meningkat
4. Biaya turun
5. Produk cacat berkurang
6. Permasalahan dapat diselesaikan dengan cepat.

Manfaat TQM bagi staf Organisasi adalah :

1. Pemberdayaan
2. Lebih terlatih dan berkemampuan
3. Lebih dihargai dan diakui

Manfaat lain dari implementasi TQM yang mungkin dapat dirasakan


oleh institusi di masa yang akan datang adalah :

1. Membuat institusi sebagai pemimpin (leader) dan bukan hanya sekedar


pengikut (follower)
2. Membantu terciptanya tim work
3. Membuat institusi lebih sensitif terhadap kebutuhan pelanggan
4. Membuat institusi siap dan lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan
5. Hubungan antara staf departemen yang berbeda lebih mudah

E. Pilar Dasar Dalam TQM


Menurut Lewis dan Smith (1994) terdapat 4 pilar dasar dalam penerapan
konsumen yaitu :
1. Kepuasan konsumen
Untuk dapat memberikan kepuasan kepada konsumen, langkah awal yang
harus dilakukan adalah mengidentifikasi siapa pelanggan instansi
pelayanan kesehatan, apa kebutuhan dan keinginan mereka
2. Perbaikan terus menerus

6
Konsumen akan selalu mengalami dinamika seiring lingkungan bisnis
yang terus mengalami perubahan. Oleh karena itu, instansi pelayanan
kesehatan harus mampu mengikuti perubahan kebutuhan dan keinginan
konsumen.
3. Hormat/ respek terhadap setiap orang
Setiap orang dalam instansi pelayanan kesehatan merupakan individu yang
memiliki kontribusi bagi pencapaian kualitas yang diharapkan. Oleh
karena itu setiap orang dalam instansi pelayanan kesehatan harus
diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif
dalam pengambilan keputusan.
4. Manajemen berdasarkan fakta
Setiap keputusan yang diambil akan memberikan hasil yang memuaskan
jika didasarkan pada data dan informasi yang obyektif, lengkap dan akurat.

F. Elemen-elemen Pendukung TQM


Untuk mendukung penerapan TQM, terdapat 10 elemen-elemen
pendukung yang harus diperhatikan instansi pelayanan kesehatan (Goetsch
dan Davis : 1994) yaitu :
1. Fokus pada pelanggan
Dalam instansi pelayanan kesehatan TQM, pelanggan internal dan
pelanggan eksternal merupakan kekuatan pendorong aktivitas instansi
pelayanan kesehatan. Pelanggan eksternal menentukan kualitas pelayanan
yang mereka terima, sedangkan pelanggan internal berperan dalam
menentukan kualitas SDM, proses dan lingkungan yang berhubungan
dengan produk/jasa yang dihasilkan.
2. Obsesi terhadap kualitas
Dalam instansi pelayanan kesehatan TQM, pelanggan internal dan
eksternal sebagai penentu kualitas. Instansi pelayanan kesehatan harus
memiliki obsesi untuk memenuhi atau melebihi kualitas yang telah
ditentukan pelanggan, dengan melibatkan aktif semua karyawan pada
berbagai level.

7
3. Pendekatan ilmiah
Segala aktivitas instansi pelayanan kesehatan TQM terutama menyangkut
desain karyawanan, proses pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah harus didasarkan pada kaidah ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan dan diterima semua pihak yang terlibat.
4. Komitmen jangka panjang
TQM merupakan paradigma baru dalam manajemen instansi pelayanan
kesehatan yang membutuhkan budaya baru dalam penerapannya.
Komitmen jangka panjang dari seluruh elemen instansi pelayanan
kesehatan sangat diperlukan untuk mengadakan perubahan budaya agar
penerapan TQM bias berjalan baik. Menajemen puncak merupakan
pendorong proses pengembangan kualitas, pencipta nilai, tujuan, dan
system. Goetsch dan davis (1994) menegaskan komitmen harus
diwujudkan paling tidak sepertiga waktu menajemen puncak digunakan
untuk terlibat langsung dalam usaha implementasi TQM. Kurangnya
komitmen menajemen puncak merupakan salah satu penyebab kegagalan
penerapan TQM .
5. Kerjasama tim
Dalam instansi pelayanan kesehatan TQM keberhasilan hanya akan
dicapai jika ada kerjasama dari seluruh elemen yang terkait, baik kerja
sama antar elemen internal instansi pelayanan kesehatan maupun dengan
pihak eksternal instansi pelayanan kesehatan.
6. Perbaikan sistem secara berkesinambungan
Setiap produk yang dihasilkan instansi pelayanan kesehatan selalu melalui
tahapan / proses tertenu di dalam suatu system/lingkungan. Oleh karena itu
system yang ada perlu terus diperbaiki agar selalu mendukung upaya
pencapaian kualitas.
7. Pendidikan dan Latihan
Dalam persaingan global yang diwarnai berbagai perubahan, kualitas total
hanya bisa dicapai jika para karyawan memiliki keahlian dan keterampilan
yang tinggi. Banyak ahli yang menyarankan pemberian pelatihan dan

8
pendidikan dalam rangka pengembangan kualitas (Banks: 1989). Pelatihan
yang diberikan harus merupakan pelatihan yang bersifat dinamis, fleksibel,
dan bisa mendorong kreatifitas karyawan. Dengan adanya pelatiahan, para
karyawan akan selalu siap menghadapi berbagai perubahan, komitmen
karyawanan yang meningkat dan mereka akan memiliki rasa percaya diri
yang mantap.
8. Kebebasan yang terkendali
Dalam instansi pelayanan kesehatan TQM, para karyawan diberi
kesempatan luas untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan
dan pemecahan masalah. Hal ini dilakukan agar dapat meningkatkan
tanggung jawab karyawan terhadap segala keputusan yang yang telah
disepakati bersama. Meskipun demikian, kebebasan dan keterlibatan para
karyawan harus didasari dengan rentang kendali yang terarah agar
keterlibatan mereka selalu mengacu pada standar proses yang telah
ditentukan.
9. Kesatuan tujuan
Segala aktivitas seluruh elemen dalam instansi pelayanan kesehatan TQM
harus mengarah pada satu tujuan yang sama. Akan tetapi kesatuan tujuan
ini bukan berarti bahwa harus selalu ada persetujuan/ kesepakatan antara
pihak manajemen dan karyawan mengenai upah dan kondisi kerja.
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan
Para karyawan merupakan sumber daya sangat berharga bagi instansi
pelayanan kesehatan. Pemberdayaan terhadap para karyawan dapat
diartikan sebagai pemberian wewenang dan kekuasaan kepada mereka
dalam pengambilan keputusan, kontrol terhadap karyawan mereka, dan
kemudahan dalam memuaskan pelanggan.
Creech (1996) menyatakan bahwa agar penerapan TQM berhasil, empat
kriteria berikut harus dipenuhi instansi pelayanan kesehatan yaitu :
1. TQM harus didasarkan atas kesadaran terhadap pentingnya kualitas.
2. TQM harus memiliki sifat kemanusian yang kuat yang tercermin pada cara
karyawan diperlakukan, diikut sertakan dan diberi inspirasi.

9
3. TQM harus didasarkan pada pendekatan desentralisasi dengan
memberikan pemberdayaan dan keterlibatan pada karyawan pada semua
level.
4. TQM harus dilaksanakan secara menyeluruh yang melibatkan seluruh
elemen instansi pelayanan kesehatan.

G. Pedoman dalam Penerapan TQM


Agar penerapan TQM memperoleh keberhasilan, instansi pelayanan
kesehatan harus memiliki pedoman yang jelas dan terarah. Dalam penerapan
TQM, instansi pelayanan kesehatan bisa mengacu pada atribut efisiensi yang
dikemukakan oleh Oakland (1994), yaitu :
1. Commitment (komitmen)
Komitmen untuk menyediakan produk atau layanan yang efisien dan
menguntungkan harus ditunjukkan oleh manajemen dan instansi pelayanan
kesehatan.
2. Consistency (konsistensi)
Instansi pelayanan kesehatan harus menyediakan produk dengan kerja
yang consisten misalnya ketepatan spesifikasi, ketepatan jadwal, ketepatan
pengiriman dll
3. Competence (kompotensi)
Instansi pelayanan kesehatan harus menyediakan karyawan dengan
kemampuan atau kompotensi yang unggul untuk melaksanakan tugas-
tugas atau karyawanan sehingga mendukung pencapaian sasaran instansi
pelayanan kesehatan.
4. Contact (hubungan)
Instansi pelayanan kesehatan harus mampu menjalin hubungan baik
dengan consumen, karena tujuan instansi pelayanan kesehatan adalah
menyediakan produk yang sesuai dengan harapan dan keinginan
consumen.

10
5. Communication (komuniksi)
Instansi pelayanan kesehatan harus mampu menjalin komunikasi yang
baik dengan consumen agara spesifikasi produk yang diinginkan
consumen bias diterjemahkan dengan baik oleh instansi pelayanan
kesehatan
6. Credibility (kredibilitas)
Instansi pelayanan kesehatan harus memperoleh kepercayaan dari
consumen dan juga harus mempercayai consumen. Dengan adanya saling
percaya hubungan dan komunikasi akan berjalan dengan baik.
7. Compasion (perasaan)
Instansi pelayanan kesehatan harus memiliki rasa simpati terhadap
konsumen eksternal terutama menyangkut kebutuhan dan harapan mereka,
konsumen internal (pegawai) menyangkut haknya.
8. Courtesy (kesopanan)
Instansi pelayanan kesehatan melalau para karyawan harus menunjukkan
sikap sopan kepada consumen terutam karyawan yang langsung
berhubungan dengan consumen.
9. Cooperation (kerjasama)
Instansi pelayanan kesehatan harus bisa menciptakan iklim kerja yang baik
antar karyawan maupun antara instansi pelayanan kesehatan dengan
kosumen.
10. Capability (kemampuan)
Instansi pelayanan kesehatan harus memiliki kemampuan untuk
melakukan pengambilan keputusan dan melakukan tindakan yang
berkaitan dengan pelayanan.
11. Confidence (kepercayaan)
Instansi pelayanan kesehatan harus memiliki rasa percata diri bahwa
instansi pelayanan kesehatan mampu menyediakan produk atau layanan
sesuai kebutuhan dan harapan consumen. Rasa percata diri harus tertanam
keseluruh diri karyawan.

11
12. Criticism (kritik)
Instansi pelayanan kesehatan harus bersedia menerima kritican dari
siapapun, baik dari karyawan maupun dari eksternal terutama kritik dari
konsumen.

H. Hambatan dalam Penerapan TQM


Pada pelaksanaan TQM masih terdapat hambatan dalam penerapannya.
Dalam Sawarjuono (1996) disebutkan bahwa suatu studi tentang kegagalan
atau factor penghambat penerapan TQM. Show, et al (1995) meneliti factor
kegagalan penerapan TQM pada Strong Memorial Memorial di Rochester.
Hasil studi menemukan 8 hal sebagai penyebab kegagalan atau hambatan
dalam penerapan TQM yaitu :
1. Pembentukan tim yang keliru
2. Tujuan pembentukan yang tidak jelas
3. Seringnya terjadi pergantian tim padahal penggantinya tidak pernah
mengikuti pelatihan TQM
4. Kurangnya pemahaman tentang TQM
5. Komunikasi antar anggota tim yang tidak lancer
6. Identifikasi masalah tidak dilakukan berdasar prinsip-prinsip TQM
7. Prinsip-prinsip TQM tidak dilaksanakan secara menyeluruh pada semua
lapisan manajemen.
8. Pimpinan puncak menghendaki pemecahan masalah secara cepat, tanpa
proses yang bertele-tele.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Sawarjuono (1996)


mengklasifikasikan faktor penyebab kegagalan penerapan TQM menjadi 2
(dua) yaitu :

1. Faktor internal instansi pelayanan kesehatan meliputi :


a. Top manjemen tidak melaksanakan komitmennya
b. Kurangnya keterlibatan seluruh elemen
c. Struktur yang tidak sesuai kebutuhan TQM

12
d. Kurangnya pemahaman tentang apa yang dimaksud filosofi TQM
e. Kurangnya pelatihan yang memadai
f. Kepemimpinan yang kurang memadai
g. Keengganan anggota untuk menerima perubahan
h. Manajemen tidak tanggap terhadap dampak sosial akibat perubahan
lingkungan kerja
i. Upaya perbaikan kualitas mengabaikan biaya
j. Manajemen kurang memperhatikan penghargaan terhadap para
karyawan
k. Manjemen mengabaikan faktor waktu, artinya manejemen
menginginkan perubahan yang dapat tanpa melalui proses perubahan
manajemen
l. Para karyawan tidak diberi kesempatan untuk menemukan cara
pemecahan masalah

2. Faktor eksternal instansi pelayanan kesehatan meliputi :


a. Ketidakmampuan mengontrol kualitas produk pemasok
b. Manajemen kurang menaruh perhatian terhadap kepentingan
konsumen
c. Lack of guidance, artinya pengarahan yang diberikan oleh konsultan
kurang memadai atau pihak manajemen kurang sepenuhnya memberi
kepercayaan kepada konsultan sehingga peran konsultan tidak optimal.
Berdasarkan temuan Tatikonda dan Tatikonda maka mengidentifikasi 10
hambatan dalam penerapan TQM yaitu :
1. Lack of vision
Visi merupakan gambaran tentang masa depan dan apa yang ingin dicapai
pada masa datang . Dalam visi disebutkan target dan identifikasi masa
depan.
2. Lack of customer focus

13
Ketidakpahaman terhadap kepuasan konsumen, kurangnya pememahaman
yang mendorong loyalitas konsumen, dan perbaikan kualitas yang tidak
memberikan nilai pada konsumen merupakan penyebab kegagalan TQM
3. Lack of Management Commitmen
Semua guru yang berkualitas menyatakan bahwa hambatan terbesar
perbaikan kualitas adalah kurangnya komitmen top manajemen.
4. Training With no Purpose
Banyak program pelatihan berkaitan dengan TQM yang tidak relevan
dengan tujuan atau para karyawan tidak memiliki ide dan pemahaman arti
pentingnya pelatihan.
5. Lack of cost and Benefit Analisys
Tidak mengukur biaya sebagai akibat kualitas yang rendah maupun
keuntungan program perbaikan.
6. Organization Structure
Struktur, pengukuran, dan system penghargaan. Tidak ada pelatihan yang
bias membantu jika instansi memiliki birokrasi yang berlaku berlapis lapis.
Peran manajemen tidak jelas, seringkali pertanggung jawaban TQM di
delegasikan kepada middle manajer sehingga menghasilkan perebutan
kekuasaan dalam tim kualitas.
7. TQM creating its own bureaucracy
Seringkali usaha usaha TQM didelegasikan kepada “Kaisar / Raja”
Kualitas yang menciptakan kerajaan kualitas. Kualitas menjadi proses
paralel, tercipta lapisan birokrasi baru dengan aturan, standard an
pelaporan staf sendiri.
8. Lack of Measurment or Erroneus measurements.
Penggunaan indicator keberhasilan yang keliru atau tidaka adanya
indicator kinerja perbaikan mutu merupakan penyebab kegagalan TQM.
Misalnya mengukur kinerja jangka pendek menggunakan ukuran kinerja
jangka panjang.

14
9. Rewards And Rekognition
Agar TQM berhasil, instansi memberi pengakuan dan penghargaan kepada
tim yang memiliki kinerja baik dan mendukung realisasi perbaikan mutu.
Perilaku karyawan sangat ditentukan oleh system.
10. Accuonting Systems
Sistem akuntansi sering kali hanya mencatat biaya pengerjaan ulang, biaya
produk yang rusak/ cacat dan biaya lain yang terkait dengan biaya over
head. Ketidakpuasan konsumen, hilangnya penjualan dan konsumen yang
pindah kepada instansi lain seharusnya menjadi bagian dari biaya mutu
yang harus dicatat dan dilaporkan, karena biaya tersebut mengurangi
perolehan laba.

I. Aplikasi TQM di Dinas Kesehatan Povinsi


Aplikasi TQM Pada Pelayanan Kesehatan Bagi Calon Jamaah Haji
Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan sebaik-baiknya melalui system dan manajemen
penyelenggaraan yang terpadu agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan
dengan aman, tertib, lancar dan nyaman sesuai tuntunan agama serta jemaah
haji dapat melaksanakan ibadah haji secara mandiri sehingga diperoleh haji
mabrur.
Dinas Kesehatan berupaya mempersiapkan calon jemaah haji agar
memiliki status kesehatan yang optimal dan mempertahankannya untuk
menuju terwujudnya jemaah haji sehat dan mandiri. Artinya organisasi
kesehatan yang dibentuk untuk pelayanan tersebut haruslah berorientasi pada
mutu dan produktivitas dengan dilandasi oleh pengetahuan yang mendalam
(profound knowledge) dalam bidang tersebut yang juga merupakan kunci bagi
kemampuan organisasi untuk memelihara tingkat kesiapannya yang tinggi
dalam memenuhi tugasnya.
Kesehatan adalah modal dalam perjalanan ibadah haji, tanpa kondisi
kesehatan yang memadai, niscaya pencapaian ritual peribadatan tidak
maksimal. Oleh karena itu setiap jemaah calon haji harus memiliki

15
kemampuan fisik yang memadai. Kebijakan penyelenggaraan dan manajemen
resiko adalah upaya untuk dapat mengelola segenap permasalahan kesehatan
dari masing-masing calon jemaah haji melalui tahapan-tahapan upaya
pemeriksaan dan pembinaan kesehatan yang diselenggarakan sedini mungkin.
Disini terlihat pelaksanaan TQM dari aspek Kualitas, bukan sekedar produk
bebas cacat. Kualitas didefinisikan oleh pelanggan, ekspektasi pelanggan
bersifat individual, tergantung pada latar belakang sosial ekonomis dan
karakteristik demografis.
Karena setiap organisasi adalah sistem humanistik, sehingga selalu
terdapat kecenderungan untuk menolak perubahan kultural. Biasanya
perubahan tidak dapat terjadi tanpa perubahan tatalaku. Perubahan tatalaku
tidak akan terjadi tanpa petunjuk pimpinan organisasi tentang perubahan
tatalaku yang dibutuhkan organisasi. Sehingga jauh sebelum mulainya
pelaksanaan tahapan-tahapan pelayanan bagi CJH, staf Kesus melakukan
pendekatan dan diseminasi informasi terhadap pimpinan atau Kepala dan
Sekdin Dinas kesehatan, dalam upaya implementasi atau pelaksanaan TQM
pada kegiatan tersebut. Karena menurut Profesor Shoji Shiba yang juga dari
MIT/Center for Quality Management berpendapat bahwa Unsur pertama dan
yang paling penting bagi berhasilnya implementasi TQM adalah keterlibatan
pimpinan puncak. Pimpinan puncak harus memimpin dengan cara yang
signifikan, dan dengan visi yang jauh ke depan serta konsisten.
Unsur kedua untuk implementasi TQM yang berhasil adalah strategi
implementasi yang tepat dan bijaksana. Unsur ketiga adalah infrastruktur
mobilisasi organisasi yang terdiri dari tujuh bagian, yaitu : tujuan, tatanan
organisasi, pendidikan dan pelatihan, mendorong implementasi TQM,
penyebarluasan keberhasilan kegiatan organisasi, insentif, pemantauan dan
evaluasi kegiatan oleh pimpinan puncak.
Upaya tersebut menuntut beberapa perubahan dalam sistemnya atau ‘re-
enginering’ yang harus didukung oleh seluruh staf yang bertekad untuk
mengadakan perbaikan pelayanan. Di dalam TQM, mengadakan perubahan

16
sebagai salah satu tekniknya, membutuhkan pendekatan holistik dan
humanistik, sebagai berikut :
Pertama, pembentukan Panitia Pemeriksaan Kesehatan bagi CJH Tahap I
dan II, yang bersifat “Cross-Functional Team”. Panitia tersusun secara sentral,
fungsional dan birokratif dikombinasikan dengan organisasi yang tersusun
secara terdesentralisasi dan berorientasi pada hasil tim, bukan hasil kerja
perorangan. Cara ini akan mempengaruhi jiwa dan semangat para anggota
sehingga timbul rasa ikut memiliki.
Adapun tindakan yang perlu dilakukan oleh pimpinan agar ‘Cros –
Functional Team’ tersebut berhasil adalah :
a. Memberi kepercayaan yang cukup kepada Panitia sesuai
tanggungjawabnya.
b. Pemberdayaan kepada Panitia sesuai tanggungjawabnya.
c. Menggariskan tujuan yang jelas bagi Panitia menurut tingkat
intelektualitasnya (SK).
d. Mengadakan system umpan balik untuk mengukur hasil kerja Panitia.
e. Mendukung Panitia dengan sumber daya yang memadai.

Kedua, perlu diusahakan untuk mengukur agar pimpinan dan seluruh


anggota panitia selalu membiasakan diri dalam komunikasi dengan
menggunakan bahasa organisasi. Bahasa organisasi meliputi pola sikap, pola
pikir, dan pola tindak didalam lingkungan organisasi/kepanitiaan. Komunikasi
yang efektif bergantung pada sarana dan method untuk membuat bahasa
organisasi itu mengalir lancar di kalangan anggota.

Ketiga, kita harus mempunyai method, teknik dan piranti untuk


mengukur seluruh proses yang berlangsung dalam pelayanan. Apabila tidak
mempunyai sarana pengukuran, kita tidak tahu apakah pelayanan telah menuju
arah yang benar dalam upaya melakukan perbaikan. Untuk itu perlu digunakan
‘benchmarking technique’ sebagai suatu teknik TQM. Benchmarking adalah
kegiatan kontinu untuk mengukur proses, prouduk barang atau jasa terhadap
“top flight organization atau learning from the best”. Agar pembinaan dan

17
pemantauan kesehatan berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan,
maka diperlukan Buku Kesehatan haji (BKJH) yang memuat data hasil
pemeriksaan kesehatan secara lengkapan dapat menggambarkan status
kesehatan calon jemaah haji. Selanjutnya guna mendapatkan kualitas hasil
pemeriksaan kesehatan CJH yang valid dan berkualitas, diperlukan standard
dan proses pemeriksaan. Terpenuhinya standard dan pemeriksaan yang tepat
merupakan indikasi awal terselenggaranya proses penyelenggaraan
pemeriksaan dengan hasil sebagaimana yang diharapkan. Artinya dalam upaya
tersebut mengemuka paradigma dan kerangka kerja yang menggambarkan
perspektif upaya peningkatan kualitas melalui Total Quality Management
(TQM).

Mengadakan pengukuran terhadap proses dalam organisasi akan


memberikan hasil-hasil penting sebagai berikut :

1. Panitia selalu memusatkan perhatian pada hal-hal yang penting.


2. Dikalangan para anggota panitia dapat diciptakan pandangan yang
obyektif.
3. Dalam lingkungan kerja dapat diciptakan keyakinan terhadap apa dan
dimana perlu dilakukan pembenahan atau perbaikan.
4. Dapat diciptakan motivasi para anggota organisasi untuk melaksanakan
peningkatan mutu pekerjaan.
5. Kohesi dan kendali dalam organisasi dapat di pelihara dengan baik karena
adanya motivasi tersebut.
6. Komitmen anggota dapat dipelihara karena adanya pemberdayaan dan
penghargaan yang wajar.

Keempat, pimpinan secara periodik perlu membaurkan diri (immerse)


dengan para anggota panitia. Dengan cara demikian , pimpinan mempunyai
pengertian penuh mengenai lingkungan dimana para panitia bekerja, sehingga
dapat memberikan pengarahan yang relevan dan tepat.

18
Kelima, kepanitiaan harus dipimpin dan di manage agar mempunyai
kesadaran akan situasi lingkungannnya (situation awareness), yaitu memiliki
pengetahuan mengenai dirinya dan suasana kompetisi, sehingga dapat dipakai
sebagai dasar proses perencanaan. Kesadaran akan situasi lingkungan
merupakan bagian fundamental daripada kemampuan anggota panitia. Ini
memainkan peranan penting dalam mengarahkan dan menggerakkan sumber
daya untuk mengendalikan situasi dan ruang ketujuan yang benar.

Tujuan Pemeriksaan
Tujuan Umum Pemeriksaan, yaitu terwujudnya penyelenggaraan
pemeriksaan CJH melalui pendekatan etika, moral, keilmuan, dan professional
dengan menghasilkan kualifikasi data yang dapat dipercaya, tepat dan lengkap
untuk penyelenggaraan pembinaan CJH di tanah air dan pengelolaan
kesehatan jemaah di Arab Saudi.
Tujuan Khusus Pemeriksaan, yaitu :
1. Tercapainya peningkatan kualitas identifikasi status kesehatan dan factor
risiko CJH.
2. Terwujudnya pencatatan data status kesehatan dan factor risiko CJH secara
benar dan lengkap dalam BKJH Indonesia.
3. Terwujudnya fungsi BKJH sebagai catatan medis CJH untuk memudahkan
pembinaan, pemantauan, dan tindak lanjut dalam pengobatandan
perawatan di perjalanan, embarkasi haji, selama di Arab Saudi dan 14 hari
sekembalinya dari Arab Saudi.
4. Terwujudnya persyaratan kesehatan (Isthitho’ah) CJH yang
diberangkatkan.
5. Tercapainya peingkatan kewaspadaan terhadap potensi penyebaran
penyakit menular berpotensi KLB pada masyarakat
internasional/Indonesia dari penyakit yang terbawa keluar/masuk oleh
CJH Indonesia.
6. Terwujudnya system informasi kesehatan haji yang cepat, tepat, dan
akurat.

19
a. Tahapan Pemeriksaan CJH
1. Tahapan Persiapan
Pelaksanaan rapat dibahas mengenai hasil kegiatan pelaksanaan
Pelayanan kesehatan CJH sebelumnya (evaluasi), memperlihatkan data
yang berisikan beberapa pencapaian atau keberhasilan dan juga
kekurangan-kekurangan yang masih harus dilakukan perbaikan yang
terus-menerus. Selanjutnya dibahas mengenai persiapan-persiapan
dalam rangka menghadapi kegiatan pelayanan kesehatan bagi CJH dan
pengambilan komitmen bersama untuk mensukseskan pelaksanaan
pemeriksaan kesehatan bagi CJH.
Selanjunya dalam rapat tersebut juga dilaksakan pembinaan Tim
Pemeriksaan Tahap I/Puskesmas. Pemantapan prosedur umum dan
prosedur pemeriksaan tahap I di puskesmas. Pada kesempatan tersebut
dipaparkan mengenai konsep mutu pelayanan dan prinsip-prinsip
perbaikan mutu yang harus diterapkan, baik kepada anggota panitia
maupun bagi seluruh proses pelayanan pemeriksaan dan manajemen.
Modifikasi model Huarng dan Yao (2002), Jabnoun dan Sedrani
(2005), dan Srismith (2005) tersebut menghasilkan tujuh variabel
implementasi TQM, yaitu : fokus pada konsumen, perbaikan
berkelanjutan, komitmen manajemen, pelatihan, pemberdayaan
karyawan, perbandingan kinerja, dan penggunaan piranti statistik.
Dari kajian teoritis dan empiris sebelumnya juga diketahui bahwa
diantara ketujuh variabel implementasi TQM tersebut secara umum
yang berpengaruh dominan terhadap keberhasilan implementasi TQM
adalah variabel komitmen manajemen sebagaimana pendapat beberapa
pakar kualitas, antara lain: Hashmi (2004), Curkovic dan Landeros
(2000), dan Paskard (1995), juga didukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh: Dayton (2003), Baidoun (2003), Munizu (2003), dan
Metri (2005). Kesimpulan ini menempatkan komitmen manajemen
puncak sebagai faktor pertama yang menentukan keberhasilan
implementasi TQM. Baidoun (2003) Beberapa kunci keberhasilan

20
implementasi TQM pada level mikro yang telah diidentifikasi oleh the
US Federal Quality Institute (Paskard 1995) adalah :
a. Dukungan manajemen puncak diperlukan dan direpresentasikan
sebagai bagian perencanaan strategis TQM.
b. Fokus pada konsumen merupakan prakondisi terpenting, karena
TQM menyangkut peningkatan kualitas atas tuntutan konsumen.
c. Karyawan atau kelompoknya harus dilibatkan sejak awal,
khususnya dalam hal pelatihan dan pengakuan eksistensi
karyawan, dan isu-isu pemberdayaan karyawan dan kelompok
kerja. Perhatian pada isu-isu tersebut penting dalam perubahan
budaya organisasi yang mengarah pada kelompok kerja, serta
fokus pada konsumen dan kualitas.
d. Pengukuran dan analisis proses dan produk, serta jaminan kualitas
adalah elemen terakhir yang perlu mendapat perhatian. Sedangkan
menurut pendapat Padhi (2004), Untuk mensukseskan
Implementasi TQM, suatu organisasi harus terkonsentrasi pada
delapan elemen kunci. Elemen-elemen tersebut terbagi ke dalam
empat kelompok berdasarkan fungsinya, yaitu : (1) Pondasi : etika,
integritas, dan kepercayaan. (2) Dinding : pelatihan, kelompok
kerja, dan kepemimpinan. (3) Pengikat dan penguat : komunikasi,
dan (4) Atap : pengakuan.
2. Tahapan Pemeriksaan
Calon Jemaah haji akan mendapatkan pembinaan dan
pemeriksaan kesehatan yang bertujuan sebagai alat untuk mengetahui
status kesehatan haji dan pembinaan. Pemeriksaan tersebut dilakukan 2
tahap, yaitu :
- Tahap I
Pemeriksaan kesehatan tahap I adalah upaya penilaian
status kesehatan dan alat pembinaan kesehatan CJH sebagai
persyaratan mengikuti perjalan ibadah haji. Prosedur pemeriksaan
menggunakan protokol standar profesi kedokteran yang meliputi

21
pemeriksaan; Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes fungsional,
pemeriksaan penunjang, tes kebugaran dengan metode Harvard.
Pada tahap ini diberlakuakan secara ketat mengenai standar
pemeriksaan, standar pemeriksa, dan standar fasilitas, Untuk
kepentingan pembinaan, pemeriksaan kesehatan dapat dilakukan
berulang sesuai dengan kebutuhan. Kepala Puskesmas
bertanggungjawab atas pelaksanaan pemeriksaan kesehatan bagi
CJH dan melaporkan hasilnya ke Dinas Kesehatan.
- Tahap II
Pemeriksaan kesehatan tahap II adalah upaya penilaian
status kesehatan lanjutan terhadap CJH sebagai dasar pembinaan
lanjutan dan penentuan kelaikan CJH mengikuti perjalanan ibadah
haji. Pemeriksaan kesehatan dilaksanakan oleh Tim Pemeriksan
Kesehatan.
Panitia atau Tim Pelayanan Kesehatan CJH Tahap II, termasuk
KBIH merupakan ‘Customer internal’ yang di dalam organisasi
yang menggunakan jasa atau hasil pemeriksaan yang akan diproses
lebih lanjut. Dalam proses atau tahapan II ini menghasilkan
kegiatan jasa lebih dari satu Customer internal, maka dalam proses
tersebut diperlukan kerja secara berkelompok.
Prosedur pemeriksaan menggunakan protokol standar
profesi kedokteran yang meliputi pemeriksaan; Anamnesis,
pemeriksaan fisik, tes fungsional, pemeriksaan penunjang, tes
kebugaran dengan metode Harvard, seperti pada pemeriksaan tahap
I dan ditambah pemberian imunisasi Meningitis Meningokokus.
Pada tahap ini diberlakukan secara ketat mengenai standar
pemeriksaan, standar pemeriksa, dan standar fasilitas, dan
penetapan kelaikan. Untuk kepentingan pembinaan dan penilaian
kesehatan pada CJH, pemeriksaan kesehatan dapat dilakukan
berulang sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya Tim Pemeriksa
menetapkan kelayakan berdasarkan hasil pemeriksaan dan

22
konsultasi ahli sesuai dengan kualifikasi kelayakan yang
ditetapkan. Hasil penetapan kelayakan beserta dasar
pertimbangannya dilaporkan secara akumulatif kepada Depkes c.q
Subdit Kesehatan Haji melalui Dinkes Propinsi.
Pada masing-masing tingkat pelayanan kesehatan bagi
CJH, yaitu pada Pemeriksaan Tahap I dan Pemeriksaan Tahap II
pelayanan dilaksanakan dengan mengimplementasikan faktor yang
menentukan mutu pelayanan (Parasuranam, 1985) yaitu: Reliabilita
, responsive, kompetensi, akses, kurtosis, komunikasi, kredibilitas,
keamanan, peduli dan memahami pelanggan, dan secara nyata
diikuti dengan fakta fisik yang diberikan kepada pelanggan.
Salah satu instrumen untuk melengkapi usaha pencapaian
TQM pada kegiatan ini adalah dengan pembuatan dan penampilan
Alur proses (Flow Chart).

23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Total Quality Management (TQM) merupakan suatu konsep manajemen
modern yang berusaha untuk memberi kan respon secara tepat terhadap setiap
perubahan yang ada, baik yang didorong oleh kekuatan eksternal maupun
internal organisasi. Dasar pemikiran peiunya TQM sangatlah sederhana, yakni
bahwa cara terbaik agar dapat bersaing unggul dalam persaingan global adalah
dengan menghasilkan kualitas yang terbaik. Oleh karena itu, Total Quality
Management (TQM) merupakan teori ilmu manajemen yang mengarahkan
pimpinan organisasi dan personilnya untuk melakukan program perbaikan
mutu secara berkesinambungan yang terfokus pada pencapaian kepuasan para
pelanggan.

B. Saran
Sebagai salah satu tenaga kesehatan, kita harus bisa mengerti dan
memahami bagaimana Total Quality Management dalam Pelayanan Kesehatan
di Indonesia. Sebaiknya Total Quality Management di Indonesia ini
ditingkatkan lagi, agar tercapai derajat kesehatan yang benar benar maksimal.

24

Anda mungkin juga menyukai