PENDAHULUAN
Tonsilitis merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi, terutama pada anak.
Tonsilitis yang lebih sering dikenal dengan amandel merupakan peradangan tonsil
palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis disebabkan oleh
karena infeksi bakteri ataupun virus. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada
penderita tonsilitis akut akan mengubah mikroflora pada tonsil, mengubah
struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi
bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronik.
Angka kejadian tonsilitis yang masih cukup tinggi di masyarakat serta adanya
kemungkinan terjadinya komplikasi dari tonsilitis, menarik minat penulis untuk
membahas mengenai kasus tonsilitis yang ditemukan di RSUD Ahmad Yani,
Metro. Penulis berharap dengan adanya tulisan ini dapat menjadi referensi bacaan
untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan menganai penyakit tonsilitis.
STATUS PEMERIKSAAN PASIEN
Nama : An. E
Umur : 7 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Bandar Lampung
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri tenggorokan sejak 3 bulan yang lalu
Keluhan Tambahan
Nyeri menelan, tidur mengorok, batuk, pilek, demam yang hilang timbul
Sekitar 3 tahun yang lalu pasien juga mengalami keluhan yang sama, keluhan
tersebut terjadi hilang timbul. Untuk mengurangi keluhan tersebut pasien dibawa
berobat dan diberikan obat paracetamol dan antibiotic. Keluhan lain seperti sakit
didaerah wajah, nyeri pada telinga, telinga terasa mendengung, rasa penuh
ditelinga tidak serta riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya. Riwayat
alergi (-)
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Frekuensi Nadi : 100 x/menit
Suhu : 36,9°C
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : normocephal, tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher : tidak terdapat pembesaran KGB leher, nyeri tekan (-)
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : tidak tampak edema tungkai, perfusi jaringan baik
3
(-)
Normal, nyeri tekan (-), Retroaurikular Normal, nyeri tekan (-),
tidak ada benjolan tidak ada benjolan
Tidak ada Nyeri tekan tragus Tidak ada
Tidak ada Tumor Tidak ada
Hidung
KANAN HIDUNG LUAR KIRI
Warna sama dengan Kulit Warna sama dengan
sekitarnya sekitarnya
Linea mediana nasi Dorsum nasi Linea mediana nasi
Nyeri tekan (-), krepitasi Nyeri tekan, krepitasi Nyeri tekan (-), krepitasi
(-) (-)
Selulitis (-), edema (-) Ala nasi Selulitis (-), edema (-)
Tidak ditemukan Nyeri tekan frontal Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Nyeri tekan maksila Tidak ditemukan
Normal, tidak sempit, Nares anterior Normal, tidak sempit,
simetris simetris
Tidak ditemukan Tumor, fistel Tidak ditemukan
Rhinoskopi Anterior
Kanan Hidung Kiri
Lapang Cavum Nasi Lapang
Tidak ditemukan Sekret Tidak ditemukan
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Normotrofi, warna Konka Inferior Normotrofi, warna
4
sesuai warna kulit sesuai warna kulit
Sulit dinilai Konka Media Sulit dinilai
Deviasi (-) Septum Nasi Deviasi (-)
Tidak ditemukan Krista, abses, massa Tidak ditemukan
FARING
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Tidak edema, tidak bergranular
Mukosa Hiperemis (+)
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, hiperemis (+)
Sekret Tidak ada
TONSIL
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T3 – T3
Warna Hiperemis +/+
Permukaan Tidak rata
Kripta Melebar
Detritus Tidak ada
Perlekatan Tidak ada
Sikatrik Tidak ada
LARING
Tidak dilakukan pemeriksaan
5
PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS
Tidak dilakukan pemeriksaan
PEMERIKSAAN ANJURAN
Rontgen Thorax
Laboratorium.
DIAGNOSIS
Diagnosis Banding :
- Tonsilitis kronika
- Tonsilofaringitis
Diagnosis Kerja :
- Tonsilitis kronika
TERAPI
Non Medikamentosa
- Istirahat cukup
- Diet gizi seimbang
- Jaga kebersihan mulut dan gigi
- Hindari makanan seperti gorengan maupun makanan gurih seperti keripik dan
ciki
- Hindari minuman es
- Kontrol ≤ 7 hari jika tidak ada perbaikan gejala
Medikamentosa
Cefadroxil syr 125mg/ml 2x2cth
Ambroxol syr 3x1 cth
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
6
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis akut
yaitu bakteri aerob gram positif maupun gram negatif. Tonsilitis dapat menyebar
dari orang ke orang melalui kontak tangan, menghirup udara setelah seseorang
dengan tonsilitis bersin atau berbagi peralatan seperti sikat gigi dari orang yang
terinfeksi (Shalihat et al, 2015).
Reaksi radang yang terjadi pada tonsil akan menyebabkan keluarnya leukosit
polimorfonuklear. Kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas
akan membentuk detritus. Detritus akan mengisi kripte tonsil dan tampak
berwarna kekuningan. Detritus berbentuk bercak pada tonsil disebut tonsilitis
folikularis dan bila bercak tersebut menyatu membentuk alur, disebut tonsilitis
lakunaris Bercak detritus tersebut dapat melebar membentuk pseudomembran
yang menutupi tonsil (FK UI, 2015).
Pada anamnesis didapatkan gejala dan tanda berupa nyeri tenggorokan, sulit
menelan (biasanya pada pasien anak akan menolak makan), demam dengan suhu
tubuh yang bervariasu (38-40oC), nyeri alih ke telinga dan adanya gejala
konstitusional seperti nyeri pada seluruh tubuh, sakit kepala, malaise, dan lain-
lain. Sedangkan pada tonsilitis kronis, pasien dapat mengeluhkan adanya disfagia,
tenggorokan kering maupun napas berbau (FK UI, 2015). Pada anak-anak
terkadang disertai drooling (air liur menetas keluar) yang merrupakan akibat dari
nyeri menelan dan susah makan. Pada keadaan yang lebih berat, akan ada keluhan
berkaitan dengan obstruksi jalan nafas yang tampak dengan berhentinya bernafas
atau mendengkur saat tidur. Gejala dapat membaik dalam 3-4 hari, tetapi dapat
menetap hingga 2 minggu (Rusmarjono, 2007).
9
submandibula yang membengkak dan terdapat nyeri tekan. Sedangkan tonsil
tampak membesar dengan permukaan tidak rata (berbenjol-benjol) dan kripte
yang terisi detritus tampak melebar pada keadaan kronik. Kripte yang melebar ini
disebabkan oleh adanya proses penyembuhan jaringan limfoid yang diganti oleh
jaringan parut (FK UI, 2015).
10
positif dalam 1 tahun, 5 infeksi dalam 2 tahun berturut-turut, atau 3 infeksi tiap
tahunnya selama 3 tahun berturut-turut (Georgalas et al, 2014).
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis yang akut sebaiknya tirah baring,
pemberian cairan serta asupan kalori yang adekuat. Analgetik dan antipiretik oral
efektif untuk mengurangi gejala simptomatik. Terapi antibiotik spektrum luas
dapat diberikan, seperti penicillin maupun eritromisin. Dapat pula diberikan obat
kumur yang mengandung disinfektan. Pada tonsilitis kronik biasanya akan
dilakukan tindakan operatif yaitu tonsilektomi (FK UI, 2015).
Komplikasi tersering pada anak akibat hipertrofi tonsil ialah menyebabkan anak
bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, dan adanya gangguan tidur yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Komplikasi lainnya ialah
abses peritonsilar, abses parafaring, otitis media akut, tonsilitis kronik, sinusitis,
septikemia, endokarditis, glomerulonefritis akut, maupun demam rematik
(Rusmarjono, 2007).
Keluhan tersering pada tonsilitis membranosa ialah adanya demam, nyeri kepala,
nafsu makan menurun dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tonsil membesar ditutupi bercak putih kkotor yang makin lama
semakin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran ini dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, bronkus dan dapat
menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berddarah. Bila infeksi menetap, maka
kelenjar limfe akan membesar sedemikian besarnya sehingga memberikan
11
gambaran leher sapi yang disebut Burgemeester’s Hals (bull neck). Akibat
eksotoksin yang dikeluarkan bakteri ini dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh, seperti pada jantung (miokarditis, dekompensasi kordis) dan saraf
(kelumpuhan otot palatum, otot diafragma) dan ginjal (albuminuria) (Rusmarjono,
2007).
3.6 Tonsilektomi
Tonsilektomi adalah prosedur operasi pengangkatan tonsil yang dilakukan dengan
atau tanpa adenoidektomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat seluruh
tonsil dan kapsulnya, dengan melakukan diseksi pada ruang peritonsil di antara
kapsul tonsil dan otot dinding tonsil (PERHATI-KL, 2015). Berdasarkan The
American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical
Indicators Compendium tahun 1996 ditetapka indikasi tonsilektomi sebagai
berikut:
- Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi adekuat
- Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
- Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmonale
12
- Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan
- Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
- Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus beta
hemolyticus
- Hipertrofi tonsil yang diccurigai adanya keganasan
- Otitis media efusi/otitis media supurasi
13
BAB IV
ANALISIS KASUS
Dilaporkan pasien laki-laki Tn. A usia 32 tahun datang ke poli THT dengan
keluhan nyeri tenggorokan sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya pasien mengatakan
mengalami nyeri tenggorokan di dahului oleh keluhan batuk, pilek, dan demam
Namun saat ini batuk pilek telah berkurang. Nyeri tenggorokan dirasakan
bersamaan dengan adanya rasa mengganjal di tenggorokan sehingga pasien nyeri
saat menelan. Keluhan nyeri saat menelan dirasakan baik saat menelan makanan
maupun minuman.
Keluhan lain seperti sakit didaerah wajah, nyeri pada telinga, telinga terasa
mendengung, dan rasa penuh ditelinga tidak ada. Keluhan sakit gigi disangkal.
Pada pemeriksaan status lokalis THT bagian telinga dan hidung dalam batas
normal. Sedangkan, pada pemeriksaan faring didapatkan mukosa faring dan arkus
faring hiperemis. Kemudian pada pemeriksaan tonsil didapatkan pembesaran
tonsil T2-T2, tampak hiperemis, dan permukaan tidak rata, kripta melebar, adanya
detritus minimal, namun perlekatan dan sikatrik tidak ada.
Diagnosis tonsilitis kronis eksaserbasi akut dilihat dari hasil anamnesis dan juga
pemeriksaan fisik. Berdasarkan teori, pasien dengan tonsilitis kronis datang
dengan keluhan sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan,
nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi kadang-kadang ada demam dan nyeri
pada leher.
Gejala tonsillitis kronis dibagi menjadi tiga, pertama adalah gejala lokal, yang
bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit
menelan, gejala sistemik berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala,
demam subfebris, nyeri otot dan persendian, ketiga gejala klinis tonsil dengan
debris di kriptanya (tonsillitis folikularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil
(tonsillitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotik
kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkak kelenjar limfe
regional (Kurien, 2003).
Pada pemeriksaan fisik tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Gambaran klinis yang lain yang
sering adalah ketika tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya
hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis
tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi leukosit
meningkat, hemoglobin menurun, usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri
dan tes sensitifitas. Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman
dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam
kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus,
Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.
15
ambroxol sebagai antitusif karena pada pasien masih ditemukan gejala berupa
batuk. Pemberian obat ini telah sesuai. Menurut teori, diberikan analgesik untuk
mengurangi nyeri pada penderita tonsillitis kronik baik pada anak maupun
dewasa. Analgesik yang menjadi pilihan utama adalah ibuprofen. Hal ini
dikarenakan ibuprofen memiliki efikasi yang tinggi dengan efek samping yang
minimal jika dibandingkan dengan parasetamol dan asam salisilat. Selain itu,
masa kerja ibuprofen lebih panjang yaitu 6-8 jam. Namun pada pasien ini tidak
diberikan analgesik karena tidak ditemukan gejala yang membutuhkan terapi
analgesik.
16
DAFTAR PUSTAKA
FK UI. 2015. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi Ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Shalihat AO, Novialdi, Lili I. 2015. Hubungan Umur, Jenis Kelamin dan
Perlakuuan Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita
Tonsilitis Kronis di Bagian THT-KL RSUP DR. M. DjamilPadang Tahun
2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(3): 786-794.
17