Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi, terutama pada anak.
Tonsilitis yang lebih sering dikenal dengan amandel merupakan peradangan tonsil
palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis disebabkan oleh
karena infeksi bakteri ataupun virus. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada
penderita tonsilitis akut akan mengubah mikroflora pada tonsil, mengubah
struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi
bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronik.

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI, angka kejadian penyakit


tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data epidemiologi penyakit
Telinga Hidung Tenggorok (THT) di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan
September 2012, pravalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut
yaitu sebesar 3,8%.

Tonsilitis berdasarkan penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi tonsilitis viral,


tonsilitis bakterial dan tonsilitis membranosa. Sedangkan berdasarkan onset
penyakitnya, tonsilitis dapat terbagi menjadi tonsilitis akut maupun kronis.
Tonsilitis viral paling sering disebabkan oleh infeksi Epstein Varr Virus (EBV),
sedangkan tonsilitis bakteri disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus.
Tonsilitis membranosa dikenal juga sebagai tonsilitis difteri.

Angka kejadian tonsilitis yang masih cukup tinggi di masyarakat serta adanya
kemungkinan terjadinya komplikasi dari tonsilitis, menarik minat penulis untuk
membahas mengenai kasus tonsilitis yang ditemukan di RSUD Ahmad Yani,
Metro. Penulis berharap dengan adanya tulisan ini dapat menjadi referensi bacaan
untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan menganai penyakit tonsilitis.
STATUS PEMERIKSAAN PASIEN

Nama : An. E
Umur : 7 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Bandar Lampung

ANAMNESIS

Keluhan Utama
Nyeri tenggorokan sejak 3 bulan yang lalu

Keluhan Tambahan
Nyeri menelan, tidur mengorok, batuk, pilek, demam yang hilang timbul

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli THT Ahmad Yani Metro dengan keluhan nyeri tenggorokan
sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri tenggorokan di dahului oleh keluhan batuk, pilek,
dan demam. Menurut pengakuan orang tua pasien demam terjadi hilang timbul
terutama setelah makan jeruk. Namun saat ini batuk pilek telah berkurang dan
tidak ada demam. Keluhan nyeri saat menelan dirasakan baik saat menelan
makanan maupun minuman.

Sekitar 3 tahun yang lalu pasien juga mengalami keluhan yang sama, keluhan
tersebut terjadi hilang timbul. Untuk mengurangi keluhan tersebut pasien dibawa
berobat dan diberikan obat paracetamol dan antibiotic. Keluhan lain seperti sakit
didaerah wajah, nyeri pada telinga, telinga terasa mendengung, rasa penuh
ditelinga tidak serta riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya. Riwayat
alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama. Riwayat alergi (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Frekuensi Nadi : 100 x/menit
Suhu : 36,9°C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : normocephal, tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher : tidak terdapat pembesaran KGB leher, nyeri tekan (-)
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : tidak tampak edema tungkai, perfusi jaringan baik

STATUS LOKALIS THT


Telinga
KANAN TELINGA LUAR KIRI
Normotia Bentuk telinga luar Normotia
Normal, nyeri tarik (-), Daun telinga Normal, nyeri tarik (-),
warna kulit sama dengan warna kulit sama dengan
sekitarnya sekitarnya
Warna kulit sama Preaurikular Warna kulit sama dengan
dengan sekitar, nyeri sekitar, nyeri tekan (-),
tekan (-), fistel (-), abses fistel (-), abses (-)

3
(-)
Normal, nyeri tekan (-), Retroaurikular Normal, nyeri tekan (-),
tidak ada benjolan tidak ada benjolan
Tidak ada Nyeri tekan tragus Tidak ada
Tidak ada Tumor Tidak ada

KANAN LIANG TELINGA KIRI


Lapang, edem (-) Lapang/Sempit Lapang, edem (-)
Hiperemis (-) Warna Epidermis Hiperemis (-)
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Serumen Tidak ada
Tidak ditemukann Kelainan Lain Tidak ditemukan

KANAN MEMBRAN TIMPANI KIRI


Intak Bentuk Intak
Putih mutiara Warna Putih mutiara
(+) arah jam 5 Reflek Cahaya (+) arah jam 7
Tidak ditemukan Perforasi Tidak ditemukan
Retraksi (-), buldging (-) Kelainan Lain Retraksi (-), buldging (-)

Hidung
KANAN HIDUNG LUAR KIRI
Warna sama dengan Kulit Warna sama dengan
sekitarnya sekitarnya
Linea mediana nasi Dorsum nasi Linea mediana nasi
Nyeri tekan (-), krepitasi Nyeri tekan, krepitasi Nyeri tekan (-), krepitasi
(-) (-)
Selulitis (-), edema (-) Ala nasi Selulitis (-), edema (-)
Tidak ditemukan Nyeri tekan frontal Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Nyeri tekan maksila Tidak ditemukan
Normal, tidak sempit, Nares anterior Normal, tidak sempit,
simetris simetris
Tidak ditemukan Tumor, fistel Tidak ditemukan

Rhinoskopi Anterior
Kanan Hidung Kiri
Lapang Cavum Nasi Lapang
Tidak ditemukan Sekret Tidak ditemukan
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Normotrofi, warna Konka Inferior Normotrofi, warna

4
sesuai warna kulit sesuai warna kulit
Sulit dinilai Konka Media Sulit dinilai
Deviasi (-) Septum Nasi Deviasi (-)
Tidak ditemukan Krista, abses, massa Tidak ditemukan

Rhinoskopi Posterior (Nasofaring)


Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN CAVUM ORIS


CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies dentis (-)
Lidah Bentuk normal, Atrofi papil (-)
Palatum Durum Permukaan licin
Palatum Mole Permukaan licin
Uvula Posisi letak tengah
Tumor Tidak ditemukan

FARING
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Tidak edema, tidak bergranular
Mukosa Hiperemis (+)
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, hiperemis (+)
Sekret Tidak ada

TONSIL
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T3 – T3
Warna Hiperemis +/+
Permukaan Tidak rata
Kripta Melebar
Detritus Tidak ada
Perlekatan Tidak ada
Sikatrik Tidak ada

LARING
Tidak dilakukan pemeriksaan

5
PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS
Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN KELENJAR GETAH BENING LEHER


Inspeksi : tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, nyeri tekan (-)

PEMERIKSAAN ANJURAN
Rontgen Thorax
Laboratorium.

DIAGNOSIS
Diagnosis Banding :
- Tonsilitis kronika
- Tonsilofaringitis

Diagnosis Kerja :
- Tonsilitis kronika

TERAPI
Non Medikamentosa
- Istirahat cukup
- Diet gizi seimbang
- Jaga kebersihan mulut dan gigi
- Hindari makanan seperti gorengan maupun makanan gurih seperti keripik dan
ciki
- Hindari minuman es
- Kontrol ≤ 7 hari jika tidak ada perbaikan gejala

Medikamentosa
Cefadroxil syr 125mg/ml 2x2cth
Ambroxol syr 3x1 cth

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam

6
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Etiologi Tonsilitis


Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldayer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan
jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn. Berdasarkan waktu
berlangsungnya (lamanya) penyakit, tonsilitis terbagi menjadi dua yakni tonsilitis
akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang dari tiga minggu dan tonsilitiss
kronis jika inflamasi atau peradangan pada tonsil palatina berlangsung lebih dari
tiga bulan atau menetap. Infeksi terus menerus karena kegagalan atau
ketidaksesuaian pemberian antibiotik (Shalihat et al, 2015).

Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis akut
yaitu bakteri aerob gram positif maupun gram negatif. Tonsilitis dapat menyebar
dari orang ke orang melalui kontak tangan, menghirup udara setelah seseorang
dengan tonsilitis bersin atau berbagi peralatan seperti sikat gigi dari orang yang
terinfeksi (Shalihat et al, 2015).

3.2 Epidemiologi Tonsilitis


Anak-anak dan remaja usia sekolah adalah yang paling mungkin untuk menderita
tonsilitis, tetapi dapat menyerang siapa saja. Beberapa kepustakaan menyebutkan
tonsilitis kronis sering terjadi pada usia 5-20 tahun (Shalihat et al, 2015).

3.3 Tonsilitis Viral


Kasus tonsilitis viral ditandai dengan adanya common cold yang diserai dengan
adanya keluhan nyeri tenggorok. Tonsilitis viral sering disebabkan oleh virus
Epstein Barr (EBV) dan disebut juga tonsilitis mnonukleus infeksiosa. Hemofilus
influena virus menyebabkan tonsilitis akut supuratif. Dapat pula disebabkan virus
coxachie¸ yang menyebabkan adanya luka-luka kecil pada palatum dan tonsil
disertai rasa yang sangat nyeri. Penatalaksanaan dilakukan dengan istirahat dan
minum air putih yang cukup. Tatalaksana medikamentosa diberikan analgetik, dan
dapat dipertimbangkan pemberian antivirus jika terdapat keluhan dan gejala yang
berat (Rusmarjono, 2007).

3.4 Tonsilitis Bakterial


Tonsilitis bakterial akut paling sering disebabkan oleh Streptokokus beta
hemolitikus grup A. Penyebab lainnya ialah pneumokokus maupun stafilokokus.
Pada keadaan kronik, faktor predisposisinya ialah iritasi menahun oleh rokok,
higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat (FK UI, 2015).

Reaksi radang yang terjadi pada tonsil akan menyebabkan keluarnya leukosit
polimorfonuklear. Kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas
akan membentuk detritus. Detritus akan mengisi kripte tonsil dan tampak
berwarna kekuningan. Detritus berbentuk bercak pada tonsil disebut tonsilitis
folikularis dan bila bercak tersebut menyatu membentuk alur, disebut tonsilitis
lakunaris Bercak detritus tersebut dapat melebar membentuk pseudomembran
yang menutupi tonsil (FK UI, 2015).

Pada anamnesis didapatkan gejala dan tanda berupa nyeri tenggorokan, sulit
menelan (biasanya pada pasien anak akan menolak makan), demam dengan suhu
tubuh yang bervariasu (38-40oC), nyeri alih ke telinga dan adanya gejala
konstitusional seperti nyeri pada seluruh tubuh, sakit kepala, malaise, dan lain-
lain. Sedangkan pada tonsilitis kronis, pasien dapat mengeluhkan adanya disfagia,
tenggorokan kering maupun napas berbau (FK UI, 2015). Pada anak-anak
terkadang disertai drooling (air liur menetas keluar) yang merrupakan akibat dari
nyeri menelan dan susah makan. Pada keadaan yang lebih berat, akan ada keluhan
berkaitan dengan obstruksi jalan nafas yang tampak dengan berhentinya bernafas
atau mendengkur saat tidur. Gejala dapat membaik dalam 3-4 hari, tetapi dapat
menetap hingga 2 minggu (Rusmarjono, 2007).

Pada keadaan akut didapatkan pemeriksaan fisikberupa tonsil tampak hiperemis


dan edematous disertai adanya detritus. Didapatkan pula adanya kelenjar

9
submandibula yang membengkak dan terdapat nyeri tekan. Sedangkan tonsil
tampak membesar dengan permukaan tidak rata (berbenjol-benjol) dan kripte
yang terisi detritus tampak melebar pada keadaan kronik. Kripte yang melebar ini
disebabkan oleh adanya proses penyembuhan jaringan limfoid yang diganti oleh
jaringan parut (FK UI, 2015).

Melalui pemeriksaan fisik perlu dilakukan penilaian tonsil mencakup ukurannya,


warna, permukaan, kripte melebar atau tidak, dan apakah terdapat detritus.
Ukuran tonsil dapat dikelompokkan sebagai berikut (Rusmarjono, 2007):
T0 : Tonsil telah diangkat
T1 : Tonsil tidak melewati pilar faring posterior
T2 : Tonsil melewati pilar posterior namun tidak melewati garis pertengahan
(imajiner antara uvulla dan pilar posterior)
T3 : Tonsil mencapai garis pertengahan antara uvula dan pilar posterior
T4 : Tonsil saling menempel (kissing tonsil) atau mendorong uvula

Gambar 1. Derajat Pembesaran Tonsil

Penegakan diagnosis tonsilitis bakterial dapat langsung ditegakkan dengan


pemeriksaan inspeksi langsung. Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan
peningkatan leukosit, hematokrit, dan protein reaktif C (CRP). Kultur bakteriologi
menjadi diagnosis mikrobiologi pasti, walaupun jarang dilakukan. Terapi sudah
dapat diinisiasi walaupun belum ada hasil kultur (Rusmarjono, 2007). Tonsilitin
streptokokal rekuren ditegakkan apabila seseorang memiliki 7 episode kultur

10
positif dalam 1 tahun, 5 infeksi dalam 2 tahun berturut-turut, atau 3 infeksi tiap
tahunnya selama 3 tahun berturut-turut (Georgalas et al, 2014).

Pada umumnya penderita dengan tonsillitis yang akut sebaiknya tirah baring,
pemberian cairan serta asupan kalori yang adekuat. Analgetik dan antipiretik oral
efektif untuk mengurangi gejala simptomatik. Terapi antibiotik spektrum luas
dapat diberikan, seperti penicillin maupun eritromisin. Dapat pula diberikan obat
kumur yang mengandung disinfektan. Pada tonsilitis kronik biasanya akan
dilakukan tindakan operatif yaitu tonsilektomi (FK UI, 2015).

Komplikasi tersering pada anak akibat hipertrofi tonsil ialah menyebabkan anak
bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, dan adanya gangguan tidur yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Komplikasi lainnya ialah
abses peritonsilar, abses parafaring, otitis media akut, tonsilitis kronik, sinusitis,
septikemia, endokarditis, glomerulonefritis akut, maupun demam rematik
(Rusmarjono, 2007).

3.5 Tonsilitis Membranosa


Tonsilitis membranosa yang dikenal ialah disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis ini sering ditemukan pada anak usia
kurang dari 10 tahun dengan insidensi tertinggi pada usia 2-5 tahun (FK UI,
2015). Frekuensi kejadian tonsilitis difteri menurun seiring keberhasilan
imunisasi aktif. Penularan terjadi melalui droplet udara atau kontak kulit-kulit.
Tidak semua individu yang terinfeksi akan menjadi sakit, tergantung titer anti
toksin dalam darah seseorang (minimal 0.03 IU per mL darah) (Rusmarjono,
2007).

Keluhan tersering pada tonsilitis membranosa ialah adanya demam, nyeri kepala,
nafsu makan menurun dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tonsil membesar ditutupi bercak putih kkotor yang makin lama
semakin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran ini dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, bronkus dan dapat
menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berddarah. Bila infeksi menetap, maka
kelenjar limfe akan membesar sedemikian besarnya sehingga memberikan

11
gambaran leher sapi yang disebut Burgemeester’s Hals (bull neck). Akibat
eksotoksin yang dikeluarkan bakteri ini dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh, seperti pada jantung (miokarditis, dekompensasi kordis) dan saraf
(kelumpuhan otot palatum, otot diafragma) dan ginjal (albuminuria) (Rusmarjono,
2007).

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dengan cermin


yang terlihat pseudomembran berwarna kuning keabuan yang menempel erat ke
tonsil dan ketika diangkat menmbulkan perdarahan. Diagnosis pasti didapatkan
dari preparat kuman yang diambil dari apusan di bawah membran semu
(Rusmarjono, 2007). Penatalaksanaan pasien diberikan antitoksin (APS) difteri
200-1000 IU/KgBB injeksi intravena atau intramuskular (dengan melakukan skin
test terlebih dahulu). Dapat pula diberikan antibiotik penisilin 300.000 IU/hari IM
untuk BB < 10 kg dan 600.000 IU/hari untuk BB > 10 kg (selama 14 hari) atau
eritromisin 25-50 mg/KgBB dibagi ddalam 3 dosis selama 14 hari. Diberikan juga
kortikosteroid dengan dosis 1,2 mg/KgBB/hari, dan antipiretik. Pasien perlu
diisolasi dan diperhatikan apakah terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas (FK
UI, 2015).

3.6 Tonsilektomi
Tonsilektomi adalah prosedur operasi pengangkatan tonsil yang dilakukan dengan
atau tanpa adenoidektomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat seluruh
tonsil dan kapsulnya, dengan melakukan diseksi pada ruang peritonsil di antara
kapsul tonsil dan otot dinding tonsil (PERHATI-KL, 2015). Berdasarkan The
American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical
Indicators Compendium tahun 1996 ditetapka indikasi tonsilektomi sebagai
berikut:
- Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi adekuat
- Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
- Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmonale

12
- Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan
- Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
- Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus beta
hemolyticus
- Hipertrofi tonsil yang diccurigai adanya keganasan
- Otitis media efusi/otitis media supurasi

13
BAB IV

ANALISIS KASUS

Dilaporkan pasien laki-laki Tn. A usia 32 tahun datang ke poli THT dengan
keluhan nyeri tenggorokan sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya pasien mengatakan
mengalami nyeri tenggorokan di dahului oleh keluhan batuk, pilek, dan demam
Namun saat ini batuk pilek telah berkurang. Nyeri tenggorokan dirasakan
bersamaan dengan adanya rasa mengganjal di tenggorokan sehingga pasien nyeri
saat menelan. Keluhan nyeri saat menelan dirasakan baik saat menelan makanan
maupun minuman.

Keluhan lain seperti sakit didaerah wajah, nyeri pada telinga, telinga terasa
mendengung, dan rasa penuh ditelinga tidak ada. Keluhan sakit gigi disangkal.
Pada pemeriksaan status lokalis THT bagian telinga dan hidung dalam batas
normal. Sedangkan, pada pemeriksaan faring didapatkan mukosa faring dan arkus
faring hiperemis. Kemudian pada pemeriksaan tonsil didapatkan pembesaran
tonsil T2-T2, tampak hiperemis, dan permukaan tidak rata, kripta melebar, adanya
detritus minimal, namun perlekatan dan sikatrik tidak ada.

Diagnosis tonsilitis kronis eksaserbasi akut dilihat dari hasil anamnesis dan juga
pemeriksaan fisik. Berdasarkan teori, pasien dengan tonsilitis kronis datang
dengan keluhan sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan,
nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi kadang-kadang ada demam dan nyeri
pada leher.

Gejala tonsillitis kronis dibagi menjadi tiga, pertama adalah gejala lokal, yang
bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit
menelan, gejala sistemik berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala,
demam subfebris, nyeri otot dan persendian, ketiga gejala klinis tonsil dengan
debris di kriptanya (tonsillitis folikularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil
(tonsillitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotik
kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkak kelenjar limfe
regional (Kurien, 2003).

Pada pemeriksaan fisik tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Gambaran klinis yang lain yang
sering adalah ketika tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya
hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis
tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi leukosit
meningkat, hemoglobin menurun, usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri
dan tes sensitifitas. Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman
dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam
kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus,
Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.

Penatalaksanaan tonsillitis kronis eksaserbasi akut menurut teori dibedakan


berdasarkan penyebabnya. Pada tonsilitis akibat virus dianjurkan istirahat, minum
cukup, pemberian analgetika dan antivirus (jika gejala berat), sedangkan pada
tonsilitis akibat bakteri diberikan antibiotik spektrum luas seperti penisilin,
eritromisin dan pemberian antibiotik yang sesuai kultur. Juga dapat diberikan
antipiretik dan obat kumur yang mengandung disinfektan. Pada pasien diedukasi
untuk istirahat cukup, diet gizi seimbang, jaga kebersihan mulut dan gigi, hindari
makanan seperti gorengan maupun makanan gurih seperti keripik dan ciki, hindari
minuman es, kontrol ≤ 7 hari jika tidak ada perbaikan gejala.

Medikamentosa yang diberikan berupa cefadroxil 2x250mg dan ambroxol 3 kali


1. Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi pada tonsilitis.
Antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotic pilihan pada sebagian besar
kasus karena efektif dan harganya lebih murah. Pada pasien juga diberikan

15
ambroxol sebagai antitusif karena pada pasien masih ditemukan gejala berupa
batuk. Pemberian obat ini telah sesuai. Menurut teori, diberikan analgesik untuk
mengurangi nyeri pada penderita tonsillitis kronik baik pada anak maupun
dewasa. Analgesik yang menjadi pilihan utama adalah ibuprofen. Hal ini
dikarenakan ibuprofen memiliki efikasi yang tinggi dengan efek samping yang
minimal jika dibandingkan dengan parasetamol dan asam salisilat. Selain itu,
masa kerja ibuprofen lebih panjang yaitu 6-8 jam. Namun pada pasien ini tidak
diberikan analgesik karena tidak ditemukan gejala yang membutuhkan terapi
analgesik.

16
DAFTAR PUSTAKA

FK UI. 2015. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi Ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Kurien M, Sheelan S, Fine Needle Aspiration In Chronic Tonsillitis ; Realiable


and Valid Diagnostic Test Juornal of Laryngology and Otlogy. 2003 Vol
117,pp 973 – 975

Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam


Malik Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal Repository.

PERHATI-KL. 2015. Panduan Praktik Klinis, Panduan Prakik Klinis Tindakan,


Clinical Pathway di Bidang Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung tenggorok Bedah
Kepala Leher Indonesia.

Rusmarjono, Soepardi EA. 2007. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid


dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi Ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Shalihat AO, Novialdi, Lili I. 2015. Hubungan Umur, Jenis Kelamin dan
Perlakuuan Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita
Tonsilitis Kronis di Bagian THT-KL RSUP DR. M. DjamilPadang Tahun
2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(3): 786-794.

17

Anda mungkin juga menyukai